Reviews Buku

Friday, May 08, 2009

Mengungkap Sisi Senyap Umar Kayam

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul Buku : Manusia Ulang-Alik Biografi Umar Kayam
Penulis : Ahmad Nashih Luthfi
Penerbit : Eja Publisher, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal Buku : xxii + 183 Halaman

Dalam perjalan sejarah pradaban manusia biografi biasanya menempatkan manusia sebagai titik kajian. Di catatan ilmu sejarah Indonesia, terdapat tiga bentuk penulisan biografi. Bentuk pertama adalah biografi interpretatif; kedua biografi sumber; dan ketiga biografi populer. Dua biografi pertama termasuk biografi ilmiah, dengan segenap tehnical discipline keilmuan (sejarah). Biografi interpretatatif menyertakan analisis ilmu-ilmu sosial misalnya sosiologi dan psikologi. Sedangkan biografi populer tidak terlalu mementingkan kebenaran ilmiah, retorika, serta dialog antar tokoh yang di setting sedemikian rupa, sehingga menempatkan tokoh secara berlebihan.
Dalam biografi ilmiah sedapat mungkin penulis menghindari unsur sentimentalitasnya yang disebabkan sedemikian dekatnya dengan obyek kajian. Ia dapat melihat obyek kajian dari luar dan hanya berperan sebagai explanator; verstehen dalam pengertian Wilhelm Dilthey dimungkinkan bila subyek tineliti masih hidup atau meninggalkan jejak-jejak yang dapat dibaca dengan sejelas-jelasnya sehingga menutup kemungkinan multi tafsir. (Hal 3)
Melalui buku Manusia Ulang-Alik Biografi Umar Kayam ini, Ahmad Nashih Luthfi selaku pengarang coba menelusuri lika-liku kehidupan Umar Kayam yan penuh dengan perjuangan. Walaupun buku ini tak terlalu tebal seperti biasanya buku biografi, di buku ini justru pembaca akan disuguhi keunikan tersendiri dari apa yang akan disajikan oleh penulis.
Umar Kayam lahir di Ngawi, 30 April 1932. Ia merupakan seorang seniman, ilmuwan, budayawan di Indonesia. Selain menjabat sebagai Guru Besar Sastra Universitas Gadjah Mada (1978-1997) juga pernah menjabat antara lain menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Radio, Televisi, Film Departemen Penerangan (1966-1969) serta Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972). Sebagai Dirjen RTF, dia melakukan perombakan besar khususnya dalam infrastruktur film Indonesia. Salah satunya adalah membolehkan kembali Film Barat masuk yang sebelumnya sempat dilarang oleh Soekarno yang boleh masuk waktu itu hanya film-film sosialis yang tidak disukai kebanyakan orang waktu itu. Akibatnya bioskop menjadi mati dan perfilman menjadi mandek.

Dalam keadaan seperti itu, Umar Kayam datang dengan beberapa gagasan briliannya, antara lain Indonesia harus memproduksi dua jenis film, yang populer tetapi laku dan film bermutu tetapi kurang laku. Waktu itu Umar Kayam membentuk DPFN (Dewan Pertimbangan Film Nasional) dan mengumpulkan dana yang mencapai sekitar Rp 30 juta.
Dalam dunia sastra, Umar Kayam hadir dengan karya-karyanya yang menonjol seperti Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Sri Sumarah, Bawuk, serta novel masterpiece-nya yang terakhir Para Priyayi, novel yang bisa dikatakan sebagai kontruksi awal munculnya ambtenaarisme di Indonesia. Siapa saja yang membaca pandangan-pandangan Umar Kayam, baik dari buku atau pidato-pidatonya, akan akrab dengan tesisnya mengenai proses kebudayaan yang digambarkan seperti sebuah proses ulang-alik.
Tampaknya, sikap rileks dan penuh humor itu bertitik tolak dari dasar pandangan hidupnya, ialah rasa ikhlas. Jelasnya, betapapun ia menginginkan sesuatu, jika memang tidak bisa dicapai, ia melepaskannya dengan ringan. Umar Kayam adalah orang yang hampir hidup tanpa beban. Jika ia merasa bersalah kepada seseorang, betapapun orang itu hanya cantrik-cantriknya, ia tidak segan-segan minta maaf dengan tulus.
Umar Kayam adalah juga seorang yang gigih dalam memegang prinsip hidupnya. Jika mendapati satu tindakan tidak benar dan tidak adil, ia tidak segan-segan melawannya. Prof Siti Baroroh Baried almarhum mengatakan bahwa Umar Kayam selalu ingin meluruskan sesuatu yang bengkok. Oleh sebab itu, di balik ketenarannya, Umar Kayam menghadapi banyak tantangan. Tantangan itu bisa berupa apa saja termasuk juga yang muncul sebab kolom mingguannya di harian Kedaulatan Rakyat.
Walaupun kolom itu lebih banyak bersifat glenyengan, akan tetapi terdapat banyak sekali sindiran. Tidak mengherankan jika ia seringkali menerima surat anonim yang kadang-kadang menakutkan. Menghadapi surat-surat semacam itu, Kayam hanya tersenyum. Ia mengatakan bahwa negeri ini betul-betul aneh, diajak tertawa atau tersenyum saja sulitnya bukan main.
Sindiran adalah salah satu kekuatan Umar Kayam dalam menyampaikan misi humanisnya, baik lewat tulisan maupun ceramahnya. Kekuatannya yang lain adalah kemampuannya memandang suatu jagat besar pada suatu soal yang kecil.
Kayam juga mengagumi Soekarno, walaupun ia sangat kritis terhadap gagasan-gagasan besarnya. Kekaguman Kayam kepada Soekarno adalah pandangannya yang dalam beberapa aspek cukup liberal dalam kemampuannya menyatukan ribuan pulau yang tersebar di Nusantara. Kedekatannya dengan Dr Soedjatmoko tampak juga apabila sedang berbicara dengan teman-temannya di Jogja. Ia selalu mengajak agar teman-teman belajar memandang suatu masalah dengan skala besar. Jika pandangan orang terlalu jlimet, ia akan segera ketinggalan zaman.
Kelebihan lain yang ditinggalkan oleh Kayam adalah kemampuannya mendudukkan masalah pada proporsinya. Setiap masalah harus didudukkan lebih dahulu pada posisi mana. Dengan demikian, persoalan menjadi jelas walaupun pemecahannya belum tentu menjadi lebih mudah. Sekalipun berada pada puncak popularitas, Kayam sedikit pun tak memanfaatkan kesempatan itu untuk menjustifikasi segala tindakannya. Justru dengan popularitas yang digandrunginya ia melakukan perubahan-perubahan besar, sekalipun tidak signifikan. Digambarkan oleh penulis, bahwa geliat perubahan itu sekaligus merupakan sikap antitesis serta kritik Umar Kayam atas pandangan para sejarawan yang begitu sempit dalam memandang masyarakat Jawa.
Kritikan itu khususnya ditujukan pada Clifford Geertz yang membagi masyarakat Jawa secara trikotomi yakni: santri, priyayi, dan abangan. Sehingga akibat dari pembagian itu dinilai oleh Kayam sebagai sebuah upaya pemetakan masyarakat Jawa yang disengaja. Alhasil, tidak sedikit masyarakat Jawa saat ini terdikotomi sehingga menjadi pribadi-pribadi yang hirarkis dan eksklusif. Inilah yang harus dipikirkan bersama.
Sampai di sini, inilah mungkin yang membedakan biografi ini berbeda dengan biografi pada umumnya. Keberanian penulis untuk menguak segala pemikiran Umar Kayam lewat karya-karyanya yang kritis baik yang berupa cerpen, novel, sekaligus esainya seoalah menjadi bumbu tersendiri dalam buku ini

Telah banyak hal yang diberikan Umar Kayam atas negeri ini. Namun hal terpenting dari sekian hal yang Umar Kayam berikan ialah upayanya menumbuhkan semangat demokrasi yang tinggi dan berupaya pula untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
Sekarang Umar Kayam sudah istirahat di Karet bersama Chairil Anwar dimakamkan. Ia mungkin sudah membayangkannya sejak beberapa tahun lalu saat ia menuli cerpen Lebaran di Karet, di Karet (Kompas). Kayam yang rileks dan penuh humor, namun gagasannya yang cerdas selalu akan dikenang sebagai tokoh sejuta inspirasi. Buku ini coba menguak lika-liku kehidupan Umar Kayam. Seorang tokoh yang tak akan tinggal diam terhadap segala ketidakberesan yang ditemukannya.
Buku yang tak terlalu tebal ini adalah upaya seorang Luthfi dalam menyingkap sisi senyap seoarang Kayam. Karenanya tidak menutup kemungkinan ada usaha-usaha lain yang juga mencoba menyingkap sisi senyap tokoh kharismatik ini.

Siti Hartinah: Wangsit Keprabon Soeharto

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Bu Tien: Wangsit Kprabon Soeharto
Penulis : Arwan Tuti Artha
Penerbit : Galangpress, Yogyakarta.
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 168 halaman.

Seorang istri bagi suami adalah sejuta inspirasi. Kita tentu ingat bagaimana seorang Kaesar besar Julius Caesar tak berarti apa-apa di tangan Cleopatra. Begitu juga dengan Seoharto. Ibu Tien bagi Soeharto adalah penyeimbangnya dalam menakhkodai negara Indonesia. Kita pun kemudian tersadar saat Bu tien Wafat Indonesia yang sebelumnya menunjukkan kemajuan mulai terseok-seok kembali dalam mempertahankan keututuhan bangsa. Kita pun tahu kemudian Soeharto harus rela jabatan yang selama ini disandangnya harus diserahkan kepada orang lain. Menurut sebagian orang, Soeharto bias berkuasa itu dikarenakan dia memperoleh Wangsit Kprabon.
Tak banyak orang yang bisa menerima wangsit kprabon sebagaimana Soeharto. Itu pun barang kali berkat keperihatinan, laku spiritual, atau jalan keberuntunagn yang harus ditempuh Soeharto, wangsit itu akhirnya datang padanya. Salah satu keberuntungan Soeharto yang tak bisa diitolak adalah ketika siti Hartinah berhasil dipersunting sebagai istrinya pada 26 desember 1947. kalau saja seoharto tak menikahi Siti Hartinah, barangkali nasib yang menghampirinya akan lain. Sebab, sangat mungkin justru melalui Siti Hartinah itulah wangsit kprabon turun untuk seoharto. Selain itu, bila Soeharto tak menghormati istrinya, barangkali ia sudah keluar militer. Untunglah Siti Hartinah menyadarkan Seoharto, bahwa karier militer yang sudah ditempuhnya selama ini tiaklah sia-sia.
Buktinya Soeharto terangkat derajadnya dengan menjadi Presiden. Namun apakah dia pernah bercita-cita jadi presiden? "Saya tidak pernah bermimpi menjadi presiden," kata Soeharto kepada penulis biografinya.
Tidak bisa dipungkiri oleh siapa saja, untuk bisa memperoleh kedudukan sebagai kepala negara, tidak lah semudah membalikkan telapak tangan, karena kursi kepresidenan itu hanya tersedia satu, sementara penduduk suatu bangsa jumlahnya jutaan jiwa. Kalau bukan karena wangsit, tentu Soeharto tak akan terkenal seperti sekarang ini.
Sumber lain juga menyebutkan, keberuntungan Soeharto karena istri yang dinikahinya itu masih keturunan Mangkunegoro. Ong Hok Kham dalam bukunya dari Priyayi Sampai Nyi Blorong (2002: 217), menyebutkan perempuan keturunan raja ini memiliki pusaka paling keramat, sebab darinya berasal api keramat kerajaan yang dapat mengangkat rakyat biasa menjadi raja.
Kalau kita percaya pada turunnya wangsit, maka ketika surat perintah yang digodok di istana bogor sudah ditandatangai Sukarno, itulah wangsit keprabon mulai angslup (masuk) di tubuh seoharto, sehingga seoharto pun sakit. Jika tidak, tentu tak ada surat perintah tak ada tanda tangan sekarno, dan tak ada kekuasaan yang jatuh pada Soeharto.
Mungkin semua ini sudah menjadi garis nasib soeharto. Tak ada yang tahu kecuali garis nasib soeharto sendiri. Dalam masyararakat Jawa, ada istilah ndilah kersaning Allah. Iklim inilah yang juga berlaku dalam kehidupan Soeharto. Untunglah ada supersemar dari Soekarno yang akhirnya mendasari tindakan Soeharto termsuk membubarkan PKI pada 12 maret 1966 dan akhirnya menduduki kursi presiden selama 32 tahun.
Hampir sering dilupakan, di balik kebesaran Soeharto itu semua ternyata terdapat kekuatan Bu Tien. Diakui atau tidak, Bu Tien mempunyai andil yang cukup besar dalam mengawal kursi Kpresidenan Soeharto, baiak fisik, moral maupun secara spiritual. Laku tapabrata yang dilakukan oleh Bu Tien sangat mampu melanggengkan kekuasaan Soeharto, baik saat meniti kariernya dalam dunia militer maupun ketika menggantikan Seokarno. Bu tien adalah endhog jagad dalam rezim pemerintahannya. Itulah sebabnya ketika Bu Tien wafat Soeharto seperti kehilangan kepercayaan dirinya. Pada saat itulah, menurut pelaku kebatinan, Ia seharusnya tak mau lagi dicalonkan sebagai presiden.
Sekarang, semuanya memang sudah berubah., teruatama setelah orde harto tak lagi menjadi bayang-bayang kekuasaan. Meski begitu tampaknya soeharto tak pisa dipinggirkan begitu saja. Terbitnya buku-buku menguak kebijakan-kebijakan masa lalu itu menunjukkan betapa soeharto masih tetap menjadi pribadi yang banyak dibicarakan. Seakan tak ada habis-habisnya membicarakan Soeharto. Di sisi lain, tak banyak yang mengerling pada belahan jiwa Soeharto yang bernama Siti Hartinah itu. Padahal sebagai seorang istri, yang menjadi sigaraning nyawa suaminya, peran Bu Tien sangat lah besar. Dalam primbon kejawen, Bu Tien digolongkan ke dalam istri yang kuat menjaga suaminya. Dia lah yang menjaga wangsit kprabon Soeharto sehingga akhirnya wangsit itu hilang sekitar dua tahun pasca Wafatnya Bu tien.
Buku Bu Tien: Wangsit Kprabon Soeharto ini kira-kira ingin mengisi kelangkaan wacana tersebut, meski bukanlah sebuah biografi mengenai Bu Tien yang lengkap. Setidaknya melalui buku ini terbaca kekuatan dibalik Soeharto, yang diyakini membawa Soeharto, yang asalnya hanya rakyat jelata menjadi penguasa tunggal kerajaan Indonesia. Semacam wangsit yang dikirim langsung dari langit, dan ketika wangsit itu hilang, panggung politik yang dimainkan Soeharto pun selesai. Sekarang terserah bagaimana penilaian orang. Wangsit kprabon sudah tak bersama soeharto ketika ingin menjadi pandhito yang tak diganggu oleh intrik-intrik politik. Walaupun buku ini kelihatannya kurang logis untuk kurun waktu sekarang. Paling tidaknya penulisnya sudah berupaya untuk menghadirkan peran Bu Tien dalam kerier politik Seoharto. Dengan buku ini, setidaknya pembaca sadar bahwa ada kekuatan lain dibalik Soharto, dan itu sering dilupakan sebagian orang.


Akhmad Kusairi, Mahasiswa Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

Mengenalkan Success Intelligence dalam Kehidupan Praktis

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Success Intelligence
Penulis : Robert Holden
Penerbit : Mizan, Bandung.
Cetakan : Pertama, April 2007
Tebal : 424 halaman.
Berbahagialah dia yang makan dari keringatnya sendiri
Bersuka karena usahanya sendiri dan maju karena pengalamannya sendiri
(Pramoedya, 2006)
Kesukses adalah keinginan yang paling diinginkan semua orang. Namun ketidaktahuan arti kesuksesan serta orang dalam meraihnya membuat kesuksesan itu sendiri kabur, apakah sudah sukses atau hanya sibuk saja. Ini penting mengingat hampir sebagian besar orang hidup dalam budaya kesuksesan. Tapi ternyata hanya menghabiskan waktu mereka dalam kubangan kesibukan saja.
Di jaman serba cepat ini kesuksesan menjadi dewa yang diharapkan bisa mendatangkan keberkahan. Mayoritas orang menempatkan sukses sebagai tujuan hidup, dan tak jarang terobsesi untuk meraihnya. Mereka menganggap kebahagiaan bisa didapat berdasarkan apakah mereka sukses atau tidak.
Berangkat dari kegelisahan penulis yang memandang bahwa sebagain besar orang ternyata selama ini hanya lah mengejar sukses yang ternyata hanya menjadi sibuk saja, belum sukses. Di sinlah urgensinya kehadiran buku Succes Intelligence ini di ruang pembaca. Dengan paduan analogi dan deskripsi penulis membuat buku ini apik sekaligus menarik untuk dijadikan bahan kajian bagi para pecinta sibuk stadium tinggi. Penulis memutuskan menggunakan sebutan Succes Intelligence untuk menekankan perlunya berpikir secara bijaksana tentang kesuksesan.
Secara sederhana Success Intelligence berarti berani menerapkan kearifan pada kesuksesan. Ketika pertama kali Holden mempelajari kesuksesan, dia tersentak dengan apa yang disebut dengan "mabuk sukses". Dia menyaksikan betapa banyak orang yang jelas-jelas cerdas mengejar kesuksesan dalam cara yang sangat bodoh an picik. Mereka rela membayar kesuksesan yang mereka idamkan itu dengan radang lambung, perkawinan yang gagal, dan gaya hidup yang sinting.. Mereka mungkin telah menacapai skor tertinggi untuk kerja yang keras, tapi tidak untuk kecerdasan. (Hlm 18)

Sekarang ini kerja keras tidak lagi menjadi tantangan utama yang harus dihadapi, tetapi bagaimana kearifan kita yang lebih berperan.. Cara kita bekerja saat ini perlu dikaji ulang. Dalam ranah ekonomi ini yang disebut dengan ekonomi pengetahuan.
Buku Success Intelligence ini menantang Anda untuk menerapkan pemikiran terbaik Anda dalam mengejar keusuksesan. Buku yang lumayan tebal ini dibagi dalam tujuh bahasan yang diselipi dengan bab-bab setiap bahasannya. Bahasan pertama disebut "Visi", di sini pembaca akan dibantu menemukan visi yang jelas sebagai tujuan utama hidup. Bahasan kedua dinamai "potensi" yang memperkenalkan psikologi kesuksesan. Di sini pembaca akan diajak penulisnya menjelajahi bagaimana mengetahui diri dapat menolong dalam menemukan potensi, membukakan kemungkinan meraih sukses yang otentik. Pengetahuan tentang diri merupakan kunci utama menuju Success Intelligence. Tanpa pengetahuan diri tidak akan ada kesuksesan yang otentik, kebahgiaa yang otentik, dan hidup yang otentik. Tanpa pengetahuan diri, Anda mungkin malah mengejar definisi kesuksesan milik orang lain. (Hal 86)
Bahasan selanjutnya adalah kearifan dan berkonsentrasi pada sasaran kesuksesan. Di sini penulis memperkenalkan kiat bagaimana kita berlaku arif terhadap diri dan sekitar kita. Dalam bagian berikut penulis tentang banyak orang yang sering dalam upaya bergegas mengejar kesuksesan hubungan yang paling penting dikorbankan
Di bagian lima berjudul keberanian dalam menjelajahi bayangan kesuksesan. Di sini penulis menulis tentang kunci kecerdasan emosional, seperti menangani ketakutan dan menanggapi kemunduran secara cerdas. Dengan membaca buku Success Intelligence ini kita ditantang untuk menerjemahkan apa yang disebut pengalaman hidup yang negatif sehingga bisa menjadi pelajaran bagi keberhasilan. Bagian enam disebut rahmat, berfokus pada ruh kesuksesan. Di sini penulis memperkenalkan pandangan mengenai kecerdasan universal dan capabilitas untuk terilhami.

Dalam bagian penutup berbicara mengenai tujuan kesuksesan. Menurut Robert Holden penulis buku ini, tujuan sejati kesuksesan bukanlah untuk meraih keunggulan melebihi orang lain, melainkan untuk melayani dan mengilhami orang. Pengalaman Holden menunjukkan bahwa kesibukan permanen sebenarnya merupakan akibat dari tiadanya kejelasan tentang kesuksesan yang sejati. (Hal 45). Menurut Holden kunci penting menuju sukses adalah keberanian untuk melihat kesibukan Anda dan mengenali apa yang menyibukkan itu sebelumnya. Kunci lain sukses adalah kemauan untuk melihat di balik kesibukan Anda dengan tujuan menemukan jalan yang lebih baik. (Hal 50)
Buku Success Intelligence ini diharapkan dapat membantu dalam mencari kesuksesan secara cerdas sehingga tidak terperosok dalam kubangan lumpur kesibukan yang otomatis akan menyita sebagian besar hidup.
Buku ini merupakan buku kesekian yang memberikan cara-cara agar kita hidup bahagia, bukan Cuma cara agar dapat meraih kesuksesan saja, tetapi bagaimana ketika sukses sudah otomatis bahagia. Dan itu selanjutnya tugas pembaca dalam berimprovisasi sesuai dengan pengertian sukses menurut masing-masing individu. Buku ini merupakan karya yang luar biasa. Dengan disisipi pengalaman-pengalaman penulis dalam menghadapi pebisnis kelas dunia membuat karya ini punya nilai tambah.
Namun sehebat apa pun usaha penulis dalam membuat buku ini sempurna tetap saja punya titik lemah. Buku ini sebagaimana buku terjemahan selalu ada kata yang kurang pas diartikan. Tetapi tetap saja buku ini perlu atau harus dibaca oleh siapa saja, khususnya pebisnis yang memang secara konsen menerjunkan diri dalam ranah kesuksesan. Semoga dengan membaca buku ini dapat memperbaiki situasi perekonomian serta kehidupan bangsa Indonesia. Semoga…!

Berdamai dengan Pluralisme

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Esai-Esai Pemikiran Moh. Shofan dan Refleksi Kritis Kaum
Pluralis
Editor : Ali Usman
Penerbit : LSAF-Arruz Media
Cetakan : I, September 2008
Tebal : 484 halaman
Wacana pluralisme sepertinya akan tetap menjadi tema menarik sepanjang masa. Sebab pada dasarnya pluralisme merupakan keniscayaan yang tak dapat dipungkiri keberadaannya. Ia hadir sebagai bagian sejarah besar pradaban manusia. Wacana pluralisme kembali menjadi polemik di Indonesia akhir-akhir ini, setelah sebelumnya pada pertengahan pertama abad ke-20 sempat ramai dibicarakan.

Kata "pluralisme" sendiri berasal dari bahasa Inggris, pluralism yang berarti suatu kerangka interaksi tempat setiap kelompok menampilkan rasa hormat dan teoleransi satu sama lain, berinteraksi tanpa konflik atau asimilasi. Dalam buku Hiruk Pikuk Wacana Pluralisme di Yogya karangan Imam Subkhan, kata pluralisme diartikan sebagai kerangka hubungan antar kelompok yang saling menghormati dan berjerja sama tanpa konflik adalah sebuah definisi ideal yang perlu diiemplementasikan dalam konteks sosial, politik, dan budaya tempat masyarakat itu hidup. Dengan kata lain, Pluralisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa realitas kemajemukan seharusnya berdampak pada keharmonisan hidup bersama secara berdampingan dan seharusnya menunjuk kepada watak mental yang positif dalam suasana perdamaian berhadapan dengan beragamnya agama dalam masyarakat dalam menyikapi wacana ini umat Islam sedikit berbeda pendapat, ada yang menerima, menolak, dan yang cuek-cuek saja.

Mengenai sikap terhadap wacana ini orang Indonesia sedikit berbeda pemahaman. Bagi yang menerima menganggap bahwa wacana pluralisme merupakan suatu keniscayaan bagi terciptanya kehidupan yang toleran dan harmonis di antara umat. Dalam pandangan mereka, wacana pluralisme merupakan solusi terbaik terhadap ketegangan dan konflik yang terjadi, terutama pada era pasca-reformasi. Ini penting jika Pluralisme dikaitkan dengan kasus-kasus seperti Ahmadiyah, Lia Aminuddin, Poso, serta kasus-kasus lain yang sejenis. Bagi yang menolak melihat wacana ini sebagai upaya penyeragaman segala perbedaan. Upaya ini secara ontologis dianggap bertentangan dengan Sunnatullah yang pada kemudian akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri.

Buku yang berjudul lengkap Esai-Esai Pemikiran Moh. Shofan dan Refleksi Kritis Kaum Pluralis ini perlu dibaca karena berisi secara rinci perkembangan mutakhir pluralisme serta sikap dan respon masyarakat. Muhammad Shofan penulis buku ini secara jeli bisa memetakan wacana seputar pluraslisme baik yang pro maupun yang kontra.

Berdasarkan apa yang dituliskan oleh M. Shofan yang sudah mendeskripsikan dengan baik masalah-masalah seputar pluralisme sepertinya sebagai seoarang muslim yang moderat kita harus berdamai dengan pluralisme. Berdamai di sini dengan artian tidak terlalu ekstrem dan tegas menolak pluralisme dan juga sebalinya. Dalam hal ini sikap-sikap moderat dan santun sangat diharapkan.

Menggagas Tasawuf Kultural di Indonesia

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Tasawuf Kultural:Fenomena Shalawat Wahidyah
Penulis : Sokhi Huda
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Juli 2008
Tebal : xxviii + 372 halaman.
Dampak modernitas terhadap sendi-sendi kehidupan memang hampir mendekati sempurna. Harus diakui hampir segala dimensi kehidupan sudah dimasuki oleh modernitas, termasuk agama. Di tengah kondisi demikian banyak orang beranggapan bahwa Tuhan tak lagi dibutuhkan mengingat segala macam keperluan manusia sudah disediakan di dalam kehidupan modern. Namun benarkah demikian? Tumbuh suburnya majelis-majelis pengajian tasawuf di mana-mana merupakan bukti bahwa hal tiu tidak lah benar. Dengan kata lain masyarakat merasa terbelenggu oleh kecenderungan matarialisme. Mereka membutuhkan sesuatu yang dapat menentramkan jiwanya serta memulihkan kepercayaan mereka yang nyaris punah karena dorongan kehidupan materialis-komsumtif. Salah satunya adalah tasawuf.
Tasawuf di Indonesia sekarang ini tidak hanya menarik perhatian para peneliti muslim, tetapi juga menarik perhatian masyarakat awam. Di Barat pun terjadi hal serupa. Akhir-akhir ini juga muncul perhatian besar terhadap tasawuf. Munculnya hal tersebut tampaknya dipicu oleh beberapa hal, seperti adanya perasaan tidak aman menghadapi masa depan, di samping juga karena adanya kerinduan masyarakat Barat untuk bisa menyelami ajaran-ajaran ruhani dari agama-agama Timur.
Dengan realitas di atas tidak heran jika banyak pakar meramalkan bahwa tasawuf akan menjadi trend abad 21 ini. Ramalan ini cukup beralasan karena sejak akhir abad 20 mulai terjadi kebangkitan spiritual di berbagai kawasan. Munculnya gerakan spiritual merupakan salah satu bentuk reaksi terhadap dunia modern yang terlalu menekankan hal-hal yang bersifat material-profan sehingga menyebabkan manusia mengalami keterasingan jiwa.
Kebangkitan spiritual ini terjadi di mana-mana, baik di Barat maupun di Timur termasuk Islam. Di Barat, kecenderungan untuk kembali pada spiritualitas ditandai dengan semakin merebaknya gerakan fundamentalisme agama. Sedangkan di dunia Islam ditandai dengan banyaknya artikulasi keagamaan, seperti fundamentalisme Islam yang ekstrim dan menakutkan, di samping juga bentuk artikulasi keagamaan esoterik lainnya yang akhir-akhir ini menggejala, seperti gerakan sufisme dan tarekat.
Dalam konteks Indonesia, tasawuf berkembang sangat pesat. Bahkan disinyalir ia muncul sejak awal datangnya Islam ke negeri ini. Dalam buku Melacak Pemikiran Tasawufdi Nusantara, misalnya M. Solihin menulis bahwa Islam datang pertama kali ke wilayah Aceh.
Oleh karena itu, Aceh sekaligus berperan penting bagi penyebaran tasawuf ke seluruh wilayah Nusantara, termasuk juga ke semenanjung Melayu. Tasawuf yang singgah pertama kali di Aceh tersebut memiliki corak falsafi. Tasawuf falsafi ini begitu kuat tersebar dan dianut oleh sebagian masyarakat Aceh, dengan tokoh utamanya adalah Hamzah al-Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrarri. Dua tokoh sufi-falsafi ini mempunyai pengaruh cukup besar hingga corak tasawuf yang diajarkannya tersebar ke daerah-daerah lain di Nusantara.
Munculnya dua tokoh tasawuf dari Aceh yang bercorak falsafi tersebut kemudian disusul oleh para tokoh tasawuf berikutnya, yakni Nuruddin ar-Raniri, Abd Shamad al-Palimbani, dan Wali Songo. Munculnya tokoh-tokoh sufi pasca-Hamzah al-Fansuri dan as-Sumatrani ini lebih menampakkan ajaran tasawuf tipikal al-Ghazali. Bahkan tasawuf ini kemudian menjadi begitu dominan di Nusantara.
Pada sisi lain, patut diperhatikan juga bahwa ada dua tokoh lain yang ikut memperkaya khazanah tasawuf di Indonesia, yakni Ronggowarsito yang bernuansa "Kejawen" dan Haji Hasan Musthafa yang bernuansa "Pasundan". Kedua tokoh ini mempunyai pemahaman spiritual yang berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya. Mereka memperlihatkan adanya dialektika antara pemikiran tasawuf secara umum dengan budaya lokal setempat.
Berdasarkan data-data yang ada, para sufi Nusantara cukup memahami ajaran-ajaran wihdatul wujud milik Ibn Arabi dan ajaran insan kamil milik al-Jili. Teori-teori ini masuk ke Nusantara melalui dua tokoh Aceh, yakni Hamzah al-Fansuri dan as-Sumatrani yang ditopang oleh pemikiran Muhammad Fadhlullah al-Burhanpuri (India). Konsep wahdah al-wujud karya dan insan kamil kemudian berpadu dengan Tuhjah milik al-Burhanpuri sehingga melahirkan teori martabat tujuh. Teori ini terlihat mewarnai wacana pemikiran sufi Indonesia.
Teori martabat tujuh ini berhubungan erat dengan paham tanazzul dan tajalli, dan ia menjadi fenomena yang banyak dijumpai di Indonesia. Konsep martabat tujuh merupakan tingkatan-tingkatan perwujudan melalui tujuh martabat, yaitu: (1) ahadiyah, (2) wahdah, (3) wadhidiyah, (4) 'alam arwah, (5) 'alam mitsal, (6) 'alam ajsam, dan (7) 'alam insan.
Pemahaman seperti itu kelihatannya lebih tegas dipahami oleh Wali Songo di Pulau Jawa, yang kental dengan nuansa Sunninya. Gaya-gaya penafsiran mereka ini kelihatan tetap cenderung pada tasawuf Sunni. Dan, tasawuf Sunni inilah yang banyak dianut oleh masyarakat Islam Indonesia hingga sekarang.
Di sisi lain, dalam realitas kultural yang ada, di Indonesia juga muncul dua aliran tasawuf/tarekat yang cukup populer, yakni Shiddiqiyah dan Wahidiyah. Dua aliran tasawuf ini lahir di Jawa Timur. Kedua aliran ini ternyata berkembang cukup pesat di tengah masyarakat dan memiliki sistem organisasi yang cukup bagus dan solid. Menurut buku Tasawuf Kultural: Fenomena Shalawat Wahidyah ini kedua aliran ini merupakan aliran tasawuf produk Indonesia asli karena mempresentasikan formula amalan dan ajaran yang khas Indonesia dibanding dengan aliran-aliran tasawuf/tarekat lainnya.
Buku yang ada di hadapan pembaca ini mencoba mengkaji secara komprehensif fenoma Wahidiyah sebagai sebuah aliran tasawuf kultural. Dalam hal ini Sokhi Huda sebagai penulis mencoba melacak kelahiran shalawat Wahidiyah sebagai aliran tasawuf serta dinamika yang terjadi di dalamnya, respons para ulama' terhadapnya, dan juga sistem ajaran sekaligus pengorganisasiannya. Tak pelak tema kajian buku ini sangat menarik untuk dicermati dan didiskusikan, terutama di tengah masyarakat yang sering mengklaim diri dan kelompoknya sebagai yang paling benar.
Sebagai sebuah penelitian tentunya berhasil dan tidaknya buku ini ditentukan oleh respon peneliti-peneliti lain sehingga tertarik untuk melakukan kajian terhadap tema yang serupa. Tasawuf kultural untuk kalangan Indonesia sepertinya sesuatu yang harus ada, sebab selama ini kelompok-kelompok tasawuf didominasi oleh kalangan Sunni yang notabene sangat jauh dari tradisi ke-lokalan Indonesia. Oleh karena itu, sebagai kaum muslim Indonesia sudah sepatutnya berterima kasih terhadap penulis buku ini, yang dengan segala kelebihan dan kekurangannya mampu menghadirkan buku ini.

Bilangan Fu dan Kritik terhadap 3 M

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Bilangan Fu
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : KPG, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2008
Tebal : x + 537 halaman.
Harga : 60.000
Setelah lama tidak muncul dalam jagad perbukuan sastra di Indonesia penulis novel fenomenal Saman dan Larung, Ayu Utami kembali mengeluarkan sebuah novel berjudul Bilangan Fu. Novel ini berksiah tentang tiga orang tokoh, Yuda, seorang pemanjat tebing yang selalu bersikap kritis terhadap nilai-nilai di masyarakat. Parang Jati, seorang pemuda berjari dua belas yang dibentuk oleh ayah angkatnya untuk ikut merasakan duka dunia, dan Marja, seorang mahasiswi yang suka petualangan-petualangan.
Novel Bilangan Fu ini barangkali akan menjadi sebuah cerita fiksi yang rumit seandainya tidak ditulis dengan cermat. Novel ini berisi kritik Ayu pada tiga M yang dianggap menjadi ancaman terhadap kelangsungan kehidupan kebebasan dan demokrasi. Namun Ayu secara apik menjalin 3 kritik serba serius itu lewat kisah dua pemuda dan satu pemudi pemanjat tebing: Yuda dan Parang Jati. Walaupun keduanya terlihat sedikit berseberangan, Yuda dan Parang Jati saling bahu-membahu menjadi protagonis melawan musuh bersama mereka di atas.
M yang Pertama adalah modernisme. Menurut Ayu, Modernisme sudah menjadi penyebab utama rusaknya lingkungan akibat eksploitasi manusia modern yang kelewat batas dan lupa menghormati alam. Tambah Ayu lagi, manusia modern tak lagi percaya pada segala bentuk keramat dan cerita-cerita takhayul, ihwal roh-roh halus penunggu pohon besar, sungai, gunung, dan samudera. Padahal kepercayaan pada takhayul dan keberadaan roh-roh halus yang dulu dipercaya oleh masyarakat terbukti mampu menyelamatkan alam dari kerusakan. Karena percaya bahwa setiap benda dan tempat ada yang punya, mereka tak berani berlaku sewenang-wenang.
Kampanye anti-perusakan lingkungan ini disampaikan Ayu lewat dialog cerdas Yuda dan Parang Jati. Keduanya mengenalkan agama baru mereka yaitu pemanjatan bersih atau yang lebih ekstrem lagi sacred climbing, yakni teknik memanjat dengan sesedikit mungkin atau sama sekali tidak melukai tebing-tebing dengan alat-alat seperti bor dan paku.

Tamabh Ayu lagi, agama-agama langit telah gagal menyelamatkan alam. Menurutnya justru agama bumi lah yang sudah terbukti mampu secara sistematis memelihara keutuhan lingkungan. Namun demikian, agama-agama bumi ini telah terlindas oleh nilai-nilai baru. Dengan munculnya modernisme yang sama sekali menghapus ketidakrasionalan dan monoteisme yang tidak menghendaki di luar ketunggalan telah berdampak negatif atas keutuhan alam. Sebut saja misalnya, banyak terjadi penebangan hutan secara liar. Di mana manusia modern sudah tidak percaya lagi dengan mistisisme sehingga manusia tidak perlu takut lagi terhadap dampak negatif yang selama ini diyakini sebagai bala dari sang penunggu.
Maka dari itu menurut Ayu, untuk menyikapi problem semacam itu diperlukan sebuah spiritualisme kritis melalui persatuan berbagai agama yang dalam hal ini disimbolkan dengan aktivitas ketiga tokoh utamanya. Dalam hal ini, agama diasosiasikan dengan pemanjatan tebing yang dilakukan oleh Yuda yang kemudian berpindah agama dari pemanjat tebing kotor berpindah menjadi pemanjat tebing yang suci, bebas dari kecurangan-kecurang an
Monoteisme adalah M kedua yang dikritik oleh Ayu dalam novel ini. Dia percaya bahwa agama-agama langit yang monoteis memiliki persoalan mendasar dalam menerima perbedaan. Ayu mengilustrasikannya melalui konflik antara Kupukupu dan Parang Jati. Kupukupu adalah simbol bagi mereka yang merasa paling benar dengan apa yang mereka peluk. Mereka dalam praktiknya sangat anti terhadap perbedaan. Padahal dalam aksinya mereka tanpa sadar diperalat oleh tangan-tangan jahat kekuasaan yang ingin berkuasa atau meraup keuntungan. Pada bagian inilah Ayu memperkenalkan filosofi bilangan fu yang lebih bermakna metaforis ketimbang matematis. Ini menyangkut pengertian akan Tuhan yang Satu yang sering diartikan secara matematis.
Dan yang terakhir yaitu militerisme. Ayu berpendapat bahwa militerisme merupakan musuh utama demokrasi yang merajalela pada masa Orde Baru. Pada masa ini peran militer sangat dominan. Dengan kekuatan dan caranya sendiri, militer menebar teror, ketakutan, dan kekerasan di masyarakat demi melanggengkan kekuasaan. Acara-acara seni dan diskusi dimata-matai, kebebasan pers dibelenggu, dan kumpul-kumpul dianggap makar, subversi dan lain-lain. Bagi yang sempat merasakan hidup di masa itu tentu mengerti benar rasanya.

