Reviews Buku

Showing posts with label Berita. Show all posts
Showing posts with label Berita. Show all posts

Tuesday, March 11, 2014

KPK Tindak Lanjuti Pencegahan Gratifikasi Terkait Pencatatan Nikah oleh KUA

Jakarta-Komisi Pemberantasan Korupsi menggelar Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) guna memantau hasil rekomendasi pertemuan sebelumnya, terkait potensi gratifikasi pada layanan nikah-cerai di Kantor Urusan Agama (KUA). Hadir dalam kesempatan ini antara lain dua Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu Pradja dan Zulkarnain, Menteri Agama Suryadharma Ali, Inspektur Jenderal Kementerian Agama M. Jasin, Sekretaris Kemenag Bahrul Hayat, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan Askolani, Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Kementerian PPN/Bappenas Wismana Adi Suryabrata dan Deputi IV Kemenko Kesra Bidang Pendidikan, Agama dan Aparatur, Agus Sartono.

Surya Darma dalam kesempatan itu mengungkapkan perbedaan pelayanan administrasi pemerintahan pada umumnya dengan pelayanan administrasi di KUA. Pada umumnya, administrasi pemerintahan melayani pada jam kerja dan di kantor. Sedangkan KUA, acapkali melayani di luar jam kerja dan di luar kantor. Ini yang kemudian lantas memunculkan potensi gratifikasi. “Biasanya waktu pernikahan lebih diminati pada hari Sabtu, Minggu atau hari libur dan di luar jam kantor,” kata Menterui Surya.

Selama belum ada PP yang baru, kata Surya Darma, petugas KUA dibenarkan hanya memberikan layanan di kantor dan pada jam kantor. “Saya mengapresiasi mereka untuk menghentikan sementara. Ini bukan kesalahan. Jadi tidak ada pembenaran terhadap gratifikasi,” katanya pada rapat itu.

Apalagi, kata Surya Darma, biaya opersional, sarana dan prasarana KUA sangat terbatas. Pemekaran sejumlah kabupaten/kota, mengharuskan berdirinya KUA di tiap kecamatan. Kondisi ini membuka peluang dan dijadikan alasan pembenaran terjadinya praktik gratifikasi sebagai pengganti biaya transportasi dan operasional pencatatan nikah. “Saat ini, tiap KUA hanya memiki biaya operasional dua juta rupiah, baru 2014 ini diusulkan ditambah menjadi tiga juta rupiah,” katanya.

Karena itu, pihak Kemenag, kata Surya Darma, telah membuat rancangan peraturan pemerintah yang akan merevisi PP No.47/2004. Isinya tentang penyesuaian tarif guna peningkatan layanan pencatatan nikah dan rujuk, sesuai dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Soal tarif baru, dia mengaku belum bisa menyebut nominalnya, apakah akan diterapkan tarif tunggal atau tarif jamak. “Masih ada penajaman, dengan dua pertimbangan dalam penentuan itu, yakni ekonomi rakyat dan wilayah geografis Indonesia.”

Diharapkan, dalam dua pertemuan mendatang, persoalan ini akan segera selesai. Sebab, usulan tarif baru telah diusulkan ke Kementerian Keuangan. Dari sini, rancangan PP ini akan diharmonisasikan ke Kementerian Hukum dan HAM. Dirjen Anggaran Askolani menyatakan akan segera membahas usulan tarif Kemenag dengan kementerian terkait. “Saat ini, kami belum menetapkan. Tapi komitmen kami akan mengupayakan secepatnya.” Setelah PP ini selesai, kata Askolani, Kemenkeu akan merevisi Keputusan Menteri Keuangan (KMK) izin penggunaan anggaran yang akan disesuaikan. ini dimaksudkan agar penerimaan dari PNBP bisa digunakan kembali untuk belanja atau membayar insentif petugas KUA.
Maka, setelah revisi PP dan KMK selesai, Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kemenag juga harus direvisi, agar penggunaan anggaran dari PNBP tadi legal dan akuntabel. “Setelah ini dilakukan, mekanisme ini bisa dilakukan pada 2014, tidak perlu menunggu 2015.”

Menurut Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Pradja, momen ini merupakan momen bersejarah. Sebab, persoalan gratifikasi yang telah menahun, akan segera selesai dalam waktu dekat. Diharapkan, dari pernikahan yang digelar tanpa gratifikasi akan melahirkan keluarga baru yang berintegritas. “Setelah akad, tidak hanya dinyatakan pernikahannya sah, tetapi juga gratifikasinya juga sah.”
Pertemuan ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan pada 18 Desember 2013 lalu. Saat itu, lahir sejumlah rekomendasi, antara lain biaya operasional Pencatatan Nikah di luar kantor dan/atau di luar jam kerja dibebankan pada APBN melalui mekanisme Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Payung hukum PP No.47 tahun 2004 tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Agama beserta peraturan terkait, akan diubah paling lambat pada Januari 2014. Sebelum terbitnya revisi PP yang dimaksud, Kementerian Agama akan mengeluarkan Surat Edaran tentang Pelaksanaan Pelayanan Pencatatan Nikah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Rakornas ini merupakan upaya KPK dalam bidang pencegahan. Sebab, KPK melihat ada sejumlah celah potensi terjadinya praktik gratifikasi dalam layanan pencatatan nikah dan rujuk di KUA. Pemberian “uang terima kasih” atau apapun istilahnya bisa diberikan secara sekaligus sebagai satu paket Pencatatan Nikah melalui petugas Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) yang besarannya sudah diakumulasi biaya formal dan informalnya. Atau, pemberian gratifikasi bisa dilakukan pada hari pelaksanaan acara.

DPR: KPK Awasi Dana BPJS, Harusnya Verifikator Jamkesmas Dilibatkan Juga

Jakarta- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berharap bisa mengawal anggaran yang dikelola Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS). Pasalnya, dana BPJS yang mencapai Rp40 triliun potensi penyalahgunaan anggaran dan korupsi dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dilakukan BPJS terbuka.
Menanggapi langkah KPK awasi dana BPJS, anggota Komisi IX DPR RI Poempida Hidayatulloh mengapresiasi langkah KPK.
“Kami mengapresiasi langkah positif KPK mengawasi dana BPJS,” katanya di Gedung DPR, Jumat (14/02/2014).
Kendati demikian, pengawasan dana BPJS seharusnya juga melibatkan verifikator jamkesmas. Kontribusi mereka menyelamatakan anggaran kesehatan pada program Jamkesmas layak diapresiasi sangat tinggi.
“Periode 2008-2009 verifikator jamkesmas menyelamatakan anggaran Negara sebesar Rp1,4 triliun. Dan itu sudah dicek Kementerian Kesehatan,” terangnya.
Sayangnya, kata Poempida, pemerintah ibarat kacang lupa kulit. Mereka yang seharusnya bisa dilibatkan dalam pengawasan implementasi BPJS Kesehatan, faktanya seribu lebih verifikator jamkesmas se Indonesia sekarang nasibnya terlunta-lunta.
“Saat ini mereka rerata pengangguran. Dimanakah tanggung jawab pemerintah?,” protesnya.

Peran Verifikator Jamkesmas
Poempida mengatakan, verifikator jamkesmas kerjanya tak tampak di permukaan, tapi pekerjaannya membutuhkan ketelitian melayani masyarakat dan bertanggung jawab pada pemerintah.
“Merekalah selama ini yang bekerja pada rumah-rumah sakit yang melayani peserta Jamkesmas. Mereka inilah yang memverifikasi klaim Jamkesmas melalui sistem INA CBGs. Sehingga setiap klaim dapat terdeteksi akuntabilitasnya dan bukan hanya klaim fiktif yang akan merugikan keuangan Negara,” urainya.
Berdasarkan pengalaman tersebut, ia memandang bahwa BPJS Kesehatan sebagai program pemerintah harus disukseskan dengan pelayanan yang maksimal, salah satunya adalah dengan memanfaatkan pengalaman dari verifikator jamkesmas.
Mengacu Surat Edaran Menkes No. 382 Tahun 2013 tentang Pemanfaatan Verifikator Independen Jamkesmas di Rumah Sakit, didalam surat edaran itu memerintahkan agar kepala daerah, kepala rumah sakit, dan dinas Kesehatan seluruh Indonesia untuk menerima verifikator jamkesmas sebagai pegawai dalam BPJS Kesehatan.
“Sudah saatnya pemerintah mewujudkan visi pro poor, pro job, dan pro growth, di antaranya mengakomodir ribuan verifikator jamkesmas yang saat ini mereka pengangguran. Bahwa keberpihakan kepada masyarakat yang terzalimi haruslah menjadi tujuan dalam berpolitik,” tukas politisi Partai Golkar ini

Jelang Pemilu, KPK Ingatkan Parpol Soal Gratifikasi



Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan seluruh partai politik peserta pemilu berkaitan dengan potensi penerimaan gratifikasi oleh calon anggota legislatif (caleg). Hal itu untuk mendorong terlaksananya pemilihan umum yang berintegritas dan antikorupsi. Hal tersebut tertuang dalam surat imbauan yang ditujukan kepada 15 ketua umum partai politik peserta pemilu, termasuk tiga partai politik lokal di Nanggroe Aceh Darussalam.

Pada surat bernomor B-288/01-13/01/2014 tanggal 12 Februari 2014 itu, KPK mengingatkan bila ada caleg DPR, DPD dan DPRD yang masih menjabat sebagai anggota DPR, DPD dan DPRD atau posisi lainnya yang dikategorikan penyelenggara negara atau pegawai negeri menerima dana kampanye atau penerimaan dalam bentuk lain, maka itu termasuk dalam kategori gratifikasi, sebagaimana diuraikan dalam pasal 12B ayat 1, UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

KPK meminta para ketua umum parpol untuk meneruskan imbauan tersebut kepada caleg yang masih menjabat sebagai anggota DPR, DPRD dan DPD atau penyelenggara negara atau pegawai negeri, untuk menolak gratifikasi. Bila terpaksa atau telah menerima, maka penyelenggara negara atau pegawai negeri tersebut wajib melaporkan kepada KPK selambat-lambatnya 30 hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan gratifikasi.

Selain itu, KPK juga mengimbau untuk tidak memberikan gratifikasi kepada penyelenggara pemilu, mulai dari pimpinan atau pegawai Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) hingga seluruh jajarannya di daerah dan atau pihak lain yang termasuk dalam klualifikasi penyelenggara negara.

KPK menganggap imbauan ini sangat penting untuk disampaikan, mengingat banyaknya caleg DPR, DPRD dan DPD yang masih menjabat sebagai anggota DPR, DPRD dan DPD atau posisi lainnya yang dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Di DPR contohnya, 90% dari 560 anggota dewan kembali maju pada pemilu legislatif 2014.

KPK Luncurkan Korsupgah Guna Awasi Daerah

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meluncurkan kegiatan Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) pada Jumat (28/2) ini dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Program ini merupakan lanjutan kegiatan Korsupgah yang telah dilakukan sejak 2012 yang melakukan supervisi pada pemerintah daerah, dan pelayanan publik pada beberapa kantor pertanahan dan kantor imigrasi.

Dalam kesempatan ini turut hadir pula Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, Ketua DPRD DKI Jakarta Ferrial Sofyan, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Ketua DPRD Jawa Barat Irfan Suryanegara, Wakil Gubernur Banten Rano Karno dan Ketua DPRD Banten Aeng Haerudin serta Kepala BPKP Mardiasmo.

Menurut Busyro, kegiatan Korsupgah ini didasari pada kewenangan KPK, yakni koordinasi, supervisi dan monitoring kegiatan pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah, sebagaimana amanat UU No. 30 tahun 2002, khususnya pasal 6, 7, 8 dan 14.

KPK juga melihat tata kelola pemerintah baik pusat maupun pemerintah daerah belum menunjukkan “paradigma pembangunan yang ideologis”. Maksudnya, “Terminologi ideologis merujuk atas Preambule UUD 45, khususnya Pasal 33 (ayat 3) UUD 1945, dimana kebijakan ini belum berpihak pada rakyat, padahal yang berdaulat itu rakyat,” katanya. Itulah sebab kajian dilakukan yang kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan Korsupgah.

Ruang lingkup kegiatan Korsupgah tahun 2014 antara lain akan melakukan pengamatan dan pengujian pada 129 pemerintah daerah di tingkat provinsi, ibukota provinsi, dan pemerintah kota/kabupaten. Ada sejumlah sektor yang menjadi fokus utama, karena menyangkut kepentingan nasional, yaitu sektor ketahanan pangan, pertambangan, dan pendapatan dengan penekanan pada pengelolaan Anggaran dan Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan perubahannya, menyangkut penganggaran dan pengadaan barang dan jasa serta pelaksanaan pelayanan publik di kantor pertanahan dan kantor imigrasi.

Sementara itu, menurut Mardiasmo, kegiatan Korsupgah tahun ini akan mempertajam hasil rekomendasi kegiatan sebelumnya, terutama yang menyangkut kepentingan publik, misal di sektor kesehatan, pendidikan dan pekerjaan umum. Tak hanya itu, BPKP juga akan fokus pada belanja modal, hibah dan bansos yang rentan pada tahun politik ini.

“Tahun ini kita akan memantau pengelolaan APBD terhadap potensi fraud (kecurangan), yang mungkin terjadi pada tahap perencanaan dan pelaksanaan agar Korsupgah ini lebih efektif,” katanya.

Tidak hanya pada sisi pengeluaran yang kerap jadi penyimpangan. Mardiasmo juga mengungkapkan kemungkinan terjadinya fraud dari sisi pendapatan. “Yang diterima, belum tentu masuk ke kas daerah karena tidak disetorkan,” katanya mengingatkan. Karena itu, demi mendukung kegiatan ini, Mardiasmo akan mengumpukan BPKP seluruh Indonesia guna berkoordinasi pada Senin (3/3) ini.

Melalui perjanjian kerja sama bernomor SPJ-83/10/02/2014 yang telah ditandatangani pada 19 Februari 2014, KPK dan BPKP telah bersepakat menjalin kerja sama di bidang pencegahan, penindakan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan pertukaran informasi dan data.

Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menyambut baik peluncuran kegiatan ini agar mendukung upaya pencegahan korupsi di provinsinya. “Lebih baik mencegah di hulu daripada menindak kemudian di hilir,” katanya. Karena itu, Pemprov Jabar akan berkonsultasi dengan KPK dan BPKP bila menemukan kendala dalam pengelolaan anggaran, daripada merundingkan sendiri kemudian bermasalah.

Senada dengan Gubernur Jabar, Wakil Gubernur Banten Rano Karno menyambut kegiatan ini sebagai bukti komitmen pemberantasan korupsi di wilayahnya. “Kami tidak ingin melakukan kesalahan yang kedua. Itu adalah hal yang bodoh kalau melakukan kesalahan kedua kalinya,” kata Rano.

Korsupgah sebelumnya menegaskan terdapat sejumlah temuan kritis pada sektor ketahanan pangan, pertambangan, APBD serta layanan publik. “Temuan sektor ini memiliki korelasi dan relevansi dengan road map dan renstra KPK,” kata Busyro.

KPK Ingatkan Kementerian ESDM Terkait Renegosiasi Kontrak

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah melakukan kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor mineral dan batubara (minerba) dan telah dipaparkan pada Kementerian ESDM dan pihak terkait pada Agustus 2013. Salah satu temuan, adanya celah terjadinya kerugian negara disebabkan tidak terpungutnya dengan optimal royalti 37 Kontrak Karya (KK) dan 74 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Salah satu temuannya tentang jenis tarif PNBP yang berlaku terhadap mineral dan batubara yang berlaku pada KK lebih rendah dibandingkan tarif yang berlaku pada IUP mineral. Dari temuan ini, Kementerian ESDM telah menyepakati akan melakukan renegosiasi tentang tarif royalti pada semua KK dan PKP2B disesuaikan dengan PP Tarif dan jenis tarif PNBP yang berlaku, serta menetapkan sanksi bagi KK dan PKP2B yang tidak kooperatif dalam proses renegosiasi.

Terkait hal ini, KPK telah mengirimkan surat bernomor B-402/01-15/02/2014 yang ditujukan kepada Menteri ESDM. Surat ini ditembuskan kepada presiden, dikirim pada 21 Februari 2014, agar pihak terkait segera menindaklanjuti. Proses renegosasi mencakup aspek luas wilayah pertambangan, penggunaan tenaga kerja dalam negeri, divestasi serta kewajiaban pengolahan dan pemurnian hasil tambang dalam negeri. KPK melihat proses renegosiasi kontrak ini berlarut-larut.

Padahal, dalam pasal 169 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah dinyatakan dengan tegas bahwa ketentuan yang tercantum dalam pasal KK dan PKP2B disesuaikan selambat-lambatnya 1 tahun sejak UU No. 4 Tahun 2009 diundangkan. Artinya, renegosiasi kontrak semestinya sudah selesai tanggal 12 Januari 2010.

Dengan berlarut-larutnya proses renegosiasi, berdampak tidak terpungutnya penerimaan negara, dan ini tentu saja merugikan keuangan negara. KPK memperkirakan, selisih penerimaan negara dari satu perusahaan besar (KK) saja sebesar US$ 169,06 juta per tahun.

Misalnya, PT. FI sejak tahun 1967 sampai dengan sekarang menikmati tarif royalti emas sebesar 1 persen dari harga jual per kg. Padahal, di dalam peraturan pemerintah yang berlaku, tarif royalti emas sudah meningkat menjadi 3,75 persen dari harga jual emas per kg. Dengan berlarut-larutnya penyesuaian kontrak oleh PT. FI, terjadi kerugian keuangan negara sebesar 169 juta dolar AS setiap tahun dari yang semestinya menerima 330 juta dolar AS. Kenyataannya, negara hanya menerima 161 juta dolar AS.

Hal serupa juga terjadi pada PT. VI yang tidak menyesuaikan tarif royaltinya. Akibatnya, negara mengalami kerugian pendapatan royalti sebesar 65,838 juta dolar AS setiap tahunnya. Pemerintah yang semestinya menerima 72 juta dolar AS dari royalti setiap tahun, hanya menerima 1/12 dari yang seharusnya sebesar 6,162 juta dolar AS.

Lebih jauh lagi, hasil kajian KPK juga menemukan adanya kerugian keuangan negara dari hasil audit tim Optimalisasi Penerimaan Negara (OPN), yaitu sebesar 6,7 triliun rupiah (2003-2011) akibat kurang bayar royalti, dan potensi kerugian keuangan negara dari 198 perusahaan pertambangan batubara sebesar 1,224 miliar dolar AS (2010-2012) dan dari 180 perusahaan pertambangan mineral sebesar 24,661 juta dolar AS (2011).

KPK menyayangkan, tidak ada sanksi yang tegas bagi pemegang kontrak yang enggan melakukan renegosiasi dan penyesuaian tarif royalti. Sebagai upaya di bidang pencegahan, KPK mengingatkan pemerintah agar mengambil langkah tegas termasuk dalam pemberian sanksi. Karena pembiaran proses renegosiasi kontrak ini, berujung pada kerugian keuangan negara.

Wednesday, February 12, 2014

KPK: BPJS Rawan Terjadi Korupsi

Jakarta, 11 Februari 2014. Hari ini, Selasa (11/2) KPK memaparkan hasil kajian mengenai Sistem Jaminan Kesehatan Nasional di Gedung KPK Jakarta. Acara ini dihadiri oleh Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Pradja dan Zulkarnain, Wakil Menteri Kesehatan Ali Ghufron Mukti, Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fahmi Idris, Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Firdaus Djaelani, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Andin Hadiyanto dan Direktur Keuangan BPJS Kesehatan Riduan.
Kajian yang dilakukan pada Agustus-Desember 2013 ini dilakukan dengan metode prospective analysis. Hasilnya, KPK menemukan potensi masalah dalam pelaksanaan BPJS, yakni pertama, adanya konflik kepentingan dalam penyusunan anggaran dan rangkap jabatan. Penyusunan anggaran BPJS disusun Direksi BPJS dan disetujui Dewan Pengawas tanpa ada keterlibatan pemerintah dan pihak eksternal.

Sedangkan anggaran Dewan Pengawas berasal dari anggaran BPJS juga. Karena itu, KPK merekomendasikan untuk merevisi UU 24/2011 untuk melibatkan pihak eksternal dalam persetujuan dan pengelolaan dana operasional BPJS. Selain itu, KPK juga meminta Pemerintah segera mengangkat Dewan Pengawas dan Direksi BPJS yang bersedia untuk tidak rangkap jabatan.

Kedua, perihal adanya potensi kecurangan (fraud) dalam pelayanan. Rumah sakit berpotensi menaikkan klasifikasi atau diagnosis penyakit dari yang seharusnya (upcoding) dan atau memecah tagihan untuk memperbesar nilai penggantian (unbundling). Ini dimaksudkan untuk mendapatkan klaim lebih besar dari yang seharusnya dibayarkan BPJS.

Atas temuan ini, KPK mengimbau agar pelaksanaan program dilaksanakan dengan prinsip clean and good governance serta berhati-hati dalam pengelolaan anggaran agar mengedepankan kemanfaatan yang besar bagi masyarakat.

Ketiga, terkait pengawasan yang masih lemah. Pengawasan internal tidak mengantisipasi melonjaknya jumlah peserta BPJS yang dikelola, dari 20 juta (dulu dikelola PT Askes), hingga lebih dari 111 juta peserta. Padahal, perubahan ruang lingkup perlu diiringi dengan perubahan sistem dan pola pengawasan agar tidak terjadi korupsi. Sedangkan pengawasan eksternal, KPK melihat adanya ketidakjelasan area pengawasan. Saat ini, ada tiga lembaga yang mengawasi BPJS, yakni DJSN, OJK dan BPK. Namun substansi pengawasannya belum jelas.

Rekomendasi KPK menunjukkan bahwa pengawasan publik juga diperlukan. Karena itu, KPK meminta agar CSO dan akademisi dilibatkan dalam pengawasan JKN. Sistem teknologi informasi juga perlu diperkuat. Atas temuan potensi korupsi, Direktur Utama BPJS Fahmi Idris menyatakan siap bekerja sama lebih jauh dengan KPK, termasuk sosialisasi potensi korupsi kepada seluruh jajarannya. Peran pencegahan itu, juga harus diperkuat dengan pengawasan. Karena itu, ia setuju bila ada usulan revisi UU No. 24/2011 tentang BPJS agar ada kejelasan peran pengawas eksternal secara substansi. “Kami memang memerlukan pengawas pihak ketiga agar jangan sampai ada masalah di kemudian hari.”

Namun begitu, ia juga menekankan bahwa sebagai lembaga baru, BPJS memiliki sistem baru. Karena itu butuh sosialisasi dan penyadaran kepada pihak terkait, termasuk Puskesmas dan rumah sakit yang memberikan layanan kepada masyarakat. “Jangan ada yang coba-coba merekayasa diagnosis utama dan tambahan untuk mendapatkan klaim yang lebih besar. Kita harus kawal bersama.”

Dewan Komisioner OJK, Firdaus Djaelani menyatakan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dan menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan DJSN mengenai pengawasan eksternal pada 24
Desember 2013. “Kami telah berbagi peran koordinasi dan pengawasan,” kata Firdaus.

Ruang lingkup pengawasan OJK meliputi kesehatan keuangan, penerapan tata kelola yang baik, pengelolaan dan kinerja investasi, penerapan manajemen risiko, pendeteksian dan penyelesaian
kejahatan keuangan (fraud), evaluasi aset dan liabilitas, kepatuhan pada ketentuan perundang-undangan, keterbukaan informasi kepada masyarakat (public disclosure), perlindungan konsumen, rasio kolektibilitas iuran, monitoring dampak sistemik, dan aspek lain yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenang OJK berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan DJSN melakukan monev pada perkembangan pencapaian tingkat kepesertaan, kelayakan manfaat, efektivitas penarikan dan kecukupan iuran, implementasi kebijakan investasi, kesehatan keuangan, kesepadanan aset dan liabilitas, informasi kepada masyarakat (public disclosure), realisasi rencana kerja dan anggarannya, dan aspek lain yang merupakan fungsi, tugas, dan wewenang DJSN berdasarkan peraturan perundang-undangan.

“Kami juga tekankan pada seluruh stakeholder untuk menjadi whistle blower. Kami menerima pengaduan dari manapun,” tegas Firdaus.

Dengan aset sekitar 10 triliun rupiah, diperkirakan BPJS akan mengelola dana jaminan sosial mencapai 38-40 triliun rupiah per tahun yang berasal dari dana iuran mandiri peserta, modal awal APBN sebesar 500 miliar rupiah dan bantuan pemerintah sebesar lebih dari 19 triliun rupiah.

Karena mengelola anggaran besar, penting bagi KPK untuk mengingatkan di masa awal BPJS beroperasi, agar berhati-hati dalam pelaksanaannya sehingga tidak terjebak dalam tindak pidana korupsi. Sebab, hasil kajian KPK telah menemukan celah potensi yang harus diwaspadai. Ini menjadi begitu penting, mengingat bidang kesehatan merupakan salah satu national interest dalam renstra KPK 2011-2015 dan menjalankan amanat Pasal 14 Undang Undang 30 tahun 2002 tentang KPK.

Thursday, January 23, 2014

LPSK Tindaklanjuti Permohonan Perlindungan LR

Jakarta-Merasa mengalami ancaman pembunuhan hingga penyekapan, LR, korban perkosaan yang diduga dilakukan Bupati Bengkulu Selatan EA, mengajukan permohonan perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Senin (20/01). Wakil Ketua LPSK Penanggung Jawab Unit Penerimaan Permohonan, Edwin Partogi, mengatakan pihaknya saat ini tengah melakukan telaah atas permohonan perlindungan yang diajukan LR."LR tadi siang telah mengajukan permohonan perlindungan dan saat ini tim LPSK segera melakukan telaah atas permohonan tersebut," kata Edwin.

Lebih lanjut, Edwin mengatakan telaah tersebut dimaksudkan untuk menilai syarat kelengkapan formil dan materiil permohonan perlindungan. "Syarat formil dan materiil ini mengacu pada ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 dan Peraturan LPSK Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pelayanan Permohonan Perlindungan kepada LPSK," ungkap Edwin.

Selain itu, Edwin menilai kasus ini perlu mendapatkan perhatian serius. Hal ini mengingat kasus ini diduga melibatkan penguasa dan korban, termasuk kelompok rentan yang perlu pendapatkan penanganan khusus.

"Korban mengajukan permohonan perlindungan fisik karena mengalami ancaman serius dan telah terjadi penyekapan. Selain itu, korban mengajukan permohonan pemenuhan hak prosedural karena laporan korban cenderung tidak ditindaklanjuti aparat penegak hukum terkait," ungkap Edwin.

Kendati demikian, Edwin mengatakan prosedur penelaahan perlu tetap dilakukan agar LPSK mendapatkan penilaian yang objektif dan perlindungan yang diberikan kelak dapat dipertanggungjawabkan. "LPSK dapat memberikan perlindungan darurat sementara apabila terjadi peningkatan fluktuasi ancaman terhadap korban, meski permohonan perlindungan masih dalam tahap penelaahan," pungkas Edwin.


LPSK Lindungi TKI Korban Penganiayaan di Hongkong

Jakarta-Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) segera berikan perlindungan kepada Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Sragen, Erwiana, korban penganiayaan majikan di Hongkong. LPSK saat ini sedang menyiapkan bantuan layanan hak prosedural dan bantuan medis-psiokologis kepada Erwiana.

“LPSK akan segera berikan bantuan kepada Erwiana,” ungkap Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu, SH. “Namun sebelumnya Erwiana harus mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK. Untuk ini LPSK yang akan langsung menemui Erwiana, mengingat kondisinya yang belum pulih,” tambah Edwin.

Saat ini Tim Satgas IV Unit Penerimaan Permohonan LPSK berada di Sragen untuk melakukan penelahaahan dan penanganan mendesak. Rencananya Kamis, 23 Januari 2014 LPSK akan memberi layanan darurat di Sragen.

Sesuai mandat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK mempunyai wewenang untuk memberikan bantuan kepada saksi dan korban tindak pidana serius. “LPSK akan memberikan bantuan kepada Erwiana sesuai dengan hak-hak saksi dan korban yang tertera pada Bab II Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Tentang Perlindungan dan Hak Saksi dan Korban,” jelas Edwin.

Erwiana bekerja di Hongkong sejak Mei 2013. Selama delapan bulan bekerja, Erwiana dieksploitasi majiikannya. Dia tidak mendapat perlakuan layak. Sehari-hari ia kekurangan makan karena hanya diberi nasi dan lauk seadanya di pagi hari. Selebihnya Erwiana hanya diberi beberapa potong roti. Selain itu Erwiana terus dipaksa bekerja hingga kurang tidur. Tempat tidurnya pun tidak layak, hanya sebuah gudang penyimpanan barang.

Erwiana sudah dipulangkan oleh majikannya sejak 10 Januari 2014 silam. Sekarang, dia sedang menjalani masa pemulihan. Kepolisian Hongkong mendatangi Erwiana terkait laporan dugaan penganiayaan oleh majikannya.

Tetapkan 4 Anggota Panel Ahli, KY Tunggu 3 Anggota Lainnya

Jakarta-Komisi Yudisial sudah menerima usulan Calon Anggota Panel Ahli dari masyarakat. Hasilnya KY menerima 16 usulan calon yang terdiri dari 1 orang dari Mantan Hakim Konstitusi, 4 orang dari unsur tokoh masyarakat, 7 orang dari unsur akademisi dan 4 orang dari unsur praktisi.

Menurut Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi Komisi Yudisial Imam Anshari Saleh pihaknya setelah melakukan rapat pleno yang diikuti oleh Lima Anggota Komisi Yudisial, pihaknya memutusukan memilih empat orang anggota panel Ahli. Keempat orang itu adalah mewakili dari Unsur Mantan Hakim Konstitusi KY memilih Mantan Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, mewakili dari tokoh masyarakat Ahmad Syafi'i Maarif, dari akademisi pihaknya memilih Achmad Zen Umar Purba dan dari unsur praktisi KY memilih Todung Mulya Lubis.

"Saya didampingi Pak Sekjen beserta Kabiro Pusat KY Ingin menyampaikan hasil pleno untuk menetapkan 4 calon anggota panel ahli. ," kata Imam dalam konferensi pers di Gedung KY, Jakarta Rabu (22/1/2014)

Keempat anggota panel ahli tersebut lanjut Imam akan dilengkapi 3 calon panel ahli dari tiga lembaga pengusul yaitu Presiden, MA dan DPR.Dia menambahkan dalam waktu dekat ketiga lembaga tersebut akan mengirimkan calon-nya ke KY. Sehingga dia berharap jika pada awal Februari 2014 nanti Panel Ahli sudah terbentuk. Lebih lanjut dia menjelaskan jika keempat anggota panel ahli yang dipilih KY tersebut sudah mengkonfirmasi kesediaannya.

"Empat ini akan dilengkapi. Dari MA, Presiden, dan DPR. Semoga dalam waktu dekat terbentuk sehingga bisa melakukan seleksi hakim MK. Dari keempat ini sudah menyatakan kesediannya," imbuhnya

Namun ketika ditanya siapa saja nama calon anggota panel ahli dari ketiga lembaga tersebut, Imam engggan menjelaskannya. Wakil Ketua KY Priode 2010-2013 tersebut meminta agar menunggu pengumuman resmi dari ketiga lembaga tersebut. Terkait rekam jeka Todung Mulya Lubis yang mempunyau catatan, Imam menegaskan jika catatan tersebut bukan catatan hitam sehingga tidak terlalu mengganggu.

"Catatan, itu bukan berkaitan dengan catatan hitam advokat. Soal nama anggota panel dari ketiga lembaga, kita menunggu resmi dari mereka," tandasnya

Thursday, December 12, 2013

Bantuan Hukum Gratis Bagi Saksi dan Korban Kejahatan


Jakarta- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) melakukan penandatanganan nota kesepahaman pada hari (10/01) di Hotel Cempaka Jakarta Pusat. Penandatangan nota kesepahaman tersebut dimaksudkan untuk memberikan bantuan hukum gratis kepada saksi dan korban kejahatan yang sudah disebutkan di dalam Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai mengatakan,jalinan kerjasama antara LPSK dan PERADI sangat penting untuk mengoptimalkan pemenuhan saksi dan korban kejahatan."Dalam beberapa kasus,saksi dan korban kejahatan sangat memerlukan peran advokat,terutama dalam hal nasehat hukum" ungkap Ketua LPSK.

Selain itu Ketua LPSK mengatakan, saksi dan korban yang berpeluang menjadi tersangka seringkali kebingungan mencari advokat yang dapat mendampinginya dalam posisi sebagai tersangka/terdakwa."Peran LPSK jelas terbatas, hanya mendampingi saat saksi dan korban diperiksa sebagai saksi, tetapi saat diperiksa sebagai tersangka, itu sudah menjadi ranah advokat, tapi tak sedikit saksi dan korban yang tak memiliki advokat,terutama saksi dan korban miskin" ujar Ketua LPSK.

Menggandeng organisasi advokat seperti PERADI, menurut Ketua LPSK sebagai langkah yang tepat."LPSK tentu harus memiliki mitra yang kredibilitasnya baik dalam memperjuangkan hak saksi dan korban kejahatan. Untuk itulah kami memilih organisasi advokat seperti PERADI yang dinilai selama ini konsisten memberikan bantuan hukum terhadap orang miskin" ungkap Ketua LPSK.

Menrut Ketua LPSK mengatakan, misi LPSK kali ini telah berbanding lurus dengan jumlah permohonan perlindungan yang masuk ke LPSK sepanjang Januari-November 2013." Sepanjang Januari-November 2013, LPSK telah menerima 1543 permohonan.20 orang pemohon berstatus saksi, 1471 orang pemohon berstatus korban, 30 orang pemohon berstatus pelapor, 17 orang pemohon berstatus tersangka, 4 orang pemohon berstatus terdakwa dan 1 orang pemohon berstatus terpidana" ungkap Ketua LPSK.

Lebih lanjut, Ketua LPSK mengatakan, dari 1543 permohonan tersebut, selama kurun waktu Januari-September 2013, LPSK telah memberikan pelayanan kepada 1039 saksi dan korban."114 orang mendapatkan layanan fisik, 416 orang mendapatkan layanan bantuan medis, 309 orang mendapatkan layanan bantuan psikologis, 25 orang mendapatkan layanan Restitusi dan 175 orang mendapatkan layanan pemenuhan hak prosedural dan/atau perlindungan hukum" ungkap Ketua LPSK.

Masih kata Haris bantuan advokat juga sangat signifikan dalam penanganan korban kejahatan."Meski Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah diundangkan selama 7 tahun, namun masih banyak korban yang tidak tau hak nya mendapatkan restitusi atau kompensasi (ganti rugi) terhadap penderitaan atas kejahatan yang dialaminya. Dengan adanya MOU ini, diharapkan, para advokat dapat memsosialisasikannya kepada para klien yang merupakan korban kejahatan dan membuat mereka aware terhadap hak nya untuk memperoleh restitusi atau kompensasi" kata Ketua LPSK.

Kedepan, Haris berharap peran organisasi pendamping dan advokat menjadi bagian dari supervisi perlindungan saksi dan korban,terutama dalam kasus tindak pidana yang bukan kategori kejahatan terorganisir, serta penanganan saksi dan korban di daerah." PERADI memilki jaringan yang sangat luas hingga ke daerah dan jumlah anggota yang sangat signifikan, diharapkan kedepan peran advokatnya menjadi mitra LPSK dalam penanganan saksi dan korban" pungkasnya





Monday, December 02, 2013

LPSK: Aksi Dokter Abaikan Hak Korban

(Jakarta, 28 November 2013) Aksi mogok dokter kemarin (27/11) menunjukan bahwa dokter tidak menghormati proses penegakan hukum. Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai menilai, tindakan para dokter untuk mendukung rekan sejawatnya, dr.Dewa Ayu justru mengabaikan penderitaan yang dialami korban Julia Fransiska Makatey yang meninggal saat operasi caesar."Putusan kasasi mahkamah agung telah memperoleh kekuatan hukum tetap,sehingga setiap orang termasuk dokter harus menghormati putusan hakim dan memperhatikan hak korban" ungkap Ketua LPSK.

Lebih lanjut, Ketua LPSK mengatakan hak korban, selain memiliki hak keadilan untuk menempuh proses hukum, juga berhak mendapatkan ganti rugi akibat suatu penderitaan dan kerugian yang dialaminya akibat suatu tindak pidana."Selama ini posisi pasien sebagai korban tidak imbang. Seringkali pasien diperlakukan tidak adil, karena setiap tindakan dokter dianggap sebagai pembenaran medis,sehingga penderitaan korban dianggap sebagai resiko medis. Hal ini justru membuat pasien terabaikan hak-hak nya sebagai korban akibat tindakan pelanggaran atau pengabaian yang dilakukan dokter" ujar Ketua LPSK.

Lebih lanjut, Ketua LPSK mengatatakan bahwa dokter bukan manusia istimewa yang harus diperlakukan berbeda dengan manusia lain."Setiap orang termasuk dokter harus dapat dimintai pertanggungjawaban pidana bila melakukan tindakan yang masuk kategori pidana atau kesalahan yang dilakukan" tutur Ketua LPSK

Selain itu, Ketua LPSK mengingatkan bunyi kode etik dokter pada Pasal 1 yang menyatakan setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter, Pasal 3 yang menyatakan dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi dan Pasal 4 yang menyatakan setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri." tindakan aksi solidaritas dan membenarkan tindakan pidana yang dilakukan rekan sejawat ini menunjukan dokter tidak independen dan mempertontonkan kesombongan profesi kedokteran" tegas Ketua LPSK.

Kendati demikian,Ketua LPSK mengatakan, pihaknya mendorong keluarga korban dapat mengajukan restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana." Sesuai ketentuan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban menyatakan pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekeuatan hukum tetap, untuk itu pihak keluarga korban dapat segera mengajukan permohonan restitusi" ungkap Ketua LPSK.

Selain itu Ketua LPSK meminta agar Mahkamah Agung tetap independen dalam menyikapi pengajuan upaya hukum peninjauan kembali oleh dr.dewa ayu."Putusan peninjauan kembali nanti harus dibuat tidak boleh didasarkan adanya tekanan dari pihak manapun" ungkap Ketua LPSK.

Friday, November 22, 2013

Kriminalkan Masyarakat Karena Memungut Hasil Hutan, Bukti Kesewenang-wenangan Penegak Hukum

Nahrudin bin Sahuri (54), warga Desa Sepanjang, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, dituntut hukuman penjara 8 bulan serta denda Rp 652.000,- oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), dalam sidang lanjutan kasus pencurian kayu milik Perhutani, di Pengadilan Negeri (PN) Sumenep, Senin (www.kompas.com, 18/11/2013). Berdasarkan pemberitaan tersebut, kasus ini bermula ketika pada 6 Agustus 2013, Nahrudin membersihkan ranting pohon jati milik Perhutani, setelah pohon jati ditebang dan ditanami bibit baru. Sisa-sisa hasil tebangan itu, kayu jati berukuran 110 x 19 cm (kurang lebih 1 m) dibawa Nahrudin untuk memperbaiki pintu rumahnya yang rusak. Namun malang, saat membawa kayu menuju rumah, terdakwa berpapasan dengan Polisi Hutan (Polhut), dan ditangkap atas tuduhan mencuri kayu milik Perhutani.

Melihat kasus di atas, menyentak rasa keadilan kita. Mengingat berdasarkan data BPS dan Kementerian Kehutanan tahun 2009 ada 9.103 desa yang berada dalam kawasan hutan, dimana masyarakat yang berada dalam kawasan hutan tersebut bergantung kepada hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Berdasarkan hal itu, dapat dibayangkan berapa banyak masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan itu nantinya yang akan dihukum karena dituduh membawa atau mengambil hasil hutan tanpa izin. Bahkan untuk saat ini sudah banyak masyarakat yang dikriminalisasi dengan tuduhan mencuri kayu, atau mencuri hasil perkebunan perusahaan.


ELSAM, SILVAGAMA, WALHI dan PIL-Net menyatakan bahwa penerapan pasal pidana mengambil hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan keterangan sah hasil hutan dan proses hukum terhadap Nahrudin dapat merupakan tindakan ceroboh dan cermin kesewenang-wenangan aparatur negara.

Setidaknya ada 3 (tiga) alasan kenapa proses hukum tersebut salah kaprah. Pertama, hukum merupakan ruang publik bagi masyarakat sekitar hutan, hal ini dijamin oleh UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Aparat penegak hukum, khususnya Penuntut Umum sebaiknya melihat Pasal 68 UU Kehutanan, negara bahkan wajib memberikan kompensasi apabila hak masyarakat untuk mengakses hasil hutan terlanggar akibat pengukuhan kawasan hutan.

Kedua, seharusnya Penuntut Umum lebih jeli lagi melihat bahwa hutan Perhutani sendiri belum tentu melalui tahapan pengukuhan yang tuntas. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 sudah menjelaskan bahwa penentuan kawasan hutan selama ini berjalan otoriter, sehingga seharusnya hal ini menjadi bahan pertimbangan bagi para penegak hukum. Ketiga, bahwa kebijakan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) merupakan kebijakan administratif dan bisa dikesampingkan oleh kebijakan administratif lainnya. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.47/Menhut-II/2013 telah terang bahwa masyarakat berhak atas hasil hutan kayu tidak lebih dari 20 meter kubik, untuk kebutuhan individu. Oleh karenanya, ketentuan yang lebih menguntungkan terdakwa dalam hal ini Nahrudin diberlakukan.

Kasus ini merupakan bentuk ketidakadilan yang marak dipertontonkan kepada khalayak. Dalam melihat kasus ini hakim harus jeli, jangan hanya terpatok kepada norma undang-undang belaka. Hakim justru wajib menggali nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Keterangan sah hasil hutan pada dasarnya hanyalah keterangan untuk menjelaskan status kayu yang dikuasai. Dalam konteks kasus Nahrudin, sebaiknya jika sudah mendapat izin dari mandor Perhutani sendiri, seharusnya itu sudah cukup.

Lebih jauh, sewajarnya Polhut melakukan proses hukum atas kegiatan usaha illegal yang skala besar yang jelas-jelas tidak hanya menimbulkan kerusakan hutan tetapi juga merugikan negara. Kami juga menilai banyak sekali kelemahan dari ketentuan pidana yang diatur dalam UU Kehutanan, termasuk yang telah digantikan dengan UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Oleh karenanya, dalam jangka waktu dekat, kami akan mengajukan pengujian konstitusionalitas atas kedua undang-undang yang menyengsarakan rakyat tersebut.

PSHK Desak DPR Fokus Selesaikan Prolegnas 2013


Jakarta-Masa bakti anggota DPR periode 2009-2014 tersisa kurang dari satu tahun. Banyak Anggota DPR juga semakin sibuk dengan agenda persiapan Pemilu 2014. Apalagi hampir seluruh anggota DPR sekarang kembali mencalonkan diri. Dalam bidang legislasi, target Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2013 hampir pasti tidak bisa tercapai.

Target 76 RUU dalam Prolegnas 2013 sangat jauh dari realisasi. Sampai penutupan Masa Sidang I Tahun Sidang 2013-2014, hanya ada 15 RUU yang sudah disahkan, yang terdiri dari 6 RUU non kumulatif terbuka dan 9 RUU kumulatif terbuka (APBN, pemekaran wilayah, dan pengesahan konvensi). Sedangkan masa sidang sekarang, DPR dan Pemerintah sedang membahas 33 RUU pada tahap pembicaraan tingkat I. Dua diantaranya baru masuk sebagai usul inisiatif DPR, yaitu RUU Kesehatan Jiwa dan RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (RUU MD3). Sedangkan 27 RUU lainnya masih dalam tahap persiapan.

Melihat kondisi yang ada, mustahil DPR dan Pemerintah mampu menyelesaikan target Prolegnas, apalagi dalam rentang waktu yang sangat singkat. Proyeksi ini bahkan disertai dengan kekhawatiran akan kualitas undang-undang yang dihasilkan.

Pada bidang politik dan hukum, ada sejumlah RUU dengan materi muatan yang cukup banyak dan kompleks. RUU dimaksud adalah RUU MD3, RUU KUHP, RUU KUHAP, dan RUU Pemilukada.

Khusus RUU MD3, sangat erat materi muatannya dengan kepentingan partai politik dalam kelembagaan DPR. Salah satunya adalah materi pembahasan tentang keberadaan fraksi di DPR. Ketentuan mengenai fraksi seharusnya menjadi salah satu sasaran revisi UU MD3, terutama mengenai dasar pembentukannya. Penentuan mengenai syarat atau kriteria pembentukan dan peran fraksi harus diputuskan sebelum Pemilu 2014 dilaksanakan. Hal ini penting untuk menjaga objektifitas dari para pembentuk undang-undang. Apabila ketentuan itu dibahas setelah diketahui hasil Pemilu 2014 dan juga jumlah kursi yang diperoleh, maka ada potensi subyektivitas dalam pembahasan dan mengarah kepada bagi-bagi kekuasaan berdasarkan konfigurasi kekuatan partai politik di internal DPR. Oleh karena itu, pembahasan RUU MD3 harus dilakukan dengan disiplin dan fokus, serta menggunakan skala prioritas terhadap materi muatan tertentu.

PSHK memandang bahwa langkah yang paling tepat untuk dilakukan oleh DPR sekarang adalah memprioritaskan RUU yang sudah masuk dalam tahap pembicaraan tingkat I dan menghentikan pembahasan RUU yang masih dalam tahap persiapan. Selain itu, DPR dan Pemerintah juga berkesempatan untuk menarik RUU yang diprioritaskan dalam Prolegnas. Preseden penghentian pembahasan dalam tahap persiapan pernah terjadi pada RUU Pilpres dan RUU KPK, sedangkan yang ditarik dari Prolegnas juga sudah dilakukan terhadap RUU Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.

LPSK Bantu Pulihkan Psikologis Korban Pencabulan di Palu


Jakarta-Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) beri layanan psikologis terhadap GC, korban pencabulan hari ini di Palu Sulawesi Tengah."Pelayanan psikologis terhadap korban atas nama GC ini merupakan tindak lanjut dari keputusan paripurna tanggal 4 oktober 2013 lalu" ungkap Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai.

