Reviews Buku

Friday, November 22, 2013

Kriminalkan Masyarakat Karena Memungut Hasil Hutan, Bukti Kesewenang-wenangan Penegak Hukum

Nahrudin bin Sahuri (54), warga Desa Sepanjang, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, dituntut hukuman penjara 8 bulan serta denda Rp 652.000,- oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), dalam sidang lanjutan kasus pencurian kayu milik Perhutani, di Pengadilan Negeri (PN) Sumenep, Senin (www.kompas.com, 18/11/2013). Berdasarkan pemberitaan tersebut, kasus ini bermula ketika pada 6 Agustus 2013, Nahrudin membersihkan ranting pohon jati milik Perhutani, setelah pohon jati ditebang dan ditanami bibit baru. Sisa-sisa hasil tebangan itu, kayu jati berukuran 110 x 19 cm (kurang lebih 1 m) dibawa Nahrudin untuk memperbaiki pintu rumahnya yang rusak. Namun malang, saat membawa kayu menuju rumah, terdakwa berpapasan dengan Polisi Hutan (Polhut), dan ditangkap atas tuduhan mencuri kayu milik Perhutani.

Melihat kasus di atas, menyentak rasa keadilan kita. Mengingat berdasarkan data BPS dan Kementerian Kehutanan tahun 2009 ada 9.103 desa yang berada dalam kawasan hutan, dimana masyarakat yang berada dalam kawasan hutan tersebut bergantung kepada hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Berdasarkan hal itu, dapat dibayangkan berapa banyak masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan itu nantinya yang akan dihukum karena dituduh membawa atau mengambil hasil hutan tanpa izin. Bahkan untuk saat ini sudah banyak masyarakat yang dikriminalisasi dengan tuduhan mencuri kayu, atau mencuri hasil perkebunan perusahaan.


ELSAM, SILVAGAMA, WALHI dan PIL-Net menyatakan bahwa penerapan pasal pidana mengambil hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan keterangan sah hasil hutan dan proses hukum terhadap Nahrudin dapat merupakan tindakan ceroboh dan cermin kesewenang-wenangan aparatur negara.

Setidaknya ada 3 (tiga) alasan kenapa proses hukum tersebut salah kaprah. Pertama, hukum merupakan ruang publik bagi masyarakat sekitar hutan, hal ini dijamin oleh UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Aparat penegak hukum, khususnya Penuntut Umum sebaiknya melihat Pasal 68 UU Kehutanan, negara bahkan wajib memberikan kompensasi apabila hak masyarakat untuk mengakses hasil hutan terlanggar akibat pengukuhan kawasan hutan.

Kedua, seharusnya Penuntut Umum lebih jeli lagi melihat bahwa hutan Perhutani sendiri belum tentu melalui tahapan pengukuhan yang tuntas. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 sudah menjelaskan bahwa penentuan kawasan hutan selama ini berjalan otoriter, sehingga seharusnya hal ini menjadi bahan pertimbangan bagi para penegak hukum. Ketiga, bahwa kebijakan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) merupakan kebijakan administratif dan bisa dikesampingkan oleh kebijakan administratif lainnya. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.47/Menhut-II/2013 telah terang bahwa masyarakat berhak atas hasil hutan kayu tidak lebih dari 20 meter kubik, untuk kebutuhan individu. Oleh karenanya, ketentuan yang lebih menguntungkan terdakwa dalam hal ini Nahrudin diberlakukan.

Kasus ini merupakan bentuk ketidakadilan yang marak dipertontonkan kepada khalayak. Dalam melihat kasus ini hakim harus jeli, jangan hanya terpatok kepada norma undang-undang belaka. Hakim justru wajib menggali nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Keterangan sah hasil hutan pada dasarnya hanyalah keterangan untuk menjelaskan status kayu yang dikuasai. Dalam konteks kasus Nahrudin, sebaiknya jika sudah mendapat izin dari mandor Perhutani sendiri, seharusnya itu sudah cukup.

Lebih jauh, sewajarnya Polhut melakukan proses hukum atas kegiatan usaha illegal yang skala besar yang jelas-jelas tidak hanya menimbulkan kerusakan hutan tetapi juga merugikan negara. Kami juga menilai banyak sekali kelemahan dari ketentuan pidana yang diatur dalam UU Kehutanan, termasuk yang telah digantikan dengan UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Oleh karenanya, dalam jangka waktu dekat, kami akan mengajukan pengujian konstitusionalitas atas kedua undang-undang yang menyengsarakan rakyat tersebut.

No comments: