Reviews Buku

Thursday, October 16, 2008

Menggagas Politik yang Setara

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Pemberdayaan Politik Perempuan Litas Agama
Penulis : Abdul Rozaki & Nur Kholik Ridwan
Penerbit : LSIP, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, September 2008
Tebal : xxviii + 145 halaman

Disahkannya berbagai dokumen merupakan indikasi komitmen bersama negara di seluruh dunia agar tata politik dunia tak lagi menciptakan diskriminasi terhadap perempuan. Setidaknya ada tiga dokumen yang menetapkan standar internasional dalam mendefinisikan persamaan antara perempuan dan laki-laki. Pertama, Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), kedua, Platform Aksi Beijing PBB, dan ketiga Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 1325. Ketiga dokumen ini menjadi kekuatan untuk mendorong partisipasi perempuan di berbagai institusi sosial.

Di tengah keterhimpitan perempuan di berbagai institusi, kini proses mendorong partisipasi perempuan dikaitkan dengan representasi. Seperti gagasan yang mengatakan bahwa 30% perempuan harus ada dalam keanggotaan parlemen di Indonesia. Kuota keterwakilan ini tertuang dalam UU Nomor 12 tahun 2003. Hasilnya memang belum memuaskan. Hasil pemilu 2004 menunjukkan bahwa kuota keterwakilan perempuan belum terpenuhi.

Di Indonesia keterlibatan perempuan dalam jabatan publik, jabatan politik, dan sejenisnya masih terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah nominal penduduk perempuan. Belum lagi, jika dibandingkan antara praktik-praktik politik Indonesia yang mengakomodir perempuan secara maksimal dalam hal kuota politik perempuan dengan negara-negara Skandinavia, Amerika Latin, Eropa, dan Oceania. Indonesia berada pada urutan buncit dalam hal partisipasi politik perempuan. Dari 100 negara di dunia, Indonesia menempati urutan 88 (hanya 11%) partisipasi politik perempuan dalam parlemen. Indonesia kalah partisipatifnya dengan Rwanda (48,8%) negara yang paling tinggi partisipasi politiknya atas perempuan; Swedia (45,3%); Denmark, Finlandia, Belanda, Norwegia, Cuba dan Argentina (30,7%); Timor Leste (25,3%); Uganda (23,9%); Australia (24,7%), dan Pakistan (21,3%) (Azizah, 2008).

Dalam konteks perjuangan kaum perempuan gagasan mendukung dengan tegas kuota 30% adalah sebuah terobosan yang maju. Partisipasi perempuan yang dilekatkan dengan representasi politik ini merupakan langkah strategis agar suara perempuan dalam kebijakan publik lebih terdengar. Dengan cara ini pula perempuan akan lebih mampu mewarnai kebijakan politik pemerintahan yang lebih peka terhadap kaum perempuan.

Mendorong partisipasi yang dapat melahirkan representasi politik dalam arti semakin meningkatnya kuota perempuan dalam jabatan-jabatan publik, tidak mudah diwujudkan. Ia membutuhkan komitmen dan agenda bersama untuk terus diperjuangkan. Meski demikian, cara ini perlu ditempuh agar kebijakan politik tidak lagi memarjinalkan kaum perempuan. Untuk mendorong proses ke arah dinamisasi perempuan dalam politik kaum perempuan harus memiliki instrumen-instrumen penguatan politik di dalam organisasi sosial.

Bila melihat kiprah kaum perempuan dalam Ormas di Indonesia, peran strategis mereka masih sangat terbatas. Sedikitnya kaum perempuan yang duduk dalam struktur kepengurusan justru menyisakan masalah tersendiri. Mengapa bisa demikian? Sebab dalam kultur di masyarakat peran kaum perempuan diposisikan sebagai pendamping yang berfungsi sebagai penyokong kegiatan laki-laki.

Tentunya Merombak kultur ini membutuhkan keberanian, kreativitas, dan juga proses waktu yang mungkin tidak pendek. Perombakan kultur memang bukan pekerjaan yang mudah karena perjuangan ke arah itu jalannya terkadang terjal dan berliku. Terlebih kultur patriarki berpintal dengan legitimasi teologi keagamaan masyarakat yang masih konservatif.


