Reviews Buku

Tuesday, May 06, 2008

Perempuan dalam Himpitan Agama dan Politik

Oleh : Akhmad Kusairi
Judul : Perempuan, Agama & Demokrasi
Editor : Subkhi Ridho
Penerbit : LSIP, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : xvi + 277 halaman.

Dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia, perempuan selalu mempunyai andil yang sangat penting. Hal itu dibuktikan oleh peran aktif perempuan dalam berbagai pergerakan nasional di Nusantara baik pada masa pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan. Pada dua masa ini, kita kenal nama seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Dewi Sartika, RA Kartini dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun peran penting para perempuan ini seringkali dipandang sebelah mata oleh orang kebanyakan. Keterlibatan perempuan dalam perjuangan pergerakan masih dianggap tidak sebanding dengan laki-laki, sekalipun sejatinya banyak perempuan yang gugur tetapi tidak tercatat dalam rekaman sejarah.
Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan tersebut hingga sekarang masih terus berlanjut. Memang secara teori Partisipasi perempuan dalam politik praktis sudah dijamin dalam pelbagai peraturan. Namun pada praktiknya masih jauh dari harapan, apalagi jika mengetahui perwakilan perempuan dalam DPR hanya 9 % dari 51 % semua penduduk Indonesia.
Ini menjadi ironis, padahal persolan kuota tersebut sudah diatur agar keterwakilan perempuan dalam dewan mencapai 30 %. Artinya keterwakilan perempuan dalam politik nasional memang masih kurang jumlah. Bahkan di tingkat daerah perempuan hanya 350 orang dari total 10.250 anggota DPRD di seluruh Indonesia. Secara umum perempuan Indonesia sangat membutuhkan ruang yang lebih luas dalam mengakses hak politiknya, baik dalam ranah legislatif maupun eksekutif.
Pertanyaannya, mengapa partisipasi politik perempuan demikian rendah jika dibanding dengan laki-laki? Itulah pertanyaan yang akan dijawab dalam buku Perempuan, Agama & Demokrasi ini. Dengan data-data yang cukup meyakinkan para penulis buku ini berusaha menjawab persoalan seputar pertanyaan di atas. Secara umum alasannya terbagi dalam tiga hal.

Pertama,budaya yang belum sepenuhnya memberikan ruang secara luas kepada perempuan dalam bidang politik. Secara umum tradisi yang berkembang di Nusantara yang memandang bahwa perempuan secara kodrati harus selalu dipimpin oleh laki-laki, bukan sebaliknya.
Keduastruktur yang tidak memberikan ruang akses pada perempuan. Bahkan struktur politik Indonesia adalah struktur politik bias laki-laki, sehingga secara salah menempatkan perempuan tak lebih sebagai pelengkap saja. Orang kebanyakan ternyata masih enggan memberikan kesempatan secara luas pada perempuan untuk berkarir di bidang politik.
Dan terakhir, yang tak kalah pentingnya adalah soal tafsir agama yang bias gender, sehingga banyak sekali teks-teks agama yang ditafsirkan secara misoginis, menaruh kebencian pada kaum perempuan, bukan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Kitab Suci yang menyatakan setiap umat manusia setara di hadapan Tuhan, kecuali keimanan yang membedakannya seringkali dipelintir dengan dalil lainnya tatkala perempuan akan menjadi pemimpin, dengan mengatakan jika meletakkan kepemimpinan pada perempuan maka tunggulah kehancurannya!
Tiga kenyataan itulah yang membuat posisi perempuan dalam hal partisipasi politiknya di Indonesia tidak setara. Wacana politik perempuan dengan kuota 30 % masih dalam tataran wacana, karena realisasinya banyak partai politik yang enggan menerapkannya dengan pelbagai alasan yang kadang dibuat-buat, sekalipun terkesan tidak masuk akal.
Mengetahui kondisi riil di lapangan seperti itu maka sudah seharusnya ormas-ormas keagamaan yang punya pengaruh berperan aktif dalam melakukan gerakan agar partisipasi politik perempuan dari jalur keagamaan bisa dapat direalisasikan. Menurutu Nasr Hamid Abu Zayd, Wacana perempuan bukan hanya wacana jenis kelamin, bukan pula problem kemunduran sosial atau kemunduran berpikir. Semua itu merupakan aspek-aspek yang diproyeksikan dalam menganalisis seluruh problem tersebut, sebagai sebuah problem yang bisa disebut "problem otoritas politik" dalam hubungannya dengan sejarah manusia sejak permulaan sejarah Arab. Dan itulah sesungguhnya akar krisis sejarah perempuan Arab-Islam.

Melihat betapa dominannya peran agama dalam kaitannya dengan problem partisipasi perempuan, Robert Hefner menyarankan kepada masyarakat Indonesia untuk membangun peradaban yang setara, laki-perempuan, sebab itu sebetulnya yang merupakan problem khas masyarakat multikultural seperti Indonesia. Bagaimana agar problem-problem tersebut direspon secara bersama-sama terutama di kalangan muslim Indonesia, sebab muslim Indonesia bisa diharapkan menjadi basis bagi tumbuhnya demokrasi yang berkeadaban
Dalam buku bunga rampai ini, pembaca akan mendapatkan segudang informasi penting. Dengan kecerdasan khas intelektual para penulis menyuguhkan berbagai macam wacana yang terkait dengan doktrin-doktrin keagamaan yang selama ini dianut, sehingga menempatkan perempuan pada "kelas dua". Dalam buku ini pembaca juga akan disuguhi beragam pemikiran dari para aktivis perempuan lintas agama yang bergelut dalam masalah kesetaraan gender di Indonesia.
Buku ini merupakan refleksi bersama dari orang yang masih peduli terhadap isu-isu perempuan, karena perempuan Indonesia masih kurang mendapatkan ruang dalam ranah sosial-politik. Sebagai makhluk sosial perempuan dan laki-laki saling membutuhkan, saling melengkapi dan saling memperkaya satu sama lain. Karenanya, bukan persaingan dan pertentangan yang harus dikedepankan, melainkan kerja sama secara maksimal dengan melibatkan nilai-nilai feminitas dalam percaturan masa depan demokrasi, yaitu demokrai yang menggnakan empati, simpati dan hati tulus penuh kasih sayang keibuan! Itulah yang dibutuhkan masa depan demokrasi kita, dan itulah sumbangan penting kehadiran perempuan dalam dinamika demokrasi kita. (Hal 33)
Sebagai akhir, hampir menimpa pada buku bunga rampai, yaitu banyak terjadi pengulangan bahasan serta minimnya tempat membuat buku ini tidak tuntas dalam menjawab pertanyaan elementer di atas. Namun bagaimanapun buku ini tetap layak dibaca sebagai bahan perenungan terhadap nasib perempuan Indonesia ke depan, agar kemudian, kesalahan-kesalahan di masa lalu tidak lagi terjadi pada saat ini. Sehingga kemudian kesejahteraan umum sebagai tujuan utama demokrasi bisa menjadi kenyataan.
Resensi ini katanya redaktur Koran Jakarta dimuat pada hari Senin 4 Mei 2008