Reviews Buku

Wednesday, January 23, 2008

Melirik Islam Lokal di Indonesia

Judul : Satu Dusun Tiga Masjid; Anomali Ideologisasi dalam Agama
Pengarang : Ahmad Salehudin
Penerbit : Pilar Media, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : xxiv + 132 halaman.

Dalam sekup dunia global pertemuan Islam vis to vis tradisi-tradisi yang menyertainya menjadikan Islam di Indonesia mempunyai banyak wajah. Perbedaan cara pandang dalam merespon kehadiran Islam di Indonesia dapat dipahami dari ekrpresi keislaman dalam kehidupan masyarakat, baik dalam bentuk pemikiran, ritual, atau organisasi keislamannya. Banyaknya organisasi keislaman seperti NU, Muhamadiyah, Persis, FPI, HTI dan lain-lain yang ada di Indonesia adalah bukti pluralitas ekspresi keislaman tadi.

Dengan kata lain Indonesia mempunyai banyak varian. Varian-varian itu dipengaruhi oleh proses panjang pertemuan Islam dengan budaya lokal (local culture) yang sangat heterogen. Menurut banyak kalangan, termasuk di sini para orientalis, Islam di Jawa merupakan hasil perkawinan dengan local javanese religion, Hinduisme dan Budhisme yang hidup secara bersamaan (Lombard, 1996) yang mengakibatkan timbulnya wajah-wajah Islam yang berbeda (Geertz, 1960).

Menurut Clifford Geertz, pertemuan Islam dengan budaya Jawa akan menghasilkan tiga varian Islam, yaitu Abangan, Santri, dan priyayi. Kelompok abangan tumbuh berkembang di daerah pedesaan, menjalankan agama dengan menggunakan referensi budaya lokal (local cultur) yang bersifat animis dan bertemu dengan Islam hanya pada permukaannya saja (Geertz, 1964:5). Statmen Geertz ini ditolak oleh Kontjaraningrat dengan menyatakan bahwa kelompok Priyayi bukanlah kelompok keagamaan tetapi kelompok yang ditimbulkan oleh stratifikasi sosial masyarakat feodal.

Sedangkan kelompok santri berkembang di pasar, merupakan kelompok Islam yang tidak tercampur dengan tradisi lokal (local tradition), melaksakan ritual keagamaan secara ketat, serta mempunyai pengertian yang cukup terhadap agama. Kelompok Priyayi menunjuk kepada orang Jawa yang bukan muslim (kecuali pengakuan saja) dan tidak menerima konsep-konsep animisme, tetapi menerima beberapa doktrin tradisi Jawa yang lebih abstrak. Kelompok Priyayi sering juga disebut sebagai penganut mistisisme (Hasaan, 1985: 113). Sedangkan menurut Simuh, pilihan kaum Priyayi untuk memeluk Islam karena adanya orientasi pada nilai kekuasaan yang sangat besar (Simuh:, 2003: 59).

Statement serupa di atas juga dapat ditemukan dalam berbagai penelitian lainnya, baik itu penelitian yang dilakukan oleh orang Islam Indonesia atau dari luar, yang meneliti tentang agama sebagai sistem kebudayaan. Hasilnya akan memunculkan beragam wajah Islam baru, yang masing-masing terjadi perbedaan cara memahami, menghayati dan mengonstruksi agama yang bekerja dalam masyarakat tersebut (baca: lokal). Namun begitu, dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, secara garis besar terdapat tiga tipologi hubungan antara agama denga budaya lokal, yaitu sinkretis, akulturatif dan sinkretis-akulturatif.

Ketiga kecenderungan paradigmatik yang sekaligus dijadikan kata kunci ini pula lah yang menjadi kajian utama dalam buku yang berjudul Satu Dusun Tiga Masjid; Anomali Ideologisasi Agama dalam Agama karangan Ahmad Salehudin ini. Yaitu dengan memfokuskan pada ekspresi keberagamaan masyarakat dan interaksi sosial keagamaan dengan mempertimbangkan pola konstruksi sosial keber-agamaannya. Dengan kata lain, buku ini ingin melihat ekspresi keberagamaan yang berada dalam masyarakat.

Dalam konteks ini, Ahmad Salehudin selaku penulis buku, berusaha mengamati sekaligus mendengarkan suara masyarakat pegunungan dalam mengkonstruksi tradisi Islam lokal, sehingga kemudian melahirkan ekspresi keber-Islaman yang unik dalam kelompok-kelompok Islam berdasarkan letak geografis dan pemahaman keagamaan yang dipengaruhi oleh tradisi-tradisi lokal.

Dalam buku ini Salehudin, mengamati dan mengulas kembali konsepsi Islam sinkretis yang selalu diidentikkan kepada Islam pedalaman. Apabila selama ini ada pernyataan bahwa Islam Jawa adalah Islam sinkretis yang mencampur-adukkan ajaran Islam, Hindu-Buddha, dan tradisi lokal, maka penulis buku ini akan menghadirkan sesuatu yang berbeda, yaitu sebuah konsep kebenaran dalam beragama sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat lokal dan bukan dengan meminjam pandangan orang luar (orientalis).

Buku ini merupakan hasil penelitian di Gunung Sari, dengan masyarakat yang dulu salat di satu langgar saja, tapi kelak berubah menjadi tiga tiga masjid, setelah gerakan-gerakan puritan agama masuk ke desa itu. Muhammadiyah, Islam Tauhid, dan NU punya peran penting di sini. Cuma perbedaannya, Islam Tauhid merupakan gerakan yang cukup fundamanalis. Gerakan ini mengisolasi diri dari pergaulan masyakat Gunung Sari dan juga dikucilkan oleh masyarakat itu.
Dialektika agama dan tradisi lokal selalu menarik untuk dikaji dan dikritisi. Keduanya adalah entitas yang benar dan berada dalam wilayah yang sama sehingga selalu tumpah tindih dan saling mempengaruhi. Dalam buku ini. Agama diposisikan sebagai bagian dari sistem budaya, yaitu agama yang bekerja di dalam masyarakat. Buku ini diharapkan dapat membuka cakrawala berpikir masyarakat terhadap pluralitas ekspresi keberagamaan, sehingga tumbuh kearifan dalam menyikapi keragaman yang ada, tentunya di sini kearifan lokal.

Pada bagian akhir buku ini, Penulis memberikan penilaiannya bahwa Islam dan tradisi lokal adalah entitas yang berbeda tetapi mereka tidak dapat dipisahkan. Pandangan semacam ini pernah diekspresikan dalam bahasa Jawa Kuno melalui sebuah ungkapan yang sangat terkenal dan masih sangat relevan, yaitu bhinneka tunggal ika.

Sebagai sebuah penelitian, buku ini sangat layak untuk dijadikan referensi penelitian ke depan, khusunya tentang Islam dan Budaya lokal. Namun, tak menutup kemungkinan buku ini jauh dari kelemahan, banyak ejaan yang salah serta pengulangan-pengulangan kata yang sering membuat buku ini sedikit membosankan.