Kaum perempuan di Indonesia dalam ranah sosial keagamaan sampai sekarang masih berada dalam posisi pinggir. Isu-isu pembatasan kiprah kaum perempuan melalui peraturan daerah berbasis tafsir keagamaan konservatif, kekerasan di dalam rumah tangga, juga fenomena poligami di kalangan para da'i belum mendapatkan reaksi keras di kalangan organisasi sosial keagamaan. Reaksi keras atas berbagai persoalan sosial tadi hanya muncul di kalangan aktivis LSM. Kadang, kaum perempuan sendiri terpecah ketika dihadapkan pada isu keagamaan seperti praktik poligami. Perpecahan di kalangan perempuan hanya berakibat pada kemunduran perjuangan untuk mengembangkan karya dalam kehidupannya.

Agar perjuangan perempuan dapat didengar oleh para politisi di partai politik, ormas keagamaan, dan aktivitas kemasyarakatan, perempuan harus mendapatkan legitimasi dari berbagai kelompok dalam masyarakat. Perjuangan perempuan tidak boleh berhenti pada kelas menengah berpendidikan tinggi saja, gerakan perempuan harus lebih "membumi" pada level grass-root yang realitasnya lebih banyak ketimbang perempuan kelas menengah yang berpendidikan dan memiliki akses pada kebijakan politik maupun wilayah lainnya.

Oleh karena itu, gerakan kaum perempuan harus terus-menerus dan sistematis dalam melakukan tekanan kepada institusi-institusi sosial yang patriarkis. Ini tidak dapat dilakukan kaum perempuan sendiri, tetapi harus bersama-sama dengan entitas sosial lain yang memiliki kepekaan terhadap masalah perempuan. Dengan kerja dan upaya keras seperti itu, sepertinya bukan suatu yang mustahil pada masa-masa mendatang peningkatan jumlah keterwakilan perempuan di lembaga politik akan berdampak terhadap pengakuan secara utuh hak-hak sipil dan politik kaum perempuan.

Di sinilah posisi penting buku Pemberdayaan Politik Perempuan Lintasagama yang ditulis oleh Abdur Rozaki dan Nur Khalik Ridwan ini. Buku ini memberikan sumbangan konsepsional sekaligus memberikan gambaran betapa pentingnya nilai-nilai demokrasi ditegakkan. Beberapa pengalaman lapangan membuktikan, perempuan sebenarnya memiliki kekuatan untuk berpartisipasi dalam partai politik dan pengambilan kebijakan. Namun disayangkan, ruang untuk berpartisipasi tidak terlalu longgar untuk mereka.
Buku ini memberikan kontribusi untuk pemberdayaan perempuan lintasagama dalam memperjuangkan dan mengkonsolidasi masyarakat untuk kemajuan kaum perempuan. Perjuangan perempuan akan berhasil tatkala mendapatkan dukungan publik. Akan tetapi, perjuangan perempuan akan gagal tatkala energi yang dimiliki terkuras habis karena bergelut dengan masalahnya sendiri (kaum perempuan) yang tidak mampu diorganisir, dinegosiasikan, dan dikompromikan dalam realitas politik yang masih dominan bias gender.


