Reviews Buku

Showing posts with label Resensi. Show all posts
Showing posts with label Resensi. Show all posts

Thursday, December 05, 2013

Menggagas Dunia tanpa Terorisme

Indonesia dalam catatan sejarah, terutama pasca reformasi tak pernah lepas dari ancaman terorisme. Berbagai macam tindak kekerasan dan aksi peledakan bom di tanah air seolah tidak pernah berhenti, sekalipun kampanye perlawanan dan operasi pemberantasan sudah gencar dilakukan. Insiden Bom Bali 1 dan 2, Istiqlal, Kuningan, Kedutaan Australia dan yang paling baru yang menimpa hotel JW Mariot dan The Ritz Carlton yang terjadi 17 Juli 2009 lalu meruapakan buktinya.

Berbagai peristiwa teror di atas menampilkan aktor seperti Noordin M Top dan Dr Azhari. Kemudian ada Abu Dujana, komandan militer Jamaah Islamiyyah (JI) dan Zarkasih sebagai salah satu pemimpin. Penangkapan Abu Dujana di Banyumas dan ‘Mbah’ Zarkasih di Yogyakarta, telah memantik kegalauan bahwa mata rantai terorisme Indonesia tak pernah putus. Bahkan, seakan semboyan mati satu tumbuh seribu menemukan relevansinya di sini. Dengan artian setelah salah satu pemimpin meningal atau tertangkap akan tumbuh ribuan kader baru untuk meneruskan jejak perjuangan sang pemimpin. Ironisnya lagi, berbagai aksi terorisme tadi itu oleh pelakunya dianggap sebagai salah satu bentuk “jihad” dalam memerangi para musuh agama Allah.

Pemahaman yang sempit terhadap jihad itu kemudian bertambah rumit ketika disusupi dengan kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi. Karena itu aksi-aksi yang dianggap jihad oleh pelaku itu justru tak menambah manfaat bagi agama, tetapi malah menambah kusam wajah agama. Dalam tataran ini teks agama tidak lagi dihayati sebagai agama yang mengajarkan kedamaian, tetapi dimaknai sebagai simbol yang memperbolehkan kekerasan dengan dalil yang terkesan dipaksakan. Dengan kata lain jaringan teroris sudah menggahi agama dengan aksi anti kemanusiaannya. Kita membuat kesalahan fatal jika memakai apalagi mengandalkan teroris anti kemanusiaan untuk membela agama. Jaringan teroris menyembah ilah kekersaan bukan memeluk Allah perdamaian. (Hal 76 )

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa tindak kekerasan, radikalisme, dan aksi-aksi teror bom di tanah air selalu terjadi? Untuk menjawab pertanyaan di atas bukanlah hal yang mudah, banyak sekali benang kusut yang harus diurai satu persatu. Ada yang mengatakan bahwa secara sosiologis-politis, radikalisme dan moderatisme, juga teror dan anti-teror, adalah hal yang lumrah dan menjadi bagian dari sunnatullah; di mana ada sebab disitu akibat menyertai; di mana ada ketidakadilan dan kemiskinan, di situ perlawanan radikal dilakukan; Ada aksi pembantaian, di situ reaksi pun dimunculkan sebagai bagian dari strategi perlawanan; dan seterusnya. Namun di luar itu, ada satu hal yang cukup memprihatinkan bahwa radikalisme dan aksi-aksi kekerasan juga diyakini (sebagian orang) sebagai salah satu strategi ”dakwah” dan ”jihad” mereka dalam memperjuangkan salah satu agama Tuhan.

Hal ini lah menurut peresensi sumbangan terbesar seorang Mutiara Andalas, penulis buku Politik para Teroris ini. Dengan pendekatan multidisipliner, Mutiara, satu persatu mengurai benang kusut kasus teroris yang terjadi di Indonesia. Dari pertanyaan kenapa bisa terjadi peristiwa teror, kenapa pelakunya bisa dengan mudah memposisikan diri sebagai pembunuh, alasan teologis apa yang mendasarinya, dan seterusnya.

Penulis buku ini paling tidak mengusulkan tiga tugas penting yang harus menjadi perhatian semua orang. Pertama meminta keterlibatan komunitas kebangsaan dan keagamaan pasca-teror bom. Komunitas-komunitas ini menurut penulis ini, hendaknya mengungkapkan imannya akan keesaan Allah terutama melalui bela rasa dengan korban. Kepedulian juga hendaknya terulur kepada mereka yang pernah mengalami masa tahanan karena dakwaan keterkaitan dengan jaringan teroris karena masyarakat seringkali mengucilkan mereka karena dakwaan berkomplot dengan jaringan teroris di masa lalu. Masyarakat sering kali rendah toleransinya menerima warga yang pernah berurusan dengan aparat keamanan karena dakwaan terlibat dengan teroris, untuk hidup di tengah-tengah mereka. Seringkali mereka atas nama rnernbersihkan wilayah mereka dari sebutan sarang teroris mengusir warga yang rumahnya menjadi tempat singgah mereka yang didakwa aparat keamanan sebagai teroris.

Usul Kedua adalah mendorong pembacaan penafsiran kritis terhadap teks-teks suci agama yang sepintas membenarkan teror kekerasan. Menurut penulis buku ini, Hermeneutika terhdap teks suci agama perlu untuk membongkar kedok jaringan teroris yang sering kali menyelubungi aksi anti-kemanusiannya dengan baju teks Kitab Suci. Lebih jauh penulisnya menyatakan bahwa Pernyataan pemuka agama bahwa pelaku membajak Kitab Suci perlu ditindaklanjuti dengan pembacaan dan penafsiran terhadap teks-teks yang rentan terhadap pembelokan makna. Pengkaji Kitab Suci hendaknya menafsirkan teks-teks tersebut dalam pandangan yang positif terhadap komunitas beriman lain. Mereka hendaknya juga keluar dari paradigma pertarungan agama dan peradaban sebagaimana pernah dinubuatkan Samuel P. Huntington. Kita Perlu juga memperhatikan konteks ketidakadilan global dalam membaca dan menafsirkan teks Kitab Suci.

Dan yang terakhir, kata penulis buku ini adalah mengangkat isu terorisme anti-kemanusiaan sebagai bahan wacana kebangsaaan dan dialog antaragama. Tambah penulisnya lagi, kita juga mendorong gerakan-gerakan kebangsaan untuk melihat terorisme sebagai tantangan berketuhanan yang maha esa di Indonesia sekarang ini. Kita juga mendorong mereka untuk berinteraksi langsung dengan korban atau keluarga korban. Spiritualitas mereka bersumber dari perjumpaan dengan korban dan keluarga korban yang melahirkan bela rasa. Komunitas-komunitas agama juga berhadapan dengan ilah kekerasan sebagai berhala kontemporer.

Membaca buku ini membuat pembaca seperti disodorkan pada masalah sebenarnya yang harus segera diatasi oleh pihak yang berwenang, maupun masyarakat secara umum. Dengan analisis yang renyah dan enak dibaca pembaca penulisnya membawa membaca kepada solusi yang selama ini luput dari perhatian. Buku yang tak terlalu tebal ini ingin menggugah kesadaran kita sebagai pembaca, bahwa hidup merupakan pemberian Tuhan dan oleh karena itu harus dijaga dan digunakan sebaik-baiknya.

Yudi latif di bagian belakang buku ini menyatakan bahwa tuhan teroris adalah tuhan kebiadaban yang tak kenal “kasih” kepada korban. Di tengah kepungan terorisme yang terus mengancam, buku ini menyingkap dambaan Tuhan yang lain dari sudut korban. Semoga dengan terbitnya buku ini sedikit memberikan solusi bagi terciptanya dunia tanpa teroris.


Data Publikasi Buku
Judul : Politik Para Teroris
Pengarang : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 133 halaman

Monday, December 02, 2013

Indonesia dan Sistem Demokrasi Gusdurian

Oleh: Akhmad Kusairi



Tidak terasa hampir setahun Kiai Abdurrahmad Wahid atau Gusdur meninggal kita. Banyak yang merasa kehilangan dengan tokoh yang nyeleneh ini. Gebrakan-gebrakannya selalu ditunggu banyak pihak. Dalam bidang demokrasi beliau adalah pejuang demokrasi nomor satu. Menurut Dr. Munawar Ahmad, dosen filsafat politik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gusdur adalah pemikir politik yang mampu menawarkan pemikiran alternatif bagi pembangunan demokrasi di Indonesia, ia juga menjadi "pribumisasi" ide-idenya.

Dalam disertasi Munawar yang berjudul "Kajian Kritis Terhadap Pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gusdur) 1970-2000", ia membagi lima pokok pemikiran politik Gusdur, yakni (1) mengembangkan khazanah lokalitas Islam klasik Indonesia. (2) humanisme sebagai perlawanan terhadap kekerasan. (3) ide perlawanan cultural. (4) ide integralisme. Dan (5) analisis ilmiah atas realitas dunia Islam. (hal 85)
Kelima pokok pemikiran politik Gusdur itu, berada dalam satu wadah, yakni demokrasi. Bagi Gusdur, Indonesia harus memiliki sistem demokrasi khas Indonesia. Sebuah sistem politik yang relevan dengan konteks kekinian dan kedisinian bangsa Indonesia.

Sebagai politisi ulung yang dibesarkan oleh tradisi pesantren pemikiran politiknya tidak bisa dilepaskan agama (Islam). Menurutnya, hubungan antara Agama dan demokkrasi harus dipahami secara substantif, bukun simbolis. Nilai-nilai moral (religius) harus terintegralisasi ke dalam sistem demokrasi. Jika tidak, demokrasi akan pincang, seperti sistem demokrasi yang sedang berlangsung saat ini. Mengaca pada teori hubungan agama-negara ia digolongkan kaum integralistik.

Secara teoritis, demokrasi adalah kedaulatan berada di tangan rakyat. Ketika rakyat sudah diperbudak oleh kekuasaan, maka sistem demokrasi di negara tersebut dapat dikatakan gagal. Pasalnya, ada dominasi negara terhadap rakyat akan melahirkan berbagai gesekan sosial, seperti konflik antar kelompok, agama, etnis, maupun budaya. Hal itulah yang saat ini tengah melanda Indonesia.
Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia melakukan reformasi sistem demokrasi. yakni melampaui demokrasi liberal seperti yang ditawarkan Gusdur. Demokrasi liberal yang menjadi kiblat bangsa ini telah gagal dalam menciptakan keadilan tanpa kekerasan dalam realitas pluralis masyarakat kita.

Menurut Umaruddin Masdar (1999), liberalisme yang dimaksud Gusdur adalah filosofi hidup yang mementingkan hak-hak dasar manusia, sehingga ia mampu berkembang menjadi individu yang kreatif dan produktif. Dengan begitu, liberalisme dapat mewujudkan individu yang mulia berasaskan etika dan norma (moralitas).
Memang, sepintas Gusdur apresiatif terhadap liberalisme, tetapi liberalisme yang dimaksudnya berbeda dengan liberalisme yang digagas Lock. Demokrasi liberal yang diandaikan Gusdur, hemat saya, berada di antara demokrasi liberatif Locke dengan demokrasi deliberatif Habermas. Di satu sisi, Gusdur mengandaikan adanya proses dialogis (Habermas: komunikatif) dalam demokrasi. Tetapi di lain sisi, ia yakin bahwa kebebasan individu (liberalisme) sangat penting.

Dalam buku membaca pikiran Gusdur dan Amien Rais, dijelaskan bahwa demokrasi menurut Gusdur, tidak hanya suatu sistem yang mampu menjamin kebebasan advokasi saja, namun juga memiliki nuansa etis yang mampu melahirkan keadilan tanpa kekerasan. Terjadinya kombinasi intetgralistik dari berbagai entitas, seperti politik, budaya, rasionalitas, dan kekuatan kultur adalah penting. Demokrasi seperti inilah yang oleh Gusdur dinamakan demokrasi model Indonesia atau demokrasi "kultur". Suatu sistem demokrasi yang telah mengalami "pribumisasi" dengan kultur Indonesia. Demokrasi jenis inilah yang belum dimiliki bangsa kita saat ini.

Pada hemat saya, demokrasi "kultur" ala Gusdur ini perlu diapresiasi oleh bangsa ini. Sebab, bangsa Indonesia saat ini membutuhkan kejelasan konsep filosofi hukum Negara. sistem demokrasi "gusdurian" ini, paling tidak, dapat meminimalisasi berbagai persoalan-persoalan kebangsaan. Akhirnya, semoga dengan sistem demokrasi yang jelas, Indonesia segera lepas dari jejaring krisis multidimensi yang sedang membelenggunya.

