Reviews Buku

Friday, May 08, 2009

Bilangan Fu dan Kritik terhadap 3 M

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Bilangan Fu
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : KPG, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2008
Tebal : x + 537 halaman.
Harga : 60.000
Setelah lama tidak muncul dalam jagad perbukuan sastra di Indonesia penulis novel fenomenal Saman dan Larung, Ayu Utami kembali mengeluarkan sebuah novel berjudul Bilangan Fu. Novel ini berksiah tentang tiga orang tokoh, Yuda, seorang pemanjat tebing yang selalu bersikap kritis terhadap nilai-nilai di masyarakat. Parang Jati, seorang pemuda berjari dua belas yang dibentuk oleh ayah angkatnya untuk ikut merasakan duka dunia, dan Marja, seorang mahasiswi yang suka petualangan-petualangan.
Novel Bilangan Fu ini barangkali akan menjadi sebuah cerita fiksi yang rumit seandainya tidak ditulis dengan cermat. Novel ini berisi kritik Ayu pada tiga M yang dianggap menjadi ancaman terhadap kelangsungan kehidupan kebebasan dan demokrasi. Namun Ayu secara apik menjalin 3 kritik serba serius itu lewat kisah dua pemuda dan satu pemudi pemanjat tebing: Yuda dan Parang Jati. Walaupun keduanya terlihat sedikit berseberangan, Yuda dan Parang Jati saling bahu-membahu menjadi protagonis melawan musuh bersama mereka di atas.
M yang Pertama adalah modernisme. Menurut Ayu, Modernisme sudah menjadi penyebab utama rusaknya lingkungan akibat eksploitasi manusia modern yang kelewat batas dan lupa menghormati alam. Tambah Ayu lagi, manusia modern tak lagi percaya pada segala bentuk keramat dan cerita-cerita takhayul, ihwal roh-roh halus penunggu pohon besar, sungai, gunung, dan samudera. Padahal kepercayaan pada takhayul dan keberadaan roh-roh halus yang dulu dipercaya oleh masyarakat terbukti mampu menyelamatkan alam dari kerusakan. Karena percaya bahwa setiap benda dan tempat ada yang punya, mereka tak berani berlaku sewenang-wenang.
Kampanye anti-perusakan lingkungan ini disampaikan Ayu lewat dialog cerdas Yuda dan Parang Jati. Keduanya mengenalkan agama baru mereka yaitu pemanjatan bersih atau yang lebih ekstrem lagi sacred climbing, yakni teknik memanjat dengan sesedikit mungkin atau sama sekali tidak melukai tebing-tebing dengan alat-alat seperti bor dan paku.

Tamabh Ayu lagi, agama-agama langit telah gagal menyelamatkan alam. Menurutnya justru agama bumi lah yang sudah terbukti mampu secara sistematis memelihara keutuhan lingkungan. Namun demikian, agama-agama bumi ini telah terlindas oleh nilai-nilai baru. Dengan munculnya modernisme yang sama sekali menghapus ketidakrasionalan dan monoteisme yang tidak menghendaki di luar ketunggalan telah berdampak negatif atas keutuhan alam. Sebut saja misalnya, banyak terjadi penebangan hutan secara liar. Di mana manusia modern sudah tidak percaya lagi dengan mistisisme sehingga manusia tidak perlu takut lagi terhadap dampak negatif yang selama ini diyakini sebagai bala dari sang penunggu.
Maka dari itu menurut Ayu, untuk menyikapi problem semacam itu diperlukan sebuah spiritualisme kritis melalui persatuan berbagai agama yang dalam hal ini disimbolkan dengan aktivitas ketiga tokoh utamanya. Dalam hal ini, agama diasosiasikan dengan pemanjatan tebing yang dilakukan oleh Yuda yang kemudian berpindah agama dari pemanjat tebing kotor berpindah menjadi pemanjat tebing yang suci, bebas dari kecurangan-kecurang an
Monoteisme adalah M kedua yang dikritik oleh Ayu dalam novel ini. Dia percaya bahwa agama-agama langit yang monoteis memiliki persoalan mendasar dalam menerima perbedaan. Ayu mengilustrasikannya melalui konflik antara Kupukupu dan Parang Jati. Kupukupu adalah simbol bagi mereka yang merasa paling benar dengan apa yang mereka peluk. Mereka dalam praktiknya sangat anti terhadap perbedaan. Padahal dalam aksinya mereka tanpa sadar diperalat oleh tangan-tangan jahat kekuasaan yang ingin berkuasa atau meraup keuntungan. Pada bagian inilah Ayu memperkenalkan filosofi bilangan fu yang lebih bermakna metaforis ketimbang matematis. Ini menyangkut pengertian akan Tuhan yang Satu yang sering diartikan secara matematis.
Dan yang terakhir yaitu militerisme. Ayu berpendapat bahwa militerisme merupakan musuh utama demokrasi yang merajalela pada masa Orde Baru. Pada masa ini peran militer sangat dominan. Dengan kekuatan dan caranya sendiri, militer menebar teror, ketakutan, dan kekerasan di masyarakat demi melanggengkan kekuasaan. Acara-acara seni dan diskusi dimata-matai, kebebasan pers dibelenggu, dan kumpul-kumpul dianggap makar, subversi dan lain-lain. Bagi yang sempat merasakan hidup di masa itu tentu mengerti benar rasanya.

Novel dengan beban gagasan seberat itu tentu akan terasa membosankan jika penulisnya tidak pandai mengemas dan menyajikannya. Bilangan Fu nyaris menjadi novel ilmiah yang kaku seandainya hanya fokus pada ide besarnya dan melupakan unsur-unsur "hiburan". Unsur-unsur itu di antaranya bumbu seks, asmara, dialog-dialog yang bernas, plot yang tidak linear, dan humor yang menarik lagi cerdas.
Buku ini dibanding dengan dwilogi Saman dan Larung mempunyai gaya tarik tersendiri. Bilangan Fu alurnya lebih jelas, tutur bahasanya pun lebih lancar. Bilangan Fu juga tak ayal menjadi novel pertama di Indonesia yang mengangkat tema keagamaan secara universal. Dengan kata lain Ayu tidak berpihak ke dalam suatu agama tertentu. Buku ini adalah karya yang membicarakan persatuan seluruh agama dalam menciptakan kesejahteraan serta menyelamatkan alam dari dari tangan-tangan jahat manusia manusia modern.
Akhirnya, buku ini merupakan upaya seorang Ayu dalam menjawab masalah sosial keagamaan di Indonesia. Dengan gaya khasnya, Ayu mampu menghadirkan sebuah kisah yang mampu menjawab problem sosial keagamaan di Indonesia yang akhir-akhir ini sering terjatuh dalam truth claim. Bukankah kebenaran itu hanya milik Tuhan? Manusia hanya berusaha menafsirkan apa yang Tuhan katakan, bukan malah menjadi tuhan bagi masyarakat lain.
Akhmad Kusairi, Mahasiswa Filsafat fakultas Ushuluddin UIN Sunan kalijaga Yogyakarta

NU: Antara Harapan dan Tantangan

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : NU dan Neoliberalisme Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad
Penulis : Nur Kholik Ridwan
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan : I, Februari 2008
Tebal : xix + 204 halaman.

Nahdhatul Ulama (NU) merupakan salah satu organisasi sosial-kemasyarakatan terbesar dan tertua di Indonesia yang mempunyai jaringan luas dengan basis massa tersebar di seluruh Indonesia. Namun, banyaknya masa dan jaringan yang luas, ternyata tidak diikuti dengan prestasi yang cemerlang. Bahkan dalam ranah politik dan ekonomi, NU hampir selalu menjadi pecundang. Dengan kenyataan, hingga saat ini basis massa NU tetap menjadi komunitas pinggiran yang tidak bisa berbuat banyak dalam menghadapi tantangan modernitas dan imperialisme neo-liberal. Jika demikian hal-nya, barang kali memang ada yang salah dalam cara kerja organisasi ini. Dalam arti organisasi ini tidak memiliki grand desain untuk memajukan, memberdayakan, dan mensejahterakan warganya.

NU secara organisasi didirikan pada 31 Januari 1926 dalam sebuah rapat di Surabaya yang dihadiri oleh KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisyri Syamsuri, KH. Ridwan, KH. Nawawi, KH. Doromuntaha (menantu KH. Cholil Bangkalan), dan banyak kiai lainnya. Rapat itu memutuskan dua hal: pertama, mengirim komite ke Makah untuk memperjuangkan hukum-hukum madzhab empat kepada pemerintah baru Kerajaan Saudi yang dipegang oleh kelompok Wahabi; dan kedua, mendirikan jamaah bernama NO (Nadlatoel Oelama), dengan komitmen awal menjadi gerakan sosial keagamaan. (hlm 1)

Dengan umurnya yang lumayan tua itu, sedikitnya ada dua tantangan yang harus dihadapi, pertama, globalisasi neoliberal yang telah mengubah dan mengendalikan tata dunia baru, dan kedua munculnya kelompok-kelompok Islam jenis lain yang gencar masuk ke daerah-daerah jantung NU, seperti Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir (HT), dan Jama'ah Islamiyah (JI). (hlm 2)

Jika dahulu salah satu faktor pendorong lahirnya NU adalah untuk menghadapi globalisasi Wahabi maka sekarang ini tantangan yang dihadapi NU lebih kompleks karena NU dikepung oleh kelompok Islam jenis lain itu yang walaupun tidak besar, tetapi berpotensi menarik kelompok-kelompok baru, bahkan menarik kelompok-kelompok ulama yang tidak memiliki perangkat canggih dalam menatap masa depan.

Guna merespons tantangan-tantangan ini ada pertanyaan menarik yang diajukan penulis buku yang berjudul lengkap NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad ini yaitu, apakah masyarakat NU akan sanggup merespons tantangan-tantangan tersebut atau hanya sekadar bersikap reaktif? Pertanyaan ini perlu dipikirkan secara serius oleh masyarakat NU dan para Pemimpinnya. Sebab, jika tidak, kata penulis buku ini, NU akan selalu terpinggirkan; dan hal itu hanya akan menambah sindrom kekalahan di mana masyarakat NU akan selalu menjadi orang yang kalah, yang selalu dieksploitasi secara terus-menerus.
Memang sejarah mencatat persoalan-persoalan sosial yang muncul dalam masyarakat selalu direspons oleh elit pesantren, yang nota bene masyarakat NU, namun sangat disayangkan, hampir selalu berakhir dengan kekalahan. Hal ini disebabkan menurut Nur Kholik Ridwan, penulis buku ini, karena dalam banyak perubahan sosial, masyarakat NU selalu bersikap pasif sehingga respons-respons yang muncul acap kali bersifat reaktif semata sehingga tidak heran jika hal itu berakhir dengan kekalahan.

Lebih lanjut penulis memaparkan kekalahan demi kekalahan yang diderita oleh NU. Di antaranya adalah pada tahun lima puluhan, NU keluar dari Masyumi karena kecewa, begitu juga keluar dari PPP karena kecewa. Selain itu ketika terjadi peristiwa 65, masyarakat NU tampil terdepan di lapangan, bahkan ketika itu banyal elit NU yang seakan menjadi pahlawan. Beberapa tokohnya bahkan sampai saat ini sangat bangga dengan hal itu. Mereka ternyata tidak sadar bahwa permainan telah dimenangkan oleh militer dengan jenderal Soeharto sebagai komandannya Hasilnya jelas, masyarakat NU dikandangkan kembali ke desa dan perkampungan-perkampungan kumuh. Pada era reformasi, NU mendirikan partai tersendiri, namun hasilnya juga mengecewakan. Dan masih banyak lagi kekalahan-kekalahan yang direkam apik dalam buku ini. (Hlm 4)

Oleh karena itu, agar NU tidak mengalami lagi kekalahan itu, tambah Nur Kholik, NU perlu merespons secara kreatif dan serius atas tantangan yang telah disebutkan di atas. Ketidaktepatan NU dalam merespons akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan NU ke depan.

Dalam buku ini, penulis mencoba mengkaji berbagai persoalan yang menghimpit dan membuat komunitas NU tidak berdaya dalam menghadapi perubahan sosial, politik, dan ekonomi. Selain itu, buku ini juga menyajikan berbagai tantangan dah sekaligus harapan bagi komunitas NU dalam menyongsong satu abad perjalanan organisasi kaum ulama ini. Tak pelak, buku ini merupakan sumbangan berharga dari salah seorang muda NU progresif yang memiliki imajinasi kreatif bagi keberlangsungan dan kejayaan NU di masa depan dan selalu gelisah melihat keterpurukan basis massanya.

Buku ini hadir untuk ikut memberikan pandangan yang bisa dijadikan bahan renungan di tengah ganasnya serangan globalisasi dan neoliberal. Buku ini ingin menjelaskan masalah dasar tentang apa itu neoliberal, bagaimana neoliberal bekerja, bagaimana ia diadopsi oleh negara, dan apa dampak dari kebijakan neoliberal terhadap negara dan juga warganya; serta menjelaskan posisi masyarakat NU yang kini sedang dimainkan dalam hubungannya dengan neoliberal; modal-modal sosial yang dimiliki dan hambatan-hambatan yang menghadang masyarakat NU untuk merespons neoliberal; serta kerangka besar dan langkah taktis apa yang perlu diperjuangkan masyarakat NU menjelang usianya yang ke-100 (satu abad) bersamaan dengan semakin canggih dan ganasnya globalisasi neoliberal mencengkeram warga bangsa.

Seperti diungkapkan oleh KH. Muchit Muzadi di kutipan awal buku ini, bahwa NU perlu "mengambil hal-hal baru yang relevan dan tidak harus memegang yang lama terus-menerus". Ini berarti bahwa NU harus berani mengambil langkah-langkah ke depan dalam merespons neoliberal demi generasi mendatang jika NU tidak ingin lagi kalah dan tercerai berai di tengah gencarnya serangan (ideologi) yang dilakukan oleh PKS, HTI, JI, pada satu sisi dan neoliberal di sisi lain.
Membangun NU ke depan berarti berupaya secara serius untuk menemukan strategi dalam membendung arus neoliberal, baik itu berupa strategi, langkah taktis, serta kerja praksis yang harus digalakkan. Persoalan kemudian adalah, siapakah yang bisa diharapkan mampu menguraikan masalah-masalah yang kompleks ini sekaligus memandu dan mencari jalan keluarnya di tengah jaman neoliberal yang ganas dan canggih ini? Sejarah lah kemudian yang akan menjawab itu.

Buku ini merupakan bukti kecintaan Seorang Nur Khalik Ridwan terhadap organisasi yang mengaku mempunyai masa terbesar di Indonesia. Kritiknya yang keras terhadap NU perlu diapresiasi lebih lanjut. Namun bukan berarti buku ini tanpa cacat. Perbaikan secara teknis buku ini juga diperlukan, karena di sana-sini masih banyak terdapat pengulangan kata yang terjadi. Terlepas dari kekurangannya, buku ini tetap layak untuk dibaca.
Akhmad Kusairi, Mahasiwa Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Wednesday, December 17, 2008

Meninjau Ulang Tafsir terhadap Perempuan

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Menimbang Tafsir Perempuan terhadap Al-Quran
Pengarang : Nelly Van Doorn-Harder
Penerbit : Pustaka Pelajar-Pustaka Percik, Yogyakarta
Cetakan : I, Mei 2008
Tebal : xvi + 54 halaman.

Sudah banyak buku yang membicarakan feminisme sebagai topik kajian, namun buku yang diangkat dari pidato ini terasa lebih menarik karena penulisnya walaupun orang Belanda, berbicara banyak mengenai dunia feminisme secara khusus dan Islam pada umunya. Oleh karena itu alangkah baiknya bagi kalangan yang mengaku sebagai aktivis feminisme untuk membaca buku yang menurut Siti Musdah Mulia sebagai buku yang unik ini.
Wacana tafsir perempuan yang diangkat oleh penulisnya ini menarik disimak mengingat seorang sufi terkemuka, Ibn Arabi pernah berkata, untuk menjadi sufi sejati seorang harus menjadi perempuan terlebih dahulu. Mengapa? Karena menurutnya, Tuhan memiliki seratus sifat yang terbagi menjadi sifat Jalaliah yang identik dengan sifat maskulin dan sifat Jamaliah yang identik dengan sifat feminim. Uniknya sifat Jamaliah Tuhan ternyata lebih dominan, bahkan jumlahnya lima kali lipat dibanding sifat Jalaliah-Nya. Itu artinya sifat Tuhan sendiri lebih cenderung kearah feminim.
Namun pertanyaanya, kenapa di banyak negara, khususnya negara Islam nasib perempuan justru dinomorduakan? Pertanyaan yang cukup menggigit itu tentu tidak lah mudah untuk dijawab. Selain harus berhadapan dengan tradisi yang sudah sangat dipegang erat oleh masyarakat, upaya pembaharuan juga terkendala oleh orang-orang yang mengaku punya otoritas untuk memahami Islam, kelompok ini populer disebut Islam Fundamentalis.
Selain itu banyaknya tafsir agama yang bias gender menyebabkan banyak sekali teks-teks agama yang ditafsirkan secara misoginis, menaruh kebencian pada kaum perempuan, bukan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Ini tentu berakibat buruk terhadap perlakuan terhadap perempuan.
Kitab Suci yang menyatakan setiap umat manusia setara di hadapan Tuhan kecuali keimanan seringkali dipelintir dengan dalil lainnya tatkala perempuan akan menjadi pemimpin, dengan mengatakan jika meletakkan kepemimpinan pada perempuan maka tunggulah kehancurannya!

Dalam perjalanan waktu ada sebagian kaum perempuan menyadari akan tafsiran yang misoginis itu. Kondisi ini diteruskan sampai abad keduapuluh sebelum kaum perempuan bisa menuntut gagasannya sebagai tiitk tolak dalam menafsirkan al-Quran. Hal ini disebabkan oleh pergeseran peta sosial, budaya dan pendidikan di banyak negara Islam.
Perkembangan ini tidak hanya ada konsekuensi bagi kedudukan kaum perempuan dalam Islam, tetapi juga hak anak-anak dan kelompok-kelompok minoritas akan dipengaruhi oleh pikiran baru tersebut. Para penafsir perempuan, mencari hak-hak dan kebebasan bagi semua orang, maka usaha mereka penting bagi kelompok-kelompok di negara-negara Islam yang memperjuangkan demokrasi dan menghargai HAM.
Mereka yang ingin menafsirkan kembali teks kitab suci juga mementingkan perubahan masyarakat. Untuk membentuk dan memasuki gagasan-gagasan baru ini akan membutuhkan waktu sekurang-kurangnya empat puluh tahun. Mereka ingin menelurkan ulama perempuan sebanyak mungkin dan mereka menganggap bahwa kurikulum pendidikan agama harus diperbarui demi penyebaran pandangan mereka. Karena tidak semua anak masuk sekolah, maka mereka memakai media dan mencari metode-metode yang kreatif serta humoristis sehingga teori-teori mereka dialihkan ke aksi-aksi dan diperkenalkan ke masyarakat umum. Suatu aspek penting dari usaha ini adalah menggerakkan interaksi anatara tafsiran al-Quran yang humanis dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. (Hal 5)
Kenyataannya, penafsir ayat-ayat kitab Suci adalah didominasi oleh kaum laki-laki dan makin lama sejarah berkembang makin jelas bahwa kaum perempuan tidak boleh menduduki jabatan agamawi dengan mengacu kepada mitos dan dongeng mengenai sifat dan disposisi kaum perempuan. Baik dalam agama Yahudi maupun Kristen, teolog-teolog feminis membongkar mitos-mitos ini sehingga diperlihatkan bahwa konstruksi historis, budaya dan sosial menyembunyikan ayat-ayat yang asli. Tetapi mitos-mitos ini sudah sangat kental di masyarakat sehinga untuk menghilangkan pola-pola pikiran tersebut membutuhkan waktu lebih dari satu generasi.
Dalam Islam terjadi suatu proses yang sama yang juga melemahkan mitos-mitos ini. Sebagaimana penafsir-penafsir perempuan terhadap al-Quran – yang dibahas dalam buku ini menganggap sebagai tugasnya untuk membongkar mitos-mitos ini dan penafsiran yang misoginis, karena jargon-jargon teologis ini sangat berpengaruh terhadap pola pikie kaum perempuan. Para penafsir ini meyakini bahwa al-Quran adalah Firman Allah. Siapa yang mengikuti teks-teks ini sebagai pedoman untuk kehidupan, maka mereka akan menemui jalan menuju ke arah kedilan, kebebasan dan toleransi. Bilamana teks itu ditafsirkan dengan hasil yang tidak manusiawi bagi perempuan, maka hal ini semata-mata adalah kesalahan dari para penafsir (kaum laki-laki) bukan kesalahan al-Quran.
Penafsir perempuan yang dibahas dalam bagian kedua orasi ini adalah kaum perempuan Indonesia, yang biasa disebut feminis muslim. Sebenaranya perjuangan mereka sudah dimulai pada tahun 70-an. Karena perjuangan mereka cukup lama, maka tidak ada jalan kembali. Gagasan-gagasan merekasudah tersebar dan dampaknya sudah mulai terasa di sebagian besar masyarakat Indonesia.

Diskursus mengenai hak-hak perempuan dalam Islam sangat penting dalam hubungan antara orang Muslim dan Kristen. Di beberapa negara Islam, seperti Arab Saudi dan Iran, dapat diamati secara langsung tindakan terhadap kaum perempuan dan kelompok minoritas. Kadang-kadang di dalam syari'ah dan fiqih ada peraturan yang sama bagi kaum perempuan dan orang non-Muslim. Dipengadilan misalnya menurut syariah kesaksian dua orang perempuan atau dua laki-laki orang Yahudi atau Kristen disamakan dengan kesaksian satu orang Muslim laki-laki.
Buku ini bisa dijadikan semacam evaluasi terhadap tafsir-tafsir yang kebanyakan bersifat misoginis yang dikarang para Ulama' Salaf. Dengan kritis penulis dalam buku ini berupaya menyodorkan bukti-bukti sosiologis betapa tafsir-tafsir misoginis itu sangat diskriminatif terhadap kaum perempuan. Oleh karena itu diperlukan tafsir yang tidak bias jender. Menimbang ulang tafsir merupakan suatu keharusan sehingga pesan Islam yang membawa rahmat kepada seluruh alam bisa terlaksana.
Namun pepatah mengatakan bahwa tidak ada kesempurnaan yang absolut kecuali Tuhan. Buku ini di samping punya kelebihan juga memiliki titik lemah. Yaitu di bagian-bagian tertentu seringkali ditemukan adanya ejaan-ejaan serta EYD yang tidak sesuai. Selain itu buku ini juga kurang sempurna di penerjemahan bahasa lisan ke bahasa tulis sehingga pembaca akan merasa membaca sebuah skrip pidato daripada sebuah buku ilmiah.

Thursday, October 16, 2008

Pelukis Salim Telah Tiada

Rabu, 15 Oktober 2008 01:26 WIB
Pelukis Indonesia yang bermukim di Paris, Perancis, Salim, meninggal di RS Neuilly sur-Seine, Paris, Senin (13/10), pukul 17.15 waktu setempat. Seniman yang baru saja merayakan ulang tahun ke- 100 itu dirawat sejak Jumat (10/10) akibat mengalami kesulitan pernapasan dan tekanan darah rendah. Jenazah bakal dikebumikan di pemakaman di kawasan Neuilly, Jumat (17/10) pagi.
”Jenazah almarhum masih disemayamkan di Rumah Sakit Courbevoie, Paris. Kuasa Usaha KBRI di Paris dan sejumlah kawan sudah melayat,” kata Alijullah Hasan Jusuf (57), anak angkat Salim, yang dihubungi di Paris, Selasa (14/10) sore.
Menurut Alijullah, kondisi Salim sempat membaik setelah diinfus dan diobati di ruang ICU RS, pekan lalu. Pelukis itu minta dibawakan radio untuk mengikuti perkembangan berita dunia. ”Bahkan, dia sempat berkelakar dan bertanya, berapa skor pertandingan sepak bola antara Perancis dan Romania?”
Senin pagi, kondisi almarhum melemah. Alijullah menjemput istri Salim, Helena Bouer (90), untuk diajak menjenguk suaminya ke RS. Pasangan sepuh itu selama ini tinggal di salah satu kamar lantai enam di Avenue Charles de Gaule di Neuilly sur-Seine. ”Saat menyetir mobil,” kata Alijullah, ”Saya ditelpon kalau Salim sudah meninggal.”
Inda C Noerhadi, Direktur Cemara 6 Galeri, mengungkapkan, kabar terakhir sebelum meninggal menyebutkan, Salim memang sudah tak mau makan beberapa hari dan kesehatannya menurun. ”Jarang pelukis yang mencapai usia 100 tahun dan masih tetap sehat, bersemangat, dan kuat ingatannya,” katanya.
Cemara 6 Galeri bekerja sama dengan Pusat Kebudayaan Perancis Jakarta baru saja menyelenggarakan pemeran tunggal bertajuk ”Salim/Siapa Salim” di Galeri Nasional, Jakarta, 2-14 September. Kepergian satu-satunya pelukis Indonesia yang mengembangkan karier dan menetap di Paris hingga berusia 100 tahun itu adalah kehilangan yang mendalam. Salim telah mengalami, menyaksikan, dan menggembleng diri di tengah pusaran perkembangan seni rupa modern di jantung kota seni dunia, Paris.
Barat-Timur
Salim lahir di dekat Medan tahun 1908. Pada usia 12 tahun, dia pergi ke Eropa dan menetap di sana. Dia sempat kembali ke Tanah Air dan bergabung bersama Mohammad Hatta dalam Partai Pendidikan Nasional Indonesia, tetapi kemudian kembali dan bermukim di Paris.
Di kota itu dia belajar melukis di sanggar seni lukis Fernand Léger (1881-1955), maestro kubisme, sambil bekerja sebagai tukang bersih-bersih sanggar. Saat itu dunia seni rupa sedang diramaikan oleh pergulatan para seniman, seperti Pablo Picasso dari Spanyol, Diego Rivera asal Meksiko, dan Marc Chaggal dari Rusia.
Salim mengembangkan lukisan yang bercorak kubistis-liris. Meski hidup di Barat, karya-karayanya tetap menggamit semangat ketimuran. AD Pirous (76), pelukis senior yang pernah beberapa kali mengunjungi Salim di Paris, mengungkapkan, spirit Timur terlihat pada figur, flora- fauna tropis, dan pilihan warna cerah khas Indonesia.
”Walaupun hidup di lingkungan Barat, dia tak kehilangan akar budayanya,” kata Pirous.
Eksistensi Salim cukup diakui di Paris hingga era 1970-an, setidaknya dia sempat memperoleh penghargaan International Festival de Paris Peinture Sud dan National Prix dari International Festival de la Peinture a Cagnes-sur-Mer. Beberapa kali sempat pulang dan berpameran di Indonesia, tetapi Salim kembali ke Paris. Uniknya, hingga meninggal, dia memegang paspor sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).
Dilihat dari masa hidupnya, Salim kurang lebih masih satu periode dengan pelukis Affandi dan Soedjojono. Hanya saja, dua pelukis itu lebih dikenal dan kerap dibicarakan ketimbang Salim yang tinggal di luar negeri. Kajian seputar sosok, karya, dan pemikirannya pun minim.
Rifky Effendy, kurator seni rupa, menyayangkan situasi itu. Bagaimanapun, Salim adalah orang yang berharga dalam seni rupa Indonesia. Dialah perintis praktisi seni rupa modern yang terjun langsung di pusat kosmopolit, tempat seni modern tumbuh. Dia bisa melihat Indonesia dan dirinya di tengah pergesekan sosial-politik-budaya dunia.
”Dia orang langka, dan dengan sepenuh hati telah berjuang meneguhkan dirinya sebagai pelukis di tengah budaya internasional,” papar Rifky. (iam)

Menggagas Politik yang Setara

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Pemberdayaan Politik Perempuan Litas Agama
Penulis : Abdul Rozaki & Nur Kholik Ridwan
Penerbit : LSIP, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, September 2008
Tebal : xxviii + 145 halaman

Disahkannya berbagai dokumen merupakan indikasi komitmen bersama negara di seluruh dunia agar tata politik dunia tak lagi menciptakan diskriminasi terhadap perempuan. Setidaknya ada tiga dokumen yang menetapkan standar internasional dalam mendefinisikan persamaan antara perempuan dan laki-laki. Pertama, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), kedua, Platform Aksi Beijing PBB, dan ketiga Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1325. Ketiga dokumen ini menjadi kekuatan untuk mendorong partisipasi perempuan di berbagai institusi sosial.

Di tengah keterhimpitan perempuan di berbagai institusi, kini proses mendorong partisipasi perempuan dikaitkan dengan representasi. Seperti gagasan yang mengatakan bahwa 30% perempuan harus ada dalam keanggotaan parlemen di Indonesia. Kuota keterwakilan ini tertuang dalam UU Nomor 12 tahun 2003. Hasilnya memang belum memuaskan. Hasil pemilu 2004 menunjukkan bahwa kuota keterwakilan perempuan belum terpenuhi.

Di Indonesia keterlibatan perempuan dalam jabatan publik, jabatan politik, dan sejenisnya masih terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah nominal penduduk perempuan. Belum lagi, jika dibandingkan antara praktik-praktik politik Indonesia yang mengakomodir perempuan secara maksimal dalam hal kuota politik perempuan dengan negara-negara Skandinavia, Amerika Latin, Eropa, dan Oceania. Indonesia berada pada urutan buncit dalam hal partisipasi politik perempuan. Dari 100 negara di dunia, Indonesia menempati urutan 88 (hanya 11%) partisipasi politik perempuan dalam parlemen. Indonesia kalah partisipatifnya dengan Rwanda (48,8%) negara yang paling tinggi partisipasi politiknya atas perempuan; Swedia (45,3%); Denmark, Finlandia, Belanda, Norwegia, Cuba dan Argentina (30,7%); Timor Leste (25,3%); Uganda (23,9%); Australia (24,7%), dan Pakistan (21,3%) (Azizah, 2008).

Dalam konteks perjuangan kaum perempuan gagasan mendukung dengan tegas kuota 30% adalah sebuah terobosan yang maju. Partisipasi perempuan yang dilekatkan dengan representasi politik ini merupakan langkah strategis agar suara perempuan dalam kebijakan publik lebih terdengar. Dengan cara ini pula perempuan akan lebih mampu mewarnai kebijakan politik pemerintahan yang lebih peka terhadap kaum perempuan.