Lebih lanjut, Ketua LPSK mengatakan bentuk perlindungan yang diberikan kepad GC selaku korban, diberikan dalam bentuk pemulihan psikologis dan pemenuhan hak prosedural."Hari ini tim LPSK bertemu korban untuk penandatanganan perjanjian dan melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum terkait" ungkap Ketua LPSK.

Seperti diketahui, GC merupakan korban pencabulan yang dilakukan ayah kandungnya EC, akibat tindakan tersebut GC mengalami trauma dan tekanan psikologis sebagai saksi dan korban."GC merupakan anak korban yang masih dibawah umur,sehingga perlu mendapatkan perlindungan dan bantuan untuk masa depannya kelak" ungkap ketua LPSK.

Adapun Tim LPSK yang saat ini berada di Palu mendampingi korban,di pimpin oleh wakil ketua LPSK Hasto Atmojo serta beberapa staf LPSK."Majelis Hakim telah memutuskan EC terbukti bersalah dan mendapat hukuman pidana penjara 9 tahun, lebih ringan dari tuntutan jaksa 12 tahun" ungkap Maharani Siti Shopia, Humas LPSK.

Tuesday, November 19, 2013

Panja OS BUMN: Dahlan Iskan Akhirnya Keluarkan Intruksi

Jakarta- Panja Outsourcing dan Tenaga Kerja BUMN Komisi IX DPR RI menyambut baik keputusan Menteri BUMN Dahlan Iskan membuat surat intruksi/edaran untuk seluruh Direksi BUMN paling lambat 22 November 2013.

“Pak Dahlan Iskan akhirnya sepakat keluarkan surat intruksi/edaran paling lambat 22 November 2013 sebagai dasar pelaksanaan rekomendasi Panja Outsourcing dan Tenaga Kerja BUMN Komisi IX DPR RI oleh seluruh Direksi BUMN dan akan dibentuk Tim khusus untuk memantau pelaksanannya,” kata anggota Panja OS dan Naker BUMN Poempida Hidayatulloh di Gedung DPR, Senin (18/11/2013


Poempida menegaskan, bukan berarti pengawasan panja Komisi IX DPR RI akan menjadi kendur dengan akan dikeluarkannya surat intruksi/edaran oleh Meneg BUMN ke seluruh Direksi BUMN.
“Saya ingin tetap melihat rekomendasi Panja OS dan Naker BUMN ini terimplimentasikan dengan baik,” tegasnya

Sementara itu Koordinator Geber BUMN, Ais merespon sangat antusias terhadap keputusan Meneg BUMN dengan harapan tinggi. “Tentu saja isinya bisa sesuai dengan hasil kesepakatan dalam pertemuan perwakilan Geber BUMN dengan Pak Dahlan Iskan pada 14 November lalu,” ujar Ais


Ais memaparkan, isi kesapakatan kedua belah pihak, yakni: (1) Meneg BUMN beserta seluruh Direksi BUMN bersedia melaksanakan seluruh butir yang direkomendasikan oleh Panja OS dan Naker BUMN Komisi IX DPR RI. (2) Meneg BUMN sepakat juga untuk membentuk tim khusus yang melibatkan unsur Kemeneg BUMN, Geber BUMN dan masing-masing perusahaan BUMN guna menyelesaikan secara teknis masalah ketenagakerjaan yang ada di perusahaan BUMN.

Menurut Ais pihaknya akan sangat penuh respek tinggi jika saja Pak Dahlan Iskan bisa memenuhi ucapan dan janjinya. Dan beliau bisa mendapatkan amal ibadah yang sangat besar dan bukan tidak mungkin pula keridhoan-Nya bisa mengabulkan keinginannya menjadi presiden.

“Bisa jadi, nantinya Pak Dahlan Iskan menjadi Tokoh Pembebasan bagi pekerja outsourcing karena sudah diangkat menjadi pekerja tetap di perusahaan BUMN. Pekerja outsourcing terbebas dari praktek perbudakan gaya baru di era modern ini,” tuntas Ais

Monday, November 18, 2013

Terbukti Gunakan Narkoba, Hakim PN Binjai Dipecat

Jakarta-Hakim Pengadilan Negeri Binjai Sumatra Utara Raja Mardani Gonggong Lumbun Tobing diberikan sanksi disiplin berat berupa pemberhentian tetap dengan hormat dalam sidang etik Majelis Kehormatan Hakim yang digelar terbuka di Gedung Mahkamah Agung pada hari Rabu (6/11). Hakim Raja diberhentikan lantaran terbukti melakukan pelanggaran kode etik pedoman perilaku hakim dalam Surat Keputusan Bersama Mahakamh Agung dan Komisi Yudisial tahun 2009. "Memutuskan menjatuhkan sanksi disiplin berat berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun," kata ketua Majelis Hakim yang juga Ketua Bidang Pengawasan Hakim KY Eman Suparman, dalam persidangan etik di Gedung MA, Jakarta Duduk selaku anggota majelis sidang MKH Ketua Bidang SDM dan Litbang Jaja Ahmad Jayus, Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim KY, Ibrahim dan Wakil Ketua KY Abbas Said serta dari unsur Mahkamah Agung, Hakim Agung Yulius dan Hakim Agung Sofyan Sitompul, dan Hakim Agung Djafni Djamal. MKH dalam pertimbangannya menyebutkan alasan pemecatan terhadap Hakim Raja, yaitu Hakim terlapor terbukti menggunakan narkoba yang dibuktikan dengan hasil tes urin dari Badan Narkotika Nasional ditambah dengan pengakuan Hakim Raja. Selain itu Hakim Raja terbukti kedapatan bertandang ke rumah keluarga terdakwa padahal mengetahui jika paman terdakwa adalah seorang makelar kasus. "Hakikm terlapor terbukti menggunakan narkoba jenis sabu dan ganja, menggunakan narkoba sebelum dan sesuadah menjadi hakim, serta ke rumah terdakwa dengan mobil terlapor," kata Ketua KY Priode 2010 2013 tersebut Masih kata Eman yang membacakan pertimbangan MKH yang memutuskan lebih ringan dari rekomendasi KY yaitu pemberhentian dengan tidak hormat, lantaran Hakim Raja mengakui perbuatannya dan menyesal dan bertobat dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Selain itu hal-hal yang meringankan lainnya adalah karena Hakim Raja saat ini masih menjadi tulang punggung keluarganya. "Hal-hal yang meringankan Terlapor mengaku khilaf. Menyesal dan bertobat dan berjanji tidak akan melakukan kembali perbuatannya. Hakim terlapor juga masih menjadi tulang punggu keluarga," pungkas Eman.