Reviews Buku

Saturday, December 22, 2007

Menggagas Sufi Pinggiran dalam Kehidupan Praktis

Judul : Sufi Pinggiran: Menembus Batas-Batas
Pengarang : Abdul Munir Mulkhan
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta.
Cetakan : 1, 2007
Tebal : 205 Halaman

Di kalangan Islam, Sufi merupakan sebuah praktik keberagamaan dalam komunitas pemeluk Islam yang berusaha menemukan kesadaran Ilahiah otentik, jujur, dan manusiawi. Namun seperti praktik keberagamaan biasanya, sufi adalah sebuah tindakan yang sama sekali tidak bebas dari kepentingan manusia.
Jalan mulia sufi yang selama ini dianggap sebagai salah satu jalan menuju kebenaran Sejati, ternyata juga tidak lepas dari praktik-praktik manipulatif, malah tak jarang, ada orang yang tertipu dengan para sufi. Oleh sebab itu sangat dibutuhkan sikap kritis atas berita yang dibawa oleh orang-orang yang mengaku berbaju surga dan berjubah malaikat itu.
Sufi Pinggiran merupakan sebuah kritik atas praktik keberagamaan dalam mencari kebenaran ketuhanan. Sufi Pinggiran merupakan pengakuan bahwa semua orang memiliki kesadaran atau kearifan ilahiah paling otentik, tak peduli apakah orang itu menyatakan beriman kepada Tuhan, atau tidak, yang kemudian dilihat adalah prilaku keseharian mereka dalam menjalani kehidupan.
Munir Mulkhan dalam buku yang berjudul lengkap Sufi Pinggiran: Menembus Batas-batas ini, secara tak langsung ingin mengatakan bahwa Sufi pinggiran adalah sebuah pengakuan bahwa kita sama-sama mencari kebenaran ketuhanan yang paling jujur. Sufi pinggiran tak terbatas bagi mereka yang menyatakan beriman sesuai agama yang diyakini dan dipeluk, ataupun bagi mereka yang menyatakan beriman kepada yang Tuhan, sebuah usaha untuk jujur dalam beragama dan Ber-Tuhan. (hal 14)
Bunga rampai dalam buku yang tak terlalu tebal ini sarat dengan energi untuk keluar dari berbagai banalisme dalam beragama serta pembahasan tentang agama secara positivistik yang kaku tapi lebih dari itu, buku ini mengajak pembaca untuk bisa memahami agama tak hanya sebagai sebuah ideologi yang sudah terkungkung dengan dogma-dogma. Dalam buku ini kita diajak agar bisa arif menyiakapi segala keterkungkungan sekat-sekat yang sengaja kita ciptakan demi memuaskan rasa haus terhadap primordialitas kita.
Dalam buku ini memang membahas tema-tema yang biasa ditemui dalam buku-buku Islam khususnya yang berkaitan dengan hari-hari besar Islam. Akan tetapi, cara mengulas dan arah pernbahasannya sangat berbeda dengan buku karangan orang non-Islam. Buku ini tak hanya berjalan pada level historis-informatif melainkan pada level kerohanian. Reaksi semacam inilah kiranya yang sebenarnya dibutuhkan oleh orang-orang yang hidup dalam masyarakat Muslim seperti Indonesia. Reaksi semacam ini bisa mencairkan stereotip yang dibangun oleh informasi historis semata. Tulisan seperti inilah yang menjadikan buku Munir Mulkhan ini menarik untuk dibaca. Dengan bahasa sufi yang ringan Munir bisa membawa pembaca pada persoalan yang selama ini dianggap sebagai suatu yang final. Minimal dengan membaca buku ini orang akan bertanya dalam hatinya bahwa cara saya bersosialisasi serta beritual selama ini salah, atau kurang tepat lah.
Sekali lagi Munir Mulkhan memberikan sumbangan terhadap dunia perbukuan Indonesia yang sebelumnya menerbitkan buku Satu Tuhan Tafsir. Hampir sama dengan buku yang pertama buku Sufi Pinggiran ini tak kalah berharganya dengan buku sebelumnya. Dengan gaya intelektual yang cerdas dan sedikit nakal Munir mampu membawa pembaca kepada suatu pencerahan yang selama ini hanya diklaim bisa dirasakan kaum sufi. Melalui buku ini kita sadar bahwa pengalaman sufistik ternyata bukan monopoli orang atau kelompok tertentu saja, tapi bisa dirasakan setiap orang yang mengalami kehausan sepiritual Ketuhanan. Namun hampir menimpa setiap buku, bahwa pasti punya titik lemah. Dan itu juga yang menimpa buku karangan Munir ini. Dia kurang menjelaskan makna sufi itu seperti apa sehingga pembahsaan dalam buku ini sepertinya kurang mendasar. Dan lagi kalau ada istilah sufi Pinggiran nantinya juga istilah Sufi Tengahan atau Sufi Perkotaan, sehingga kemudian ada sekat antara Sufi Perkotaan dan sufi Pinggiran. Terlepas dari kekuranggnya buku ini tetap layak untuk dibaca sekaligus dijadikan bahan perenungan bagi umat beragama ke depan.
Dalam buku ini memang membahas tema-tema yang biasa ditemui dalam buku-buku Islam khususnya yang berkaitan dengan hari-hari besar Islam. Akan tetapi, cara mengulas dan arah pernbahasannya sangat berbeda dengan buku karangan orang non-Islam.
Buku ini tak hanya berjalan pada level historis-informatif melainkan pada level kerohanian. Reaksi semacam inilah kiranya yang sebenarnya dibutuhkan oleh orang-orang yang hidup dalam masyarakat Muslim seperti Indonesia. Reaksi semacam ini bisa mencairkan stereotip yang dibangun oleh informasi historis semata. Tulisan seperti inilah yang menjadikan buku Munir Mulkhan ini menarik untuk dibaca. Dengan bahasa sufi yang ringan Munir bisa membawa pembaca pada persoalan yang selama ini dianggap sebagai suatu yang final. Minimal dengan membaca buku ini orang akan bertanya dalam hatinya bahwa cara saya bersosialisasi serta beritual selama ini salah, atau kurang tepat lah.
Sekali lagi Munir Mulkhan memberikan sumbangan terhadap dunia perbukuan Indonesia yang sebelumnya menerbitkan buku Satu Tuhan Tafsir. Hampir sama dengan buku yang pertama buku Sufi Pinggiran ini tak kalah berharganya dengan buku sebelumnya. Dengan gaya intelektual yang cerdas dan sedikit nakal Munir mampu membawa pembaca kepada suatu pencerahan yang selama ini hanya diklaim bisa dirasakan kaum sufi. Melalui buku ini kita sadar bahwa pengalaman sufistik ternyata bukan monopoli orang atau kelompok tertentu saja, tapi bisa dirasakan setiap orang yang mengalami kehausan sepiritual Ketuhanan.
Namun hampir menimpa setiap buku, bahwa pasti punya titik lemah. Dan itu juga yang menimpa buku karangan Munir ini. Dia kurang menjelaskan makna sufi itu seperti apa sehingga pembahsaan dalam buku ini sepertinya kurang mendasar. Dan lagi kalau ada istilah sufi Pinggiran nantinya juga istilah Sufi Tengahan atau Sufi Perkotaan, sehingga kemudian ada sekat antara Sufi Perkotaan dan sufi Pinggiran. Terlepas dari kekuranggnya buku ini tetap layak untuk dibaca sekaligus dijadikan bahan perenungan bagi umat beragama ke depan.
Tulisan ini dimuat di harian Media Indonesia 1 Desember 2007

Thursday, November 01, 2007

Menemukan Kembali Indonesia

Judul : Masih (Kah) Indonesia
Editor : Budi Susanto
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta.
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 296 halaman

Indonesia sudah merdeka lebih dari 62 tahun, tapi wacana seputar nasionalisme jarang dimulai dari akar kebangsaan. Padahal, untuk dapat menemukan sosok Indonesia di tengah kekhawatiran lunturnya rasa kebangsaan sangat perlu digunakan sebagai pijakan.

Selain itu, Indonesia sebagai negara bangsa (nation-state) majmuk terbesar di dunia sangat rentan akan perpecahan. Ironisnya lagi perpecahan ini tidak hanya berasal dari jumlah etnisnya yang beragam, tetapi juga agama dan ras tak kalah beragamnya. Lantas pertanyaan berikutnya adalah bagaimana menyatukan keragaman itu semua? Atau paling tidak adannya formula dalam mengobati perbedaan yang kronis itu.

Indonesianis terkemuka, Benedict Anderson menyebut Indonesia sebagai imagine communities dengan unsur-unsur pembentuk yang saling tidak mendengar dan tidak mengenal. Namun, kemudian ia disatukan oleh cita-cita, harapan, dan sentimen. Muncul rasa kebangsaan, biasanya juga disebut nasionalisme, yang berdimensi sensoris.

Dimensi sensoris itu ibarat selimut yang menaungi dan berbagai unsur atau kelompok masyarakat dikendalikan dengan kuat oleh negara. Ketika zaman berubah, selubung itu ikut melemah. Unsur seperti suku bangsa semakin mengkristalkan dan menguatkan identitasnya dalam kondisi tidak saling mengenal dan memahami kelompok lain.

Untuk mengatasi permasalahan masyarakat yang beragam tadi ialah dengan mengganti kebijakan pluralisme dengan kebijakan multikulturalisme sebagai sebuah strategi besar. Oleh karena itu integrasi tidak hanya sebatas integrasi sosial, tetapi juga integrasi kebudayaan.
Oleh sebab itu Peran negara yang semula merekayasa integrasi yang berujung kepada politik penyeragaman perlu berubah menjadi fasilitator. Masyarakat yang tadinya merupakan obyek integrasi berubah menjadi subyek yang sadar, dengan kata lain menempatkan kembali manusia sebagai subyek. Konsekuensinya adalah masyarakat diberikan perangkat hak mereka dalam mengembangkan kebudayaan dan identitasnya. Dengan catatan, pemberian hak itu disertai dengan membangun jembatan antarunsur atau multikulturalisme. Dengan demikian, tidak lagi ada primordial baru.

Substansi dari multikulturalisme ialah pengembangan wisdom. Dalam hal ini masyarakat sudah tidak lagi melihat kelompok lain dengan dipenuhi prasangka. Dalam masyarakat multikultur masyarakat dituntut untuk memahami orang lain sebagai manusia utuh dan mampu hidup bersama dalam perbedaan.
Dalam membangun jembatan antar-kelompok masyarakat atau multikulturalisme, peran negara dalam hal ini hanya sebagai fasilitator melalui strategi pembangunan kebudayaannya. Misalnya lewat kurikulum sekolah sebagai sarana, dan lain-lain.
Buku ini merupakan upaya sekumpulan anak bangsa yang ingin mengembalikan identitas bangsa yang moderat, serta toleran terhadap perbedaan. Pertanyaan Masihkan Indonesia memang cocok untuk diajukan untuk situasi bangsa saat ini. Westernisasi yang membati buta tanpa filterisasi yang memadai secara tak langsung membuat anak muda Indonesia mengalami ambiguitas dalam berpikir dan bersikap, apakah menerima atau menolak.

Dalam salah satu penelitian Erni dalam buku ini misalnya memperlihatkan betapa rapuh impian dan bayangan tentang Indonesia (Orde) Baru yang dibangun oleh rejim-rejim militer yang pernah terlibat di Pariaman. Rejim yang lebih suka memandang orang berdasar identifikasi rasial (ke-Cina-an) dari pada pekerjaannya sebagai pedagang (sengli), atau perantau (Hoa Kiauw) dari daratan Tiong Kok. Sebuah cara pandang yang dengan mudah berkait dengan ikatan (identitas) primordial lainnya berdasar perbedaan kelas Sosial dan kepercayaan Agama dan Rasial tadi. Kesetiaan penulis mencatat cara pandang (orde) baru berdasar primordialitas SARA di kalangan subyek penelitiannya, akhirnya tidak sekedar mengungkap konflik sosial yang ada, tetapi juga memberi rincian contoh betapa keji dan kejam hasil konflik tersebut ketika kalau disadari demokratisasi ala Ranah Minang telah lama mangkir. Tentu saja, kemangkiran hidup bersesama ala sebuah "nagari" semakin memberi peluang kehadiran sikap-sikap militeristik dengan segala akibatnya yang harus ditanggung oleh golongan SARA tertentu, yang dijadikan korban seperti pernah terjadi di kota kabupaten yang sekarang disebut Pariaman. (Hal 269)

Substansi dari multikulturalisme ialah pengembangan wisdom. Dalam hal ini masyarakat sudah tidak lagi melihat kelompok lain dengan dipenuhi prasangka. Dalam masyarakat multikultur masyarakat dituntut untuk memahami orang lain sebagai manusia utuh dan mampu hidup bersama dalam perbedaan.

Dalam membangun jembatan antar-kelompok masyarakat atau multikulturalisme, peran negara dalam hal ini hanya sebagai fasilitator melalui strategi pembangunan kebudayaannya. Misalnya lewat kurikulum sekolah sebagai sarana, dan lain-lain.
Buku ini merupakan upaya sekumpulan anak bangsa yang ingin mengembalikan identitas bangsa yang moderat, serta toleran terhadap perbedaan. Pertanyaan Masihkan Indonesia memang cocok untuk diajukan untuk situasi bangsa saat ini. Westernisasi yang membati buta tanpa filterisasi yang memadai secara tak langsung membuat anak muda Indonesia mengalami ambiguitas dalam berpikir dan bersikap, apakah menerima atau menolak.

Dalam salah satu penelitian Erni dalam buku ini misalnya memperlihatkan betapa rapuh impian dan bayangan tentang Indonesia (Orde) Baru yang dibangun oleh rejim-rejim militer yang pernah terlibat di Pariaman. Rejim yang lebih suka memandang orang berdasar identifikasi rasial (ke-Cina-an) dari pada pekerjaannya sebagai pedagang (sengli), atau perantau (Hoa Kiauw) dari daratan Tiong Kok. Sebuah cara pandang yang dengan mudah berkait dengan ikatan (identitas) primordial lainnya berdasar perbedaan kelas Sosial dan kepercayaan Agama dan Rasial tadi. Kesetiaan penulis mencatat cara pandang (orde) baru berdasar primordialitas SARA di kalangan subyek penelitiannya, akhirnya tidak sekedar mengungkap konflik sosial yang ada, tetapi juga memberi rincian contoh betapa keji dan kejam hasil konflik tersebut ketika kalau disadari demokratisasi ala Ranah Minang telah lama mangkir. Tentu saja, kemangkiran hidup bersesama ala sebuah "nagari" semakin memberi peluang kehadiran sikap-sikap militeristik dengan segala akibatnya yang harus ditanggung oleh golongan SARA tertentu, yang dijadikan korban seperti pernah terjadi di kota kabupaten yang sekarang disebut Pariaman. (Hal 269)
Sudah begitu banyak kata-kata, gagasan dan "kenyataan" tentang ke-Indonesia-an yang telah ditampilkan termasuk oleh para penulis dan pembaca buku ini di media komunikasi massa modern, cetak, suara, maupun gambar. Enam peneliti muda dalam bunga rampai ini menangkap ada kekhawatiran orang-orang urban modern dari kelas sosial tertentu berkaitan dengan identitas dan keberlanjutan nasionalisme Indonesia masa kini. Kekhawatiran mereka, nampaknya, karena mereka memang diajar memperingati peristiwa Soempah Pemoeda ((1928), dan diingat-ingatkan bahwa nasionalisme lah yang akan menghasilkan bahasa bersama, bahasa Indonesia, padahal sejarah dari pengalaman masa rakyat Indonesia mencatat sebaliknya: bahwa bahasa bersamalah yang lebih menghasilkan nasionalisme.
Mungkin dengan alasan itulah buku ini hadir di tengah sidang pembaca. Namun karena buku ini adalah kumpulan karangan sehingga tak heran kelihatan ada ketidaksamaan tema serta misi yang diemban oleh para penulis buku ini. Terlepas dari kelemahan itu buku ini tetap layak sebagai langkah awal menemukan Kembali indentitas Indonesia yang selama ini mulai memudar oleh gempuran modernitas.

Sudah begitu banyak kata-kata, gagasan dan "kenyataan" tentang ke-Indonesia-an yang telah ditampilkan termasuk oleh para penulis dan pembaca buku ini di media komunikasi massa modern, cetak, suara, maupun gambar. Enam peneliti muda dalam bunga rampai ini menangkap ada kekhawatiran orang-orang urban modern dari kelas sosial tertentu berkaitan dengan identitas dan keberlanjutan nasionalisme Indonesia masa kini. Kekhawatiran mereka, nampaknya, karena mereka memang diajar memperingati peristiwa Soempah Pemoeda ((1928), dan diingat-ingatkan bahwa nasionalisme lah yang akan menghasilkan bahasa bersama, bahasa Indonesia, padahal sejarah dari pengalaman masa rakyat Indonesia mencatat sebaliknya: bahwa bahasa bersamalah yang lebih menghasilkan nasionalisme.

Mungkin dengan alasan itulah buku ini hadir di tengah sidang pembaca. Namun karena buku ini adalah kumpulan karangan sehingga tak heran kelihatan ada ketidaksamaan tema serta misi yang diemban oleh para penulis buku ini. Terlepas dari kelemahan itu buku ini tetap layak sebagai langkah awal menemukan Kembali indentitas Indonesia yang selama ini mulai memudar oleh gempuran modernitas.

Dimuat di Seputar Indonesia 28 Oktober 2007

Monday, August 20, 2007

Televisi dan Media Pendidikan*

Judul : Televisi sebagai Media Pendidikan
Penulis : Drs. Darwanto, S.S
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal : ix+347 halaman.

Sebagai salah satu media massa, televisi setiap waktunya terus mengalami perkembangan. Yang dulunya hanya hitam-putih kini merambah ke warna yang bervariasi, yang dulunya hanya beberapa chanel saja yang bisa diakses kini beribu chanel bisa dipelototi dan tonton setiap waktu. Sehingga tidak heran bila televisi dijadikan Dewa nomor satu sebagai media penyampai berita dan informasi, setelah koran, radio dan internet tentunya.
Di ranah Indonesia, sejarah pertelevisian pertamakali dimulai saat Pemerintah memutuskan untuk memasukkan proyek media massa televisi ke dalam proyek Asian Games, yang sebelumnya telah dilakukan penelitian yang mendalam tentang manfaat dan fungsi dari televisi. Berdasarkan surat keputusan Menteri Penerangan No.20/E/M/1961, dibentukklah Panitia Persiapam Pembangunan Televisi di Indonesia, kemudian berdasarkan surat keputusan Presiden No. 215/ 1963, didirikanlah Yayasan Televisi Repuplik Indonesia, yang berlaku sejak tanggal 20 oktober 1963.
Dengan kondisi yang terbatas lahirlah televisi siaran pertama di tanah air Indonesia. Walupun pada awalnya hanya mempunyai jangkauan siar yang terbatas serta jumlah pesawat penerima yang terbatas pula. Meskipun agak lamban, perkembangan terus berjalan seiirng dengan terus berputarnya roda waktu yang silih berganti, sekarang hampir semua daerah tingkat I da II telah mempunyai stasiun TVRI dan bahkan ada stasiun produksi keliling
Menurut Darwanto dalam buku ini, salah satu alasaan kenapa televisi bisa dijadikan sebagai pendidikan adalah karena televisi mempunyai karakteristik tersendiri yang tidak bisa dimiliki oleh media massa lainnya. Karakteristik audio visual yang lebih dirasakan perannya dalam mempengaruhi khalayak, sehingga dapat dimanfaatkan oleh negara dalam menyukseskan pembangunan negara dalam bidang pendidikan melalui program televisi sebagai sarana pendukung
Semula dinilai bahwa televisi siaran kurang bermanfaat dalam dunia pendidikan, hal ini mengingat biaya operasionalnya yang cukup mahal, tetapi kemudian muncul pendapat yang berlawanan, yang menyatakan bahwa televisi sebagai media massa sangat bermanfaat dalam memajukan pendidikan suatu bangsa. Dari pendapat itu dalam perkembangannya membuktikan bahwa dengan sifat audio visual yang dimiliki oleh televisi, menjadikan televisi sangat pragmatis, sehingga mudah mempengaruhi penonton dalam hal: sikap, tingkah laku dan pola pikirnya, maka tidak pantaslah kalau dalam waktu relatif singkat televisi telah menempati jajaran teratas dari jajaran media massa .
Menurut Dr. Jack Lyle, televisi dengan gambar audio visualnya sangat membantu dalam mengembangkan daya kreasi kita, hal ini seperti diungkapkan oleh Walter Lippman beberapa tahun lalu, bahwa dalam pikiran kita ada semacam ilustrasi gambar dan gambar-gambar ini merupakan suatu yang penting dalam hubungannya dengan proses belajar, terutama sekali yang berkenaan dengan orang, tempat dan situasi yang tidak setiap orang pernah ketemu mengunjungi atau telah mempunyai pengalaman.
Dari sedikit pendapat Lyle serta Lippman di atas, jelas sekali televisi bisa memberikan apresiasi kepada khalayak penonton. Sebagai media audio-visual penyajian acaranya lebih menekankan kepada bahasa audio visual, meskipun tidak menutup kemungkinan mengabaikan masalah yang bersifat auditif, walaupun yang bersifat auditif hanya sebagai kelengkapan penjelasan bagi hal-hal yang belum atau tidak tampak pada gambar.
Hal itu menyebabkan apabila seseorang melihat susunan gambar di layar televisi, merasakan ada nuansa yang baru, yang menyebabkan penonton tadi hampir tidak mampu membedakan mana yang pernah dilihat, atau dengan kata lain, penonton tadi hampir tak dapat membedakan pengalaman yang telah dimiliki. Hal ini berarti bahwa audio visual dapat memberikan pengalaman-pengalaman yang baru sesuai dengan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya, atau dapat memberikan pengalaman semu atau Simulated Experience.
Walaupun begitu, segala sesuatu pasti mempunyai titik lemah dan sisi negatifnya. Menurut peresensi begitu pula yang terjadi pada televisi. Telvisi tak jarang membuat orang melakukan tindakan yang abnormal yang asusila seperti yang menimpa anak SD kemarin karena gara-gara menyaksikan tayangan Smackdown yang ditayangkan oleh salah satu stasiun swasta negeri seribu banjir ini.
Kelemahan lain dari media massa televisi adalah sifat komunikasinya yang hanya satu arah, sehingga khalayak penonton menjadi pasif, artinya penonton tak bisa memberikan tanggapan-tanggapann secara langsung. Karena itu tak mengherankan kalau ada beberapa pendapat yang mengatakan, televisi sebagai media massa yang mendorong orang untuk bermalas-malasan. Bahkan cenderung berpengaruh negatif terhadap tingkah laku dan sikap seseorang.
Sebagai penulis buku yang berjudul Televisi sebagai Media Pendidikan ini, Darwanto, menurut Presensi cukup berhasil mengetengahkan hasil penelitiannya yang walaupun sudah agak lama, tapi tetap bisa untuk bisa diikuti oleh pembaca yang lebih umum lagi luas, yang asalnya hanya bisa diakses oleh rekan-rekannya sesama akademis di salah satu unversitas negeri ini.
Dari tampilan luar serta pembahasan-pembahasannya yang ditengahkan Darwanto dalam hal ini menuai sukses yang cukup berarti sehingga sudah cukup layak untuk dijadikan bahan referensi bagi akdemis komunal maupun individu sebagai bahan rujukan selanjutynya.
Namun tak ada gading yang tak retak, begitu juga yang bisa ditemui dalam buku ini, setelah membaca isi buku ini sepertinya judul buku, sebagaimana yang telah tertera di atas kurang cocok, karena dari sekian halaman buku yang lumayan tebal ini hanya berapa halaman saja yang berisi televisi sebagai media Pendidikan, yang cukup mendapat porsi dari buku adalah sepertinya ke masalah teknis dunia pertelevisian, seperti misalnya, penayangan, artis, serta produser yang kerja dalam satu tim di dalamnya.
Selain itu penulis terkesan memaksakan pendapat kepada pembaca berupa konsep yang telah penulis masukkan pada judul buku ini yakni, bahwa Televisi sebagai media Pendidikan sehingga Penulis terkesan menggurui pembaca. Walaupun begitu sebagai Buku, tetap layak untuk dijadikan bahan perenungan sekaligus bahan ajar bersama ke depan khusunya pada dunia pendidikan di Indonesia.
*Resensi ini dimuat di Suara Pembaruan, 14 Maret 2007

Thursday, January 25, 2007

Menelusuri Jejak Ho dalam Mite Nias

Akhmad Kusairi*

Judul : Ho Jendela Nias Kuno: Sebuah Kajian kritis Mitologis
Penulis : Victor Zebua
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I Desember 2006
Tebal : x + 158 halaman.

Sudah banyak kajian tentang mitologi Nias, namun belum ada satu pun karya yang mampu mengungkap secara tuntas dan benar apa yang menjadi tradisi di Nias, termasuk tentang cerita Ho yang di Nias dianggap sebagai salah satu keturunan para Dewa yang diturunkan dari langit secara langsung utuk mengurus muka bumi khususnya bumi Nias.
Ada banyak kontradiksi seputar asal-usul Ho sendiri, mengingat banyaknya cerita-cerita mite yang beredar di Masyarakat Nias sebagai cerita sehari-sehari. Victor Zebua dengan analisisnya yang tajam mengupas tuntas asal-usul orang Nias yang kemudian menunjukkan bahwa Ho berasal dari mana, apakah dia berasal dari langit seperti yang dianggap oleh sebagian orang, apakah dia Cuman manusia yang berasal dari salah satu tempat di Nias. Setidaknya itulah alasan kenapa buku ini terbit.
Vivtor Zebua, Penulis buku yang berjudul Ho Jendela Nias Kuno: Sebuah Kajian Kritis Mitologis ini, dengan referensi yang dikutipnya mampu menganalisis kemungkinan yang mendekati kebenaran, tentunya kebenaran di sini sifatnya relatif, atau bahkan hanya benar menurut Victor saja.
Sebagai sebuah buku antropologi mitologi tentunya buku ini tak akan terlepas dari yang namanya cerita-cerita mite yang biasanya selalu hidup mengiringi kehidupan yang sebenarnya. Terus apa bedanya dengan dongeng atau cerita-cerita pengantar tidur untuk anak-anak yang belum akil baligh? Menurut Victor dalam buku ini, cerita-cerita mite biasanya dianggap sakral keberadaannya, sehingga orang harus berhati-hati dalam menceritakannya sehingga tak terjadi kesalahan yang nantinya, menurut mereka akan berakibat fatal bagi orang bercerita, yang diceritai atau malah suatu masyarakat yang akan mengalami nasib yang tak enak.
Dalam buku yang lumayan tebal ini, Victor juga memaparkan dengan lugas latar belakang Sawuyu (perbudakan dalam konsep Nias). Menurut Faugoli yang dikutip oleh Victor, ada tiga macam Sawuyu di jaman kuno. Pertama Sondrara Hare yaitu orang yang terlilit hutang, pada rentenir (orang kaya atau raja), berkerja pada rentenir itu, gajinya dipotong untuk melunasi hutangnya, dan bila sudah lunas dibebaskannya. Kedua, Holito, ialah orang yang dihukum mati menurut adat, namun jika ada yang membayar holi-holi (penebus jiwa). Dia menjadi Sawuyu dari sang penebus dirinya. Status sawuyu ini turun-temurun hingga ke anak cucunya. Dan yang ketiga adalah Sawuyu tawanan perang adalah tawanan yang menjadi budak raja. Status budak ini juga turun-temurun hingga ke anak cucunya. Oleh Yoshiko Yamamoto, tiga macam Sawuyu tersebut dirumuskan dengan tiga kata kunci, yaitu Utang, Kriminal, dan tawanan.
Mabel Cook Cole menulis dalam The Island of Nias at the Edge of the Word bahwa mayoritas Sawuyu adalah orang yang berutang. Ini berarti perbudakan pada jaman dulu di Nias kuno mempunyai motif ekonomi. Sehingga bila Sawuyu kurang cocok dikategorikan dalam stratifikasi sosial, tentu tidak perlu ragu-ragu bila ia dipandang sebagai kelas sosial.
Menurut ahli antropologi budaya, Koentjaraningrat, ada tiga wujud kebudayaan Pertama, adat tata-kelakuan (adat-istiadat) yang terdiri dari: sistem nilai budaya, simtem norma-norma, sistem hukum, dan aturan khusus (misalnya sopan-santun). kedua, sistern nilai budaya, yaitu suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam msyrakat. Dan yang ketiga, kebudayaan fisik, yaitu benda hasil karya manusia.
Sawuyu merupakan wujud kedua kebudayaan, yaitu sistem sosial, entah dia disebut sebagai strata (social stratification) atau disebut kelas (social class}. Sedangkan mitos ada dalam wujud pertama kebudayaan. Sehingga argumentasii mitos penciptaan dari Laiya dalam menyanggah Danandjaja ada di kamar yang berbeda. Pandangan dua ahli anlropologi ini tentang sawuyu tidak bertemu, bagaikan dua titik embun yang bersebelahan di dinding kaca.
Dari atas angin, mitos merembes kewujud pcrtama kebudayaan dalam hentuk ide, gagasan nilai, norma, dan peraturan. Penyebab pcrbudakan (utang, kriminal, tawanan) adalah hasil dari paradigma adat-istiadat pada jaman itu. Sistem yang diharisilkan (nilai budaya, norma, hukum, bahkan ekonomi) tidak mencegah, justru memproduksi perbudakarn. Agama bahkan gagal memhendung fenomena perbudakan. Inilah rembesan mitos, sebuah mitos yang dijabarkan oleh para pemilik mitos menjadi wajah sosial yang mengerikan, yaitu sawuyu.
Pada perkembangan selanjutnya mengalami perkembangan. Yaitu ada penambahan dari tiga kata kunci yang Yoshiko Yamamoto. Pertam, Komoditas, dan selanjutnya ritual. Sebagai sebuah komoditas Sawuyu dijadikan barang komoditas, artinya Sauyu bisa ditukar, dibeli bahkan dijadikan ekspor oleh suatu negeri. Sebagai ritual Sawuyu dijadikan sebagai tumbal ritual, berupa pemenggalan kepala para laki-laki, dan ini biasanya ditimpakan pada para Sawuyu. Oleh Victor tiga kata kunci yang diusulakn oleh Yoshiko yamamoto harus ditambah menjadi Utang, Kriminal, dan tawanan, komoditas, dan ritual.
Sebagai sebuah buku antropolog sekali lagi presensi tekankan, buku ini sangat layak untuk dijadikan referensi keilmuan kita. Kritik keras Victor kepada Peter Suzuki adalah suatu yang baru pemikiaran kita. Mengingat selama ini Karya orang Jepang ini tak tersentuh oleh kritik.
Menurut Victor dalam buku ini, buku The Riligious System and Culture of Nias, Indonesia karangan Suzuki yang terbit 1959, Suzuki telah bias menilai karena Beliau telah terjebak ke dalam tiga hal. Pertama teori struktur sosial yang diterapkan Suzuki gagal menjelaskan posisi Sawuyu (budak) dalam starfikasi sosial di Nias. Kedua, model analisis dewa Hermes tidak valid sebagai instrumen untuk mengkaji eksistensi Silewe Nazarata. Dan yang ketiga, Suzuki tidal mampu dengan jernih membedakan mitos Kosmogonis dan teogonis. Kekeliruan di atas Menurut Victor lagi, selain Suzuki tak pernah datang sendiri ke Nias, juga dikarenakan suzuki terlalu percaya terhadap promotornya yang berasal dari Belanda, P.E de Jos Seling de Jong yang mengeluarkan teori struktur sosial yang diamini secara kasar oleh Suzuki. (hal 98-99)
Sebagaai sebuah buku, apalagi buku antropologi, di ranah Indonesia sangat kekurangan. Sampai sekarang hanya ada beberapa nama yang telah membuktikan bahwa mereka adalah benar-benar antropolog. Kontjaraningrat patut dimasukkan ke dalam sini. Karena menurut presensi berkat beliaulah studi Antropologi dijadikan disiplin ilmu yang tak kalah pentingnya bagi dunia pendidikan, ilmiah dan akademis. Sehingga Presesensi mengusulkan pada pemerintah bagaimana Kontjara Ningrat dijadikan sebagai Bapak pelopor Antropologi di Indonesia seperti yang telah pemerintah lakukan terhadap Driyarkara yang dijadikan Bapak Filsafat di Indonesia, karena dia lah yang telah berjasa mentransfer ilmu filsafat kedalam ranah intelektual Indonesia.
Resensi ini adalah tulisan pertama yang masuk ke koran yang pernah dimuat di harian Suara Pembaruan, 14 februari 2007