Reviews Buku

Wednesday, December 17, 2008

Meninjau Ulang Tafsir terhadap Perempuan

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Menimbang Tafsir Perempuan terhadap Al-Quran
Pengarang : Nelly Van Doorn-Harder
Penerbit : Pustaka Pelajar-Pustaka Percik, Yogyakarta
Cetakan : I, Mei 2008
Tebal : xvi + 54 halaman.

Sudah banyak buku yang membicarakan feminisme sebagai topik kajian, namun buku yang diangkat dari pidato ini terasa lebih menarik karena penulisnya walaupun orang Belanda, berbicara banyak mengenai dunia feminisme secara khusus dan Islam pada umunya. Oleh karena itu alangkah baiknya bagi kalangan yang mengaku sebagai aktivis feminisme untuk membaca buku yang menurut Siti Musdah Mulia sebagai buku yang unik ini.
Wacana tafsir perempuan yang diangkat oleh penulisnya ini menarik disimak mengingat seorang sufi terkemuka, Ibn Arabi pernah berkata, untuk menjadi sufi sejati seorang harus menjadi perempuan terlebih dahulu. Mengapa? Karena menurutnya, Tuhan memiliki seratus sifat yang terbagi menjadi sifat Jalaliah yang identik dengan sifat maskulin dan sifat Jamaliah yang identik dengan sifat feminim. Uniknya sifat Jamaliah Tuhan ternyata lebih dominan, bahkan jumlahnya lima kali lipat dibanding sifat Jalaliah-Nya. Itu artinya sifat Tuhan sendiri lebih cenderung kearah feminim.
Namun pertanyaanya, kenapa di banyak negara, khususnya negara Islam nasib perempuan justru dinomorduakan? Pertanyaan yang cukup menggigit itu tentu tidak lah mudah untuk dijawab. Selain harus berhadapan dengan tradisi yang sudah sangat dipegang erat oleh masyarakat, upaya pembaharuan juga terkendala oleh orang-orang yang mengaku punya otoritas untuk memahami Islam, kelompok ini populer disebut Islam Fundamentalis.
Selain itu banyaknya tafsir agama yang bias gender menyebabkan banyak sekali teks-teks agama yang ditafsirkan secara misoginis, menaruh kebencian pada kaum perempuan, bukan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Ini tentu berakibat buruk terhadap perlakuan terhadap perempuan.
Kitab Suci yang menyatakan setiap umat manusia setara di hadapan Tuhan kecuali keimanan seringkali dipelintir dengan dalil lainnya tatkala perempuan akan menjadi pemimpin, dengan mengatakan jika meletakkan kepemimpinan pada perempuan maka tunggulah kehancurannya!

Dalam perjalanan waktu ada sebagian kaum perempuan menyadari akan tafsiran yang misoginis itu. Kondisi ini diteruskan sampai abad keduapuluh sebelum kaum perempuan bisa menuntut gagasannya sebagai tiitk tolak dalam menafsirkan al-Quran. Hal ini disebabkan oleh pergeseran peta sosial, budaya dan pendidikan di banyak negara Islam.
Perkembangan ini tidak hanya ada konsekuensi bagi kedudukan kaum perempuan dalam Islam, tetapi juga hak anak-anak dan kelompok-kelompok minoritas akan dipengaruhi oleh pikiran baru tersebut. Para penafsir perempuan, mencari hak-hak dan kebebasan bagi semua orang, maka usaha mereka penting bagi kelompok-kelompok di negara-negara Islam yang memperjuangkan demokrasi dan menghargai HAM.
Mereka yang ingin menafsirkan kembali teks kitab suci juga mementingkan perubahan masyarakat. Untuk membentuk dan memasuki gagasan-gagasan baru ini akan membutuhkan waktu sekurang-kurangnya empat puluh tahun. Mereka ingin menelurkan ulama perempuan sebanyak mungkin dan mereka menganggap bahwa kurikulum pendidikan agama harus diperbarui demi penyebaran pandangan mereka. Karena tidak semua anak masuk sekolah, maka mereka memakai media dan mencari metode-metode yang kreatif serta humoristis sehingga teori-teori mereka dialihkan ke aksi-aksi dan diperkenalkan ke masyarakat umum. Suatu aspek penting dari usaha ini adalah menggerakkan interaksi anatara tafsiran al-Quran yang humanis dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. (Hal 5)
Kenyataannya, penafsir ayat-ayat kitab Suci adalah didominasi oleh kaum laki-laki dan makin lama sejarah berkembang makin jelas bahwa kaum perempuan tidak boleh menduduki jabatan agamawi dengan mengacu kepada mitos dan dongeng mengenai sifat dan disposisi kaum perempuan. Baik dalam agama Yahudi maupun Kristen, teolog-teolog feminis membongkar mitos-mitos ini sehingga diperlihatkan bahwa konstruksi historis, budaya dan sosial menyembunyikan ayat-ayat yang asli. Tetapi mitos-mitos ini sudah sangat kental di masyarakat sehinga untuk menghilangkan pola-pola pikiran tersebut membutuhkan waktu lebih dari satu generasi.
Dalam Islam terjadi suatu proses yang sama yang juga melemahkan mitos-mitos ini. Sebagaimana penafsir-penafsir perempuan terhadap al-Quran – yang dibahas dalam buku ini menganggap sebagai tugasnya untuk membongkar mitos-mitos ini dan penafsiran yang misoginis, karena jargon-jargon teologis ini sangat berpengaruh terhadap pola pikie kaum perempuan. Para penafsir ini meyakini bahwa al-Quran adalah Firman Allah. Siapa yang mengikuti teks-teks ini sebagai pedoman untuk kehidupan, maka mereka akan menemui jalan menuju ke arah kedilan, kebebasan dan toleransi. Bilamana teks itu ditafsirkan dengan hasil yang tidak manusiawi bagi perempuan, maka hal ini semata-mata adalah kesalahan dari para penafsir (kaum laki-laki) bukan kesalahan al-Quran.
Penafsir perempuan yang dibahas dalam bagian kedua orasi ini adalah kaum perempuan Indonesia, yang biasa disebut feminis muslim. Sebenaranya perjuangan mereka sudah dimulai pada tahun 70-an. Karena perjuangan mereka cukup lama, maka tidak ada jalan kembali. Gagasan-gagasan merekasudah tersebar dan dampaknya sudah mulai terasa di sebagian besar masyarakat Indonesia.

Diskursus mengenai hak-hak perempuan dalam Islam sangat penting dalam hubungan antara orang Muslim dan Kristen. Di beberapa negara Islam, seperti Arab Saudi dan Iran, dapat diamati secara langsung tindakan terhadap kaum perempuan dan kelompok minoritas. Kadang-kadang di dalam syari'ah dan fiqih ada peraturan yang sama bagi kaum perempuan dan orang non-Muslim. Dipengadilan misalnya menurut syariah kesaksian dua orang perempuan atau dua laki-laki orang Yahudi atau Kristen disamakan dengan kesaksian satu orang Muslim laki-laki.
Buku ini bisa dijadikan semacam evaluasi terhadap tafsir-tafsir yang kebanyakan bersifat misoginis yang dikarang para Ulama' Salaf. Dengan kritis penulis dalam buku ini berupaya menyodorkan bukti-bukti sosiologis betapa tafsir-tafsir misoginis itu sangat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Oleh karena itu diperlukan tafsir yang tidak bias jender. Menimbang ulang tafsir merupakan suatu keharusan sehingga pesan Islam yang membawa rahmat kepada seluruh alam bisa terlaksana.
Namun pepatah mengatakan bahwa tidak ada kesempurnaan yang absolut kecuali Tuhan. Buku ini di samping punya kelebihan juga memiliki titik lemah. Yaitu di bagian-bagian tertentu seringkali ditemukan adanya ejaan-ejaan serta EYD yang tidak sesuai. Selain itu buku ini juga kurang sempurna di penerjemahan bahasa lisan ke bahasa tulis sehingga pembaca akan merasa membaca sebuah skrip pidato daripada sebuah buku ilmiah.