Reviews Buku

Monday, December 02, 2013

Indonesia dan Sistem Demokrasi Gusdurian

Oleh: Akhmad Kusairi



Tidak terasa hampir setahun Kiai Abdurrahmad Wahid atau Gusdur meninggal kita. Banyak yang merasa kehilangan dengan tokoh yang nyeleneh ini. Gebrakan-gebrakannya selalu ditunggu banyak pihak. Dalam bidang demokrasi beliau adalah pejuang demokrasi nomor satu. Menurut Dr. Munawar Ahmad, dosen filsafat politik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gusdur adalah pemikir politik yang mampu menawarkan pemikiran alternatif bagi pembangunan demokrasi di Indonesia, ia juga menjadi "pribumisasi" ide-idenya.

Dalam disertasi Munawar yang berjudul "Kajian Kritis Terhadap Pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gusdur) 1970-2000", ia membagi lima pokok pemikiran politik Gusdur, yakni (1) mengembangkan khazanah lokalitas Islam klasik Indonesia. (2) humanisme sebagai perlawanan terhadap kekerasan. (3) ide perlawanan cultural. (4) ide integralisme. Dan (5) analisis ilmiah atas realitas dunia Islam. (hal 85)
Kelima pokok pemikiran politik Gusdur itu, berada dalam satu wadah, yakni demokrasi. Bagi Gusdur, Indonesia harus memiliki sistem demokrasi khas Indonesia. Sebuah sistem politik yang relevan dengan konteks kekinian dan kedisinian bangsa Indonesia.

Sebagai politisi ulung yang dibesarkan oleh tradisi pesantren pemikiran politiknya tidak bisa dilepaskan agama (Islam). Menurutnya, hubungan antara Agama dan demokkrasi harus dipahami secara substantif, bukun simbolis. Nilai-nilai moral (religius) harus terintegralisasi ke dalam sistem demokrasi. Jika tidak, demokrasi akan pincang, seperti sistem demokrasi yang sedang berlangsung saat ini. Mengaca pada teori hubungan agama-negara ia digolongkan kaum integralistik.

Secara teoritis, demokrasi adalah kedaulatan berada di tangan rakyat. Ketika rakyat sudah diperbudak oleh kekuasaan, maka sistem demokrasi di negara tersebut dapat dikatakan gagal. Pasalnya, ada dominasi negara terhadap rakyat akan melahirkan berbagai gesekan sosial, seperti konflik antar kelompok, agama, etnis, maupun budaya. Hal itulah yang saat ini tengah melanda Indonesia.
Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia melakukan reformasi sistem demokrasi. yakni melampaui demokrasi liberal seperti yang ditawarkan Gusdur. Demokrasi liberal yang menjadi kiblat bangsa ini telah gagal dalam menciptakan keadilan tanpa kekerasan dalam realitas pluralis masyarakat kita.

Menurut Umaruddin Masdar (1999), liberalisme yang dimaksud Gusdur adalah filosofi hidup yang mementingkan hak-hak dasar manusia, sehingga ia mampu berkembang menjadi individu yang kreatif dan produktif. Dengan begitu, liberalisme dapat mewujudkan individu yang mulia berasaskan etika dan norma (moralitas).
Memang, sepintas Gusdur apresiatif terhadap liberalisme, tetapi liberalisme yang dimaksudnya berbeda dengan liberalisme yang digagas Lock. Demokrasi liberal yang diandaikan Gusdur, hemat saya, berada di antara demokrasi liberatif Locke dengan demokrasi deliberatif Habermas. Di satu sisi, Gusdur mengandaikan adanya proses dialogis (Habermas: komunikatif) dalam demokrasi. Tetapi di lain sisi, ia yakin bahwa kebebasan individu (liberalisme) sangat penting.

Dalam buku membaca pikiran Gusdur dan Amien Rais, dijelaskan bahwa demokrasi menurut Gusdur, tidak hanya suatu sistem yang mampu menjamin kebebasan advokasi saja, namun juga memiliki nuansa etis yang mampu melahirkan keadilan tanpa kekerasan. Terjadinya kombinasi intetgralistik dari berbagai entitas, seperti politik, budaya, rasionalitas, dan kekuatan kultur adalah penting. Demokrasi seperti inilah yang oleh Gusdur dinamakan demokrasi model Indonesia atau demokrasi "kultur". Suatu sistem demokrasi yang telah mengalami "pribumisasi" dengan kultur Indonesia. Demokrasi jenis inilah yang belum dimiliki bangsa kita saat ini.

Pada hemat saya, demokrasi "kultur" ala Gusdur ini perlu diapresiasi oleh bangsa ini. Sebab, bangsa Indonesia saat ini membutuhkan kejelasan konsep filosofi hukum Negara. sistem demokrasi "gusdurian" ini, paling tidak, dapat meminimalisasi berbagai persoalan-persoalan kebangsaan. Akhirnya, semoga dengan sistem demokrasi yang jelas, Indonesia segera lepas dari jejaring krisis multidimensi yang sedang membelenggunya.

Kedekatan Gusdur dengan Pak Mahfud dipertemukan oleh kesamaan, minimal dalamdua hal. Pertama, keduanya sama-sama nekat dan tidak takut mengungkap ketidakadilan dan menabrak ketidakberesan. Kedua, Gusdur dan Pak Mahfud sangat kompak dalam pandangan mengenai paham kebangsaan serta hubungan antar negara dan agama.(Yenny Wahid)

Buku ini juga menuturkan humor politik Gusdur yang memikat banyak orang. Cerita tentang semua presiden punya penyakit gila, saat Gusdur melakukan kunjungannya ke Kuba dan bertemu Presiden Fidel Castro, membuat buku ini segar untuk dibaca. Gusdur menyebut Presiden Soekarno gila wanita, Presiden Soeharto gila harta, Presiden Habibie dia sebut benar-benar gila alias gila beneran, sementara Gusdur menyebut dirinya sebagai presiden yang membuat orang gila karena yang memilih juga orang-orang gila.

Buku Gusdur: Islam, Politik, dan Kebangsaan ini merupakan kumpulan tulisan Mahfud MD yang berserak di media massa nasional dan tulisan pengantar lainnya. Buku penghormatan untuk Sang Guru itu berjudul Gusdur: Islam, Politik, dan Kebangsaan yang menceritakan kesederhanaan sosok Gusdur sebagai presiden. Kedekatan Mahfud MD saat menjadi Menteri Pertahanan di era pemerintahan Gusdur itulah yang dapat menggambarkan bagaimana Gusdur yang sebenarnya. Sebagai contoh kesederhanaan Gusdur, Mahfud menceritakan, hal itu dapat dilihat dari cara Gusdur menyajikan menu makanan kepada tamunya yang hanya disuguhi kacang rebus, jagung rebus, dan tempe goreng.

Sayang, di buku ini, Mahfud tak memberikan kepada pembaca tulisan terbarunya tentang Gusdur. Tulisan yang terbaru tak lain hanyalah kata pengantar.


Akhmad Kusairi, pengamat masalah sosial politik, tinggal di Jakarta.

No comments: