Reviews Buku

Wednesday, December 13, 2006

Praktik Kekerasan dalam Film Anak-anak

(Dalam rangka memperingati hari Siaran Anak Internasional 14 Desember)
Oleh: akhmad Kusairi*

Dari sekian banyak orang Indonesia mungkin sebagian kecil saja yang tahu bahwa tanggal 14 Desember merupakan tanggal diperingatinya hari Siaran Anak Internasioanal. Eksistensi peringatan tersebut pastinya didasari oleh keprihatinan terhadap buruknya kualitas siaran (televisi) untuk anak-anak, yang otomatis akan mempengaruhi kualitas psikis dan tingkah laku anak-anak.
Film anak merupakan satu materi yang semua stasiun televisi, baik itu Negeri dalam hal ini TVRI maupun swasta. Terdapat begitu banyak film anak-anak, dari yang berupa kartun klasik film animasi hingga sinetron baik dengan cerita tentang anak atau yang melibatkan anak-anak sebagai artisnya. Dari berbagai variasi tadi film kartunlah yang paling menjadi menjadi perhatian.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh KIDIA (Kritis Media untuk Anak) pada Februari tahun 2005 lalu melaporkan bahwa 84 persen dari anak Indonesia menjadikan film kartun sebagai tontonan sehari-hari.
Sudah menjadi rahasia umum orang beranggapan bahwa film animasi dan kartun dengan tampilan yang lucu serta menarik, dan variasi warna yang mencolok, khas anak-anak, sudah pasti untuk anak-anak. Padahal dalam realitanya tak semua film kartun serta animasi sesuai untuk anak-anak. Semisal Sin Chan dan Spiderman (versi kartunnya), kalau dicermati secara seksama bukanlah film yang diperuntukkan bagi anak-anak, sebab sarat dengan problem orang dewasa sebagai bahan membuat cerita. Film-film tadi banyak sekali berisi adegan dialog yang terkait erat dengan seks atau hubungan romantis antara laki-laki dan perempuan yang belum waktunya dilihat oleh anak-anak.
Anggapan lain mengatakan bahwa film anak tentunya cocok yang sepi dari dari segala macam tindak negatif. Memang seharusnya film untuk anak harus relevan dengan kondisi pertumbuhan anak, khususnya dari sisi pertumbuhan psikologis serta tingkah laku anak. Ini berarti film anak sebaiknya tidak mengandung adegan yang berlawanan dengan nilai edukasi (pendidikan). Adegan kekerasan, seks, seharusnya dijsingkirkan jauh-jauh. Walaupun ada, hanya sebatas untuk pengembangan cerita, bukan daya tarik utama film tersebut.
Tapi dalam realitanya, justru adegan-adegan kekerasan banyak sekali terdapat dalam tayangan anak-anak, terutama dalam film-film kartun, entah film kartun buatan Jepang maupun Amerika. Film Tom & Jerry contohnya. Tak bisa diingkari penuh dengan imajinasi, banyak sekali ide-ide cerdas serta mengagumkan yang dimunculkan, baik oleh Jerry, yang suka usil, dan (Tom yang kerap berprilaku jahat), tapi demi mencapai tujuannya Tom dan Jerry tak jarang melakukan tindakan subversiv, seperti memukul, membanmting, membentak, mencelakakan, bahkan berupaya membunuh seperti biasanya yang ada dalam dewasa.
Begitu halnya dengan film kartun, SpongeBob yang menurut kajian KIDIA termasuk kategori film kartun berbahaya. Figur-figur di film kartun ini memang memiliki nilai-nilai pekawanan yang solid, tapi mereka juga sering melakukaan praktik kekerasan dan percakapan yang tak enak didengar telinga, teutama telinga anak-anak.
Dengan kemampuan nalarnya yang terbatas dalam menyerap serta mencerna makna yang ditayangkan oleh televisi, bukan suatu yang mustahil apa yang dilakukan Tom dan Jerry serta figur dalam SpongeBob dianggap perbuatan yang sah-sah saja oleh anak-anak.
Tak menutup kemungkinan, karena dilakukan dengan lucu maka anak justru tertawa saat figur dalam film kartun tadi mempraktikkan tindak kekerasan, baik secara fisik maupun psikis (mengejek, menghardik, dll). Ini artinya anak juga akan menganggap wajar (bahkan dianggap lucu) saat anak menendang temannya, atau bermusuhan dengan temannya sepanjang seperti yang dicontohkan Tom dan Jerry dalam Tom & Jerry. Bukankah anak-anak adalah peniru ulung, dalam hal ini sesuatu yang ditampilkan oleh film kartun tadi.
Orangtua pastinya tak menginginkan kondisi seperti di atas tadi menimpa anak-anaknya. Jika setiap waktu anak-anak menonton dengan kualitas mengerikan, dapat dibayangkan seperti apa jeleknya prilaku mereka.
Sebagai orangtua atau orang yang berperan aktif dalam pertumbuhan mental anak, sangat pantas jika merasa kuatir dengan tayangan-tayangan tadi. Terlebih setelah mengetahui laporan KIDIA pada pertengahan 2005 lalu yang menunjukkan bahwa dari 19 film kartun yang diteliti, hanya 8 yang 'aman' untuk dikonsumsi. Tentunya aman di sini juga perlu peran aktif orangtua. Sisanya termasuk dalam kategori hati-hati dan bahaya. Ini berimplikasi, orangtua harus menemani anak-anaknya dalam menyaksikan film, baik berupa film yang ditayangkan televisi maupun berupa VCD maupun DVD. Aktvitas menemani ini, mestinya tak hanya diartikan sebagai orangtua ikut duduk dan menyaksikan acara film yang disaksikan anak-anaknya, duduk dan diam. Maksud menemani di sini, tentu saja orangtua harus bertindak aktif , dalam artian orangtua harus menjelaskan sesuatu yang gamblang dalam pemikiran anak-anak.
Sebagai akhir, orangtua harus memberikan sebagian waktu untuk menemani anak-anak mengonsumsi acara di televisi. Supaya mereka memproleh makanan acara yang bergizi lagi sehat.

Menjawab Pertanyaan Fundamental

Pendahuluan

Epistemologi Yang merupakan satu diskursus filsafat berusaha menempat-kan diri dalam obyek kajian pengetahuan. Menyelidiki asal-asal pengetahuan, bagaimana cara memprolehnya, serta metode yang dipakai dalam pendekatan dis-kursus terhadap epistemologi itu sendiri.
Secara literal, epistemologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, Episteme yang berarti pengetahuan, informasi, dan logos bermakna, kata, pikiran,, percakapan, atau ilmu.[1]
Secara tradisional, yang menjadi pokok persoalan dalam epistemologi adalah sumber, asal mula, dan sifat dasar pengetahuan, bidang, batas, dan jangkuan pengetahuan, serta validitas dan reabilitas dari berbagai klaim terhadap pengetahuan. Oleh karena itu rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan menjadi tiga kelompok problem dasar dalam bidang ini. Pertama, apakah sumber pengetahuan itu? Manakah pengetahuan yang benar itu, dan bagaimana kita mengetahuinya? kedua, apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar berada di luar pikiran kita, dan kalau ada, apakah kita bisa mengetahuinya? Ini adalah persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomenia/ apperance) versus hakikat (noumenia/ reference). Dan yang terakhir, apakah pengetahuan kita itu benar? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? Apakah kesalahan itu? Pertanyaan-pertanyaan Ini adalah persoalan mengkaji kebenaran atau verivikasi.[2] untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis dan radikal di atas, penulis akan menjelaskan secara ringkas persoalan-persoalan yang menjadi pertanyaan sekaligus persoalan dalam diskursus epistemologi.

Tentang pengetahuan
Apabila dikatakan bahwa seseorang mengetahui sesuatu, itu berarti ia me-miliki pengetahuan tentang sesuatu. Dengan demikian, pengetahuan adalah suatu kata yang diguanakan untuk menunjuk kepada apa yamh diketahui oleh seseorang tentang sesuatu. Apabila si Joko yang baru pulang dari Taman Mini Indonesia Indah (TMII) menceritakan bahwa Taman Mini itu tempat yang sangat indah, bersih, banyak terdapat miniatur Indonesia, berupa rumah adat seluruh Indonesia , dan sebagainya, maka semua yang diceritakannya itu adalah pengetahuan tentang Taman Mini. Kita juga mengetahui bahwa dua ditambah dua sama dengan empat, lima kali lima sama dengan dua puluh lima. Kita pun mengetahui ada bermacam-bermacam bunga, ada mawar, melati, rose, dan lain-lain. Kita juga mengatahui bahwa rusa, babi, anjing, kucing kelinci, kancil dan ayam adalah bagian dari alam. Semua yang kita ketahui tentang sesuatu itu adalah pengetahuan.
Salah satu ciri pengetahuan adalah selalu memiliki subyek, yakni yang mengetahui, karena tanpa ada yang mengetahui tak mungkin ada pengtehuan. Jika ada subyek pasti ada obyek, yakni sesuatu yang ihwalnya kita ketahui atau hendak kita ketahui. Tanpa obyek juga tidak mungkin ada pengetahuan.
Selain itu, pengetahuan juga bertautan erat dengan kebenaran. Karena demi mencapai kebenaranlah, pengetahuan itu ada.
Secara sederhana, kebenaran adalah kesesuaian pengetahuan dengan obyeknya.[3] ketidaksesuaian pengetahuan dengan obyeknya disebut dengan kekeliruan.[4]
Kalau ditelisik lebih dalam, kebenaran dalam istilah Inggrisnya adalah truth (kesetiaan) istilah Latinnya Veritas dan Yunani altheia. Istilah ini lawan dari kesalahan, kesesetan, kepalsuan, dan juga kadang opini. [5]
Suatu obyek yang ingin diketahui senantiasa memiliki banyak aspek yang amat sulit diungkapkan secara serentak. Kenyataannya, manusia hanya mengetahui sebagian kecil aspek dari suatu obyek itu, sedangkan yang lainnya tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian, jelas bahwa amat sangat sudi untuk mencapai kebenaran yang lengkap dari iobyek tertentu, apalagi mencapai seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek pengetahuan.
Dilihat dari aspek formal, pengetahuan bisa dipetakan menjadi tiga jenis, pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, dan pengetahuan filsafati. Yang dimak-sud dengan pengetahuan biasa adalah hasil pencerapan indrawi yang merupakan hasil pemikiran rasional yang bisa dijumpai dalam kehidupan sehari-har. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang didapat melalui penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian kebenaran yang dicapai. Sedang pengetahuan filsafati diperoleh lewat pemikiran rasioanal yang didasarkan pada understanding, interpretation, speculation, penilaian kritis yang logis dan sistematis. Pengetahuan filsafati adalah pengatahuan yang berelasi dengan esensi, prinsip, dan asas dari semua realitas yang dipermasalahkan menurut yang akan diketahui.

Asal pengetahuan.
Tentang asal atau sumber pengetahuan, para Filsuf sedikitnya terpetakan menjadi tiga kelompok. Kelompok rasionalisme, yang mengatakan bahwa rasio atau akal budi adalah sumber pengetahuan utama bagi pengetahuan. Kelompok atau paham ini diwakili oleh Plato, Decartes, Spinoza, dan Leibniz. Secara umum para Filsuf ini berpendapat bahwa setiap keyakinan atau pandangan yang bertentangan dengan rasio tidak mungkin benar. Paham ini juga beranggapan ada perinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar oleh akal budi manusia. Dari prinsip-prnsip ni kemudian muncul metode deduksi, yaitu penalaran dari suatu kebenaran umum ke suatu hal yang khusus dari kebenaran itu.
Sedangkan beberapa Filsuf lainnya seperti Bacon, Hobes, Jon Locke, mengatakan bahwa bukan rasio, melainkan pengalaman panca indralah yang menjadi sumber utama pengetahuan. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan bergantung pada panca indra manusia serta pengalaman-pengalaman indranya. Paham ini kemudian melahirkan metode induksi, kebalikan dari deduksinya kaum Rasionalisme.
Terlepas dari perberbedaan pendapat tadi, penulis tak akan mencap bahwa satu aliran yang paling benar, karena setiap yanmg dianggap oleh sebagian orang itu benar belum tentu benar bagi orang lain. Naum jika disuruh berpendapat, penulis lebih memilih semuanya, dalam arti perpaduan, namun terlebih dulu membuang sesuatu yang tak benar dari pendapat paham-paham tadi. Sebab selain seabgian orang Islam tentunya notabene percaya pada semua kitab yang diturunkan oleh Tuhan. Penulis juga percaya bahwa kitab-kitab juga tak akan terlepas dari pengalaman, pemikiran maupun intuisi (wahyu dan ilham).
Selain tentang pengetahuan, epistemologi juga mempertanyakan kebenaran yang absolut. Tentang masalah ini, semua Filsuf percaya bahwa ada kebnaran di dunia ini, namun tak ada kebenaran yang absolut selain dalam hal ini kebenaran bahwa Tuhan ada.

Penutup
Dari pembahan yang ada di halaman-halaman sebelumnya, dari pertanyaan apa itu epistemologi sampai kemudian, apa kebenaran? Satu jawaban besar yang mungkin penulis temukan, yaitu kebingungan. Sebab dengan kebingungan tentang apa itu epistemologi dan kebenaranlah orang akan berpikir bahwa semua persoalan epistemologi tak akan selesai hanya menjawab sembilan pertanyaan yang dikutip oleh saudara Sudin dari bukunya Louis Kattsoff.
Akhirnya pertanyaan saya kembalikan pada penanya yang mengaku ahli filsafat. Apa itu epistemologi.
Daftar bacaan
-Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
-Gazalba, Sidi. 1991. Sistematika Filsafat II . Jakarta: Bulan Bintang.
-Kattsoff, Louis. 2004. Pengantar Filsafat. Terjemahan Soejono
Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
-Pranarka, AMW & Anton Baker. Tanpa data penerbitan.
-Rapar Hendrik, Jan. tt. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
-Sunardi, St. 2004. Nietsche. Yogyakarta: LkiS.
-Titus, Harold H. 1984. Persoalan Persoalan Filsafat terjemahan H.M
Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.

[1] Untuk pengertian epistemologi, hampir semuanya sepakat bahwa epistemologi berarti, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Lihat dalam Jan Hendrik Rapar. Pengantar Filsafat (yogyakarta: Kanisius, tt) hlm, 160.Lihat juga buku lain, semisal Lorens Bagus. Kamus Filsafat (Jakatarta: Grammedia, 1996) halm, 212
[2] penulis sengaja membedakan tiga persoalan pokok epistemologi, dengan tujuan terpetak jelas mana yang obyek material, dan mana yang obyek formal sehingga terlihat jelas perbedaan antara pengetahuan, kesesetan, serta kebenaran itu sendiri.
[3] Tentang kebenaran, sebenarnya sampai sekarang belum ada kata sepakat dalam definisinya, bahkan Nietsche dengan skeptis mengatakan bahwa kebenaran adalah sejenis kesalahan yang tanpanya manusia tak dapat hidup. Lihat dalam St. Sunardi Nietsche ( yogyakarta: LkiS, tt)
[4] dalam istilah Inggris kekeliruan adalah fallacy dari bahasa latin fallacia, tpu daya, gerak tipu. Lihat dalam Lorenc Bagus. Op. Cit. hlm 437.
[5] Ibid, hlm 412-416.

Saturday, December 09, 2006

Kiat Sukses Jadi Komunikator

Oleh: Akhmad Kusai

Judul : Sukses Jadi Komunikator Ulung
Pengarang : A H Pohan
Penerbit : Indonesia Cerdas
Cetakan : I, 2006
Tebal : 104 halaman

Memasuki jaman yang serba post-modern ini, globalisasi merupakan sosok yang menjadi sentral perdebatan dunia di mana globaisasi sering diartikan hilangnya batas-batas wilayah antara-negara dengan negara lain dikarenakan semakin majunya teknologi komunikasi dan trasportasi, sehingga kita bisa langsung berkomunikasi dengan siapa pun, kapan pun dan dimana pun kita berada. Oleh sebab itu di era globalisasi ini dibutuhkan upaya pembenahan komunikasi sebagai acuan agar bisa berhubungan dengan siapa saja.
Seperti yang dikatakan oleh Jalaluddin Rakhmat, dengan komunikasi kita bisa membentuk saling pengertian, menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Tetapi dengan komunikasi kita juga menyuburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran.
Sebagaimana yang telah Jalaluddin Rakhmat katakan di atas nampaknya komunikasi bagai pedang bermata dua, dimana disatu sisi akan memberikan ketenangan dan perdamaian, tapi di sisi lain justru akan menumbuh suburkan permusuhan dan perpecahan.
Berangkat dari kondisi yang semacam ini A H Pohan seorang praktisi di sebuah perusahaan papan atas di jakarta dalam buku yang berjudul Sukses Jadi Komunikator Ulung ini, mencoba memberikan sebuah solusi dan tawaran baru bagaimana cara berkomunikasi dengan baik dan efektif serta efisien, dengan sebuah misi besarnya yakni mempererat persatuan dan kesatuan, dan mencegah permusuhan dan perpecahan.
Menurutnya komunikasi merupakan bagian penting dari setiap aktivitas dalam kehidupan kita. Tidak peduli apa profesi atau gelar yang kita sandang, entah direktur, manajer, supervisor, atau office boy sekalipun, pasti pernah melakukan aktivitas ini. Kemudian ia menambahkan bahwa komunikasi yang efektif sebaiknya harus berangkat dan dibangun atas dasar kepercayaan, visi, harapan, harga diri, dan keyakinan.
Di bagian komunikasi yang efektif, penulis menjelaskan secara ganblang trik-trik atau kiat membangun sebuah komunikasi yang efektif.. Untuk melakukan komunikasi yang efektif sebagai pengirim pesan, menurut Pohan, ada beberapa tahapan. Pertama, mengetahui dengan pasti apa yang hendak dikomunikasikan –sebuah ide, keputusan, atau permintaan atas informasi tertentu. Kedua, mengenali audiens sasaran –apakah Anda akan berbicara dengan cara yang sama? Mungkin saja tidak. Jadi Anda harus menggunakan kata-kata yang berbeda untuk setiap orang yang menjadi lawan bicara Anda. Ketiga, siapkan pesan yang jelas dan tepat untuk disampaikan. Keempat, minta kepada si penerima pesan untuk menguraikan pesan yang Anda sampaikan. Ketika mereka menguraikan dengan kata-kata mereka sendiri tentang apa yang baru saja Anda ungkapkan, hal ini akan membantu penerima pesan untuk memproses dan mengulang pesan-pesan tadi. Jika keliru Anda tentu saja dapat mengoreksinya.
Sebagai penerima pesan, Anda pun harus melakukan hal-hal berikut berikut. Pertama, dengarkan pesan dengan hati-hati; ulang pesan yang Anda dengar untuk mendapatkaa pesan yang dimaksud. Kedua, bertanyalah untuk mengklarifikasi maksud dari pesan tersebut. Ketiga, dengarkan bahasa tubuh. Jika bahasa tubuh dan kata-kata yang diungkapkan tidak sesuai, gali lagi informasi pesan tadi, atau segera klarifikasi pesan tersebut dengan pemberi pesan. Terakhir, biarkan si pemberi pesan menyelesaikan apa yang ingin ia sampaikan sebelum Anda merespon atau menginterupsi kata-katanya.
Dalam buku ini pula Pohan menjelaskan baragam cara berkomunkasi yang baik dan efektif dilengkapi strategi jitu tentang cara berkomunikasi di saat sulit, menjadi seorang fasilitator, sukses dalam meeting dan negosiasi, dan menjadi presentator yang tangkas dan tentunya komunikatif dalam segala hal.
Oleh karenanya buku ini layak untuk dijadikan pisau analisis kita terhadap semua persoalan komunikasi. Sehingga kasus kesalahpahaman yang berbutut pada pertumpahan darah tak akan terjadi, hanya gara-gara kesalahanpahaman dari sebuah komunikasi.

* Penulis adalah Mahasiswa Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta.

Thursday, December 07, 2006

Baskoro mengenang Chicago


Judul : Chicago, Chicago
Penulis : Baskara T Wardaya
Penerbit : Galang Press
Cetalan : pertama, 2006
Tebal : 278 halaman

Buku yang mengabil gaya bercerita ini merupakan hasil refleksi seorang manusia akan realitas sekitarnya. Penulisnya, yang memang seorang Romo dan yang pasti sudah menduduki posisi sebagai seorang yang suci, otomatis segala kehidupannya diisinya dengan membaktikan diri kepada kepentingan sosial selain bertanya tentang apa yang mampu ia perbuat bagi manusia lain di sekililingnya.
Di dalam buku ini tidak semata hanya bercerita tentang diri pribadi Baskoro, tapi juga menceritakan kehihupan-kehidupan yang dekat dengannya, serta teman-teman atau orang yang sempat ia temui dalam perjalan hidupnya. Dengan religiusitas dan humanitasnya yang tinggi, tak mengherankan bahwa di tengah-tengah kesibukan penelitiannya, Baskara tidak luput dari kancah pergumulan-pergumulan hak asasi manusia sedunia, yang seringkali mengambil AS sebagai gelanggang. Dalam konferensi PBB tentang HAM pada musim panas 19992, Ia berjumpa dengan Lilu, seorang veteran gerakan mahasiswa Tiongkok yang luput dari pembantaian di Tiannamen, tanggal 4 Juni 1989.
Setelah itu keduanya lama tak berjumpa atau berkomunikasi, tahu-tahu bahwa di bulan Mei 1996 itu Lilu, si pejuang demokrasi telah lulus dari Columbia University di New York. Selain perjumpaan kembali dengan Li Lu, Baskara juga pertama kali berjumpa da sekaligus mewancarai sastrawan hebat kita, Pramoedya Ananta Toer, satu-satunya penulis yang menjadi kandidat Nobel sastra dunia, di kota New York di musim semi 1999.
Dalam wawancara dengan Pramoedya ini ada teman sesama pewawancara yang bertanya soal budaya Indonesia, Pram langsung menunjukkan sikap kritisnya, "Budaya Indoensia itu adalah budaya Bapak-isme", katanya "dari dulu sampai sekarang semua harus dilakukan dalam kelompok, dan secara kolektif kekuasaan diserahkan pada seseorang yang biasa disebut dengan Bapak. Tak ada yang berani berpikir secara individual. Menurut Pram baru pada jaman Chairil Anwar mulai muncul pemikirann individual, sebagaiamana dicerminkan dalam puisinya yang berjudul Aku (118-119).
Dari cerita-ceritanya Baskoro, kota New York cukup berarti bagi studi dan pengembaraannya di AS. Kalau begitu kenapa tidak memilih judul New York, New York bagi bukunya ini ? ternyata karena Chicago yang paling merebut tempat dan waktu dalam pengalaman studi Baskara. Maklumlah Chicgo merupakan kota besar terdekat ke Milwauke, di mana kampus universitas Marquette berada. Tempat ia melanjutkan studi Magister serta doktoralnya sekaligus.
Di tengah kehidupan yang serba keras di AS, ada satu kelompok minoritas yang dijumpai oleh Baskara dalam masa studinya. Satu kelompok minoritas di mana keluaraga itu telah mengangkatnya menjadi anak angkat mereka. Itulah masyarakat Eropa yang non-Anglosaxon, yang aslinya tak berbahasa Inggris, yakni masyarakat Cajun, keturunan para imigran Prancis yang mendiami Lousiana, salah satu negara bagian AS. Walaupun di tempat-tempat umum mereka diharuskan berbahasa Inggris.
Berjibunnya pengalaman yang manis dengan Orang-orang AS yang secara umum dikategorikan sebagai "orang Barat" membuat Ia mempertanyakan kembali dikotomi "Orang Barat versus orang Timur" yang sering diajarkan guru-guru kita di Indonesia.orang Barat selama ini dinggap sebagai orang yang tidak ramah, kasar dalam tingkah laku, individualistis. Sedangkan orang timur adalah orang yang ramah, berbudi halus dan suka menolong sesamanya. Di mata guru tersebut dunia Barat penuh dengan adat yang kurang terhormat, sedang dunia timur itu berlimpah dengan kultur yang bersifat luhur. Mungkin apa yang dikategorikan itu benar tetapi, juga juga tak sepenuhnya demikian, artinya, bisa saja bahwa orang Timur itu mendekati semua ciri tersebut, namun bisa juga gambaran tentang orang-orang Barat itu tak sepenuhnya benar.
Selain itu, ada satu paradoks yang dicatat dengan jeli oleh Penulis buku ini, yakni kehadiran orang-orang Indonesia yang kaya raya sebagai pelanggan barang mewah di toko-toko mahal di Michigan Avenue, Chicago. Ini sangat mengherankan sebab di tengah-tengah kemiskinan dan penderitaan yang dialami rakyat kebanyakan Indonesia mereka masih saja sempat berpoya-poya.
Sebagai akhir, terlepas dari kelebihan maupun kekurangan, buku ini tetap layak untuk dijadiakan cerminan hidup kita yang notabene sudah mengarungi lika-liku kehidupan yang serba keras ini. Sehingga tak heran jika suatu kesalahan sering kita lakukan, baik itu dalam keadaan sadar atau pun tidak.