Reviews Buku

Thursday, October 16, 2008

Menggagas Politik yang Setara

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Pemberdayaan Politik Perempuan Litas Agama
Penulis : Abdul Rozaki & Nur Kholik Ridwan
Penerbit : LSIP, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, September 2008
Tebal : xxviii + 145 halaman

Disahkannya berbagai dokumen merupakan indikasi komitmen bersama negara di seluruh dunia agar tata politik dunia tak lagi menciptakan diskriminasi terhadap perempuan. Setidaknya ada tiga dokumen yang menetapkan standar internasional dalam mendefinisikan persamaan antara perempuan dan laki-laki. Pertama, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), kedua, Platform Aksi Beijing PBB, dan ketiga Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1325. Ketiga dokumen ini menjadi kekuatan untuk mendorong partisipasi perempuan di berbagai institusi sosial.

Di tengah keterhimpitan perempuan di berbagai institusi, kini proses mendorong partisipasi perempuan dikaitkan dengan representasi. Seperti gagasan yang mengatakan bahwa 30% perempuan harus ada dalam keanggotaan parlemen di Indonesia. Kuota keterwakilan ini tertuang dalam UU Nomor 12 tahun 2003. Hasilnya memang belum memuaskan. Hasil pemilu 2004 menunjukkan bahwa kuota keterwakilan perempuan belum terpenuhi.

Di Indonesia keterlibatan perempuan dalam jabatan publik, jabatan politik, dan sejenisnya masih terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah nominal penduduk perempuan. Belum lagi, jika dibandingkan antara praktik-praktik politik Indonesia yang mengakomodir perempuan secara maksimal dalam hal kuota politik perempuan dengan negara-negara Skandinavia, Amerika Latin, Eropa, dan Oceania. Indonesia berada pada urutan buncit dalam hal partisipasi politik perempuan. Dari 100 negara di dunia, Indonesia menempati urutan 88 (hanya 11%) partisipasi politik perempuan dalam parlemen. Indonesia kalah partisipatifnya dengan Rwanda (48,8%) negara yang paling tinggi partisipasi politiknya atas perempuan; Swedia (45,3%); Denmark, Finlandia, Belanda, Norwegia, Cuba dan Argentina (30,7%); Timor Leste (25,3%); Uganda (23,9%); Australia (24,7%), dan Pakistan (21,3%) (Azizah, 2008).

Dalam konteks perjuangan kaum perempuan gagasan mendukung dengan tegas kuota 30% adalah sebuah terobosan yang maju. Partisipasi perempuan yang dilekatkan dengan representasi politik ini merupakan langkah strategis agar suara perempuan dalam kebijakan publik lebih terdengar. Dengan cara ini pula perempuan akan lebih mampu mewarnai kebijakan politik pemerintahan yang lebih peka terhadap kaum perempuan.

Mendorong partisipasi yang dapat melahirkan representasi politik dalam arti semakin meningkatnya kuota perempuan dalam jabatan-jabatan publik, tidak mudah diwujudkan. Ia membutuhkan komitmen dan agenda bersama untuk terus diperjuangkan. Meski demikian, cara ini perlu ditempuh agar kebijakan politik tidak lagi memarjinalkan kaum perempuan. Untuk mendorong proses ke arah dinamisasi perempuan dalam politik kaum perempuan harus memiliki instrumen-instrumen penguatan politik di dalam organisasi sosial.

Bila melihat kiprah kaum perempuan dalam Ormas di Indonesia, peran strategis mereka masih sangat terbatas. Sedikitnya kaum perempuan yang duduk dalam struktur kepengurusan justru menyisakan masalah tersendiri. Mengapa bisa demikian? Sebab dalam kultur di masyarakat peran kaum perempuan diposisikan sebagai pendamping yang berfungsi sebagai penyokong kegiatan laki-laki.

Tentunya Merombak kultur ini membutuhkan keberanian, kreativitas, dan juga proses waktu yang mungkin tidak pendek. Perombakan kultur memang bukan pekerjaan yang mudah karena perjuangan ke arah itu jalannya terkadang terjal dan berliku. Terlebih kultur patriarki berpintal dengan legitimasi teologi keagamaan masyarakat yang masih konservatif.


Kaum perempuan di Indonesia dalam ranah sosial keagamaan sampai sekarang masih berada dalam posisi pinggir. Isu-isu pembatasan kiprah kaum perempuan melalui peraturan daerah berbasis tafsir keagamaan konservatif, kekerasan di dalam rumah tangga, juga fenomena poligami di kalangan para da'i belum mendapatkan reaksi keras di kalangan organisasi sosial keagamaan. Reaksi keras atas berbagai persoalan sosial tadi hanya muncul di kalangan aktivis LSM. Kadang, kaum perempuan sendiri terpecah ketika dihadapkan pada isu keagamaan seperti praktik poligami. Perpecahan di kalangan perempuan hanya berakibat pada kemunduran perjuangan untuk mengembangkan karya dalam kehidupannya.

Agar perjuangan perempuan dapat didengar oleh para politisi di partai politik, ormas keagamaan, dan aktivitas kemasyarakatan, perempuan harus mendapatkan legitimasi dari berbagai kelompok dalam masyarakat. Perjuangan perempuan tidak boleh berhenti pada kelas menengah berpendidikan tinggi saja, gerakan perempuan harus lebih "membumi" pada level grass-root yang realitasnya lebih banyak ketimbang perempuan kelas menengah yang berpendidikan dan memiliki akses pada kebijakan politik maupun wilayah lainnya.

Oleh karena itu, gerakan kaum perempuan harus terus-menerus dan sistematis dalam melakukan tekanan kepada institusi-institusi sosial yang patriarkis. Ini tidak dapat dilakukan kaum perempuan sendiri, tetapi harus bersama-sama dengan entitas sosial lain yang memiliki kepekaan terhadap masalah perempuan. Dengan kerja dan upaya keras seperti itu, sepertinya bukan suatu yang mustahil pada masa-masa mendatang peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di lembaga politik akan berdampak terhadap pengakuan secara utuh hak-hak sipil dan politik kaum perempuan.

Di sinilah posisi penting buku Pemberdayaan Politik Perempuan Lintasagama yang ditulis oleh Abdur Rozaki dan Nur Khalik Ridwan ini. Buku ini memberikan sumbangan konsepsional sekaligus memberikan gambaran betapa pentingnya nilai-nilai demokrasi ditegakkan. Beberapa pengalaman lapangan membuktikan, perempuan sebenarnya memiliki kekuatan untuk berpartisipasi dalam partai politik dan pengambilan kebijakan. Namun disayangkan, ruang untuk berpartisipasi tidak terlalu longgar untuk mereka.
Buku ini memberikan kontribusi untuk pemberdayaan perempuan lintasagama dalam memperjuangkan dan mengkonsolidasi masyarakat untuk kemajuan kaum perempuan. Perjuangan perempuan akan berhasil tatkala mendapatkan dukungan publik. Akan tetapi, perjuangan perempuan akan gagal tatkala energi yang dimiliki terkuras habis karena bergelut dengan masalahnya sendiri (kaum perempuan) yang tidak mampu diorganisir, dinegosiasikan, dan dikompromikan dalam realitas politik yang masih dominan bias gender.


*Resensi ini pernah dimuat di Seputar Indonesia 5 Oktober 2008

No comments: