Reviews Buku

Thursday, December 12, 2013

Bantuan Hukum Gratis Bagi Saksi dan Korban Kejahatan


Jakarta- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) melakukan penandatanganan nota kesepahaman pada hari (10/01) di Hotel Cempaka Jakarta Pusat. Penandatangan nota kesepahaman tersebut dimaksudkan untuk memberikan bantuan hukum gratis kepada saksi dan korban kejahatan yang sudah disebutkan di dalam Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai mengatakan,jalinan kerjasama antara LPSK dan PERADI sangat penting untuk mengoptimalkan pemenuhan saksi dan korban kejahatan."Dalam beberapa kasus,saksi dan korban kejahatan sangat memerlukan peran advokat,terutama dalam hal nasehat hukum" ungkap Ketua LPSK.

Selain itu Ketua LPSK mengatakan, saksi dan korban yang berpeluang menjadi tersangka seringkali kebingungan mencari advokat yang dapat mendampinginya dalam posisi sebagai tersangka/terdakwa."Peran LPSK jelas terbatas, hanya mendampingi saat saksi dan korban diperiksa sebagai saksi, tetapi saat diperiksa sebagai tersangka, itu sudah menjadi ranah advokat, tapi tak sedikit saksi dan korban yang tak memiliki advokat,terutama saksi dan korban miskin" ujar Ketua LPSK.

Menggandeng organisasi advokat seperti PERADI, menurut Ketua LPSK sebagai langkah yang tepat."LPSK tentu harus memiliki mitra yang kredibilitasnya baik dalam memperjuangkan hak saksi dan korban kejahatan. Untuk itulah kami memilih organisasi advokat seperti PERADI yang dinilai selama ini konsisten memberikan bantuan hukum terhadap orang miskin" ungkap Ketua LPSK.

Menrut Ketua LPSK mengatakan, misi LPSK kali ini telah berbanding lurus dengan jumlah permohonan perlindungan yang masuk ke LPSK sepanjang Januari-November 2013." Sepanjang Januari-November 2013, LPSK telah menerima 1543 permohonan.20 orang pemohon berstatus saksi, 1471 orang pemohon berstatus korban, 30 orang pemohon berstatus pelapor, 17 orang pemohon berstatus tersangka, 4 orang pemohon berstatus terdakwa dan 1 orang pemohon berstatus terpidana" ungkap Ketua LPSK.

Lebih lanjut, Ketua LPSK mengatakan, dari 1543 permohonan tersebut, selama kurun waktu Januari-September 2013, LPSK telah memberikan pelayanan kepada 1039 saksi dan korban."114 orang mendapatkan layanan fisik, 416 orang mendapatkan layanan bantuan medis, 309 orang mendapatkan layanan bantuan psikologis, 25 orang mendapatkan layanan Restitusi dan 175 orang mendapatkan layanan pemenuhan hak prosedural dan/atau perlindungan hukum" ungkap Ketua LPSK.

Masih kata Haris bantuan advokat juga sangat signifikan dalam penanganan korban kejahatan."Meski Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah diundangkan selama 7 tahun, namun masih banyak korban yang tidak tau hak nya mendapatkan restitusi atau kompensasi (ganti rugi) terhadap penderitaan atas kejahatan yang dialaminya. Dengan adanya MOU ini, diharapkan, para advokat dapat memsosialisasikannya kepada para klien yang merupakan korban kejahatan dan membuat mereka aware terhadap hak nya untuk memperoleh restitusi atau kompensasi" kata Ketua LPSK.

Kedepan, Haris berharap peran organisasi pendamping dan advokat menjadi bagian dari supervisi perlindungan saksi dan korban,terutama dalam kasus tindak pidana yang bukan kategori kejahatan terorganisir, serta penanganan saksi dan korban di daerah." PERADI memilki jaringan yang sangat luas hingga ke daerah dan jumlah anggota yang sangat signifikan, diharapkan kedepan peran advokatnya menjadi mitra LPSK dalam penanganan saksi dan korban" pungkasnya





Thursday, December 05, 2013

Menggagas Dunia tanpa Terorisme

Indonesia dalam catatan sejarah, terutama pasca reformasi tak pernah lepas dari ancaman terorisme. Berbagai macam tindak kekerasan dan aksi peledakan bom di tanah air seolah tidak pernah berhenti, sekalipun kampanye perlawanan dan operasi pemberantasan sudah gencar dilakukan. Insiden Bom Bali 1 dan 2, Istiqlal, Kuningan, Kedutaan Australia dan yang paling baru yang menimpa hotel JW Mariot dan The Ritz Carlton yang terjadi 17 Juli 2009 lalu meruapakan buktinya.

Berbagai peristiwa teror di atas menampilkan aktor seperti Noordin M Top dan Dr Azhari. Kemudian ada Abu Dujana, komandan militer Jamaah Islamiyyah (JI) dan Zarkasih sebagai salah satu pemimpin. Penangkapan Abu Dujana di Banyumas dan ‘Mbah’ Zarkasih di Yogyakarta, telah memantik kegalauan bahwa mata rantai terorisme Indonesia tak pernah putus. Bahkan, seakan semboyan mati satu tumbuh seribu menemukan relevansinya di sini. Dengan artian setelah salah satu pemimpin meningal atau tertangkap akan tumbuh ribuan kader baru untuk meneruskan jejak perjuangan sang pemimpin. Ironisnya lagi, berbagai aksi terorisme tadi itu oleh pelakunya dianggap sebagai salah satu bentuk “jihad” dalam memerangi para musuh agama Allah.

Pemahaman yang sempit terhadap jihad itu kemudian bertambah rumit ketika disusupi dengan kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi. Karena itu aksi-aksi yang dianggap jihad oleh pelaku itu justru tak menambah manfaat bagi agama, tetapi malah menambah kusam wajah agama. Dalam tataran ini teks agama tidak lagi dihayati sebagai agama yang mengajarkan kedamaian, tetapi dimaknai sebagai simbol yang memperbolehkan kekerasan dengan dalil yang terkesan dipaksakan. Dengan kata lain jaringan teroris sudah menggahi agama dengan aksi anti kemanusiaannya. Kita membuat kesalahan fatal jika memakai apalagi mengandalkan teroris anti kemanusiaan untuk membela agama. Jaringan teroris menyembah ilah kekersaan bukan memeluk Allah perdamaian. (Hal 76 )

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa tindak kekerasan, radikalisme, dan aksi-aksi teror bom di tanah air selalu terjadi? Untuk menjawab pertanyaan di atas bukanlah hal yang mudah, banyak sekali benang kusut yang harus diurai satu persatu. Ada yang mengatakan bahwa secara sosiologis-politis, radikalisme dan moderatisme, juga teror dan anti-teror, adalah hal yang lumrah dan menjadi bagian dari sunnatullah; di mana ada sebab disitu akibat menyertai; di mana ada ketidakadilan dan kemiskinan, di situ perlawanan radikal dilakukan; Ada aksi pembantaian, di situ reaksi pun dimunculkan sebagai bagian dari strategi perlawanan; dan seterusnya. Namun di luar itu, ada satu hal yang cukup memprihatinkan bahwa radikalisme dan aksi-aksi kekerasan juga diyakini (sebagian orang) sebagai salah satu strategi ”dakwah” dan ”jihad” mereka dalam memperjuangkan salah satu agama Tuhan.

Hal ini lah menurut peresensi sumbangan terbesar seorang Mutiara Andalas, penulis buku Politik para Teroris ini. Dengan pendekatan multidisipliner, Mutiara, satu persatu mengurai benang kusut kasus teroris yang terjadi di Indonesia. Dari pertanyaan kenapa bisa terjadi peristiwa teror, kenapa pelakunya bisa dengan mudah memposisikan diri sebagai pembunuh, alasan teologis apa yang mendasarinya, dan seterusnya.

Penulis buku ini paling tidak mengusulkan tiga tugas penting yang harus menjadi perhatian semua orang. Pertama meminta keterlibatan komunitas kebangsaan dan keagamaan pasca-teror bom. Komunitas-komunitas ini menurut penulis ini, hendaknya mengungkapkan imannya akan keesaan Allah terutama melalui bela rasa dengan korban. Kepedulian juga hendaknya terulur kepada mereka yang pernah mengalami masa tahanan karena dakwaan keterkaitan dengan jaringan teroris karena masyarakat seringkali mengucilkan mereka karena dakwaan berkomplot dengan jaringan teroris di masa lalu. Masyarakat sering kali rendah toleransinya menerima warga yang pernah berurusan dengan aparat keamanan karena dakwaan terlibat dengan teroris, untuk hidup di tengah-tengah mereka. Seringkali mereka atas nama rnernbersihkan wilayah mereka dari sebutan sarang teroris mengusir warga yang rumahnya menjadi tempat singgah mereka yang didakwa aparat keamanan sebagai teroris.

Usul Kedua adalah mendorong pembacaan penafsiran kritis terhadap teks-teks suci agama yang sepintas membenarkan teror kekerasan. Menurut penulis buku ini, Hermeneutika terhdap teks suci agama perlu untuk membongkar kedok jaringan teroris yang sering kali menyelubungi aksi anti-kemanusiannya dengan baju teks Kitab Suci. Lebih jauh penulisnya menyatakan bahwa Pernyataan pemuka agama bahwa pelaku membajak Kitab Suci perlu ditindaklanjuti dengan pembacaan dan penafsiran terhadap teks-teks yang rentan terhadap pembelokan makna. Pengkaji Kitab Suci hendaknya menafsirkan teks-teks tersebut dalam pandangan yang positif terhadap komunitas beriman lain. Mereka hendaknya juga keluar dari paradigma pertarungan agama dan peradaban sebagaimana pernah dinubuatkan Samuel P. Huntington. Kita Perlu juga memperhatikan konteks ketidakadilan global dalam membaca dan menafsirkan teks Kitab Suci.

Dan yang terakhir, kata penulis buku ini adalah mengangkat isu terorisme anti-kemanusiaan sebagai bahan wacana kebangsaaan dan dialog antaragama. Tambah penulisnya lagi, kita juga mendorong gerakan-gerakan kebangsaan untuk melihat terorisme sebagai tantangan berketuhanan yang maha esa di Indonesia sekarang ini. Kita juga mendorong mereka untuk berinteraksi langsung dengan korban atau keluarga korban. Spiritualitas mereka bersumber dari perjumpaan dengan korban dan keluarga korban yang melahirkan bela rasa. Komunitas-komunitas agama juga berhadapan dengan ilah kekerasan sebagai berhala kontemporer.

Membaca buku ini membuat pembaca seperti disodorkan pada masalah sebenarnya yang harus segera diatasi oleh pihak yang berwenang, maupun masyarakat secara umum. Dengan analisis yang renyah dan enak dibaca pembaca penulisnya membawa membaca kepada solusi yang selama ini luput dari perhatian. Buku yang tak terlalu tebal ini ingin menggugah kesadaran kita sebagai pembaca, bahwa hidup merupakan pemberian Tuhan dan oleh karena itu harus dijaga dan digunakan sebaik-baiknya.

Yudi latif di bagian belakang buku ini menyatakan bahwa tuhan teroris adalah tuhan kebiadaban yang tak kenal “kasih” kepada korban. Di tengah kepungan terorisme yang terus mengancam, buku ini menyingkap dambaan Tuhan yang lain dari sudut korban. Semoga dengan terbitnya buku ini sedikit memberikan solusi bagi terciptanya dunia tanpa teroris.


Data Publikasi Buku
Judul : Politik Para Teroris
Pengarang : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 133 halaman

Monday, December 02, 2013

Indonesia dan Sistem Demokrasi Gusdurian

Oleh: Akhmad Kusairi



Tidak terasa hampir setahun Kiai Abdurrahmad Wahid atau Gusdur meninggal kita. Banyak yang merasa kehilangan dengan tokoh yang nyeleneh ini. Gebrakan-gebrakannya selalu ditunggu banyak pihak. Dalam bidang demokrasi beliau adalah pejuang demokrasi nomor satu. Menurut Dr. Munawar Ahmad, dosen filsafat politik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gusdur adalah pemikir politik yang mampu menawarkan pemikiran alternatif bagi pembangunan demokrasi di Indonesia, ia juga menjadi "pribumisasi" ide-idenya.

Dalam disertasi Munawar yang berjudul "Kajian Kritis Terhadap Pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gusdur) 1970-2000", ia membagi lima pokok pemikiran politik Gusdur, yakni (1) mengembangkan khazanah lokalitas Islam klasik Indonesia. (2) humanisme sebagai perlawanan terhadap kekerasan. (3) ide perlawanan cultural. (4) ide integralisme. Dan (5) analisis ilmiah atas realitas dunia Islam. (hal 85)
Kelima pokok pemikiran politik Gusdur itu, berada dalam satu wadah, yakni demokrasi. Bagi Gusdur, Indonesia harus memiliki sistem demokrasi khas Indonesia. Sebuah sistem politik yang relevan dengan konteks kekinian dan kedisinian bangsa Indonesia.