Novel dengan beban gagasan seberat itu tentu akan terasa membosankan jika penulisnya tidak pandai mengemas dan menyajikannya. Bilangan Fu nyaris menjadi novel ilmiah yang kaku seandainya hanya fokus pada ide besarnya dan melupakan unsur-unsur "hiburan". Unsur-unsur itu di antaranya bumbu seks, asmara, dialog-dialog yang bernas, plot yang tidak linear, dan humor yang menarik lagi cerdas.
Buku ini dibanding dengan dwilogi Saman dan Larung mempunyai gaya tarik tersendiri. Bilangan Fu alurnya lebih jelas, tutur bahasanya pun lebih lancar. Bilangan Fu juga tak ayal menjadi novel pertama di Indonesia yang mengangkat tema keagamaan secara universal. Dengan kata lain Ayu tidak berpihak ke dalam suatu agama tertentu. Buku ini adalah karya yang membicarakan persatuan seluruh agama dalam menciptakan kesejahteraan serta menyelamatkan alam dari dari tangan-tangan jahat manusia manusia modern.
Akhirnya, buku ini merupakan upaya seorang Ayu dalam menjawab masalah sosial keagamaan di Indonesia. Dengan gaya khasnya, Ayu mampu menghadirkan sebuah kisah yang mampu menjawab problem sosial keagamaan di Indonesia yang akhir-akhir ini sering terjatuh dalam truth claim. Bukankah kebenaran itu hanya milik Tuhan? Manusia hanya berusaha menafsirkan apa yang Tuhan katakan, bukan malah menjadi tuhan bagi masyarakat lain.
Akhmad Kusairi, Mahasiswa Filsafat fakultas Ushuluddin UIN Sunan kalijaga Yogyakarta

NU: Antara Harapan dan Tantangan

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : NU dan Neoliberalisme Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad
Penulis : Nur Kholik Ridwan
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Februari 2008
Tebal : xix + 204 halaman.

Nahdhatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi sosial-kemasyarakatan terbesar dan tertua di Indonesia yang mempunyai jaringan luas dengan basis massa tersebar di seluruh Indonesia. Namun, banyaknya masa dan jaringan yang luas, ternyata tidak diikuti dengan prestasi yang cemerlang. Bahkan dalam ranah politik dan ekonomi, NU hampir selalu menjadi pecundang. Dengan kenyataan, hingga saat ini basis massa NU tetap menjadi komunitas pinggiran yang tidak bisa berbuat banyak dalam menghadapi tantangan modernitas dan imperialisme neo-liberal. Jika demikian hal-nya, barang kali memang ada yang salah dalam cara kerja organisasi ini. Dalam arti organisasi ini tidak memiliki grand desain untuk memajukan, memberdayakan, dan mensejahterakan warganya.

NU secara organisasi didirikan pada 31 Januari 1926 dalam sebuah rapat di Surabaya yang dihadiri oleh KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisyri Syamsuri, KH. Ridwan, KH. Nawawi, KH. Doromuntaha (menantu KH. Cholil Bangkalan), dan banyak kiai lainnya. Rapat itu memutuskan dua hal: pertama, mengirim komite ke Makah untuk memperjuangkan hukum-hukum madzhab empat kepada pemerintah baru Kerajaan Saudi yang dipegang oleh kelompok Wahabi; dan kedua, mendirikan jamaah bernama NO (Nadlatoel Oelama), dengan komitmen awal menjadi gerakan sosial keagamaan. (hlm 1)

Dengan umurnya yang lumayan tua itu, sedikitnya ada dua tantangan yang harus dihadapi, pertama, globalisasi neoliberal yang telah mengubah dan mengendalikan tata dunia baru, dan kedua munculnya kelompok-kelompok Islam jenis lain yang gencar masuk ke daerah-daerah jantung NU, seperti Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir (HT), dan Jama'ah Islamiyah (JI). (hlm 2)

Jika dahulu salah satu faktor pendorong lahirnya NU adalah untuk menghadapi globalisasi Wahabi maka sekarang ini tantangan yang dihadapi NU lebih kompleks karena NU dikepung oleh kelompok Islam jenis lain itu yang walaupun tidak besar, tetapi berpotensi menarik kelompok-kelompok baru, bahkan menarik kelompok-kelompok ulama yang tidak memiliki perangkat canggih dalam menatap masa depan.

Guna merespons tantangan-tantangan ini ada pertanyaan menarik yang diajukan penulis buku yang berjudul lengkap NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad ini yaitu, apakah masyarakat NU akan sanggup merespons tantangan-tantangan tersebut atau hanya sekadar bersikap reaktif? Pertanyaan ini perlu dipikirkan secara serius oleh masyarakat NU dan para Pemimpinnya. Sebab, jika tidak, kata penulis buku ini, NU akan selalu terpinggirkan; dan hal itu hanya akan menambah sindrom kekalahan di mana masyarakat NU akan selalu menjadi orang yang kalah, yang selalu dieksploitasi secara terus-menerus.
Memang sejarah mencatat persoalan-persoalan sosial yang muncul dalam masyarakat selalu direspons oleh elit pesantren, yang nota bene masyarakat NU, namun sangat disayangkan, hampir selalu berakhir dengan kekalahan. Hal ini disebabkan menurut Nur Kholik Ridwan, penulis buku ini, karena dalam banyak perubahan sosial, masyarakat NU selalu bersikap pasif sehingga respons-respons yang muncul acap kali bersifat reaktif semata sehingga tidak heran jika hal itu berakhir dengan kekalahan.

Lebih lanjut penulis memaparkan kekalahan demi kekalahan yang diderita oleh NU. Di antaranya adalah pada tahun lima puluhan, NU keluar dari Masyumi karena kecewa, begitu juga keluar dari PPP karena kecewa. Selain itu ketika terjadi peristiwa 65, masyarakat NU tampil terdepan di lapangan, bahkan ketika itu banyal elit NU yang seakan menjadi pahlawan. Beberapa tokohnya bahkan sampai saat ini sangat bangga dengan hal itu. Mereka ternyata tidak sadar bahwa permainan telah dimenangkan oleh militer dengan jenderal Soeharto sebagai komandannya Hasilnya jelas, masyarakat NU dikandangkan kembali ke desa dan perkampungan-perkampungan kumuh. Pada era reformasi, NU mendirikan partai tersendiri, namun hasilnya juga mengecewakan. Dan masih banyak lagi kekalahan-kekalahan yang direkam apik dalam buku ini. (Hlm 4)

Oleh karena itu, agar NU tidak mengalami lagi kekalahan itu, tambah Nur Kholik, NU perlu merespons secara kreatif dan serius atas tantangan yang telah disebutkan di atas. Ketidaktepatan NU dalam merespons akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan NU ke depan.

Dalam buku ini, penulis mencoba mengkaji berbagai persoalan yang menghimpit dan membuat komunitas NU tidak berdaya dalam menghadapi perubahan sosial, politik, dan ekonomi. Selain itu, buku ini juga menyajikan berbagai tantangan dah sekaligus harapan bagi komunitas NU dalam menyongsong satu abad perjalanan organisasi kaum ulama ini. Tak pelak, buku ini merupakan sumbangan berharga dari salah seorang muda NU progresif yang memiliki imajinasi kreatif bagi keberlangsungan dan kejayaan NU di masa depan dan selalu gelisah melihat keterpurukan basis massanya.

Buku ini hadir untuk ikut memberikan pandangan yang bisa dijadikan bahan renungan di tengah ganasnya serangan globalisasi dan neoliberal. Buku ini ingin menjelaskan masalah dasar tentang apa itu neoliberal, bagaimana neoliberal bekerja, bagaimana ia diadopsi oleh negara, dan apa dampak dari kebijakan neoliberal terhadap negara dan juga warganya; serta menjelaskan posisi masyarakat NU yang kini sedang dimainkan dalam hubungannya dengan neoliberal; modal-modal sosial yang dimiliki dan hambatan-hambatan yang menghadang masyarakat NU untuk merespons neoliberal; serta kerangka besar dan langkah taktis apa yang perlu diperjuangkan masyarakat NU menjelang usianya yang ke-100 (satu abad) bersamaan dengan semakin canggih dan ganasnya globalisasi neoliberal mencengkeram warga bangsa.

Seperti diungkapkan oleh KH. Muchit Muzadi di kutipan awal buku ini, bahwa NU perlu "mengambil hal-hal baru yang relevan dan tidak harus memegang yang lama terus-menerus". Ini berarti bahwa NU harus berani mengambil langkah-langkah ke depan dalam merespons neoliberal demi generasi mendatang jika NU tidak ingin lagi kalah dan tercerai berai di tengah gencarnya serangan (ideologi) yang dilakukan oleh PKS, HTI, JI, pada satu sisi dan neoliberal di sisi lain.
Membangun NU ke depan berarti berupaya secara serius untuk menemukan strategi dalam membendung arus neoliberal, baik itu berupa strategi, langkah taktis, serta kerja praksis yang harus digalakkan. Persoalan kemudian adalah, siapakah yang bisa diharapkan mampu menguraikan masalah-masalah yang kompleks ini sekaligus memandu dan mencari jalan keluarnya di tengah jaman neoliberal yang ganas dan canggih ini? Sejarah lah kemudian yang akan menjawab itu.

Buku ini merupakan bukti kecintaan Seorang Nur Khalik Ridwan terhadap organisasi yang mengaku mempunyai masa terbesar di Indonesia. Kritiknya yang keras terhadap NU perlu diapresiasi lebih lanjut. Namun bukan berarti buku ini tanpa cacat. Perbaikan secara teknis buku ini juga diperlukan, karena di sana-sini masih banyak terdapat pengulangan kata yang terjadi. Terlepas dari kekurangannya, buku ini tetap layak untuk dibaca.
Akhmad Kusairi, Mahasiwa Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Wednesday, December 17, 2008

Meninjau Ulang Tafsir terhadap Perempuan

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Menimbang Tafsir Perempuan terhadap Al-Quran
Pengarang : Nelly Van Doorn-Harder
Penerbit : Pustaka Pelajar-Pustaka Percik, Yogyakarta
Cetakan : I, Mei 2008
Tebal : xvi + 54 halaman.

Sudah banyak buku yang membicarakan feminisme sebagai topik kajian, namun buku yang diangkat dari pidato ini terasa lebih menarik karena penulisnya walaupun orang Belanda, berbicara banyak mengenai dunia feminisme secara khusus dan Islam pada umunya. Oleh karena itu alangkah baiknya bagi kalangan yang mengaku sebagai aktivis feminisme untuk membaca buku yang menurut Siti Musdah Mulia sebagai buku yang unik ini.
Wacana tafsir perempuan yang diangkat oleh penulisnya ini menarik disimak mengingat seorang sufi terkemuka, Ibn Arabi pernah berkata, untuk menjadi sufi sejati seorang harus menjadi perempuan terlebih dahulu. Mengapa? Karena menurutnya, Tuhan memiliki seratus sifat yang terbagi menjadi sifat Jalaliah yang identik dengan sifat maskulin dan sifat Jamaliah yang identik dengan sifat feminim. Uniknya sifat Jamaliah Tuhan ternyata lebih dominan, bahkan jumlahnya lima kali lipat dibanding sifat Jalaliah-Nya. Itu artinya sifat Tuhan sendiri lebih cenderung kearah feminim.
Namun pertanyaanya, kenapa di banyak negara, khususnya negara Islam nasib perempuan justru dinomorduakan? Pertanyaan yang cukup menggigit itu tentu tidak lah mudah untuk dijawab. Selain harus berhadapan dengan tradisi yang sudah sangat dipegang erat oleh masyarakat, upaya pembaharuan juga terkendala oleh orang-orang yang mengaku punya otoritas untuk memahami Islam, kelompok ini populer disebut Islam Fundamentalis.
Selain itu banyaknya tafsir agama yang bias gender menyebabkan banyak sekali teks-teks agama yang ditafsirkan secara misoginis, menaruh kebencian pada kaum perempuan, bukan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Ini tentu berakibat buruk terhadap perlakuan terhadap perempuan.
Kitab Suci yang menyatakan setiap umat manusia setara di hadapan Tuhan kecuali keimanan seringkali dipelintir dengan dalil lainnya tatkala perempuan akan menjadi pemimpin, dengan mengatakan jika meletakkan kepemimpinan pada perempuan maka tunggulah kehancurannya!

Dalam perjalanan waktu ada sebagian kaum perempuan menyadari akan tafsiran yang misoginis itu. Kondisi ini diteruskan sampai abad keduapuluh sebelum kaum perempuan bisa menuntut gagasannya sebagai tiitk tolak dalam menafsirkan al-Quran. Hal ini disebabkan oleh pergeseran peta sosial, budaya dan pendidikan di banyak negara Islam.
Perkembangan ini tidak hanya ada konsekuensi bagi kedudukan kaum perempuan dalam Islam, tetapi juga hak anak-anak dan kelompok-kelompok minoritas akan dipengaruhi oleh pikiran baru tersebut. Para penafsir perempuan, mencari hak-hak dan kebebasan bagi semua orang, maka usaha mereka penting bagi kelompok-kelompok di negara-negara Islam yang memperjuangkan demokrasi dan menghargai HAM.
Mereka yang ingin menafsirkan kembali teks kitab suci juga mementingkan perubahan masyarakat. Untuk membentuk dan memasuki gagasan-gagasan baru ini akan membutuhkan waktu sekurang-kurangnya empat puluh tahun. Mereka ingin menelurkan ulama perempuan sebanyak mungkin dan mereka menganggap bahwa kurikulum pendidikan agama harus diperbarui demi penyebaran pandangan mereka. Karena tidak semua anak masuk sekolah, maka mereka memakai media dan mencari metode-metode yang kreatif serta humoristis sehingga teori-teori mereka dialihkan ke aksi-aksi dan diperkenalkan ke masyarakat umum. Suatu aspek penting dari usaha ini adalah menggerakkan interaksi anatara tafsiran al-Quran yang humanis dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. (Hal 5)
Kenyataannya, penafsir ayat-ayat kitab Suci adalah didominasi oleh kaum laki-laki dan makin lama sejarah berkembang makin jelas bahwa kaum perempuan tidak boleh menduduki jabatan agamawi dengan mengacu kepada mitos dan dongeng mengenai sifat dan disposisi kaum perempuan. Baik dalam agama Yahudi maupun Kristen, teolog-teolog feminis membongkar mitos-mitos ini sehingga diperlihatkan bahwa konstruksi historis, budaya dan sosial menyembunyikan ayat-ayat yang asli. Tetapi mitos-mitos ini sudah sangat kental di masyarakat sehinga untuk menghilangkan pola-pola pikiran tersebut membutuhkan waktu lebih dari satu generasi.
Dalam Islam terjadi suatu proses yang sama yang juga melemahkan mitos-mitos ini. Sebagaimana penafsir-penafsir perempuan terhadap al-Quran – yang dibahas dalam buku ini menganggap sebagai tugasnya untuk membongkar mitos-mitos ini dan penafsiran yang misoginis, karena jargon-jargon teologis ini sangat berpengaruh terhadap pola pikie kaum perempuan. Para penafsir ini meyakini bahwa al-Quran adalah Firman Allah. Siapa yang mengikuti teks-teks ini sebagai pedoman untuk kehidupan, maka mereka akan menemui jalan menuju ke arah kedilan, kebebasan dan toleransi. Bilamana teks itu ditafsirkan dengan hasil yang tidak manusiawi bagi perempuan, maka hal ini semata-mata adalah kesalahan dari para penafsir (kaum laki-laki) bukan kesalahan al-Quran.
Penafsir perempuan yang dibahas dalam bagian kedua orasi ini adalah kaum perempuan Indonesia, yang biasa disebut feminis muslim. Sebenaranya perjuangan mereka sudah dimulai pada tahun 70-an. Karena perjuangan mereka cukup lama, maka tidak ada jalan kembali. Gagasan-gagasan merekasudah tersebar dan dampaknya sudah mulai terasa di sebagian besar masyarakat Indonesia.

Diskursus mengenai hak-hak perempuan dalam Islam sangat penting dalam hubungan antara orang Muslim dan Kristen. Di beberapa negara Islam, seperti Arab Saudi dan Iran, dapat diamati secara langsung tindakan terhadap kaum perempuan dan kelompok minoritas. Kadang-kadang di dalam syari'ah dan fiqih ada peraturan yang sama bagi kaum perempuan dan orang non-Muslim. Dipengadilan misalnya menurut syariah kesaksian dua orang perempuan atau dua laki-laki orang Yahudi atau Kristen disamakan dengan kesaksian satu orang Muslim laki-laki.
Buku ini bisa dijadikan semacam evaluasi terhadap tafsir-tafsir yang kebanyakan bersifat misoginis yang dikarang para Ulama' Salaf. Dengan kritis penulis dalam buku ini berupaya menyodorkan bukti-bukti sosiologis betapa tafsir-tafsir misoginis itu sangat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Oleh karena itu diperlukan tafsir yang tidak bias jender. Menimbang ulang tafsir merupakan suatu keharusan sehingga pesan Islam yang membawa rahmat kepada seluruh alam bisa terlaksana.
Namun pepatah mengatakan bahwa tidak ada kesempurnaan yang absolut kecuali Tuhan. Buku ini di samping punya kelebihan juga memiliki titik lemah. Yaitu di bagian-bagian tertentu seringkali ditemukan adanya ejaan-ejaan serta EYD yang tidak sesuai. Selain itu buku ini juga kurang sempurna di penerjemahan bahasa lisan ke bahasa tulis sehingga pembaca akan merasa membaca sebuah skrip pidato daripada sebuah buku ilmiah.

Thursday, October 16, 2008

Pelukis Salim Telah Tiada

Rabu, 15 Oktober 2008 01:26 WIB
Pelukis Indonesia yang bermukim di Paris, Perancis, Salim, meninggal di RS Neuilly sur-Seine, Paris, Senin (13/10), pukul 17.15 waktu setempat. Seniman yang baru saja merayakan ulang tahun ke- 100 itu dirawat sejak Jumat (10/10) akibat mengalami kesulitan pernapasan dan tekanan darah rendah. Jenazah bakal dikebumikan di pemakaman di kawasan Neuilly, Jumat (17/10) pagi.
”Jenazah almarhum masih disemayamkan di Rumah Sakit Courbevoie, Paris. Kuasa Usaha KBRI di Paris dan sejumlah kawan sudah melayat,” kata Alijullah Hasan Jusuf (57), anak angkat Salim, yang dihubungi di Paris, Selasa (14/10) sore.
Menurut Alijullah, kondisi Salim sempat membaik setelah diinfus dan diobati di ruang ICU RS, pekan lalu. Pelukis itu minta dibawakan radio untuk mengikuti perkembangan berita dunia. ”Bahkan, dia sempat berkelakar dan bertanya, berapa skor pertandingan sepak bola antara Perancis dan Romania?”
Senin pagi, kondisi almarhum melemah. Alijullah menjemput istri Salim, Helena Bouer (90), untuk diajak menjenguk suaminya ke RS. Pasangan sepuh itu selama ini tinggal di salah satu kamar lantai enam di Avenue Charles de Gaule di Neuilly sur-Seine. ”Saat menyetir mobil,” kata Alijullah, ”Saya ditelpon kalau Salim sudah meninggal.”
Inda C Noerhadi, Direktur Cemara 6 Galeri, mengungkapkan, kabar terakhir sebelum meninggal menyebutkan, Salim memang sudah tak mau makan beberapa hari dan kesehatannya menurun. ”Jarang pelukis yang mencapai usia 100 tahun dan masih tetap sehat, bersemangat, dan kuat ingatannya,” katanya.
Cemara 6 Galeri bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Perancis Jakarta baru saja menyelenggarakan pemeran tunggal bertajuk ”Salim/Siapa Salim” di Galeri Nasional, Jakarta, 2-14 September. Kepergian satu-satunya pelukis Indonesia yang mengembangkan karier dan menetap di Paris hingga berusia 100 tahun itu adalah kehilangan yang mendalam. Salim telah mengalami, menyaksikan, dan menggembleng diri di tengah pusaran perkembangan seni rupa modern di jantung kota seni dunia, Paris.
Barat-Timur
Salim lahir di dekat Medan tahun 1908. Pada usia 12 tahun, dia pergi ke Eropa dan menetap di sana. Dia sempat kembali ke Tanah Air dan bergabung bersama Mohammad Hatta dalam Partai Pendidikan Nasional Indonesia, tetapi kemudian kembali dan bermukim di Paris.
Di kota itu dia belajar melukis di sanggar seni lukis Fernand Léger (1881-1955), maestro kubisme, sambil bekerja sebagai tukang bersih-bersih sanggar. Saat itu dunia seni rupa sedang diramaikan oleh pergulatan para seniman, seperti Pablo Picasso dari Spanyol, Diego Rivera asal Meksiko, dan Marc Chaggal dari Rusia.
Salim mengembangkan lukisan yang bercorak kubistis-liris. Meski hidup di Barat, karya-karayanya tetap menggamit semangat ketimuran. AD Pirous (76), pelukis senior yang pernah beberapa kali mengunjungi Salim di Paris, mengungkapkan, spirit Timur terlihat pada figur, flora- fauna tropis, dan pilihan warna cerah khas Indonesia.
”Walaupun hidup di lingkungan Barat, dia tak kehilangan akar budayanya,” kata Pirous.
Eksistensi Salim cukup diakui di Paris hingga era 1970-an, setidaknya dia sempat memperoleh penghargaan International Festival de Paris Peinture Sud dan National Prix dari International Festival de la Peinture a Cagnes-sur-Mer. Beberapa kali sempat pulang dan berpameran di Indonesia, tetapi Salim kembali ke Paris. Uniknya, hingga meninggal, dia memegang paspor sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).
Dilihat dari masa hidupnya, Salim kurang lebih masih satu periode dengan pelukis Affandi dan Soedjojono. Hanya saja, dua pelukis itu lebih dikenal dan kerap dibicarakan ketimbang Salim yang tinggal di luar negeri. Kajian seputar sosok, karya, dan pemikirannya pun minim.
Rifky Effendy, kurator seni rupa, menyayangkan situasi itu. Bagaimanapun, Salim adalah orang yang berharga dalam seni rupa Indonesia. Dialah perintis praktisi seni rupa modern yang terjun langsung di pusat kosmopolit, tempat seni modern tumbuh. Dia bisa melihat Indonesia dan dirinya di tengah pergesekan sosial-politik-budaya dunia.
”Dia orang langka, dan dengan sepenuh hati telah berjuang meneguhkan dirinya sebagai pelukis di tengah budaya internasional,” papar Rifky. (iam)

Menggagas Politik yang Setara

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Pemberdayaan Politik Perempuan Litas Agama
Penulis : Abdul Rozaki & Nur Kholik Ridwan
Penerbit : LSIP, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, September 2008
Tebal : xxviii + 145 halaman

Disahkannya berbagai dokumen merupakan indikasi komitmen bersama negara di seluruh dunia agar tata politik dunia tak lagi menciptakan diskriminasi terhadap perempuan. Setidaknya ada tiga dokumen yang menetapkan standar internasional dalam mendefinisikan persamaan antara perempuan dan laki-laki. Pertama, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), kedua, Platform Aksi Beijing PBB, dan ketiga Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1325. Ketiga dokumen ini menjadi kekuatan untuk mendorong partisipasi perempuan di berbagai institusi sosial.

Di tengah keterhimpitan perempuan di berbagai institusi, kini proses mendorong partisipasi perempuan dikaitkan dengan representasi. Seperti gagasan yang mengatakan bahwa 30% perempuan harus ada dalam keanggotaan parlemen di Indonesia. Kuota keterwakilan ini tertuang dalam UU Nomor 12 tahun 2003. Hasilnya memang belum memuaskan. Hasil pemilu 2004 menunjukkan bahwa kuota keterwakilan perempuan belum terpenuhi.

Di Indonesia keterlibatan perempuan dalam jabatan publik, jabatan politik, dan sejenisnya masih terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah nominal penduduk perempuan. Belum lagi, jika dibandingkan antara praktik-praktik politik Indonesia yang mengakomodir perempuan secara maksimal dalam hal kuota politik perempuan dengan negara-negara Skandinavia, Amerika Latin, Eropa, dan Oceania. Indonesia berada pada urutan buncit dalam hal partisipasi politik perempuan. Dari 100 negara di dunia, Indonesia menempati urutan 88 (hanya 11%) partisipasi politik perempuan dalam parlemen. Indonesia kalah partisipatifnya dengan Rwanda (48,8%) negara yang paling tinggi partisipasi politiknya atas perempuan; Swedia (45,3%); Denmark, Finlandia, Belanda, Norwegia, Cuba dan Argentina (30,7%); Timor Leste (25,3%); Uganda (23,9%); Australia (24,7%), dan Pakistan (21,3%) (Azizah, 2008).

Dalam konteks perjuangan kaum perempuan gagasan mendukung dengan tegas kuota 30% adalah sebuah terobosan yang maju. Partisipasi perempuan yang dilekatkan dengan representasi politik ini merupakan langkah strategis agar suara perempuan dalam kebijakan publik lebih terdengar. Dengan cara ini pula perempuan akan lebih mampu mewarnai kebijakan politik pemerintahan yang lebih peka terhadap kaum perempuan.

Mendorong partisipasi yang dapat melahirkan representasi politik dalam arti semakin meningkatnya kuota perempuan dalam jabatan-jabatan publik, tidak mudah diwujudkan. Ia membutuhkan komitmen dan agenda bersama untuk terus diperjuangkan. Meski demikian, cara ini perlu ditempuh agar kebijakan politik tidak lagi memarjinalkan kaum perempuan. Untuk mendorong proses ke arah dinamisasi perempuan dalam politik kaum perempuan harus memiliki instrumen-instrumen penguatan politik di dalam organisasi sosial.

Bila melihat kiprah kaum perempuan dalam Ormas di Indonesia, peran strategis mereka masih sangat terbatas. Sedikitnya kaum perempuan yang duduk dalam struktur kepengurusan justru menyisakan masalah tersendiri. Mengapa bisa demikian? Sebab dalam kultur di masyarakat peran kaum perempuan diposisikan sebagai pendamping yang berfungsi sebagai penyokong kegiatan laki-laki.

Tentunya Merombak kultur ini membutuhkan keberanian, kreativitas, dan juga proses waktu yang mungkin tidak pendek. Perombakan kultur memang bukan pekerjaan yang mudah karena perjuangan ke arah itu jalannya terkadang terjal dan berliku. Terlebih kultur patriarki berpintal dengan legitimasi teologi keagamaan masyarakat yang masih konservatif.


Kaum perempuan di Indonesia dalam ranah sosial keagamaan sampai sekarang masih berada dalam posisi pinggir. Isu-isu pembatasan kiprah kaum perempuan melalui peraturan daerah berbasis tafsir keagamaan konservatif, kekerasan di dalam rumah tangga, juga fenomena poligami di kalangan para da'i belum mendapatkan reaksi keras di kalangan organisasi sosial keagamaan. Reaksi keras atas berbagai persoalan sosial tadi hanya muncul di kalangan aktivis LSM. Kadang, kaum perempuan sendiri terpecah ketika dihadapkan pada isu keagamaan seperti praktik poligami. Perpecahan di kalangan perempuan hanya berakibat pada kemunduran perjuangan untuk mengembangkan karya dalam kehidupannya.

Agar perjuangan perempuan dapat didengar oleh para politisi di partai politik, ormas keagamaan, dan aktivitas kemasyarakatan, perempuan harus mendapatkan legitimasi dari berbagai kelompok dalam masyarakat. Perjuangan perempuan tidak boleh berhenti pada kelas menengah berpendidikan tinggi saja, gerakan perempuan harus lebih "membumi" pada level grass-root yang realitasnya lebih banyak ketimbang perempuan kelas menengah yang berpendidikan dan memiliki akses pada kebijakan politik maupun wilayah lainnya.

Oleh karena itu, gerakan kaum perempuan harus terus-menerus dan sistematis dalam melakukan tekanan kepada institusi-institusi sosial yang patriarkis. Ini tidak dapat dilakukan kaum perempuan sendiri, tetapi harus bersama-sama dengan entitas sosial lain yang memiliki kepekaan terhadap masalah perempuan. Dengan kerja dan upaya keras seperti itu, sepertinya bukan suatu yang mustahil pada masa-masa mendatang peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di lembaga politik akan berdampak terhadap pengakuan secara utuh hak-hak sipil dan politik kaum perempuan.

Di sinilah posisi penting buku Pemberdayaan Politik Perempuan Lintasagama yang ditulis oleh Abdur Rozaki dan Nur Khalik Ridwan ini. Buku ini memberikan sumbangan konsepsional sekaligus memberikan gambaran betapa pentingnya nilai-nilai demokrasi ditegakkan. Beberapa pengalaman lapangan membuktikan, perempuan sebenarnya memiliki kekuatan untuk berpartisipasi dalam partai politik dan pengambilan kebijakan. Namun disayangkan, ruang untuk berpartisipasi tidak terlalu longgar untuk mereka.
Buku ini memberikan kontribusi untuk pemberdayaan perempuan lintasagama dalam memperjuangkan dan mengkonsolidasi masyarakat untuk kemajuan kaum perempuan. Perjuangan perempuan akan berhasil tatkala mendapatkan dukungan publik. Akan tetapi, perjuangan perempuan akan gagal tatkala energi yang dimiliki terkuras habis karena bergelut dengan masalahnya sendiri (kaum perempuan) yang tidak mampu diorganisir, dinegosiasikan, dan dikompromikan dalam realitas politik yang masih dominan bias gender.


*Resensi ini pernah dimuat di Seputar Indonesia 5 Oktober 2008

Friday, September 05, 2008

Menebar Kembali Pesona Ilmu Agama

Judul: Pudarnya Pesona Ilmu Agama
Penulis: Muhyar Fanani
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Cetakan: Pertama, 1 Oktober, 2007
Tebal: xxxvi + 190 halaman.
Serangan modernitas terhadap sendi-sendi kehidupan manusia memang hampir mendekati sempurna. Harus diakui, hampir segala dimensi kehidupan di dunia ini sudah dimasuki oleh proyek besar bernama modernitas itu, termasuk agama. Di tengah kondisi demikian, banyak orang kemudian beranggapan bahwa Tuhan tak lagi dibutuhkan mengingat segala macam keperluan manusia sudah disediakan di dalam kehidupan modern ini.
Ilustrasi di atas bisa jadi merupakan representasi nasib imu-ilmu keislaman secara umum. Betapa tidak, Tuhan saja yang selama ini dianggap sebagai sumber dari ilmu-ilmu agama sekarang mulai disangsikan keberadaanya. Oleh sebab itu bukan suatu yang heran jika kemudian ilmu agama sebagai turunan dari ilmu-ilmu Tuhan sekarang hanya dipandang sebelah mata.
Fenomana ini disebabkan oleh umat Islam sendiri yang telah mengalami kegelisahan dalam memahami Islam. Sedikitnya ada dua kegelisahan yang sudah sangat krusial. Pertama, problem modernitas. Poin pertama ini ada dikarenakan bola modernitas yang kian membesar menggulung premis-premis kecil di sekelillingnya yang mau tidak mau meniscayakan sebuah rekontruksi, bahkan pada saat-saat tertentu dekonstruksi atas pemahaman yang telah dibawa sejak abad VII dan mengalami pensakralan hukum. Kedua, kesadaran internal kaum muslim akan adanya anomali dalam berbagai ranah keilmuan, terutama dalam masalah interpretasi teks Quran, entah itu mengarah pada wilayah hukum, aqidah, ataupun masalah-masalah yang berkait erat dengan IPTEK.
Semakin jauhnya paradigma keilmuan juga menjadi sebab utama kenapa ilmu agama ini mulai ditinggalkan peminat. Feneomena ini bisa dilihat dengan jumlah mahasiswa yang memilih fakultas-fakultas yang pure
seratus persen mengajarkann ilmu agama. Ini mungkin disebabkan oleh pengaruh tradisi masyarakat yang mulai bergeser dari masyarakat sepiritual-religius kepada materialisme sekuler. Tuntutan ekonomi juga tak bisa dilepaskan dari probematika ini.
Faktor kemalasan berpikir dan adanya intervensi politik dalam pergeseran paradigma telah menjadikan lambannya perkembangan ilmu keislaman, termasuk ilmu-ilmu Ushuluddin. Inilah yang mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok yang beku dan terkesan antidialog.
Sebagaimana tersirat dalam namanya, ilmu-ilmu ushuluddin seharusnya menjadi the core and kernel of Islamic Studies. Untuk itu upaya pengembangan ilmu keislaman sudah semestinya berangkat terlebih dahulu dari ilmu-ilmu ushuluddin. Dalam kerangka itulah kajian dalam buku ini, menjadi penting untuk dilakukan. (Hal 4)
Oleh sebab itu, menurut penulis jika ilmu-ilmu agama mau tetap bisa eksis, hal yang paling penting dilakukan adalah mengubah paradigma keilmuannya dari hanya berorientasi kepada dirinya sendiri menjadi lebih berorientasi sosial.
Melihat fenomena yang amat parah di tubuh umat Islam sekarang, mendorong penulis buku ini untuk mencari tahu mengapa fenomena kemunduran ilmiah itu dapat terjadi. Kajian dalam buku ini akan melihatnya dengan cara pandang sejarah pengetahuan, tepatnya memakai teori pergeseran paradigma Thomaz Kuhn. Pengunanaan sejarah pengetahuan mazhab Kuhnian dilakukan berdasarkan alasan bahwa hanya dengan melihat proses pergeseran paeadigma dalam ilmu-ilmu keislaman lah kita dapat memahami penyebab kemunduran ilmu-ilmu Ushuluddin dan selanjutnya merumuskan sejumlah strategi guna mengembangkan ilmu-ilmu Ushuluddin ke depan.
Objek yang dikaji dalam buku ini adalah fenomena seputar melemahnya ilmu-ilmu Ushuluddin atau yang lebih dikenal dengan ilmu-ilmu Syar'iah sebagai lawan dari ilmu-ilmu umum. (Hal 5)
Selain untuk menjawab persoalan utama di atas, buku ini juga berusaha mendudukkan secara tepat kontribusi teoritis sejarah pengetahuan mazhab Kuhnian bagi pengembangan ilmu Ushuluddin. Di samping itu, kajian ini juga bertujuan untuk mencari solusi baru bagi kemacetan kreativitas yang dialami ilmu-ilmu ushuluddin dapat berkembang dan relevan dengan pekembagan jaman. (Hal 6)

Saat ini kita mewarisi peninggalan konflik sejarah keilmuan yang sulit dihapuskan. Dikotomi ilmu-ilmu yang berakar langsung pada wahyu dan ilmu yang berakar dari Yunani semakin lebar. Pada hal sebenarnya dokotomi itu sudah tidak ada artinya bagi umat Islam dewasa ini. Mengapa? Karena umat Islam sudah tidak lagi berprestasi di semua bidang ilmu itu. Sekarang hampir semua ilmu dipimpin oleh Barat dan kita hanya sebagai pengekor saja. (hal 18).
Berangkat dari kegelisahan itu lah mungkin alasan buku Pudarnya Pesona Ilmu Agama karangan Muhyar Fanani ini hadir di ruang baca. Dalam menjawab kegelisahan itu, penulis buku ini menganggap pudarnya ilmu agama itu tidak berangkat dari ruang kosong. Sebab yang paling mudah dilihat ialah karena masyarakat sekarang merasa kurang mendapatkan kontribusi dari ilmu-ilmu agama. Selain itu, problematika masyarakat sehari-hari seakan tidak mereka temukan jawaban dari ilmu-ilmu agama. Dengan kata lain mereka merasa tidak mendapatkan pencerahan dari ilmu semacam ini. Selain itu selama ini ilmu agama lebih sering hanya memperhatikan aspek positivistik, dengan kata lain ilmu agama miskin dari alternatif-alternatif dalam menjawab fenomena sosial yang semakin mencekik leher mereka yang kurang beruntung.
Buku ini merupakan usaha seorang Muhyar Fanani dalam menebarkan kembali pesona ilmu agama yang selama ini. Mengalami kemandekan. Dengan ide-ide cerdas yang ada dalam buku ini bisa membuat pembaca terbangun dari keterpesonaannya mereka terhadap ilmu Pengetahuan yang bersumber dari Barat.