Kedekatan Gusdur dengan Pak Mahfud dipertemukan oleh kesamaan, minimal dalamdua hal. Pertama, keduanya sama-sama nekat dan tidak takut mengungkap ketidakadilan dan menabrak ketidakberesan. Kedua, Gusdur dan Pak Mahfud sangat kompak dalam pandangan mengenai paham kebangsaan serta hubungan antar negara dan agama.(Yenny Wahid)

Buku ini juga menuturkan humor politik Gusdur yang memikat banyak orang. Cerita tentang semua presiden punya penyakit gila, saat Gusdur melakukan kunjungannya ke Kuba dan bertemu Presiden Fidel Castro, membuat buku ini segar untuk dibaca. Gusdur menyebut Presiden Soekarno gila wanita, Presiden Soeharto gila harta, Presiden Habibie dia sebut benar-benar gila alias gila beneran, sementara Gusdur menyebut dirinya sebagai presiden yang membuat orang gila karena yang memilih juga orang-orang gila.

Buku Gusdur: Islam, Politik, dan Kebangsaan ini merupakan kumpulan tulisan Mahfud MD yang berserak di media massa nasional dan tulisan pengantar lainnya. Buku penghormatan untuk Sang Guru itu berjudul Gusdur: Islam, Politik, dan Kebangsaan yang menceritakan kesederhanaan sosok Gusdur sebagai presiden. Kedekatan Mahfud MD saat menjadi Menteri Pertahanan di era pemerintahan Gusdur itulah yang dapat menggambarkan bagaimana Gusdur yang sebenarnya. Sebagai contoh kesederhanaan Gusdur, Mahfud menceritakan, hal itu dapat dilihat dari cara Gusdur menyajikan menu makanan kepada tamunya yang hanya disuguhi kacang rebus, jagung rebus, dan tempe goreng.

Sayang, di buku ini, Mahfud tak memberikan kepada pembaca tulisan terbarunya tentang Gusdur. Tulisan yang terbaru tak lain hanyalah kata pengantar.


Akhmad Kusairi, pengamat masalah sosial politik, tinggal di Jakarta.

Tuesday, November 19, 2013

Dampak Globalisasi Bagi Negara Berkembang

Kenichi Omahe, dalam bukunya The End of Nation-State, membuat orang terperangah. Betapa tidak buku ini secara eksplisit mengumumkan berakhirnya "nation-state" atau "negara-bangsa". Menurut Omahe, negara adalah artefak peninggalan abad ke-18 dan ke-19, karena menurutnya tidak ada lagi tapal batas. Lenyapnya negara itu adalah sebuah keharusan ketika kegiatan ekonomi global semakin meningkat. Wakil-wakil rakyat yang dipilih lewat pemilu ingin memberikan yang diinginkan oleh rakyat, akan tetapi bagaimana kalau yang diinginkan oleh rakyat ternyata menghancurkan ekonomi negara tersebut? Rakyat, misalnya, minta pelayanan dan subsidi dari negara, yang negara tidak mampu memberikan. Kumandang matinya negara-bangsa ini disambut dengan gembira oleh para pengusaha, terutama pengusaha global. Harus diakui bahwa globalisasi memang berdampak pada eksistensi negara.

Ada satu pertanyaan yang perlu dijawab sehubungan dengan dampak globalisasi pada negara: apa dampaknya pada kebijakan domestik? Misalnya, apakah negara masih memainkan peran di dalam masyarakat? Ataukah ia telah digantikan - sebagian ataupun seluruhnya oleh pelaku-pelaku lain? Ketika peran negara telah berubah, ia berubah menjadi apa? Omahae telah secara sepintas menunjuk pada kenyataan bahwa elected officials kerap mengalami dilema, melayani konstituen mereka atau melayani aktor-aktor global. Karena ia dipilih oleh rakyat, semestinya ia mengabdi kepada kepentingan rakyat. Tapi ia juga berhadapan dengan aktor-aktor global, seperti pejabat dari IMF, World Bank, WTO, ataupun CEO dari perusahaan multinasional. Mereka ini lebih sering mempunyai tuntutan yang berbeda, bahkan bertentangan, dengan tuntutan rakyat. Kalau ia berpihak kepada rakyat, ia akan mengecewakan aktor global. Kalau ia mengikuti aktor global, ia akan merugikan rakyatnya sendiri.

Tidak mudah menghadapi dilema in. Seperti kita pelajari dari sejarah, hubungan antara negara dan saudagar lahir bagaikan saudara kembar. Negara membutuhkan kaum saudagar untuk membiayai kehidupan para pemimpin, birokrasi, dan tentu saja membiayai perang. Sebaliknya, kaum saudagar juga membutuhkan perlindungan dari negara dalam menjalankan usahanya. Sampai hari ini para saudagar tidak bisa melepaskan diri dari negara dalam soal security. Jadi, ada simbiosis mutualistis, antara negara dan saudagar.
Karena negara dalam posisi agak lemah dibandingkan dengan saudagar, maka banyak negara (Indonesia?) yang lebih memilih "mengalah" kepada para saudagar. Hipotesis yang mau diajukan sepanjang buku ini adalah bahwa negara - karena tuntutan para saudagar global — memilih untuk menjadi pelindung para saudagar daripada pelindung warganya. Negara memang tidak lenyap, negara juga telah menyesuaikan diri dengan arus globalisasi, tetapi negara telah kehilangan ciri utamanya sebagai yang memegang kedaulatan (sovereignty) dan pelindung warga negaranya. Biar bagaimana pun pengusaha masih membutuhkan keamanam (security).

Oleh karena itu sekarang ini negara telah berubah menjadi centeng, bayaran dari sekelompok kecil saudagar, nasional, maupun global. Yang dilakukan oleh negara adalah menyediakan keamanan bagi para saudagar karena mereka inilah yang membawa uang yang diperlukan untuk menyelenggarakan negara.

Ini berbeda dari "negara penjaga malam" karena negara penjaga malam masih membela dan melindungi warga negaranya, ia tidak ikut campur tangan di bidang ekonomi. Negara centeng memperlihatkan keberpihakannya kepada kaum saudagar saja, mirip dengan executive committee yang diajukan oleh Karl Marx. Tapi negara centeng bukan sebuah panitia yang bisa mempunyai otonomi. Ia sama sekali dikuasai oleh kaum saudagar, terutama saudagar global, sedemikian rupa sehingga Ia tanpa malu-malu melupakan tugasnya sebagai penjaga kedaulatan nasional.

Di sinilah letak penting hadirnya buku Negara Centeng karangan I Wibowo ini. Buku ini berisi kritikan sekaligus evaluasi terhadap globalisasi, terutama dari ranah ekonomi dan politik. Sejauh mana globalisai bermanfaat dam merugikan untuk manusia? Apakah globalisi hanya membawa manfaat bagi sejumlah kecil manusia, tetapi membawa kerugian kepada sejumlah besar manusia? Pada akhirnya, pertanyaan itu akan menggiring kepada pertanyan lain yang lebih mendasar tentang organisasi politik yang kita punyai, yaitu Negara. Apa dampak globalisasi pada eksistensi “negara”?


Data Buku
Judul : Negara Centeng: Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
Penulis : I Wibowo
Penerbit : Kanisius
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : viii + 270 halaman

Wednesday, June 10, 2009

Bersikap Adil terhadap Rokok

Judul : Kitab Kopi dan Rokok

Editor : Syaikh Ihsan Jampes

Penerbit : LKiS, Yogyakarta

Cetakan : I, Februari 2009

Tebal : xxv + 110 halaman

Konstroversi seputar kopi dan rokok sudah ada sejak keduanya bersentuhan dengan peradaban Eropa maupun ketika bertemu dengan peradaban Islam. Kehadiran buku Kitab Kopi dan Rokok menjadi penting karena di dalamnya berisi sejarah kemunculan kopi dan rokok serta rangkuman perdebatan tentang hukum kopi dan rokok menurut syari'ah Islam (fikih) disertai latar belakang serta argumen dari masing-masing pihak yang terlibat polemik.

Dalam kitab Tuhfah al-Ikhwan, dijelaskan bahwa tembakau (at-Tabghu) pada mulanya adalah tanaman lokal di suatu daerah yang bernama Tobago—suatu negeri di wilayah Meksiko, Amerika Utara. Pada masa pendudukan Amerika, berbondong-bondonglah orang-orang dari Eropa untuk singgah dan menetap di 'dunia baru' tersebut. Mereka bergaul dengan penduduk asli Amerika sehingga tahulah mereka tradisi dan adat istiadat penduduk asli, termasuk dalam hal merokok. Ketertarikan mereka terhadap tradisi merokok membuat mereka membawa bibit tanaman tembakau ini ke negeri-negeri Eropa. (hal14)

Pemindahan bibit ini terjadi pada 1517 M. atau 935 H. Pada 1560 M. (977 H.), Yohana Pailot dari Vunisia mengunjungi Raja Alburqanal di Panama, Amerika. Tentu saja, kunjungan itu bukan sekadar kunjungan. Kemungkinan besar dia membawa tambahan bibit tembakau untuk Vunisia sehingga beberapa saat kemudian tembakau tersebar di negeri itu. Dari Vunisia, tanaman tembakau dibawa dan disebarkan ke negeri-negeri Eropa yang lain oleh seorang Rahib Vunisia yang bernama Vuses Lorenz. Sejak saat itu, tanaman tembakau menjadi masyhur di seluruh Eropa. (hal 15)

Adapun tentang kopi adalah sejenis minurnan yang sudah masyhur dan populer, dalam masyarakat kontemporer. Kopi dibuat dari tumbukan biji-biji kopi. Yang jelas, bangsa Arab baru mengakui khasiat kopi dan mengkonsumsinya setelah dua generasi berlalu setelah Nabi hijrah. Sejak itu, kopi terus diseduh dan dinikmati, hingga pada 1600 M. (1017 H.), dibawa ke negeri-negeri Eropa. Dari Eropa, menjadi tersebarlah kopi ke seluruh penjuru bumi, dengan tehnik pembuatan yang semakin sempurna pula. (Hal 15-16)

Buku Kitab Kopi dan Rokok ini diterjemahkan dari sebuah kitab klasik pesantren yang berjudul Irsyad al-Ikhwan fi Bay an Hukmi Syurb al-Qahwah wa ad-Dukhan karangan Syaikh Ihsan Jampes-Kediri (w. 1952 M.). Kitab ini sendiri merupakan adaptasi puitik atas kitab Tadzkirah al-Ikhwan fi Baydni al-Qahwah wa ad-Dukhan karangan KH. Ahmad Dahlan Semarang, yang kemudian disusun menjadi bait-bait syair bermatra rajaz. Buku ini menjadi menarik karena kitab Irsyad al-Ikhwan yang terjemahannya ada di tangan pembaca ini, setidaknya hingga saat ini, menjadi satu-satunya buku yang memuat seluk beluk kopi dan rokok, mulai dari sejarahnya hingga polemik tentang hukum mengonsumsinya.

Buku ini tambah menarik dengan gaya tulis pengarang yang ringan, membuat pembaca seakan-akan melihat sekelompok ulama yang sedang duduk melingkar, melemparkan pendapat disertai hujjah-hujjahnya, menerima dan menimbang pendapat ulama yang lain, kemudian berusaha menarik kesimpulan tanpa memaksa pihak lain menerima kesimpulannya sendiri. Dengan demikian, secara tidak langsung, buku ini mengantarkan kita pada suatu pemahaman bahwa hukum Islam secara umum sebenarnya bukanlah sesuatu yang kaku, melainkan demikian lentur dan fleksibel, situasional, kondisional, dan penuh toleransi.

Perselisihan tentang tembakau tersebut berkisar tentang hukum mengkonsumsinya, halal ataukah haram. Perselisihan itu terjadi di antara para ulama sejagat ini, hingga sebagian dari mereka mengeluarkan segenap tenaga untuk mengutarakan dalil-dalil yang mendukung pendapatnya. Namun demikian, setelah perselisihan yang panjang itu, sebagian dari mereka akhirnya menyerah, dan menyatakan mauquf (tidak dipastikan halal-haramnya). Demikian, sebagaimana diterangkan dalam kitab Fatawa al-Kurdiy. (Hal 17)

Mayoritas ulama telah menakwilkan hukum haram yang dilontarkan pihak yang kontra rokok. Jumhur menegaskan bahwa haram-nya rokok dikhususkan bagi orang yang tubuhnya akan mendapat madharat jika merokok; atau niereka yang kesadarannya menjadi hilang karena merokok. Penakwilan jumhur ini sudah sangat populer di kalangan ulama Madzhab Hanafi, Madzhab Hanbali, Madzhab Syafi'i, Idmsusnya para ulama yang masyhur ketinggian ilmunya. Bahkan, penakwilan ini juga sudah masyhur bagi segelintir orang-orang awam. Hal 63

Pendapat jumhur ulama inilah yang kiranya layak jadi pegangan. Segenap pendapat lain yang tidak sesuai dengan pendapat jumhur ini, seyogyanya tidak engkau perhatikan. Apalagi, semua hadits yang biasany a dicuplik oleh mereka yang mengharamkan rokok adalah hadits yang dapat dipastikan batil, tidak dianggap sebagai hadits yang sah oleh para ulama besar dunia. Di antara hadits-hadits tersebut adalah apa yang dituturkan oleh az-Zarqani dalam kitab al-'Aziyyah. Di dalam kitab tersebut disebutkan redaksi sebagai berikut. (hal 63)

Setelah saya mengamati perbedaan pendapat para ulama beserta kesimpulan masing-masing pihak tentang masalah rokok, di sini saya berkata bahwa pendapat yang mu'tamad (yang layak menjadi pegangan) adalah pendapat yang mengatakan bahwa hukum merokok adalah makruh. Pendapat ini dilontarkan oleh Imam al-Bajuri dalam Hasyiyah 'Ala Syarh al-Ghayah pada bagian Kitab al-Buyii'. Dalam kitab ter-sebut, sesudah menuturkan pendapat yang menyatakan haramnya rokok, al-Bajuri berkata, "Pendapat ini (bahwa rokok hukumnya haram) adalah pendapat yang lemah. Demikian pula pendapat yang mengatakan bahwa merokok hukumnya mubah (boleh). Pendapat yang mu'tamad adalah makruh. Namun demikian, terkadang hukum merokok dapat berubah menjadi wajib. Misalnya, ketika seseorang mengetahui bahwa jika dia meninggalkan rokok dia akan mendapat madharat. Terkadang pula' hukum makruh itu dapat berubah menjadi haram. Misalnya, ketika seseorang memben rokok dengan uang yang seharusnya dia gunakan untuk menafkahi keluarganya. (Hal 78)

Tanpa bermaksud membela rokok atau memihak para perokok, buku ini menyarankan agar para pembaca melihat rokok dan kopi sebagai benda objektif yang netral khususnya sebelum membaca buku ini. Demi bermanfaatnya pembacaan terhadap buku ini, para pembaca dituntut untuk melepaskan diri dari citra rokok dan kopi yang selama ini telah terbangun dengan kokoh dan memberhala itu. Buku ini walaupun buku terjemahan terasa lengkap dengan terjemahan yang baik. Dengan adanya buku ini kemudian diharapkan agar orang lebih adil terhadap rokok, tidak serta merta mencap bahwa rokok adalah haram atau pun halal hukumnya.

Resensi ini dimuat di Harian Malioboro Ekpress 9 Juni 2009


Friday, May 08, 2009

Sedekah: Dari Semua untuk Semua

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Mukjizat Sedekah
Penulis : Muhammad Thobroni
Penerbit : Pustaka Marwa, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : 159 halaman
Tidak terasa Ramadhan telah hampir usai. Seperti biasanya Ramadhan hadir sebagai bulan yang dinanti-nantikan. Ia hadir dengan sederetan nama. Sebut saja misalnya Bulan penuh ampunan, Bulan Penuh Kasih Sayang , Bulan Penuh Rahmah, Bulan Seribu Bulan, dan lain sebagainya. Semarak Ramadhan juga bisa dilihat dari aktivitas masyarakat yang berbondong-bondong menyiapkan acara-acara buka bersama atau tabligh akbar yang menghadirkan tokoh agama terkenal. Semarak Ramadhan juga bisa dirasakan di dalam ativitas pertelevisian. Biasanya setiap studio televisi mempunyai program khusus Ramadhan yang semua studio rata-rata isinya sama. Mulai acara buka bersama hingga acara mercon. Semua ini adalah salah satu cara manusia di seantero Indonesia kembali meneriakkkan enyahkan maksiat di bulan suci ini.
Selain itu Ramadhan juga dijadikan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, memberi sedekah kepada orang yang tidak mampu. Hingga pemberian santunan kepada fakir miskin. Pada bulan ini semua apa yang dilakukan dengan ikhlas pasti akan memperoleh imbalan seribu kali lipat dari Allah.
Momen Ramadhan adalah momen penting dalam menambah pahala berlipat sesuai yang Allah janjikan, sehingga pada bulan ini semua orang terpanggil untuk melakukan perbuatan baik, walaupun itu hanya dalam tahapan niat. Oleh sebab itu bukan sesuatu yang mengherankan bila pada bulan ini banyak orang berlomba-lomba melakukan kebaikan sebanyak-banyaknya.
Sedekah sebagai salah satu bentuk amal baik itu dalam bulan ini merupakan perbuatan yang cukup disenangi. Seluruh orang Islam yang mempunyai kocek yang cukup berbondong-bondong memberikan sedekah dari hasil keringatnya selama ini. Sedekah tak harus dengan uang atau harta benda yang lain. Sedekah bisa berupa apa saja asal bermanfaat bagi orang lain, tentunya juga harus disertai dengan hati yang tulus sehingga bisa berdampak positif bagi pelaku. Karena sedekah yang memiliki akar kata dengan
sidik merupakan bukti keseriusan iman seseorang.
Sedekah secara sederhana diartikan sebagai memberi sesuatu atau bantuan kepada orang yang membutuhkan. Oleh sebab itu sedekah bisa dilakukan dan diberikan kepda dan oleh semua orang, oleh sebab adagium "dari semua untuk semua berlaku untuk sedekah". Di bulan Ramadhan ini posisi sedekah peranannnya sangat penting bagi berlangsungnya sebuah tatanan. Dalam tradisi Islam sedekah menempati posisi yang utama, sebab dengan sedekah orang yang yang kurang mampu jadi tertolong dengan sedekah.
Selain itu, sedekah juga merupakan amalan istimewa berdimensi ganda, akhirat sekaligus dunia. Ia tidak saja menunjukkan kecerdasan intelektual dan spritual. Tetapi juga sosial. Ia menyimpan energi "misterius" dalam menggerakkan orang dalam meraih sukses, hidup bahagia, rezeki lapang, juga menyangkal kesulitan dan bencana.
Buku yang berjudul Mukjizat Sedekah karangan Muhammad Thobroni, ini coba menguak mukjizat sekaligus keutamaan yang tersimpan di balik sedekah. Dengan gaya bahasanya yang khas penulis memberikan argumen menarik mengenai warna-warni sedekah itu sendiri. Ditambah lagi sajian kisah-kisah nyata mengenai orang-orang yang menjadikan sedekah sebagai sumber energi prestasi tentu akan menambah kekhasan pada buku ini.
Menurut Thobroni, penulis buku ini, sedekah pada substansinya tidak selalu identik dengan hal yang bersifat materi saja, namun lebih jauh lagi, sedekah merupakan energi cinta yang dimiliki setiap manusia yang pada gilirannya bisa digunakan untuk memanusiakan manusia. Dengan kata lain, melalui media sedekah diharapkan kemudian terjadi hubungan simbiosis mutualisme antar makhluk yang ada di muka bumi.
Dalam buku ini, sedekah ditempatkan sebagai motor penggerak dan pendongkrak semangat keimanan kita pada yang Maha Bijaksana, Maha Tinggi dan Maha Segalanya. Bersedekah menyadarkan kita, bahwa harta yang terdapat pada diri kita, sesungguhnya tidak selurunya merupakan hak kita, namun ada hak orang lain. (hlm 26)

Selain berguna untuk meningkatkan kualitas keimanan seseorang, sedekah juga memberikan warna baru bagi kehidupan ini. Dengan bersedekah kita dapat meningkatkan kesejahteraan sosial, menghindari hidup bermegah-megahan dan suka pamer, membudayakan hidup sederhana dan rendah hati, dan yang terpenting dapat mengurangi kecintaan kita terhadap dunia.
Dalam Islam sedekah berfungsi sebagai kontrol sosial terhadap orang yang kurang mampu, sehingga kemudian terbentuk ikatan sosial antar masyarakat. Begitu pentingnya sedekah sampai-sampai kedudukannya hampir sama dengan zakat.
Dengan terbentuknya ikatan sosial dalam bentuk solidaritas sosial yang kokoh yang didukung oleh keperihatinan dan kebersamaan serta kesediaan untuk menolong orang lain. Dan ini merupakan sendi kehidupan masyarakat. Panggilan untuk selalu berpikirr tidak dalam konteks individual semata-mata, melainkan juga dalam kerangka kemasyarakatan. Sebab itulah kita dalam Ramadhan diminta untuk memberikan perhatian lebih banyak kepada mereka yang membutuhkan. Sehingga kita bisa mewujudkan dimensi kemanusiaan, dalam arti, turut meringankan penderitaan orang lain, turu membangun msyarakat yang lebih baik untuk semua massa yang akan datang, masyarakat yang transformatif.
Buku Mukjizat Sedekah ini lebih dari layak untuk dijadikan bahan refleksi serta introspeksi diri bagi seluruh umat muslim, terlebih bagi orang yang masih berpola pikir materialisme, artinya sedekah hanyalah sebagai bentuk pengurangan harta pribadi. Semoga apa yang telah diupayakan Thobroni bisa meruntuhkan egoisme seseorang yang tidak mau sedekah.

Kalatidha: Potret Buram Sejarah Orba

Oleh: Akhmad Kusairi*
Judul : Kalatidha
Penulis : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Cetakan: I, Januari 2007
Tebal : viii + 347 halaman.
Dalam lembaran sejarah pradaban dunia, Indonesia pernah menorehkan sejarah terkelam, yang biasanya dikenal dengan sebutan Gerakan Tiga Puluh September 1965 (Gestapu 65). Dalam peristiwa ini ribuan manusia menjadi korban kebiadaban tragedi kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi di Indonesia, bahkan dunia. Waktu itu orang-orang secara membabi-buta mengklaim segala sesuatu yang berbau komunis, serta "kiri" sebagai orang yang harus dilenyapkan, diberangus serta dihilangkan sejarahnya.
Politik buram beserta kisah "kegelapan" masa Gestpu itulah yang dicoba direkam oleh Seno Gumira Ajidarma dalam novel Kalatidha ini. Novel ini berkisah tentang kehidupan tokoh "Aku", seorang anak kecil yang mulai beranjak dewasa di tengah ramainya pencidukan serta pembantaian tanpa pengadilan yang sah terhadap orang yang dianggap terlibat dalam drama pembunuhan tujuh perwira kelas atas Angkatan Darat. Di buku ini Seno menguak tentang kekejian orang-orang yang menganggap dirinya suci terhadap mereka yang dianggap telah berkhianat kepada revoulusi Besar Indonesia.
Pada jaman ini segala yang berbau komunis, orang-orang kiri, mereka yang memperjuangkan tanah untuk petani tak bertanah, termasuk istri, anak cucu mereka, tak peduli apakah mereka bisa membaca atau masih dalam keadaan buta aksara dicap sebagai Komunis yang diklaim sebagai orang yang terlibat dalam peristiwa Gestapu yang menurut kekuasaan harus dilenyapkan, serta dilecehkan hak-hakanya sebagai manusia.
Segala yang berbau kritikan, kecaman, dan protes kepada pemerintah sebisa mungkin diberangus habis. Sehingga bukan suatu yang mengherankan jika Soeharto lengser, banyak orang yang dulu mulutnya bungkam kini membuka mulut mereka selebar-lebarnya. Itu bisa berupa apa saja, entah itu berbentuk aksi gugatan, buku dan lain sebagainya.
Jatuhnya Soeharto sebagai pemegang tampuk kekuasaan di Indonesia sebelumnya membuka banyak peluang bagi karya sastra yang pada masa sebelumnya terkungkung kereativitasnya. Kurang lebih tiga dekade eksistensi Orde Baru sebagai penguasa tunggal itu, identik dengan kematian sastra serta segala wacana yang berbau "kiri", yaitu karya sastrawan yang dianggap terlibat dalam G30S secara langsung maupun tak langsung.
Tentu saja ada perlawanan dari pihak yang tak ingin dikekang seperti itu. Nama-nama sekaliber Pramoedya Ananto Toer, Martin Aleida, HB. Jasin, Asahan Alham serta masih banyak sederetan nama yang tak bisa disebutkan semua dalam tulisan ini, masuk golongan orang yang melakukan perlawanan. Hampir dari mereka yang di atas pernah merasakan hidup di balik bui atau di pembuangan.
Tema yang diangkat oleh Seno dalam novel ini sepertinya bukanlah suatu yang baru bagi orang yang sering baca novel atau buku-buku tentang kejamnya penindasan terhadap para anggota yang diduga terkait dengan PKI, yang pengadilannya sangat inkonstitusional.Yang berlaku ketika itu adalah pengadilan rakyat yang marah terhadap orang yang telah diduga membunuh para Jenderal secara sadis.
Setidaknya itulah sedikit rekaman yang coba direkam dalam novel yang berbentuk roman ini. Cerita di dalamnya mengisahkan sekelumit dari kisah kelam pradaban Indonesia yang dicoba dibangun oleh Soeharto dengan imperium Orde Barunya.
Novel ini sebagaimana biasanya dalam novel-novel Seno selalu mengetengahkan suatu nuansa yang serba baru, semisal nuansa senja dalam Negeri Senja yang menggambarkan latar tempat yang selalu senja yang tidak pernah ada malam, pajar, pagi dan siang. Atau Negeri Kabut yang bergulat dengan kubangan kabut dalam cerita khas Seno.
Melalui tokoh Aku, Seno sebagaimana buku-buku sebelumnya, berhasil membawa pembaca pada pengalaman yang mengesankan soal pencarian identitas diri. Ia menuturkan, pada awalnya tokoh Aku yang masih kecil melihat adegan-adegan ganjil di sekitarnya dan media-media massa. Apa salah mereka? kejahatan apa yang telah diperbuat? serta pantaskanh orang melakukan tindakan sekeji itu terhadap sesama manusia sekaligus sesama bangsa Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu merupakan pertanyaan yang selalu menemani hari-harinya yang panjang yang tidak bisa ia jawab. Ia tidak peduli, apakah dia (tokoh Aku) berasal dari keluarga baik-baik atau malah keluarga penjahat.
Entah kenapa jalan hidupnya kemudian sebagian besar dilaluinya lewat jeruji besi penjara, dikarenakan dituduh berkomplot dalam pembobolan uang Bank yang jumlahnya tidak sedikit. Melalui jeruji besi ia mengembara lewat dunia kabutnya. Memang dia mempunyai kelebihan bisa memasuki dunia lain. Seperti ungkapannya, aku memang bisa memasuki dunia yang satu ke dunia yang lain, tapi dunia bagiku hanyalah satu, yaitu dunia, karena aku tetap melalui hanya satu dunia, tidak bisa sekaligus dua dunia.
Akhirnya novel ini membuat pembacanya semakin mengetahui ruang-ruang dalam batinnya yang belum pernah dikunjungi sebelumnya. Seno dalam novel ini berhasil menyihir para pembaca dengan dunia yang digambarkan secara cerdas. Yang membuat para pembaca menikmati novel ini tanpa terasa membuka halaman terakhir.[]

Mengungkap Sisi Senyap Umar Kayam

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul Buku : Manusia Ulang-Alik Biografi Umar Kayam
Penulis : Ahmad Nashih Luthfi
Penerbit : Eja Publisher, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal Buku : xxii + 183 Halaman

Dalam perjalan sejarah pradaban manusia biografi biasanya menempatkan manusia sebagai titik kajian. Di catatan ilmu sejarah Indonesia, terdapat tiga bentuk penulisan biografi. Bentuk pertama adalah biografi interpretatif; kedua biografi sumber; dan ketiga biografi populer. Dua biografi pertama termasuk biografi ilmiah, dengan segenap tehnical discipline keilmuan (sejarah). Biografi interpretatatif menyertakan analisis ilmu-ilmu sosial misalnya sosiologi dan psikologi. Sedangkan biografi populer tidak terlalu mementingkan kebenaran ilmiah, retorika, serta dialog antar tokoh yang di setting sedemikian rupa, sehingga menempatkan tokoh secara berlebihan.
Dalam biografi ilmiah sedapat mungkin penulis menghindari unsur sentimentalitasnya yang disebabkan sedemikian dekatnya dengan obyek kajian. Ia dapat melihat obyek kajian dari luar dan hanya berperan sebagai explanator; verstehen dalam pengertian Wilhelm Dilthey dimungkinkan bila subyek tineliti masih hidup atau meninggalkan jejak-jejak yang dapat dibaca dengan sejelas-jelasnya sehingga menutup kemungkinan multi tafsir. (Hal 3)
Melalui buku Manusia Ulang-Alik Biografi Umar Kayam ini, Ahmad Nashih Luthfi selaku pengarang coba menelusuri lika-liku kehidupan Umar Kayam yan penuh dengan perjuangan. Walaupun buku ini tak terlalu tebal seperti biasanya buku biografi, di buku ini justru pembaca akan disuguhi keunikan tersendiri dari apa yang akan disajikan oleh penulis.
Umar Kayam lahir di Ngawi, 30 April 1932. Ia merupakan seorang seniman, ilmuwan, budayawan di Indonesia. Selain menjabat sebagai Guru Besar Sastra Universitas Gadjah Mada (1978-1997) juga pernah menjabat antara lain menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Radio, Televisi, Film Departemen Penerangan (1966-1969) serta Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972). Sebagai Dirjen RTF, dia melakukan perombakan besar khususnya dalam infrastruktur film Indonesia. Salah satunya adalah membolehkan kembali Film Barat masuk yang sebelumnya sempat dilarang oleh Soekarno yang boleh masuk waktu itu hanya film-film sosialis yang tidak disukai kebanyakan orang waktu itu. Akibatnya bioskop menjadi mati dan perfilman menjadi mandek.

Dalam keadaan seperti itu, Umar Kayam datang dengan beberapa gagasan briliannya, antara lain Indonesia harus memproduksi dua jenis film, yang populer tetapi laku dan film bermutu tetapi kurang laku. Waktu itu Umar Kayam membentuk DPFN (Dewan Pertimbangan Film Nasional) dan mengumpulkan dana yang mencapai sekitar Rp 30 juta.
Dalam dunia sastra, Umar Kayam hadir dengan karya-karyanya yang menonjol seperti Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Sri Sumarah, Bawuk, serta novel masterpiece-nya yang terakhir Para Priyayi, novel yang bisa dikatakan sebagai kontruksi awal munculnya ambtenaarisme di Indonesia. Siapa saja yang membaca pandangan-pandangan Umar Kayam, baik dari buku atau pidato-pidatonya, akan akrab dengan tesisnya mengenai proses kebudayaan yang digambarkan seperti sebuah proses ulang-alik.
Tampaknya, sikap rileks dan penuh humor itu bertitik tolak dari dasar pandangan hidupnya, ialah rasa ikhlas. Jelasnya, betapapun ia menginginkan sesuatu, jika memang tidak bisa dicapai, ia melepaskannya dengan ringan. Umar Kayam adalah orang yang hampir hidup tanpa beban. Jika ia merasa bersalah kepada seseorang, betapapun orang itu hanya cantrik-cantriknya, ia tidak segan-segan minta maaf dengan tulus.
Umar Kayam adalah juga seorang yang gigih dalam memegang prinsip hidupnya. Jika mendapati satu tindakan tidak benar dan tidak adil, ia tidak segan-segan melawannya. Prof Siti Baroroh Baried almarhum mengatakan bahwa Umar Kayam selalu ingin meluruskan sesuatu yang bengkok. Oleh sebab itu, di balik ketenarannya, Umar Kayam menghadapi banyak tantangan. Tantangan itu bisa berupa apa saja termasuk juga yang muncul sebab kolom mingguannya di harian Kedaulatan Rakyat.
Walaupun kolom itu lebih banyak bersifat glenyengan, akan tetapi terdapat banyak sekali sindiran. Tidak mengherankan jika ia seringkali menerima surat anonim yang kadang-kadang menakutkan. Menghadapi surat-surat semacam itu, Kayam hanya tersenyum. Ia mengatakan bahwa negeri ini betul-betul aneh, diajak tertawa atau tersenyum saja sulitnya bukan main.
Sindiran adalah salah satu kekuatan Umar Kayam dalam menyampaikan misi humanisnya, baik lewat tulisan maupun ceramahnya. Kekuatannya yang lain adalah kemampuannya memandang suatu jagat besar pada suatu soal yang kecil.
Kayam juga mengagumi Soekarno, walaupun ia sangat kritis terhadap gagasan-gagasan besarnya. Kekaguman Kayam kepada Soekarno adalah pandangannya yang dalam beberapa aspek cukup liberal dalam kemampuannya menyatukan ribuan pulau yang tersebar di Nusantara. Kedekatannya dengan Dr Soedjatmoko tampak juga apabila sedang berbicara dengan teman-temannya di Jogja. Ia selalu mengajak agar teman-teman belajar memandang suatu masalah dengan skala besar. Jika pandangan orang terlalu jlimet, ia akan segera ketinggalan zaman.
Kelebihan lain yang ditinggalkan oleh Kayam adalah kemampuannya mendudukkan masalah pada proporsinya. Setiap masalah harus didudukkan lebih dahulu pada posisi mana. Dengan demikian, persoalan menjadi jelas walaupun pemecahannya belum tentu menjadi lebih mudah. Sekalipun berada pada puncak popularitas, Kayam sedikit pun tak memanfaatkan kesempatan itu untuk menjustifikasi segala tindakannya. Justru dengan popularitas yang digandrunginya ia melakukan perubahan-perubahan besar, sekalipun tidak signifikan. Digambarkan oleh penulis, bahwa geliat perubahan itu sekaligus merupakan sikap antitesis serta kritik Umar Kayam atas pandangan para sejarawan yang begitu sempit dalam memandang masyarakat Jawa.
Kritikan itu khususnya ditujukan pada Clifford Geertz yang membagi masyarakat Jawa secara trikotomi yakni: santri, priyayi, dan abangan. Sehingga akibat dari pembagian itu dinilai oleh Kayam sebagai sebuah upaya pemetakan masyarakat Jawa yang disengaja. Alhasil, tidak sedikit masyarakat Jawa saat ini terdikotomi sehingga menjadi pribadi-pribadi yang hirarkis dan eksklusif. Inilah yang harus dipikirkan bersama.
Sampai di sini, inilah mungkin yang membedakan biografi ini berbeda dengan biografi pada umumnya. Keberanian penulis untuk menguak segala pemikiran Umar Kayam lewat karya-karyanya yang kritis baik yang berupa cerpen, novel, sekaligus esainya seoalah menjadi bumbu tersendiri dalam buku ini

Telah banyak hal yang diberikan Umar Kayam atas negeri ini. Namun hal terpenting dari sekian hal yang Umar Kayam berikan ialah upayanya menumbuhkan semangat demokrasi yang tinggi dan berupaya pula untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
Sekarang Umar Kayam sudah istirahat di Karet bersama Chairil Anwar dimakamkan. Ia mungkin sudah membayangkannya sejak beberapa tahun lalu saat ia menuli cerpen Lebaran di Karet, di Karet (Kompas). Kayam yang rileks dan penuh humor, namun gagasannya yang cerdas selalu akan dikenang sebagai tokoh sejuta inspirasi. Buku ini coba menguak lika-liku kehidupan Umar Kayam. Seorang tokoh yang tak akan tinggal diam terhadap segala ketidakberesan yang ditemukannya.
Buku yang tak terlalu tebal ini adalah upaya seorang Luthfi dalam menyingkap sisi senyap seoarang Kayam. Karenanya tidak menutup kemungkinan ada usaha-usaha lain yang juga mencoba menyingkap sisi senyap tokoh kharismatik ini.

Siti Hartinah: Wangsit Keprabon Soeharto

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Bu Tien: Wangsit Kprabon Soeharto
Penulis : Arwan Tuti Artha
Penerbit : Galangpress, Yogyakarta.
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 168 halaman.

Seorang istri bagi suami adalah sejuta inspirasi. Kita tentu ingat bagaimana seorang Kaesar besar Julius Caesar tak berarti apa-apa di tangan Cleopatra. Begitu juga dengan Seoharto. Ibu Tien bagi Soeharto adalah penyeimbangnya dalam menakhkodai negara Indonesia. Kita pun kemudian tersadar saat Bu tien Wafat Indonesia yang sebelumnya menunjukkan kemajuan mulai terseok-seok kembali dalam mempertahankan keututuhan bangsa. Kita pun tahu kemudian Soeharto harus rela jabatan yang selama ini disandangnya harus diserahkan kepada orang lain. Menurut sebagian orang, Soeharto bias berkuasa itu dikarenakan dia memperoleh Wangsit Kprabon.
Tak banyak orang yang bisa menerima wangsit kprabon sebagaimana Soeharto. Itu pun barang kali berkat keperihatinan, laku spiritual, atau jalan keberuntunagn yang harus ditempuh Soeharto, wangsit itu akhirnya datang padanya. Salah satu keberuntungan Soeharto yang tak bisa diitolak adalah ketika siti Hartinah berhasil dipersunting sebagai istrinya pada 26 desember 1947. kalau saja seoharto tak menikahi Siti Hartinah, barangkali nasib yang menghampirinya akan lain. Sebab, sangat mungkin justru melalui Siti Hartinah itulah wangsit kprabon turun untuk seoharto. Selain itu, bila Soeharto tak menghormati istrinya, barangkali ia sudah keluar militer. Untunglah Siti Hartinah menyadarkan Seoharto, bahwa karier militer yang sudah ditempuhnya selama ini tiaklah sia-sia.
Buktinya Soeharto terangkat derajadnya dengan menjadi Presiden. Namun apakah dia pernah bercita-cita jadi presiden? "Saya tidak pernah bermimpi menjadi presiden," kata Soeharto kepada penulis biografinya.
Tidak bisa dipungkiri oleh siapa saja, untuk bisa memperoleh kedudukan sebagai kepala negara, tidak lah semudah membalikkan telapak tangan, karena kursi kepresidenan itu hanya tersedia satu, sementara penduduk suatu bangsa jumlahnya jutaan jiwa. Kalau bukan karena wangsit, tentu Soeharto tak akan terkenal seperti sekarang ini.
Sumber lain juga menyebutkan, keberuntungan Soeharto karena istri yang dinikahinya itu masih keturunan Mangkunegoro. Ong Hok Kham dalam bukunya dari Priyayi Sampai Nyi Blorong (2002: 217), menyebutkan perempuan keturunan raja ini memiliki pusaka paling keramat, sebab darinya berasal api keramat kerajaan yang dapat mengangkat rakyat biasa menjadi raja.
Kalau kita percaya pada turunnya wangsit, maka ketika surat perintah yang digodok di istana bogor sudah ditandatangai Sukarno, itulah wangsit keprabon mulai angslup (masuk) di tubuh seoharto, sehingga seoharto pun sakit. Jika tidak, tentu tak ada surat perintah tak ada tanda tangan sekarno, dan tak ada kekuasaan yang jatuh pada Soeharto.
Mungkin semua ini sudah menjadi garis nasib soeharto. Tak ada yang tahu kecuali garis nasib soeharto sendiri. Dalam masyararakat Jawa, ada istilah ndilah kersaning Allah. Iklim inilah yang juga berlaku dalam kehidupan Soeharto. Untunglah ada supersemar dari Soekarno yang akhirnya mendasari tindakan Soeharto termsuk membubarkan PKI pada 12 maret 1966 dan akhirnya menduduki kursi presiden selama 32 tahun.
Hampir sering dilupakan, di balik kebesaran Soeharto itu semua ternyata terdapat kekuatan Bu Tien. Diakui atau tidak, Bu Tien mempunyai andil yang cukup besar dalam mengawal kursi Kpresidenan Soeharto, baiak fisik, moral maupun secara spiritual. Laku tapabrata yang dilakukan oleh Bu Tien sangat mampu melanggengkan kekuasaan Soeharto, baik saat meniti kariernya dalam dunia militer maupun ketika menggantikan Seokarno. Bu tien adalah endhog jagad dalam rezim pemerintahannya. Itulah sebabnya ketika Bu Tien wafat Soeharto seperti kehilangan kepercayaan dirinya. Pada saat itulah, menurut pelaku kebatinan, Ia seharusnya tak mau lagi dicalonkan sebagai presiden.
Sekarang, semuanya memang sudah berubah., teruatama setelah orde harto tak lagi menjadi bayang-bayang kekuasaan. Meski begitu tampaknya soeharto tak pisa dipinggirkan begitu saja. Terbitnya buku-buku menguak kebijakan-kebijakan masa lalu itu menunjukkan betapa soeharto masih tetap menjadi pribadi yang banyak dibicarakan. Seakan tak ada habis-habisnya membicarakan Soeharto. Di sisi lain, tak banyak yang mengerling pada belahan jiwa Soeharto yang bernama Siti Hartinah itu. Padahal sebagai seorang istri, yang menjadi sigaraning nyawa suaminya, peran Bu Tien sangat lah besar. Dalam primbon kejawen, Bu Tien digolongkan ke dalam istri yang kuat menjaga suaminya. Dia lah yang menjaga wangsit kprabon Soeharto sehingga akhirnya wangsit itu hilang sekitar dua tahun pasca Wafatnya Bu tien.
Buku Bu Tien: Wangsit Kprabon Soeharto ini kira-kira ingin mengisi kelangkaan wacana tersebut, meski bukanlah sebuah biografi mengenai Bu Tien yang lengkap. Setidaknya melalui buku ini terbaca kekuatan dibalik Soeharto, yang diyakini membawa Soeharto, yang asalnya hanya rakyat jelata menjadi penguasa tunggal kerajaan Indonesia. Semacam wangsit yang dikirim langsung dari langit, dan ketika wangsit itu hilang, panggung politik yang dimainkan Soeharto pun selesai. Sekarang terserah bagaimana penilaian orang. Wangsit kprabon sudah tak bersama soeharto ketika ingin menjadi pandhito yang tak diganggu oleh intrik-intrik politik. Walaupun buku ini kelihatannya kurang logis untuk kurun waktu sekarang. Paling tidaknya penulisnya sudah berupaya untuk menghadirkan peran Bu Tien dalam kerier politik Seoharto. Dengan buku ini, setidaknya pembaca sadar bahwa ada kekuatan lain dibalik Soharto, dan itu sering dilupakan sebagian orang.


Akhmad Kusairi, Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

Mengenalkan Success Intelligence dalam Kehidupan Praktis

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Success Intelligence
Penulis : Robert Holden
Penerbit : Mizan, Bandung.
Cetakan : Pertama, April 2007
Tebal : 424 halaman.
Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri
Bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri
(Pramoedya, 2006)
Kesukses adalah keinginan yang paling diinginkan semua orang. Namun ketidaktahuan arti kesuksesan serta orang dalam meraihnya membuat kesuksesan itu sendiri kabur, apakah sudah sukses atau hanya sibuk saja. Ini penting mengingat hampir sebagian besar orang hidup dalam budaya kesuksesan. Tapi ternyata hanya menghabiskan waktu mereka dalam kubangan kesibukan saja.
Di jaman serba cepat ini kesuksesan menjadi dewa yang diharapkan bisa mendatangkan keberkahan. Mayoritas orang menempatkan sukses sebagai tujuan hidup, dan tak jarang terobsesi untuk meraihnya. Mereka menganggap kebahagiaan bisa didapat berdasarkan apakah mereka sukses atau tidak.
Berangkat dari kegelisahan penulis yang memandang bahwa sebagain besar orang ternyata selama ini hanya lah mengejar sukses yang ternyata hanya menjadi sibuk saja, belum sukses. Di sinlah urgensinya kehadiran buku Succes Intelligence ini di ruang pembaca. Dengan paduan analogi dan deskripsi penulis membuat buku ini apik sekaligus menarik untuk dijadikan bahan kajian bagi para pecinta sibuk stadium tinggi. Penulis memutuskan menggunakan sebutan Succes Intelligence untuk menekankan perlunya berpikir secara bijaksana tentang kesuksesan.
Secara sederhana Success Intelligence berarti berani menerapkan kearifan pada kesuksesan. Ketika pertama kali Holden mempelajari kesuksesan, dia tersentak dengan apa yang disebut dengan "mabuk sukses". Dia menyaksikan betapa banyak orang yang jelas-jelas cerdas mengejar kesuksesan dalam cara yang sangat bodoh an picik. Mereka rela membayar kesuksesan yang mereka idamkan itu dengan radang lambung, perkawinan yang gagal, dan gaya hidup yang sinting.. Mereka mungkin telah menacapai skor tertinggi untuk kerja yang keras, tapi tidak untuk kecerdasan. (Hlm 18)

Sekarang ini kerja keras tidak lagi menjadi tantangan utama yang harus dihadapi, tetapi bagaimana kearifan kita yang lebih berperan.. Cara kita bekerja saat ini perlu dikaji ulang. Dalam ranah ekonomi ini yang disebut dengan ekonomi pengetahuan.
Buku Success Intelligence ini menantang Anda untuk menerapkan pemikiran terbaik Anda dalam mengejar keusuksesan. Buku yang lumayan tebal ini dibagi dalam tujuh bahasan yang diselipi dengan bab-bab setiap bahasannya. Bahasan pertama disebut "Visi", di sini pembaca akan dibantu menemukan visi yang jelas sebagai tujuan utama hidup. Bahasan kedua dinamai "potensi" yang memperkenalkan psikologi kesuksesan. Di sini pembaca akan diajak penulisnya menjelajahi bagaimana mengetahui diri dapat menolong dalam menemukan potensi, membukakan kemungkinan meraih sukses yang otentik. Pengetahuan tentang diri merupakan kunci utama menuju Success Intelligence. Tanpa pengetahuan diri tidak akan ada kesuksesan yang otentik, kebahgiaa yang otentik, dan hidup yang otentik. Tanpa pengetahuan diri, Anda mungkin malah mengejar definisi kesuksesan milik orang lain. (Hal 86)
Bahasan selanjutnya adalah kearifan dan berkonsentrasi pada sasaran kesuksesan. Di sini penulis memperkenalkan kiat bagaimana kita berlaku arif terhadap diri dan sekitar kita. Dalam bagian berikut penulis tentang banyak orang yang sering dalam upaya bergegas mengejar kesuksesan hubungan yang paling penting dikorbankan
Di bagian lima berjudul keberanian dalam menjelajahi bayangan kesuksesan. Di sini penulis menulis tentang kunci kecerdasan emosional, seperti menangani ketakutan dan menanggapi kemunduran secara cerdas. Dengan membaca buku Success Intelligence ini kita ditantang untuk menerjemahkan apa yang disebut pengalaman hidup yang negatif sehingga bisa menjadi pelajaran bagi keberhasilan. Bagian enam disebut rahmat, berfokus pada ruh kesuksesan. Di sini penulis memperkenalkan pandangan mengenai kecerdasan universal dan capabilitas untuk terilhami.

Dalam bagian penutup berbicara mengenai tujuan kesuksesan. Menurut Robert Holden penulis buku ini, tujuan sejati kesuksesan bukanlah untuk meraih keunggulan melebihi orang lain, melainkan untuk melayani dan mengilhami orang. Pengalaman Holden menunjukkan bahwa kesibukan permanen sebenarnya merupakan akibat dari tiadanya kejelasan tentang kesuksesan yang sejati. (Hal 45). Menurut Holden kunci penting menuju sukses adalah keberanian untuk melihat kesibukan Anda dan mengenali apa yang menyibukkan itu sebelumnya. Kunci lain sukses adalah kemauan untuk melihat di balik kesibukan Anda dengan tujuan menemukan jalan yang lebih baik. (Hal 50)
Buku Success Intelligence ini diharapkan dapat membantu dalam mencari kesuksesan secara cerdas sehingga tidak terperosok dalam kubangan lumpur kesibukan yang otomatis akan menyita sebagian besar hidup.
Buku ini merupakan buku kesekian yang memberikan cara-cara agar kita hidup bahagia, bukan Cuma cara agar dapat meraih kesuksesan saja, tetapi bagaimana ketika sukses sudah otomatis bahagia. Dan itu selanjutnya tugas pembaca dalam berimprovisasi sesuai dengan pengertian sukses menurut masing-masing individu. Buku ini merupakan karya yang luar biasa. Dengan disisipi pengalaman-pengalaman penulis dalam menghadapi pebisnis kelas dunia membuat karya ini punya nilai tambah.
Namun sehebat apa pun usaha penulis dalam membuat buku ini sempurna tetap saja punya titik lemah. Buku ini sebagaimana buku terjemahan selalu ada kata yang kurang pas diartikan. Tetapi tetap saja buku ini perlu atau harus dibaca oleh siapa saja, khususnya pebisnis yang memang secara konsen menerjunkan diri dalam ranah kesuksesan. Semoga dengan membaca buku ini dapat memperbaiki situasi perekonomian serta kehidupan bangsa Indonesia. Semoga…!

Berdamai dengan Pluralisme

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Esai-Esai Pemikiran Moh. Shofan dan Refleksi Kritis Kaum
Pluralis
Editor : Ali Usman
Penerbit : LSAF-Arruz Media
Cetakan : I, September 2008
Tebal : 484 halaman
Wacana pluralisme sepertinya akan tetap menjadi tema menarik sepanjang masa. Sebab pada dasarnya pluralisme merupakan keniscayaan yang tak dapat dipungkiri keberadaannya. Ia hadir sebagai bagian sejarah besar pradaban manusia. Wacana pluralisme kembali menjadi polemik di Indonesia akhir-akhir ini, setelah sebelumnya pada pertengahan pertama abad ke-20 sempat ramai dibicarakan.

Kata "pluralisme" sendiri berasal dari bahasa Inggris, pluralism yang berarti suatu kerangka interaksi tempat setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan teoleransi satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi. Dalam buku Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya karangan Imam Subkhan, kata pluralisme diartikan sebagai kerangka hubungan antar kelompok yang saling menghormati dan berjerja sama tanpa konflik adalah sebuah definisi ideal yang perlu diiemplementasikan dalam konteks sosial, politik, dan budaya tempat masyarakat itu hidup. Dengan kata lain, Pluralisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa realitas kemajemukan seharusnya berdampak pada keharmonisan hidup bersama secara berdampingan dan seharusnya menunjuk kepada watak mental yang positif dalam suasana perdamaian berhadapan dengan beragamnya agama dalam masyarakat dalam menyikapi wacana ini umat Islam sedikit berbeda pendapat, ada yang menerima, menolak, dan yang cuek-cuek saja.

Mengenai sikap terhadap wacana ini orang Indonesia sedikit berbeda pemahaman. Bagi yang menerima menganggap bahwa wacana pluralisme merupakan suatu keniscayaan bagi terciptanya kehidupan yang toleran dan harmonis di antara umat. Dalam pandangan mereka, wacana pluralisme merupakan solusi terbaik terhadap ketegangan dan konflik yang terjadi, terutama pada era pasca-reformasi. Ini penting jika Pluralisme dikaitkan dengan kasus-kasus seperti Ahmadiyah, Lia Aminuddin, Poso, serta kasus-kasus lain yang sejenis. Bagi yang menolak melihat wacana ini sebagai upaya penyeragaman segala perbedaan. Upaya ini secara ontologis dianggap bertentangan dengan Sunnatullah yang pada kemudian akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri.

Buku yang berjudul lengkap Esai-Esai Pemikiran Moh. Shofan dan Refleksi Kritis Kaum Pluralis ini perlu dibaca karena berisi secara rinci perkembangan mutakhir pluralisme serta sikap dan respon masyarakat. Muhammad Shofan penulis buku ini secara jeli bisa memetakan wacana seputar pluraslisme baik yang pro maupun yang kontra.

Berdasarkan apa yang dituliskan oleh M. Shofan yang sudah mendeskripsikan dengan baik masalah-masalah seputar pluralisme sepertinya sebagai seoarang muslim yang moderat kita harus berdamai dengan pluralisme. Berdamai di sini dengan artian tidak terlalu ekstrem dan tegas menolak pluralisme dan juga sebalinya. Dalam hal ini sikap-sikap moderat dan santun sangat diharapkan.

Menggagas Tasawuf Kultural di Indonesia

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Tasawuf Kultural:Fenomena Shalawat Wahidyah
Penulis : Sokhi Huda
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : xxviii + 372 halaman.
Dampak modernitas terhadap sendi-sendi kehidupan memang hampir mendekati sempurna. Harus diakui hampir segala dimensi kehidupan sudah dimasuki oleh modernitas, termasuk agama. Di tengah kondisi demikian banyak orang beranggapan bahwa Tuhan tak lagi dibutuhkan mengingat segala macam keperluan manusia sudah disediakan di dalam kehidupan modern. Namun benarkah demikian? Tumbuh suburnya majelis-majelis pengajian tasawuf di mana-mana merupakan bukti bahwa hal tiu tidak lah benar. Dengan kata lain masyarakat merasa terbelenggu oleh kecenderungan matarialisme. Mereka membutuhkan sesuatu yang dapat menentramkan jiwanya serta memulihkan kepercayaan mereka yang nyaris punah karena dorongan kehidupan materialis-komsumtif. Salah satunya adalah tasawuf.
Tasawuf di Indonesia sekarang ini tidak hanya menarik perhatian para peneliti muslim, tetapi juga menarik perhatian masyarakat awam. Di Barat pun terjadi hal serupa. Akhir-akhir ini juga muncul perhatian besar terhadap tasawuf. Munculnya hal tersebut tampaknya dipicu oleh beberapa hal, seperti adanya perasaan tidak aman menghadapi masa depan, di samping juga karena adanya kerinduan masyarakat Barat untuk bisa menyelami ajaran-ajaran ruhani dari agama-agama Timur.
Dengan realitas di atas tidak heran jika banyak pakar meramalkan bahwa tasawuf akan menjadi trend abad 21 ini. Ramalan ini cukup beralasan karena sejak akhir abad 20 mulai terjadi kebangkitan spiritual di berbagai kawasan. Munculnya gerakan spiritual merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap dunia modern yang terlalu menekankan hal-hal yang bersifat material-profan sehingga menyebabkan manusia mengalami keterasingan jiwa.
Kebangkitan spiritual ini terjadi di mana-mana, baik di Barat maupun di Timur termasuk Islam. Di Barat, kecenderungan untuk kembali pada spiritualitas ditandai dengan semakin merebaknya gerakan fundamentalisme agama. Sedangkan di dunia Islam ditandai dengan banyaknya artikulasi keagamaan, seperti fundamentalisme Islam yang ekstrim dan menakutkan, di samping juga bentuk artikulasi keagamaan esoterik lainnya yang akhir-akhir ini menggejala, seperti gerakan sufisme dan tarekat.
Dalam konteks Indonesia, tasawuf berkembang sangat pesat. Bahkan disinyalir ia muncul sejak awal datangnya Islam ke negeri ini. Dalam buku Melacak Pemikiran Tasawufdi Nusantara, misalnya M. Solihin menulis bahwa Islam datang pertama kali ke wilayah Aceh.
Oleh karena itu, Aceh sekaligus berperan penting bagi penyebaran tasawuf ke seluruh wilayah Nusantara, termasuk juga ke semenanjung Melayu. Tasawuf yang singgah pertama kali di Aceh tersebut memiliki corak falsafi. Tasawuf falsafi ini begitu kuat tersebar dan dianut oleh sebagian masyarakat Aceh, dengan tokoh utamanya adalah Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrarri. Dua tokoh sufi-falsafi ini mempunyai pengaruh cukup besar hingga corak tasawuf yang diajarkannya tersebar ke daerah-daerah lain di Nusantara.
Munculnya dua tokoh tasawuf dari Aceh yang bercorak falsafi tersebut kemudian disusul oleh para tokoh tasawuf berikutnya, yakni Nuruddin ar-Raniri, Abd Shamad al-Palimbani, dan Wali Songo. Munculnya tokoh-tokoh sufi pasca-Hamzah al-Fansuri dan as-Sumatrani ini lebih menampakkan ajaran tasawuf tipikal al-Ghazali. Bahkan tasawuf ini kemudian menjadi begitu dominan di Nusantara.
Pada sisi lain, patut diperhatikan juga bahwa ada dua tokoh lain yang ikut memperkaya khazanah tasawuf di Indonesia, yakni Ronggowarsito yang bernuansa "Kejawen" dan Haji Hasan Musthafa yang bernuansa "Pasundan". Kedua tokoh ini mempunyai pemahaman spiritual yang berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya. Mereka memperlihatkan adanya dialektika antara pemikiran tasawuf secara umum dengan budaya lokal setempat.
Berdasarkan data-data yang ada, para sufi Nusantara cukup memahami ajaran-ajaran wihdatul wujud milik Ibn Arabi dan ajaran insan kamil milik al-Jili. Teori-teori ini masuk ke Nusantara melalui dua tokoh Aceh, yakni Hamzah al-Fansuri dan as-Sumatrani yang ditopang oleh pemikiran Muhammad Fadhlullah al-Burhanpuri (India). Konsep wahdah al-wujud karya dan insan kamil kemudian berpadu dengan Tuhjah milik al-Burhanpuri sehingga melahirkan teori martabat tujuh. Teori ini terlihat mewarnai wacana pemikiran sufi Indonesia.
Teori martabat tujuh ini berhubungan erat dengan paham tanazzul dan tajalli, dan ia menjadi fenomena yang banyak dijumpai di Indonesia. Konsep martabat tujuh merupakan tingkatan-tingkatan perwujudan melalui tujuh martabat, yaitu: (1) ahadiyah, (2) wahdah, (3) wadhidiyah, (4) 'alam arwah, (5) 'alam mitsal, (6) 'alam ajsam, dan (7) 'alam insan.
Pemahaman seperti itu kelihatannya lebih tegas dipahami oleh Wali Songo di Pulau Jawa, yang kental dengan nuansa Sunninya. Gaya-gaya penafsiran mereka ini kelihatan tetap cenderung pada tasawuf Sunni. Dan, tasawuf Sunni inilah yang banyak dianut oleh masyarakat Islam Indonesia hingga sekarang.
Di sisi lain, dalam realitas kultural yang ada, di Indonesia juga muncul dua aliran tasawuf/tarekat yang cukup populer, yakni Shiddiqiyah dan Wahidiyah. Dua aliran tasawuf ini lahir di Jawa Timur. Kedua aliran ini ternyata berkembang cukup pesat di tengah masyarakat dan memiliki sistem organisasi yang cukup bagus dan solid. Menurut buku Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidyah ini kedua aliran ini merupakan aliran tasawuf produk Indonesia asli karena mempresentasikan formula amalan dan ajaran yang khas Indonesia dibanding dengan aliran-aliran tasawuf/tarekat lainnya.
Buku yang ada di hadapan pembaca ini mencoba mengkaji secara komprehensif fenoma Wahidiyah sebagai sebuah aliran tasawuf kultural. Dalam hal ini Sokhi Huda sebagai penulis mencoba melacak kelahiran shalawat Wahidiyah sebagai aliran tasawuf serta dinamika yang terjadi di dalamnya, respons para ulama' terhadapnya, dan juga sistem ajaran sekaligus pengorganisasiannya. Tak pelak tema kajian buku ini sangat menarik untuk dicermati dan didiskusikan, terutama di tengah masyarakat yang sering mengklaim diri dan kelompoknya sebagai yang paling benar.
Sebagai sebuah penelitian tentunya berhasil dan tidaknya buku ini ditentukan oleh respon peneliti-peneliti lain sehingga tertarik untuk melakukan kajian terhadap tema yang serupa. Tasawuf kultural untuk kalangan Indonesia sepertinya sesuatu yang harus ada, sebab selama ini kelompok-kelompok tasawuf didominasi oleh kalangan Sunni yang notabene sangat jauh dari tradisi ke-lokalan Indonesia. Oleh karena itu, sebagai kaum muslim Indonesia sudah sepatutnya berterima kasih terhadap penulis buku ini, yang dengan segala kelebihan dan kekurangannya mampu menghadirkan buku ini.

NU: Antara Harapan dan Tantangan

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : NU dan Neoliberalisme Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad
Penulis : Nur Kholik Ridwan
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Februari 2008
Tebal : xix + 204 halaman.

Nahdhatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi sosial-kemasyarakatan terbesar dan tertua di Indonesia yang mempunyai jaringan luas dengan basis massa tersebar di seluruh Indonesia. Namun, banyaknya masa dan jaringan yang luas, ternyata tidak diikuti dengan prestasi yang cemerlang. Bahkan dalam ranah politik dan ekonomi, NU hampir selalu menjadi pecundang. Dengan kenyataan, hingga saat ini basis massa NU tetap menjadi komunitas pinggiran yang tidak bisa berbuat banyak dalam menghadapi tantangan modernitas dan imperialisme neo-liberal. Jika demikian hal-nya, barang kali memang ada yang salah dalam cara kerja organisasi ini. Dalam arti organisasi ini tidak memiliki grand desain untuk memajukan, memberdayakan, dan mensejahterakan warganya.

NU secara organisasi didirikan pada 31 Januari 1926 dalam sebuah rapat di Surabaya yang dihadiri oleh KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisyri Syamsuri, KH. Ridwan, KH. Nawawi, KH. Doromuntaha (menantu KH. Cholil Bangkalan), dan banyak kiai lainnya. Rapat itu memutuskan dua hal: pertama, mengirim komite ke Makah untuk memperjuangkan hukum-hukum madzhab empat kepada pemerintah baru Kerajaan Saudi yang dipegang oleh kelompok Wahabi; dan kedua, mendirikan jamaah bernama NO (Nadlatoel Oelama), dengan komitmen awal menjadi gerakan sosial keagamaan. (hlm 1)

Dengan umurnya yang lumayan tua itu, sedikitnya ada dua tantangan yang harus dihadapi, pertama, globalisasi neoliberal yang telah mengubah dan mengendalikan tata dunia baru, dan kedua munculnya kelompok-kelompok Islam jenis lain yang gencar masuk ke daerah-daerah jantung NU, seperti Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir (HT), dan Jama'ah Islamiyah (JI). (hlm 2)

Jika dahulu salah satu faktor pendorong lahirnya NU adalah untuk menghadapi globalisasi Wahabi maka sekarang ini tantangan yang dihadapi NU lebih kompleks karena NU dikepung oleh kelompok Islam jenis lain itu yang walaupun tidak besar, tetapi berpotensi menarik kelompok-kelompok baru, bahkan menarik kelompok-kelompok ulama yang tidak memiliki perangkat canggih dalam menatap masa depan.

Guna merespons tantangan-tantangan ini ada pertanyaan menarik yang diajukan penulis buku yang berjudul lengkap NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad ini yaitu, apakah masyarakat NU akan sanggup merespons tantangan-tantangan tersebut atau hanya sekadar bersikap reaktif? Pertanyaan ini perlu dipikirkan secara serius oleh masyarakat NU dan para Pemimpinnya. Sebab, jika tidak, kata penulis buku ini, NU akan selalu terpinggirkan; dan hal itu hanya akan menambah sindrom kekalahan di mana masyarakat NU akan selalu menjadi orang yang kalah, yang selalu dieksploitasi secara terus-menerus.
Memang sejarah mencatat persoalan-persoalan sosial yang muncul dalam masyarakat selalu direspons oleh elit pesantren, yang nota bene masyarakat NU, namun sangat disayangkan, hampir selalu berakhir dengan kekalahan. Hal ini disebabkan menurut Nur Kholik Ridwan, penulis buku ini, karena dalam banyak perubahan sosial, masyarakat NU selalu bersikap pasif sehingga respons-respons yang muncul acap kali bersifat reaktif semata sehingga tidak heran jika hal itu berakhir dengan kekalahan.

Lebih lanjut penulis memaparkan kekalahan demi kekalahan yang diderita oleh NU. Di antaranya adalah pada tahun lima puluhan, NU keluar dari Masyumi karena kecewa, begitu juga keluar dari PPP karena kecewa. Selain itu ketika terjadi peristiwa 65, masyarakat NU tampil terdepan di lapangan, bahkan ketika itu banyal elit NU yang seakan menjadi pahlawan. Beberapa tokohnya bahkan sampai saat ini sangat bangga dengan hal itu. Mereka ternyata tidak sadar bahwa permainan telah dimenangkan oleh militer dengan jenderal Soeharto sebagai komandannya Hasilnya jelas, masyarakat NU dikandangkan kembali ke desa dan perkampungan-perkampungan kumuh. Pada era reformasi, NU mendirikan partai tersendiri, namun hasilnya juga mengecewakan. Dan masih banyak lagi kekalahan-kekalahan yang direkam apik dalam buku ini. (Hlm 4)

Oleh karena itu, agar NU tidak mengalami lagi kekalahan itu, tambah Nur Kholik, NU perlu merespons secara kreatif dan serius atas tantangan yang telah disebutkan di atas. Ketidaktepatan NU dalam merespons akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan NU ke depan.

Dalam buku ini, penulis mencoba mengkaji berbagai persoalan yang menghimpit dan membuat komunitas NU tidak berdaya dalam menghadapi perubahan sosial, politik, dan ekonomi. Selain itu, buku ini juga menyajikan berbagai tantangan dah sekaligus harapan bagi komunitas NU dalam menyongsong satu abad perjalanan organisasi kaum ulama ini. Tak pelak, buku ini merupakan sumbangan berharga dari salah seorang muda NU progresif yang memiliki imajinasi kreatif bagi keberlangsungan dan kejayaan NU di masa depan dan selalu gelisah melihat keterpurukan basis massanya.

Buku ini hadir untuk ikut memberikan pandangan yang bisa dijadikan bahan renungan di tengah ganasnya serangan globalisasi dan neoliberal. Buku ini ingin menjelaskan masalah dasar tentang apa itu neoliberal, bagaimana neoliberal bekerja, bagaimana ia diadopsi oleh negara, dan apa dampak dari kebijakan neoliberal terhadap negara dan juga warganya; serta menjelaskan posisi masyarakat NU yang kini sedang dimainkan dalam hubungannya dengan neoliberal; modal-modal sosial yang dimiliki dan hambatan-hambatan yang menghadang masyarakat NU untuk merespons neoliberal; serta kerangka besar dan langkah taktis apa yang perlu diperjuangkan masyarakat NU menjelang usianya yang ke-100 (satu abad) bersamaan dengan semakin canggih dan ganasnya globalisasi neoliberal mencengkeram warga bangsa.

Seperti diungkapkan oleh KH. Muchit Muzadi di kutipan awal buku ini, bahwa NU perlu "mengambil hal-hal baru yang relevan dan tidak harus memegang yang lama terus-menerus". Ini berarti bahwa NU harus berani mengambil langkah-langkah ke depan dalam merespons neoliberal demi generasi mendatang jika NU tidak ingin lagi kalah dan tercerai berai di tengah gencarnya serangan (ideologi) yang dilakukan oleh PKS, HTI, JI, pada satu sisi dan neoliberal di sisi lain.
Membangun NU ke depan berarti berupaya secara serius untuk menemukan strategi dalam membendung arus neoliberal, baik itu berupa strategi, langkah taktis, serta kerja praksis yang harus digalakkan. Persoalan kemudian adalah, siapakah yang bisa diharapkan mampu menguraikan masalah-masalah yang kompleks ini sekaligus memandu dan mencari jalan keluarnya di tengah jaman neoliberal yang ganas dan canggih ini? Sejarah lah kemudian yang akan menjawab itu.

Buku ini merupakan bukti kecintaan Seorang Nur Khalik Ridwan terhadap organisasi yang mengaku mempunyai masa terbesar di Indonesia. Kritiknya yang keras terhadap NU perlu diapresiasi lebih lanjut. Namun bukan berarti buku ini tanpa cacat. Perbaikan secara teknis buku ini juga diperlukan, karena di sana-sini masih banyak terdapat pengulangan kata yang terjadi. Terlepas dari kekurangannya, buku ini tetap layak untuk dibaca.
Akhmad Kusairi, Mahasiwa Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Thursday, October 16, 2008

Menggagas Politik yang Setara

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Pemberdayaan Politik Perempuan Litas Agama
Penulis : Abdul Rozaki & Nur Kholik Ridwan
Penerbit : LSIP, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, September 2008
Tebal : xxviii + 145 halaman

Disahkannya berbagai dokumen merupakan indikasi komitmen bersama negara di seluruh dunia agar tata politik dunia tak lagi menciptakan diskriminasi terhadap perempuan. Setidaknya ada tiga dokumen yang menetapkan standar internasional dalam mendefinisikan persamaan antara perempuan dan laki-laki. Pertama, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), kedua, Platform Aksi Beijing PBB, dan ketiga Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1325. Ketiga dokumen ini menjadi kekuatan untuk mendorong partisipasi perempuan di berbagai institusi sosial.

Di tengah keterhimpitan perempuan di berbagai institusi, kini proses mendorong partisipasi perempuan dikaitkan dengan representasi. Seperti gagasan yang mengatakan bahwa 30% perempuan harus ada dalam keanggotaan parlemen di Indonesia. Kuota keterwakilan ini tertuang dalam UU Nomor 12 tahun 2003. Hasilnya memang belum memuaskan. Hasil pemilu 2004 menunjukkan bahwa kuota keterwakilan perempuan belum terpenuhi.

Di Indonesia keterlibatan perempuan dalam jabatan publik, jabatan politik, dan sejenisnya masih terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah nominal penduduk perempuan. Belum lagi, jika dibandingkan antara praktik-praktik politik Indonesia yang mengakomodir perempuan secara maksimal dalam hal kuota politik perempuan dengan negara-negara Skandinavia, Amerika Latin, Eropa, dan Oceania. Indonesia berada pada urutan buncit dalam hal partisipasi politik perempuan. Dari 100 negara di dunia, Indonesia menempati urutan 88 (hanya 11%) partisipasi politik perempuan dalam parlemen. Indonesia kalah partisipatifnya dengan Rwanda (48,8%) negara yang paling tinggi partisipasi politiknya atas perempuan; Swedia (45,3%); Denmark, Finlandia, Belanda, Norwegia, Cuba dan Argentina (30,7%); Timor Leste (25,3%); Uganda (23,9%); Australia (24,7%), dan Pakistan (21,3%) (Azizah, 2008).

Dalam konteks perjuangan kaum perempuan gagasan mendukung dengan tegas kuota 30% adalah sebuah terobosan yang maju. Partisipasi perempuan yang dilekatkan dengan representasi politik ini merupakan langkah strategis agar suara perempuan dalam kebijakan publik lebih terdengar. Dengan cara ini pula perempuan akan lebih mampu mewarnai kebijakan politik pemerintahan yang lebih peka terhadap kaum perempuan.

Mendorong partisipasi yang dapat melahirkan representasi politik dalam arti semakin meningkatnya kuota perempuan dalam jabatan-jabatan publik, tidak mudah diwujudkan. Ia membutuhkan komitmen dan agenda bersama untuk terus diperjuangkan. Meski demikian, cara ini perlu ditempuh agar kebijakan politik tidak lagi memarjinalkan kaum perempuan. Untuk mendorong proses ke arah dinamisasi perempuan dalam politik kaum perempuan harus memiliki instrumen-instrumen penguatan politik di dalam organisasi sosial.

Bila melihat kiprah kaum perempuan dalam Ormas di Indonesia, peran strategis mereka masih sangat terbatas. Sedikitnya kaum perempuan yang duduk dalam struktur kepengurusan justru menyisakan masalah tersendiri. Mengapa bisa demikian? Sebab dalam kultur di masyarakat peran kaum perempuan diposisikan sebagai pendamping yang berfungsi sebagai penyokong kegiatan laki-laki.

Tentunya Merombak kultur ini membutuhkan keberanian, kreativitas, dan juga proses waktu yang mungkin tidak pendek. Perombakan kultur memang bukan pekerjaan yang mudah karena perjuangan ke arah itu jalannya terkadang terjal dan berliku. Terlebih kultur patriarki berpintal dengan legitimasi teologi keagamaan masyarakat yang masih konservatif.


Kaum perempuan di Indonesia dalam ranah sosial keagamaan sampai sekarang masih berada dalam posisi pinggir. Isu-isu pembatasan kiprah kaum perempuan melalui peraturan daerah berbasis tafsir keagamaan konservatif, kekerasan di dalam rumah tangga, juga fenomena poligami di kalangan para da'i belum mendapatkan reaksi keras di kalangan organisasi sosial keagamaan. Reaksi keras atas berbagai persoalan sosial tadi hanya muncul di kalangan aktivis LSM. Kadang, kaum perempuan sendiri terpecah ketika dihadapkan pada isu keagamaan seperti praktik poligami. Perpecahan di kalangan perempuan hanya berakibat pada kemunduran perjuangan untuk mengembangkan karya dalam kehidupannya.

Agar perjuangan perempuan dapat didengar oleh para politisi di partai politik, ormas keagamaan, dan aktivitas kemasyarakatan, perempuan harus mendapatkan legitimasi dari berbagai kelompok dalam masyarakat. Perjuangan perempuan tidak boleh berhenti pada kelas menengah berpendidikan tinggi saja, gerakan perempuan harus lebih "membumi" pada level grass-root yang realitasnya lebih banyak ketimbang perempuan kelas menengah yang berpendidikan dan memiliki akses pada kebijakan politik maupun wilayah lainnya.

Oleh karena itu, gerakan kaum perempuan harus terus-menerus dan sistematis dalam melakukan tekanan kepada institusi-institusi sosial yang patriarkis. Ini tidak dapat dilakukan kaum perempuan sendiri, tetapi harus bersama-sama dengan entitas sosial lain yang memiliki kepekaan terhadap masalah perempuan. Dengan kerja dan upaya keras seperti itu, sepertinya bukan suatu yang mustahil pada masa-masa mendatang peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di lembaga politik akan berdampak terhadap pengakuan secara utuh hak-hak sipil dan politik kaum perempuan.

Di sinilah posisi penting buku Pemberdayaan Politik Perempuan Lintasagama yang ditulis oleh Abdur Rozaki dan Nur Khalik Ridwan ini. Buku ini memberikan sumbangan konsepsional sekaligus memberikan gambaran betapa pentingnya nilai-nilai demokrasi ditegakkan. Beberapa pengalaman lapangan membuktikan, perempuan sebenarnya memiliki kekuatan untuk berpartisipasi dalam partai politik dan pengambilan kebijakan. Namun disayangkan, ruang untuk berpartisipasi tidak terlalu longgar untuk mereka.
Buku ini memberikan kontribusi untuk pemberdayaan perempuan lintasagama dalam memperjuangkan dan mengkonsolidasi masyarakat untuk kemajuan kaum perempuan. Perjuangan perempuan akan berhasil tatkala mendapatkan dukungan publik. Akan tetapi, perjuangan perempuan akan gagal tatkala energi yang dimiliki terkuras habis karena bergelut dengan masalahnya sendiri (kaum perempuan) yang tidak mampu diorganisir, dinegosiasikan, dan dikompromikan dalam realitas politik yang masih dominan bias gender.


*Resensi ini pernah dimuat di Seputar Indonesia 5 Oktober 2008

Friday, September 05, 2008

Menebar Kembali Pesona Ilmu Agama

Judul: Pudarnya Pesona Ilmu Agama
Penulis: Muhyar Fanani
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Cetakan: Pertama, 1 Oktober, 2007
Tebal: xxxvi + 190 halaman.
Serangan modernitas terhadap sendi-sendi kehidupan manusia memang hampir mendekati sempurna. Harus diakui, hampir segala dimensi kehidupan di dunia ini sudah dimasuki oleh proyek besar bernama modernitas itu, termasuk agama. Di tengah kondisi demikian, banyak orang kemudian beranggapan bahwa Tuhan tak lagi dibutuhkan mengingat segala macam keperluan manusia sudah disediakan di dalam kehidupan modern ini.
Ilustrasi di atas bisa jadi merupakan representasi nasib imu-ilmu keislaman secara umum. Betapa tidak, Tuhan saja yang selama ini dianggap sebagai sumber dari ilmu-ilmu agama sekarang mulai disangsikan keberadaanya. Oleh sebab itu bukan suatu yang heran jika kemudian ilmu agama sebagai turunan dari ilmu-ilmu Tuhan sekarang hanya dipandang sebelah mata.
Fenomana ini disebabkan oleh umat Islam sendiri yang telah mengalami kegelisahan dalam memahami Islam. Sedikitnya ada dua kegelisahan yang sudah sangat krusial. Pertama, problem modernitas. Poin pertama ini ada dikarenakan bola modernitas yang kian membesar menggulung premis-premis kecil di sekelillingnya yang mau tidak mau meniscayakan sebuah rekontruksi, bahkan pada saat-saat tertentu dekonstruksi atas pemahaman yang telah dibawa sejak abad VII dan mengalami pensakralan hukum. Kedua, kesadaran internal kaum muslim akan adanya anomali dalam berbagai ranah keilmuan, terutama dalam masalah interpretasi teks Quran, entah itu mengarah pada wilayah hukum, aqidah, ataupun masalah-masalah yang berkait erat dengan IPTEK.
Semakin jauhnya paradigma keilmuan juga menjadi sebab utama kenapa ilmu agama ini mulai ditinggalkan peminat. Feneomena ini bisa dilihat dengan jumlah mahasiswa yang memilih fakultas-fakultas yang pure
seratus persen mengajarkann ilmu agama. Ini mungkin disebabkan oleh pengaruh tradisi masyarakat yang mulai bergeser dari masyarakat sepiritual-religius kepada materialisme sekuler. Tuntutan ekonomi juga tak bisa dilepaskan dari probematika ini.
Faktor kemalasan berpikir dan adanya intervensi politik dalam pergeseran paradigma telah menjadikan lambannya perkembangan ilmu keislaman, termasuk ilmu-ilmu Ushuluddin. Inilah yang mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok yang beku dan terkesan antidialog.
Sebagaimana tersirat dalam namanya, ilmu-ilmu ushuluddin seharusnya menjadi the core and kernel of Islamic Studies. Untuk itu upaya pengembangan ilmu keislaman sudah semestinya berangkat terlebih dahulu dari ilmu-ilmu ushuluddin. Dalam kerangka itulah kajian dalam buku ini, menjadi penting untuk dilakukan. (Hal 4)
Oleh sebab itu, menurut penulis jika ilmu-ilmu agama mau tetap bisa eksis, hal yang paling penting dilakukan adalah mengubah paradigma keilmuannya dari hanya berorientasi kepada dirinya sendiri menjadi lebih berorientasi sosial.
Melihat fenomena yang amat parah di tubuh umat Islam sekarang, mendorong penulis buku ini untuk mencari tahu mengapa fenomena kemunduran ilmiah itu dapat terjadi. Kajian dalam buku ini akan melihatnya dengan cara pandang sejarah pengetahuan, tepatnya memakai teori pergeseran paradigma Thomaz Kuhn. Pengunanaan sejarah pengetahuan mazhab Kuhnian dilakukan berdasarkan alasan bahwa hanya dengan melihat proses pergeseran paeadigma dalam ilmu-ilmu keislaman lah kita dapat memahami penyebab kemunduran ilmu-ilmu Ushuluddin dan selanjutnya merumuskan sejumlah strategi guna mengembangkan ilmu-ilmu Ushuluddin ke depan.
Objek yang dikaji dalam buku ini adalah fenomena seputar melemahnya ilmu-ilmu Ushuluddin atau yang lebih dikenal dengan ilmu-ilmu Syar'iah sebagai lawan dari ilmu-ilmu umum. (Hal 5)
Selain untuk menjawab persoalan utama di atas, buku ini juga berusaha mendudukkan secara tepat kontribusi teoritis sejarah pengetahuan mazhab Kuhnian bagi pengembangan ilmu Ushuluddin. Di samping itu, kajian ini juga bertujuan untuk mencari solusi baru bagi kemacetan kreativitas yang dialami ilmu-ilmu ushuluddin dapat berkembang dan relevan dengan pekembagan jaman. (Hal 6)

Saat ini kita mewarisi peninggalan konflik sejarah keilmuan yang sulit dihapuskan. Dikotomi ilmu-ilmu yang berakar langsung pada wahyu dan ilmu yang berakar dari Yunani semakin lebar. Pada hal sebenarnya dokotomi itu sudah tidak ada artinya bagi umat Islam dewasa ini. Mengapa? Karena umat Islam sudah tidak lagi berprestasi di semua bidang ilmu itu. Sekarang hampir semua ilmu dipimpin oleh Barat dan kita hanya sebagai pengekor saja. (hal 18).
Berangkat dari kegelisahan itu lah mungkin alasan buku Pudarnya Pesona Ilmu Agama karangan Muhyar Fanani ini hadir di ruang baca. Dalam menjawab kegelisahan itu, penulis buku ini menganggap pudarnya ilmu agama itu tidak berangkat dari ruang kosong. Sebab yang paling mudah dilihat ialah karena masyarakat sekarang merasa kurang mendapatkan kontribusi dari ilmu-ilmu agama. Selain itu, problematika masyarakat sehari-hari seakan tidak mereka temukan jawaban dari ilmu-ilmu agama. Dengan kata lain mereka merasa tidak mendapatkan pencerahan dari ilmu semacam ini. Selain itu selama ini ilmu agama lebih sering hanya memperhatikan aspek positivistik, dengan kata lain ilmu agama miskin dari alternatif-alternatif dalam menjawab fenomena sosial yang semakin mencekik leher mereka yang kurang beruntung.
Buku ini merupakan usaha seorang Muhyar Fanani dalam menebarkan kembali pesona ilmu agama yang selama ini. Mengalami kemandekan. Dengan ide-ide cerdas yang ada dalam buku ini bisa membuat pembaca terbangun dari keterpesonaannya mereka terhadap ilmu Pengetahuan yang bersumber dari Barat.

Tuesday, May 06, 2008

Perempuan dalam Himpitan Agama dan Politik

Oleh : Akhmad Kusairi
Judul : Perempuan, Agama & Demokrasi
Editor : Subkhi Ridho
Penerbit : LSIP, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : xvi + 277 halaman.

Dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia, perempuan selalu mempunyai andil yang sangat penting. Hal itu dibuktikan oleh peran aktif perempuan dalam berbagai pergerakan nasional di Nusantara baik pada masa pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan. Pada dua masa ini, kita kenal nama seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Dewi Sartika, RA Kartini dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun peran penting para perempuan ini seringkali dipandang sebelah mata oleh orang kebanyakan. Keterlibatan perempuan dalam perjuangan pergerakan masih dianggap tidak sebanding dengan laki-laki, sekalipun sejatinya banyak perempuan yang gugur tetapi tidak tercatat dalam rekaman sejarah.
Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan tersebut hingga sekarang masih terus berlanjut. Memang secara teori Partisipasi perempuan dalam politik praktis sudah dijamin dalam pelbagai peraturan. Namun pada praktiknya masih jauh dari harapan, apalagi jika mengetahui perwakilan perempuan dalam DPR hanya 9 % dari 51 % semua penduduk Indonesia.
Ini menjadi ironis, padahal persolan kuota tersebut sudah diatur agar keterwakilan perempuan dalam dewan mencapai 30 %. Artinya keterwakilan perempuan dalam politik nasional memang masih kurang jumlah. Bahkan di tingkat daerah perempuan hanya 350 orang dari total 10.250 anggota DPRD di seluruh Indonesia. Secara umum perempuan Indonesia sangat membutuhkan ruang yang lebih luas dalam mengakses hak politiknya, baik dalam ranah legislatif maupun eksekutif.
Pertanyaannya, mengapa partisipasi politik perempuan demikian rendah jika dibanding dengan laki-laki? Itulah pertanyaan yang akan dijawab dalam buku Perempuan, Agama & Demokrasi ini. Dengan data-data yang cukup meyakinkan para penulis buku ini berusaha menjawab persoalan seputar pertanyaan di atas. Secara umum alasannya terbagi dalam tiga hal.

Pertama,budaya yang belum sepenuhnya memberikan ruang secara luas kepada perempuan dalam bidang politik. Secara umum tradisi yang berkembang di Nusantara yang memandang bahwa perempuan secara kodrati harus selalu dipimpin oleh laki-laki, bukan sebaliknya.
Keduastruktur yang tidak memberikan ruang akses pada perempuan. Bahkan struktur politik Indonesia adalah struktur politik bias laki-laki, sehingga secara salah menempatkan perempuan tak lebih sebagai pelengkap saja. Orang kebanyakan ternyata masih enggan memberikan kesempatan secara luas pada perempuan untuk berkarir di bidang politik.
Dan terakhir, yang tak kalah pentingnya adalah soal tafsir agama yang bias gender, sehingga banyak sekali teks-teks agama yang ditafsirkan secara misoginis, menaruh kebencian pada kaum perempuan, bukan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Kitab Suci yang menyatakan setiap umat manusia setara di hadapan Tuhan, kecuali keimanan yang membedakannya seringkali dipelintir dengan dalil lainnya tatkala perempuan akan menjadi pemimpin, dengan mengatakan jika meletakkan kepemimpinan pada perempuan maka tunggulah kehancurannya!
Tiga kenyataan itulah yang membuat posisi perempuan dalam hal partisipasi politiknya di Indonesia tidak setara. Wacana politik perempuan dengan kuota 30 % masih dalam tataran wacana, karena realisasinya banyak partai politik yang enggan menerapkannya dengan pelbagai alasan yang kadang dibuat-buat, sekalipun terkesan tidak masuk akal.
Mengetahui kondisi riil di lapangan seperti itu maka sudah seharusnya ormas-ormas keagamaan yang punya pengaruh berperan aktif dalam melakukan gerakan agar partisipasi politik perempuan dari jalur keagamaan bisa dapat direalisasikan. Menurutu Nasr Hamid Abu Zayd, Wacana perempuan bukan hanya wacana jenis kelamin, bukan pula problem kemunduran sosial atau kemunduran berpikir. Semua itu merupakan aspek-aspek yang diproyeksikan dalam menganalisis seluruh problem tersebut, sebagai sebuah problem yang bisa disebut "problem otoritas politik" dalam hubungannya dengan sejarah manusia sejak permulaan sejarah Arab. Dan itulah sesungguhnya akar krisis sejarah perempuan Arab-Islam.

Melihat betapa dominannya peran agama dalam kaitannya dengan problem partisipasi perempuan, Robert Hefner menyarankan kepada masyarakat Indonesia untuk membangun peradaban yang setara, laki-perempuan, sebab itu sebetulnya yang merupakan problem khas masyarakat multikultural seperti Indonesia. Bagaimana agar problem-problem tersebut direspon secara bersama-sama terutama di kalangan muslim Indonesia, sebab muslim Indonesia bisa diharapkan menjadi basis bagi tumbuhnya demokrasi yang berkeadaban
Dalam buku bunga rampai ini, pembaca akan mendapatkan segudang informasi penting. Dengan kecerdasan khas intelektual para penulis menyuguhkan berbagai macam wacana yang terkait dengan doktrin-doktrin keagamaan yang selama ini dianut, sehingga menempatkan perempuan pada "kelas dua". Dalam buku ini pembaca juga akan disuguhi beragam pemikiran dari para aktivis perempuan lintas agama yang bergelut dalam masalah kesetaraan gender di Indonesia.
Buku ini merupakan refleksi bersama dari orang yang masih peduli terhadap isu-isu perempuan, karena perempuan Indonesia masih kurang mendapatkan ruang dalam ranah sosial-politik. Sebagai makhluk sosial perempuan dan laki-laki saling membutuhkan, saling melengkapi dan saling memperkaya satu sama lain. Karenanya, bukan persaingan dan pertentangan yang harus dikedepankan, melainkan kerja sama secara maksimal dengan melibatkan nilai-nilai feminitas dalam percaturan masa depan demokrasi, yaitu demokrai yang menggnakan empati, simpati dan hati tulus penuh kasih sayang keibuan! Itulah yang dibutuhkan masa depan demokrasi kita, dan itulah sumbangan penting kehadiran perempuan dalam dinamika demokrasi kita. (Hal 33)
Sebagai akhir, hampir menimpa pada buku bunga rampai, yaitu banyak terjadi pengulangan bahasan serta minimnya tempat membuat buku ini tidak tuntas dalam menjawab pertanyaan elementer di atas. Namun bagaimanapun buku ini tetap layak dibaca sebagai bahan perenungan terhadap nasib perempuan Indonesia ke depan, agar kemudian, kesalahan-kesalahan di masa lalu tidak lagi terjadi pada saat ini. Sehingga kemudian kesejahteraan umum sebagai tujuan utama demokrasi bisa menjadi kenyataan.
Resensi ini katanya redaktur Koran Jakarta dimuat pada hari Senin 4 Mei 2008