Mendorong partisipasi yang dapat melahirkan representasi politik dalam arti semakin meningkatnya kuota perempuan dalam jabatan-jabatan publik, tidak mudah diwujudkan. Ia membutuhkan komitmen dan agenda bersama untuk terus diperjuangkan. Meski demikian, cara ini perlu ditempuh agar kebijakan politik tidak lagi memarjinalkan kaum perempuan. Untuk mendorong proses ke arah dinamisasi perempuan dalam politik kaum perempuan harus memiliki instrumen-instrumen penguatan politik di dalam organisasi sosial.

Bila melihat kiprah kaum perempuan dalam Ormas di Indonesia, peran strategis mereka masih sangat terbatas. Sedikitnya kaum perempuan yang duduk dalam struktur kepengurusan justru menyisakan masalah tersendiri. Mengapa bisa demikian? Sebab dalam kultur di masyarakat peran kaum perempuan diposisikan sebagai pendamping yang berfungsi sebagai penyokong kegiatan laki-laki.

Tentunya Merombak kultur ini membutuhkan keberanian, kreativitas, dan juga proses waktu yang mungkin tidak pendek. Perombakan kultur memang bukan pekerjaan yang mudah karena perjuangan ke arah itu jalannya terkadang terjal dan berliku. Terlebih kultur patriarki berpintal dengan legitimasi teologi keagamaan masyarakat yang masih konservatif.


Kaum perempuan di Indonesia dalam ranah sosial keagamaan sampai sekarang masih berada dalam posisi pinggir. Isu-isu pembatasan kiprah kaum perempuan melalui peraturan daerah berbasis tafsir keagamaan konservatif, kekerasan di dalam rumah tangga, juga fenomena poligami di kalangan para da'i belum mendapatkan reaksi keras di kalangan organisasi sosial keagamaan. Reaksi keras atas berbagai persoalan sosial tadi hanya muncul di kalangan aktivis LSM. Kadang, kaum perempuan sendiri terpecah ketika dihadapkan pada isu keagamaan seperti praktik poligami. Perpecahan di kalangan perempuan hanya berakibat pada kemunduran perjuangan untuk mengembangkan karya dalam kehidupannya.

Agar perjuangan perempuan dapat didengar oleh para politisi di partai politik, ormas keagamaan, dan aktivitas kemasyarakatan, perempuan harus mendapatkan legitimasi dari berbagai kelompok dalam masyarakat. Perjuangan perempuan tidak boleh berhenti pada kelas menengah berpendidikan tinggi saja, gerakan perempuan harus lebih "membumi" pada level grass-root yang realitasnya lebih banyak ketimbang perempuan kelas menengah yang berpendidikan dan memiliki akses pada kebijakan politik maupun wilayah lainnya.

Oleh karena itu, gerakan kaum perempuan harus terus-menerus dan sistematis dalam melakukan tekanan kepada institusi-institusi sosial yang patriarkis. Ini tidak dapat dilakukan kaum perempuan sendiri, tetapi harus bersama-sama dengan entitas sosial lain yang memiliki kepekaan terhadap masalah perempuan. Dengan kerja dan upaya keras seperti itu, sepertinya bukan suatu yang mustahil pada masa-masa mendatang peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di lembaga politik akan berdampak terhadap pengakuan secara utuh hak-hak sipil dan politik kaum perempuan.

Di sinilah posisi penting buku Pemberdayaan Politik Perempuan Lintasagama yang ditulis oleh Abdur Rozaki dan Nur Khalik Ridwan ini. Buku ini memberikan sumbangan konsepsional sekaligus memberikan gambaran betapa pentingnya nilai-nilai demokrasi ditegakkan. Beberapa pengalaman lapangan membuktikan, perempuan sebenarnya memiliki kekuatan untuk berpartisipasi dalam partai politik dan pengambilan kebijakan. Namun disayangkan, ruang untuk berpartisipasi tidak terlalu longgar untuk mereka.
Buku ini memberikan kontribusi untuk pemberdayaan perempuan lintasagama dalam memperjuangkan dan mengkonsolidasi masyarakat untuk kemajuan kaum perempuan. Perjuangan perempuan akan berhasil tatkala mendapatkan dukungan publik. Akan tetapi, perjuangan perempuan akan gagal tatkala energi yang dimiliki terkuras habis karena bergelut dengan masalahnya sendiri (kaum perempuan) yang tidak mampu diorganisir, dinegosiasikan, dan dikompromikan dalam realitas politik yang masih dominan bias gender.


*Resensi ini pernah dimuat di Seputar Indonesia 5 Oktober 2008