Sebagai politisi ulung yang dibesarkan oleh tradisi pesantren pemikiran politiknya tidak bisa dilepaskan agama (Islam). Menurutnya, hubungan antara Agama dan demokkrasi harus dipahami secara substantif, bukun simbolis. Nilai-nilai moral (religius) harus terintegralisasi ke dalam sistem demokrasi. Jika tidak, demokrasi akan pincang, seperti sistem demokrasi yang sedang berlangsung saat ini. Mengaca pada teori hubungan agama-negara ia digolongkan kaum integralistik.

Secara teoritis, demokrasi adalah kedaulatan berada di tangan rakyat. Ketika rakyat sudah diperbudak oleh kekuasaan, maka sistem demokrasi di negara tersebut dapat dikatakan gagal. Pasalnya, ada dominasi negara terhadap rakyat akan melahirkan berbagai gesekan sosial, seperti konflik antar kelompok, agama, etnis, maupun budaya. Hal itulah yang saat ini tengah melanda Indonesia.
Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia melakukan reformasi sistem demokrasi. yakni melampaui demokrasi liberal seperti yang ditawarkan Gusdur. Demokrasi liberal yang menjadi kiblat bangsa ini telah gagal dalam menciptakan keadilan tanpa kekerasan dalam realitas pluralis masyarakat kita.

Menurut Umaruddin Masdar (1999), liberalisme yang dimaksud Gusdur adalah filosofi hidup yang mementingkan hak-hak dasar manusia, sehingga ia mampu berkembang menjadi individu yang kreatif dan produktif. Dengan begitu, liberalisme dapat mewujudkan individu yang mulia berasaskan etika dan norma (moralitas).
Memang, sepintas Gusdur apresiatif terhadap liberalisme, tetapi liberalisme yang dimaksudnya berbeda dengan liberalisme yang digagas Lock. Demokrasi liberal yang diandaikan Gusdur, hemat saya, berada di antara demokrasi liberatif Locke dengan demokrasi deliberatif Habermas. Di satu sisi, Gusdur mengandaikan adanya proses dialogis (Habermas: komunikatif) dalam demokrasi. Tetapi di lain sisi, ia yakin bahwa kebebasan individu (liberalisme) sangat penting.

Dalam buku membaca pikiran Gusdur dan Amien Rais, dijelaskan bahwa demokrasi menurut Gusdur, tidak hanya suatu sistem yang mampu menjamin kebebasan advokasi saja, namun juga memiliki nuansa etis yang mampu melahirkan keadilan tanpa kekerasan. Terjadinya kombinasi intetgralistik dari berbagai entitas, seperti politik, budaya, rasionalitas, dan kekuatan kultur adalah penting. Demokrasi seperti inilah yang oleh Gusdur dinamakan demokrasi model Indonesia atau demokrasi "kultur". Suatu sistem demokrasi yang telah mengalami "pribumisasi" dengan kultur Indonesia. Demokrasi jenis inilah yang belum dimiliki bangsa kita saat ini.

Pada hemat saya, demokrasi "kultur" ala Gusdur ini perlu diapresiasi oleh bangsa ini. Sebab, bangsa Indonesia saat ini membutuhkan kejelasan konsep filosofi hukum Negara. sistem demokrasi "gusdurian" ini, paling tidak, dapat meminimalisasi berbagai persoalan-persoalan kebangsaan. Akhirnya, semoga dengan sistem demokrasi yang jelas, Indonesia segera lepas dari jejaring krisis multidimensi yang sedang membelenggunya.

Kedekatan Gusdur dengan Pak Mahfud dipertemukan oleh kesamaan, minimal dalamdua hal. Pertama, keduanya sama-sama nekat dan tidak takut mengungkap ketidakadilan dan menabrak ketidakberesan. Kedua, Gusdur dan Pak Mahfud sangat kompak dalam pandangan mengenai paham kebangsaan serta hubungan antar negara dan agama.(Yenny Wahid)

Buku ini juga menuturkan humor politik Gusdur yang memikat banyak orang. Cerita tentang semua presiden punya penyakit gila, saat Gusdur melakukan kunjungannya ke Kuba dan bertemu Presiden Fidel Castro, membuat buku ini segar untuk dibaca. Gusdur menyebut Presiden Soekarno gila wanita, Presiden Soeharto gila harta, Presiden Habibie dia sebut benar-benar gila alias gila beneran, sementara Gusdur menyebut dirinya sebagai presiden yang membuat orang gila karena yang memilih juga orang-orang gila.

Buku Gusdur: Islam, Politik, dan Kebangsaan ini merupakan kumpulan tulisan Mahfud MD yang berserak di media massa nasional dan tulisan pengantar lainnya. Buku penghormatan untuk Sang Guru itu berjudul Gusdur: Islam, Politik, dan Kebangsaan yang menceritakan kesederhanaan sosok Gusdur sebagai presiden. Kedekatan Mahfud MD saat menjadi Menteri Pertahanan di era pemerintahan Gusdur itulah yang dapat menggambarkan bagaimana Gusdur yang sebenarnya. Sebagai contoh kesederhanaan Gusdur, Mahfud menceritakan, hal itu dapat dilihat dari cara Gusdur menyajikan menu makanan kepada tamunya yang hanya disuguhi kacang rebus, jagung rebus, dan tempe goreng.

Sayang, di buku ini, Mahfud tak memberikan kepada pembaca tulisan terbarunya tentang Gusdur. Tulisan yang terbaru tak lain hanyalah kata pengantar.


Akhmad Kusairi, pengamat masalah sosial politik, tinggal di Jakarta.

LPSK: Aksi Dokter Abaikan Hak Korban

(Jakarta, 28 November 2013) Aksi mogok dokter kemarin (27/11) menunjukan bahwa dokter tidak menghormati proses penegakan hukum. Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai menilai, tindakan para dokter untuk mendukung rekan sejawatnya, dr.Dewa Ayu justru mengabaikan penderitaan yang dialami korban Julia Fransiska Makatey yang meninggal saat operasi caesar."Putusan kasasi mahkamah agung telah memperoleh kekuatan hukum tetap,sehingga setiap orang termasuk dokter harus menghormati putusan hakim dan memperhatikan hak korban" ungkap Ketua LPSK.

Lebih lanjut, Ketua LPSK mengatakan hak korban, selain memiliki hak keadilan untuk menempuh proses hukum, juga berhak mendapatkan ganti rugi akibat suatu penderitaan dan kerugian yang dialaminya akibat suatu tindak pidana."Selama ini posisi pasien sebagai korban tidak imbang. Seringkali pasien diperlakukan tidak adil, karena setiap tindakan dokter dianggap sebagai pembenaran medis,sehingga penderitaan korban dianggap sebagai resiko medis. Hal ini justru membuat pasien terabaikan hak-hak nya sebagai korban akibat tindakan pelanggaran atau pengabaian yang dilakukan dokter" ujar Ketua LPSK.

Lebih lanjut, Ketua LPSK mengatatakan bahwa dokter bukan manusia istimewa yang harus diperlakukan berbeda dengan manusia lain."Setiap orang termasuk dokter harus dapat dimintai pertanggungjawaban pidana bila melakukan tindakan yang masuk kategori pidana atau kesalahan yang dilakukan" tutur Ketua LPSK

Selain itu, Ketua LPSK mengingatkan bunyi kode etik dokter pada Pasal 1 yang menyatakan setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter, Pasal 3 yang menyatakan dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi dan Pasal 4 yang menyatakan setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri." tindakan aksi solidaritas dan membenarkan tindakan pidana yang dilakukan rekan sejawat ini menunjukan dokter tidak independen dan mempertontonkan kesombongan profesi kedokteran" tegas Ketua LPSK.

Kendati demikian,Ketua LPSK mengatakan, pihaknya mendorong keluarga korban dapat mengajukan restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana." Sesuai ketentuan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban menyatakan pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekeuatan hukum tetap, untuk itu pihak keluarga korban dapat segera mengajukan permohonan restitusi" ungkap Ketua LPSK.

Selain itu Ketua LPSK meminta agar Mahkamah Agung tetap independen dalam menyikapi pengajuan upaya hukum peninjauan kembali oleh dr.dewa ayu."Putusan peninjauan kembali nanti harus dibuat tidak boleh didasarkan adanya tekanan dari pihak manapun" ungkap Ketua LPSK.