Reviews Buku

Monday, November 18, 2013

Terbukti Gunakan Narkoba, Hakim PN Binjai Dipecat

Jakarta-Hakim Pengadilan Negeri Binjai Sumatra Utara Raja Mardani Gonggong Lumbun Tobing diberikan sanksi disiplin berat berupa pemberhentian tetap dengan hormat dalam sidang etik Majelis Kehormatan Hakim yang digelar terbuka di Gedung Mahkamah Agung pada hari Rabu (6/11). Hakim Raja diberhentikan lantaran terbukti melakukan pelanggaran kode etik pedoman perilaku hakim dalam Surat Keputusan Bersama Mahakamh Agung dan Komisi Yudisial tahun 2009. "Memutuskan menjatuhkan sanksi disiplin berat berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun," kata ketua Majelis Hakim yang juga Ketua Bidang Pengawasan Hakim KY Eman Suparman, dalam persidangan etik di Gedung MA, Jakarta Duduk selaku anggota majelis sidang MKH Ketua Bidang SDM dan Litbang Jaja Ahmad Jayus, Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim KY, Ibrahim dan Wakil Ketua KY Abbas Said serta dari unsur Mahkamah Agung, Hakim Agung Yulius dan Hakim Agung Sofyan Sitompul, dan Hakim Agung Djafni Djamal. MKH dalam pertimbangannya menyebutkan alasan pemecatan terhadap Hakim Raja, yaitu Hakim terlapor terbukti menggunakan narkoba yang dibuktikan dengan hasil tes urin dari Badan Narkotika Nasional ditambah dengan pengakuan Hakim Raja. Selain itu Hakim Raja terbukti kedapatan bertandang ke rumah keluarga terdakwa padahal mengetahui jika paman terdakwa adalah seorang makelar kasus. "Hakikm terlapor terbukti menggunakan narkoba jenis sabu dan ganja, menggunakan narkoba sebelum dan sesuadah menjadi hakim, serta ke rumah terdakwa dengan mobil terlapor," kata Ketua KY Priode 2010 2013 tersebut Masih kata Eman yang membacakan pertimbangan MKH yang memutuskan lebih ringan dari rekomendasi KY yaitu pemberhentian dengan tidak hormat, lantaran Hakim Raja mengakui perbuatannya dan menyesal dan bertobat dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Selain itu hal-hal yang meringankan lainnya adalah karena Hakim Raja saat ini masih menjadi tulang punggung keluarganya. "Hal-hal yang meringankan Terlapor mengaku khilaf. Menyesal dan bertobat dan berjanji tidak akan melakukan kembali perbuatannya. Hakim terlapor juga masih menjadi tulang punggu keluarga," pungkas Eman.

Asap dan Nasib Bangsa

Oleh: Akhmad Kusairi*

Kobaran api kembali melahap berjuta-juta hektar hutan dan lahan di beberapa pulau di Indoensia. Malaysia dan negara-negara ASEAN lainnya berang karena wilayahnya terserang kabut "Kiriman". Sehingga otomatis kegiatan belajar-mengajar diliburkan serta semua aktivitas tranportasi terganggu baik itu darat, laut dan udara. Kebakaran memang bukan kasus yang main-main, karena selain rusaknya hutan atau punahnya ekosistem serta habitat makhluk hidup di dalamnya, juga hasil kebakaran tersebut bisa mengeluarkan zat racun berupa karbon dioksida yang cukp membahyakan. Kebakaran memang bukan kasus yang mian-main, karena selain rusak atau punahnya ekosistem dan habitat makhluk hidup di dalamnya, juga hasil kebakakaran tersebut mengeluarkan zat racun berupa karbondioksida yang cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia.
Dari fakta di atas, kebakaran hutan tampaknya lebih memperihatinkan daripada kasus limpur panas yang terjadi di Sidoarjo Jawa Timur, karena dampak kebakarn hutan lintas area dalam artian semua negara yang dekat dengan Indonesia terkena imbasnya. Ini berbeda dengan kasus lumpur yang hanya dirasakan oleh orang Indonesia saja.

Riwayat Kebakaran Hutan
Kalau boleh menyalahkan sebenarnya yang sangat bertanggung jawab dalam hal ini adalah pemerintah Orde Baru, dengan program pembangunan jangkapanjangnya. Untuk menjalankan programnya ratusan ribu hektar hutan bergambut yang ada pulau-pulau selain pulau Jawa dibuka untuk dibuat pemukiman, ladang, dan persawahan. Tapi masalah muncul saat hutan tersebut dibuka, sebab hutan yang seharusnya selalu lembab itu kini menjadi kering dengan pembukaan menjadi lahan tersbut. Akibatnya hutan yang sensitif itu mudah sekali terbakar, bahkan dengan gesekan sekalipun.
Asap tyang menyesakkan sebagian orang Indonesia dan tetangga dekatnya, tampaknya sudah menjadi tragedi tahunan. Terus timbul pertanyaan, dimana peran serta pemerintah dalam hal ini? Apakah cuman berpangku tangan sambil sesekali menganjurkan kepada masyarakat serta instaansi terkait yang sangat berkepntingan untuk menghindari membakar hutan? Memang tak bisa dipungkiri sudah ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah. Tapi mana bukti dan hasilnya? Semua orang merasakan imbas dari asap yang mengakibatkan kabut asap yang sangat tebal terjadi setiap hari.

ASEAN Menggugat?
Masyarakat umum banyak yang bertanya, apakah Malaysia serta negara lain yang dirugikan yang jadi korban asap Indonesia dapat menggugat secara hukum dan meminta pertanggungjawaban Indonesia? Berdasarkan kaidah hukum internasional dan hukum nasional Indonesia sendiri, negara yang dirugikan dapat menggugat pemerintah Indonesia karena menurut sejumlah konvensi internasional yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia, seperti Biodeversity Convention dan Climate Change Convention memuat ketentuan bahwa, "Negara boleh saja mengekploitasi sumber daya alam mereka, tetapi berkewajiban untuk memastikan bahwa aktivitas tersebut tak menimbulkan kerusakan di wilayah negara lain". Ketentuan ini bahkan telah menjadi hukum kebiasaan internasional, dan mengikat semua negara bearadab. Bahkan telah diterapkan sejak tahun 1941 dalam kasus Trail Smelter ( AS vs Kanada).
Ketentuan di atas juga telah diadopsi oleh ASEAN berupa, Agreement of Conservation of Nature and Natural Resources 1983, di mana Indonesia telah meratifikasinya, dan AEAN Agreement of Transbourdary Haze Polution 2002 (AATHP). Sayangnya Indonesia belm meratifikasi AAHP tersebut yang walaupun seluruh anggota ASEAN telah meratifikasinya.
Di samping ketentuan di atas juga telah diadopsi dalam penjelasan pasal 3 UU No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Oleh karena itu tidak ada alasan hukum yang bisa membebaskan Indonesia dari tanggung jawab jika negara yang dirugikan menggugat Indonesia.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Malaysia atau negara korban lainnya menggugat pemerintah Indonesia, akan dengan mufdah disimpulkan bahwa Indonesia akan dinyatakan bersalah. Masalah hukum yang ada hanya menentukan pengadilan mana yang akan mengadilinya kalau negara korban untuk menggugat Indonesia.
Oleh karena itu, sebelum negara-negara tetangga hilang kesabaran mereka, Presiden dan Wakil Presiden sudah seharusnya memerintahkan kabinetnya, khususnya Menteri Lingkungan Hidup, Kapolri, dan para Gubernur serta Bupati untuk segera menangani kasus kebekaran hutan serta menangkap dan mengadili para pelaku pembakaran hutan tersebut agar tidak dimermalukan oleh gugatan yang lebih serius dari para korban yang berasal dari negara lain.

*Penulis adalah Mahasiswa Aqidah Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Bilangan Fu dan Kritik terhadap 3 M

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Bilangan Fu
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : KPG, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2008
Tebal : x + 537 halaman.
Harga : 60.000
Setelah lama tidak muncul dalam jagad perbukuan sastra di Indonesia penulis novel fenomenal Saman dan Larung, Ayu Utami kembali mengeluarkan sebuah novel berjudul Bilangan Fu. Novel ini berksiah tentang tiga orang tokoh, Yuda, seorang pemanjat tebing yang selalu bersikap kritis terhadap nilai-nilai di masyarakat. Parang Jati, seorang pemuda berjari dua belas yang dibentuk oleh ayah angkatnya untuk ikut merasakan duka dunia, dan Marja, seorang mahasiswi yang suka petualangan-petualangan.
Novel Bilangan Fu ini barangkali akan menjadi sebuah cerita fiksi yang rumit seandainya tidak ditulis dengan cermat. Novel ini berisi kritik Ayu pada tiga M yang dianggap menjadi ancaman terhadap kelangsungan kehidupan kebebasan dan demokrasi. Namun Ayu secara apik menjalin 3 kritik serba serius itu lewat kisah dua pemuda dan satu pemudi pemanjat tebing: Yuda dan Parang Jati. Walaupun keduanya terlihat sedikit berseberangan, Yuda dan Parang Jati saling bahu-membahu menjadi protagonis melawan musuh bersama mereka di atas.
M yang Pertama adalah modernisme. Menurut Ayu, Modernisme sudah menjadi penyebab utama rusaknya lingkungan akibat eksploitasi manusia modern yang kelewat batas dan lupa menghormati alam. Tambah Ayu lagi, manusia modern tak lagi percaya pada segala bentuk keramat dan cerita-cerita takhayul, ihwal roh-roh halus penunggu pohon besar, sungai, gunung, dan samudera. Padahal kepercayaan pada takhayul dan keberadaan roh-roh halus yang dulu dipercaya oleh masyarakat terbukti mampu menyelamatkan alam dari kerusakan. Karena percaya bahwa setiap benda dan tempat ada yang punya, mereka tak berani berlaku sewenang-wenang.
Kampanye anti-perusakan lingkungan ini disampaikan Ayu lewat dialog cerdas Yuda dan Parang Jati. Keduanya mengenalkan agama baru mereka yaitu pemanjatan bersih atau yang lebih ekstrem lagi sacred climbing, yakni teknik memanjat dengan sesedikit mungkin atau sama sekali tidak melukai tebing-tebing dengan alat-alat seperti bor dan paku.

Tamabh Ayu lagi, agama-agama langit telah gagal menyelamatkan alam. Menurutnya justru agama bumi lah yang sudah terbukti mampu secara sistematis memelihara keutuhan lingkungan. Namun demikian, agama-agama bumi ini telah terlindas oleh nilai-nilai baru. Dengan munculnya modernisme yang sama sekali menghapus ketidakrasionalan dan monoteisme yang tidak menghendaki di luar ketunggalan telah berdampak negatif atas keutuhan alam. Sebut saja misalnya, banyak terjadi penebangan hutan secara liar. Di mana manusia modern sudah tidak percaya lagi dengan mistisisme sehingga manusia tidak perlu takut lagi terhadap dampak negatif yang selama ini diyakini sebagai bala dari sang penunggu.
Maka dari itu menurut Ayu, untuk menyikapi problem semacam itu diperlukan sebuah spiritualisme kritis melalui persatuan berbagai agama yang dalam hal ini disimbolkan dengan aktivitas ketiga tokoh utamanya. Dalam hal ini, agama diasosiasikan dengan pemanjatan tebing yang dilakukan oleh Yuda yang kemudian berpindah agama dari pemanjat tebing kotor berpindah menjadi pemanjat tebing yang suci, bebas dari kecurangan-kecurang an
Monoteisme adalah M kedua yang dikritik oleh Ayu dalam novel ini. Dia percaya bahwa agama-agama langit yang monoteis memiliki persoalan mendasar dalam menerima perbedaan. Ayu mengilustrasikannya melalui konflik antara Kupukupu dan Parang Jati. Kupukupu adalah simbol bagi mereka yang merasa paling benar dengan apa yang mereka peluk. Mereka dalam praktiknya sangat anti terhadap perbedaan. Padahal dalam aksinya mereka tanpa sadar diperalat oleh tangan-tangan jahat kekuasaan yang ingin berkuasa atau meraup keuntungan. Pada bagian inilah Ayu memperkenalkan filosofi bilangan fu yang lebih bermakna metaforis ketimbang matematis. Ini menyangkut pengertian akan Tuhan yang Satu yang sering diartikan secara matematis.
Dan yang terakhir yaitu militerisme. Ayu berpendapat bahwa militerisme merupakan musuh utama demokrasi yang merajalela pada masa Orde Baru. Pada masa ini peran militer sangat dominan. Dengan kekuatan dan caranya sendiri, militer menebar teror, ketakutan, dan kekerasan di masyarakat demi melanggengkan kekuasaan. Acara-acara seni dan diskusi dimata-matai, kebebasan pers dibelenggu, dan kumpul-kumpul dianggap makar, subversi dan lain-lain. Bagi yang sempat merasakan hidup di masa itu tentu mengerti benar rasanya.

Novel dengan beban gagasan seberat itu tentu akan terasa membosankan jika penulisnya tidak pandai mengemas dan menyajikannya. Bilangan Fu nyaris menjadi novel ilmiah yang kaku seandainya hanya fokus pada ide besarnya dan melupakan unsur-unsur "hiburan". Unsur-unsur itu di antaranya bumbu seks, asmara, dialog-dialog yang bernas, plot yang tidak linear, dan humor yang menarik lagi cerdas.
Buku ini dibanding dengan dwilogi Saman dan Larung mempunyai gaya tarik tersendiri. Bilangan Fu alurnya lebih jelas, tutur bahasanya pun lebih lancar. Bilangan Fu juga tak ayal menjadi novel pertama di Indonesia yang mengangkat tema keagamaan secara universal. Dengan kata lain Ayu tidak berpihak ke dalam suatu agama tertentu. Buku ini adalah karya yang membicarakan persatuan seluruh agama dalam menciptakan kesejahteraan serta menyelamatkan alam dari dari tangan-tangan jahat manusia manusia modern.
Akhirnya, buku ini merupakan upaya seorang Ayu dalam menjawab masalah sosial keagamaan di Indonesia. Dengan gaya khasnya, Ayu mampu menghadirkan sebuah kisah yang mampu menjawab problem sosial keagamaan di Indonesia yang akhir-akhir ini sering terjatuh dalam truth claim. Bukankah kebenaran itu hanya milik Tuhan? Manusia hanya berusaha menafsirkan apa yang Tuhan katakan, bukan malah menjadi tuhan bagi masyarakat lain.

Akhmad Kusairi, Mahasiswa Filsafat fakultas Ushuluddin UIN Sunan kalijaga Yogyakarta

Tuesday, September 08, 2009

Surat Untuk Sahabat

Dua bulan yang lalu tepatnya aku sempat terhanyut dalam optimisme
buku tetralogi-nya Adrea Hirata, Laskar pelangi. Membaca buku ini
membuat dadaku bergemuruh untuk selalu belajar, belajar, dan belajar.
gimana kisah seorang Lintang yang sudah pasih berkata optik ketika
masih smp. aku juga ingin merasakan perasaan seorang Ikal saat ia
lulus untuk program beasiswa ke negeri yang selama ini selalu ia
impikan bisa mendatanginya. Intinya buku ini menuntun kita yang
selama ini takut bermimpi untuk bermimpi.
Mengambil istilahnya Dee dalam supernova, Mimpi adalah bagian dari
kreativitas.

kusarankan kamu harus membaca buku ini. oke...!
sekarang aku lagi berkutat dengan novel filsafatnya fauz Noor.
mungkin kamu sudah membacanya, tapi yang jelas aku merasakana saat
membaca aku menemukan duniaku yang selama ini hanya menjadi kenangan
yang semu. Ya, dunia filsafat yang ditampilkan oelh Fauz Noor membuat
aku saadar ternyata filsafat taj hanya bergerak pada retorika semata,
namun lebih dari itu filsafat mampu untuk bergerak menuju perubahan
yang berarti.
cukup panjang bukan?
ada orang bilang bahwa semakin banyak kata yang terucap maka semakin
banyak pula lah slahnya. menurutku orang yang mengatakan ini adalah
seorang pesimisme sejati karena menurut mereka kebenaran hanyalah
bisa dicari oleh segelintir orang saja.
Tabik.
2007 on memorial
AH. Kusairi

Tuesday, July 21, 2009

Harga sebuah Keramahan

Betapa mahalnya harga sebuah keramahan? Karena aku kemudian dicap dengan kata orang yang menyebelkan. Aku tidak berniat apa-apa ketika dengan gayaku menyapa seorang gadis yang kebetulan dari semarang.
"Gak pulang mbak?" sapaku memulai percakapan.
"Gak" jawabnya singkat. Kok nggak" tambahku lagi.
"Ya gak aja".
Takut kena banjir, ya?
"ya nggak lah, sekarang kan panas." Dan seterusnya.
Dan akhirnya karena respon si cewek biasa-biasa saja aku pamit duluan.
Tapi kupingku merasa panas ketika sekitar aku berjalan beberapa meter di depannya. Aku mendengar. "Aku sebel dengan orang yang sok kenal kayak gitu"
Lhoh aku terperangah sekaligus tersinggung, aku yang berniat baik menjga sebuah hubungan karena aku kenal dia dibalas dengan ucapan seperti itu.
Aku gak terima tapi aku juga gak mau terpancing emosi dengan berbalik lagi dan memperotes apa yang dikatakan sang cewek kepada temannya.
Terus terang aku akui dulu aku sempat suka sama dia, tapi itu dulu. Sekarang boro-boro suka menyapanyapun aku malas, tapi lagi-lagi aku hidup bermasyarakat yang gak bisa seenaknya melenggang pergi melewati orang yang kita kenal begitu saja. Apa kata orang? Cuwek lah, sombong lah dan segala tetek bengek lainnya.
Mengalami peristiwa itu aku menjadi sadar bahwa ada juga manusia yang tidak mau berbasa-basi atau diajak bercanda sedikit.
Aku iri sebenarnya dengan orang yang enak saja menjalani hidup ini tanpa dibebani dengan senyum cengar cengir yang tak ada artinya. Aku risih juga harus tersenyum atau paling tidak bereaksi dengan orang yang kita kenal ketika di jalan.
Berkaca dari pengalaman tadi aku ingin saja cuek dan berjalan begitu saja.
Lagi-lagi harga keramahanku disalah pahami sebagai penyebab dia mengucapkan kata sebel. Duh ………itukah kamu yang katanya sedang menghafal Qur-an. Mana aspek humanis dalam dirirmu sehingga selentingan menyakitkan itu keluar dari mulutmu yang manis itu? Aku benar-benar tidak mengerti.