Reviews Buku

Showing posts with label Opini. Show all posts
Showing posts with label Opini. Show all posts

Wednesday, December 13, 2006

Praktik Kekerasan dalam Film Anak-anak

(Dalam rangka memperingati hari Siaran Anak Internasional 14 Desember)
Oleh: akhmad Kusairi*

Dari sekian banyak orang Indonesia mungkin sebagian kecil saja yang tahu bahwa tanggal 14 Desember merupakan tanggal diperingatinya hari Siaran Anak Internasioanal. Eksistensi peringatan tersebut pastinya didasari oleh keprihatinan terhadap buruknya kualitas siaran (televisi) untuk anak-anak, yang otomatis akan mempengaruhi kualitas psikis dan tingkah laku anak-anak.
Film anak merupakan satu materi yang semua stasiun televisi, baik itu Negeri dalam hal ini TVRI maupun swasta. Terdapat begitu banyak film anak-anak, dari yang berupa kartun klasik film animasi hingga sinetron baik dengan cerita tentang anak atau yang melibatkan anak-anak sebagai artisnya. Dari berbagai variasi tadi film kartunlah yang paling menjadi menjadi perhatian.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh KIDIA (Kritis Media untuk Anak) pada Februari tahun 2005 lalu melaporkan bahwa 84 persen dari anak Indonesia menjadikan film kartun sebagai tontonan sehari-hari.
Sudah menjadi rahasia umum orang beranggapan bahwa film animasi dan kartun dengan tampilan yang lucu serta menarik, dan variasi warna yang mencolok, khas anak-anak, sudah pasti untuk anak-anak. Padahal dalam realitanya tak semua film kartun serta animasi sesuai untuk anak-anak. Semisal Sin Chan dan Spiderman (versi kartunnya), kalau dicermati secara seksama bukanlah film yang diperuntukkan bagi anak-anak, sebab sarat dengan problem orang dewasa sebagai bahan membuat cerita. Film-film tadi banyak sekali berisi adegan dialog yang terkait erat dengan seks atau hubungan romantis antara laki-laki dan perempuan yang belum waktunya dilihat oleh anak-anak.
Anggapan lain mengatakan bahwa film anak tentunya cocok yang sepi dari dari segala macam tindak negatif. Memang seharusnya film untuk anak harus relevan dengan kondisi pertumbuhan anak, khususnya dari sisi pertumbuhan psikologis serta tingkah laku anak. Ini berarti film anak sebaiknya tidak mengandung adegan yang berlawanan dengan nilai edukasi (pendidikan). Adegan kekerasan, seks, seharusnya dijsingkirkan jauh-jauh. Walaupun ada, hanya sebatas untuk pengembangan cerita, bukan daya tarik utama film tersebut.
Tapi dalam realitanya, justru adegan-adegan kekerasan banyak sekali terdapat dalam tayangan anak-anak, terutama dalam film-film kartun, entah film kartun buatan Jepang maupun Amerika. Film Tom & Jerry contohnya. Tak bisa diingkari penuh dengan imajinasi, banyak sekali ide-ide cerdas serta mengagumkan yang dimunculkan, baik oleh Jerry, yang suka usil, dan (Tom yang kerap berprilaku jahat), tapi demi mencapai tujuannya Tom dan Jerry tak jarang melakukan tindakan subversiv, seperti memukul, membanmting, membentak, mencelakakan, bahkan berupaya membunuh seperti biasanya yang ada dalam dewasa.
Begitu halnya dengan film kartun, SpongeBob yang menurut kajian KIDIA termasuk kategori film kartun berbahaya. Figur-figur di film kartun ini memang memiliki nilai-nilai pekawanan yang solid, tapi mereka juga sering melakukaan praktik kekerasan dan percakapan yang tak enak didengar telinga, teutama telinga anak-anak.
Dengan kemampuan nalarnya yang terbatas dalam menyerap serta mencerna makna yang ditayangkan oleh televisi, bukan suatu yang mustahil apa yang dilakukan Tom dan Jerry serta figur dalam SpongeBob dianggap perbuatan yang sah-sah saja oleh anak-anak.
Tak menutup kemungkinan, karena dilakukan dengan lucu maka anak justru tertawa saat figur dalam film kartun tadi mempraktikkan tindak kekerasan, baik secara fisik maupun psikis (mengejek, menghardik, dll). Ini artinya anak juga akan menganggap wajar (bahkan dianggap lucu) saat anak menendang temannya, atau bermusuhan dengan temannya sepanjang seperti yang dicontohkan Tom dan Jerry dalam Tom & Jerry. Bukankah anak-anak adalah peniru ulung, dalam hal ini sesuatu yang ditampilkan oleh film kartun tadi.
Orangtua pastinya tak menginginkan kondisi seperti di atas tadi menimpa anak-anaknya. Jika setiap waktu anak-anak menonton dengan kualitas mengerikan, dapat dibayangkan seperti apa jeleknya prilaku mereka.
Sebagai orangtua atau orang yang berperan aktif dalam pertumbuhan mental anak, sangat pantas jika merasa kuatir dengan tayangan-tayangan tadi. Terlebih setelah mengetahui laporan KIDIA pada pertengahan 2005 lalu yang menunjukkan bahwa dari 19 film kartun yang diteliti, hanya 8 yang 'aman' untuk dikonsumsi. Tentunya aman di sini juga perlu peran aktif orangtua. Sisanya termasuk dalam kategori hati-hati dan bahaya. Ini berimplikasi, orangtua harus menemani anak-anaknya dalam menyaksikan film, baik berupa film yang ditayangkan televisi maupun berupa VCD maupun DVD. Aktvitas menemani ini, mestinya tak hanya diartikan sebagai orangtua ikut duduk dan menyaksikan acara film yang disaksikan anak-anaknya, duduk dan diam. Maksud menemani di sini, tentu saja orangtua harus bertindak aktif , dalam artian orangtua harus menjelaskan sesuatu yang gamblang dalam pemikiran anak-anak.
Sebagai akhir, orangtua harus memberikan sebagian waktu untuk menemani anak-anak mengonsumsi acara di televisi. Supaya mereka memproleh makanan acara yang bergizi lagi sehat.