*Resensi ini pernah dimuat di Seputar Indonesia 5 Oktober 2008

Friday, September 05, 2008

Menebar Kembali Pesona Ilmu Agama

Judul: Pudarnya Pesona Ilmu Agama
Penulis: Muhyar Fanani
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Cetakan: Pertama, 1 Oktober, 2007
Tebal: xxxvi + 190 halaman.
Serangan modernitas terhadap sendi-sendi kehidupan manusia memang hampir mendekati sempurna. Harus diakui, hampir segala dimensi kehidupan di dunia ini sudah dimasuki oleh proyek besar bernama modernitas itu, termasuk agama. Di tengah kondisi demikian, banyak orang kemudian beranggapan bahwa Tuhan tak lagi dibutuhkan mengingat segala macam keperluan manusia sudah disediakan di dalam kehidupan modern ini.
Ilustrasi di atas bisa jadi merupakan representasi nasib imu-ilmu keislaman secara umum. Betapa tidak, Tuhan saja yang selama ini dianggap sebagai sumber dari ilmu-ilmu agama sekarang mulai disangsikan keberadaanya. Oleh sebab itu bukan suatu yang heran jika kemudian ilmu agama sebagai turunan dari ilmu-ilmu Tuhan sekarang hanya dipandang sebelah mata.
Fenomana ini disebabkan oleh umat Islam sendiri yang telah mengalami kegelisahan dalam memahami Islam. Sedikitnya ada dua kegelisahan yang sudah sangat krusial. Pertama, problem modernitas. Poin pertama ini ada dikarenakan bola modernitas yang kian membesar menggulung premis-premis kecil di sekelillingnya yang mau tidak mau meniscayakan sebuah rekontruksi, bahkan pada saat-saat tertentu dekonstruksi atas pemahaman yang telah dibawa sejak abad VII dan mengalami pensakralan hukum. Kedua, kesadaran internal kaum muslim akan adanya anomali dalam berbagai ranah keilmuan, terutama dalam masalah interpretasi teks Quran, entah itu mengarah pada wilayah hukum, aqidah, ataupun masalah-masalah yang berkait erat dengan IPTEK.
Semakin jauhnya paradigma keilmuan juga menjadi sebab utama kenapa ilmu agama ini mulai ditinggalkan peminat. Feneomena ini bisa dilihat dengan jumlah mahasiswa yang memilih fakultas-fakultas yang pure
seratus persen mengajarkann ilmu agama. Ini mungkin disebabkan oleh pengaruh tradisi masyarakat yang mulai bergeser dari masyarakat sepiritual-religius kepada materialisme sekuler. Tuntutan ekonomi juga tak bisa dilepaskan dari probematika ini.
Faktor kemalasan berpikir dan adanya intervensi politik dalam pergeseran paradigma telah menjadikan lambannya perkembangan ilmu keislaman, termasuk ilmu-ilmu Ushuluddin. Inilah yang mengakibatkan munculnya kelompok-kelompok yang beku dan terkesan antidialog.
Sebagaimana tersirat dalam namanya, ilmu-ilmu ushuluddin seharusnya menjadi the core and kernel of Islamic Studies. Untuk itu upaya pengembangan ilmu keislaman sudah semestinya berangkat terlebih dahulu dari ilmu-ilmu ushuluddin. Dalam kerangka itulah kajian dalam buku ini, menjadi penting untuk dilakukan. (Hal 4)
Oleh sebab itu, menurut penulis jika ilmu-ilmu agama mau tetap bisa eksis, hal yang paling penting dilakukan adalah mengubah paradigma keilmuannya dari hanya berorientasi kepada dirinya sendiri menjadi lebih berorientasi sosial.
Melihat fenomena yang amat parah di tubuh umat Islam sekarang, mendorong penulis buku ini untuk mencari tahu mengapa fenomena kemunduran ilmiah itu dapat terjadi. Kajian dalam buku ini akan melihatnya dengan cara pandang sejarah pengetahuan, tepatnya memakai teori pergeseran paradigma Thomaz Kuhn. Pengunanaan sejarah pengetahuan mazhab Kuhnian dilakukan berdasarkan alasan bahwa hanya dengan melihat proses pergeseran paeadigma dalam ilmu-ilmu keislaman lah kita dapat memahami penyebab kemunduran ilmu-ilmu Ushuluddin dan selanjutnya merumuskan sejumlah strategi guna mengembangkan ilmu-ilmu Ushuluddin ke depan.
Objek yang dikaji dalam buku ini adalah fenomena seputar melemahnya ilmu-ilmu Ushuluddin atau yang lebih dikenal dengan ilmu-ilmu Syar'iah sebagai lawan dari ilmu-ilmu umum. (Hal 5)
Selain untuk menjawab persoalan utama di atas, buku ini juga berusaha mendudukkan secara tepat kontribusi teoritis sejarah pengetahuan mazhab Kuhnian bagi pengembangan ilmu Ushuluddin. Di samping itu, kajian ini juga bertujuan untuk mencari solusi baru bagi kemacetan kreativitas yang dialami ilmu-ilmu ushuluddin dapat berkembang dan relevan dengan pekembagan jaman. (Hal 6)

Saat ini kita mewarisi peninggalan konflik sejarah keilmuan yang sulit dihapuskan. Dikotomi ilmu-ilmu yang berakar langsung pada wahyu dan ilmu yang berakar dari Yunani semakin lebar. Pada hal sebenarnya dokotomi itu sudah tidak ada artinya bagi umat Islam dewasa ini. Mengapa? Karena umat Islam sudah tidak lagi berprestasi di semua bidang ilmu itu. Sekarang hampir semua ilmu dipimpin oleh Barat dan kita hanya sebagai pengekor saja. (hal 18).
Berangkat dari kegelisahan itu lah mungkin alasan buku Pudarnya Pesona Ilmu Agama karangan Muhyar Fanani ini hadir di ruang baca. Dalam menjawab kegelisahan itu, penulis buku ini menganggap pudarnya ilmu agama itu tidak berangkat dari ruang kosong. Sebab yang paling mudah dilihat ialah karena masyarakat sekarang merasa kurang mendapatkan kontribusi dari ilmu-ilmu agama. Selain itu, problematika masyarakat sehari-hari seakan tidak mereka temukan jawaban dari ilmu-ilmu agama. Dengan kata lain mereka merasa tidak mendapatkan pencerahan dari ilmu semacam ini. Selain itu selama ini ilmu agama lebih sering hanya memperhatikan aspek positivistik, dengan kata lain ilmu agama miskin dari alternatif-alternatif dalam menjawab fenomena sosial yang semakin mencekik leher mereka yang kurang beruntung.
Buku ini merupakan usaha seorang Muhyar Fanani dalam menebarkan kembali pesona ilmu agama yang selama ini. Mengalami kemandekan. Dengan ide-ide cerdas yang ada dalam buku ini bisa membuat pembaca terbangun dari keterpesonaannya mereka terhadap ilmu Pengetahuan yang bersumber dari Barat.

Tuesday, May 06, 2008

Perempuan dalam Himpitan Agama dan Politik

Oleh : Akhmad Kusairi
Judul : Perempuan, Agama & Demokrasi
Editor : Subkhi Ridho
Penerbit : LSIP, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : xvi + 277 halaman.

Dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia, perempuan selalu mempunyai andil yang sangat penting. Hal itu dibuktikan oleh peran aktif perempuan dalam berbagai pergerakan nasional di Nusantara baik pada masa pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan. Pada dua masa ini, kita kenal nama seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Dewi Sartika, RA Kartini dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun peran penting para perempuan ini seringkali dipandang sebelah mata oleh orang kebanyakan. Keterlibatan perempuan dalam perjuangan pergerakan masih dianggap tidak sebanding dengan laki-laki, sekalipun sejatinya banyak perempuan yang gugur tetapi tidak tercatat dalam rekaman sejarah.
Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan tersebut hingga sekarang masih terus berlanjut. Memang secara teori Partisipasi perempuan dalam politik praktis sudah dijamin dalam pelbagai peraturan. Namun pada praktiknya masih jauh dari harapan, apalagi jika mengetahui perwakilan perempuan dalam DPR hanya 9 % dari 51 % semua penduduk Indonesia.
Ini menjadi ironis, padahal persolan kuota tersebut sudah diatur agar keterwakilan perempuan dalam dewan mencapai 30 %. Artinya keterwakilan perempuan dalam politik nasional memang masih kurang jumlah. Bahkan di tingkat daerah perempuan hanya 350 orang dari total 10.250 anggota DPRD di seluruh Indonesia. Secara umum perempuan Indonesia sangat membutuhkan ruang yang lebih luas dalam mengakses hak politiknya, baik dalam ranah legislatif maupun eksekutif.
Pertanyaannya, mengapa partisipasi politik perempuan demikian rendah jika dibanding dengan laki-laki? Itulah pertanyaan yang akan dijawab dalam buku Perempuan, Agama & Demokrasi ini. Dengan data-data yang cukup meyakinkan para penulis buku ini berusaha menjawab persoalan seputar pertanyaan di atas. Secara umum alasannya terbagi dalam tiga hal.

Pertama,budaya yang belum sepenuhnya memberikan ruang secara luas kepada perempuan dalam bidang politik. Secara umum tradisi yang berkembang di Nusantara yang memandang bahwa perempuan secara kodrati harus selalu dipimpin oleh laki-laki, bukan sebaliknya.
Keduastruktur yang tidak memberikan ruang akses pada perempuan. Bahkan struktur politik Indonesia adalah struktur politik bias laki-laki, sehingga secara salah menempatkan perempuan tak lebih sebagai pelengkap saja. Orang kebanyakan ternyata masih enggan memberikan kesempatan secara luas pada perempuan untuk berkarir di bidang politik.
Dan terakhir, yang tak kalah pentingnya adalah soal tafsir agama yang bias gender, sehingga banyak sekali teks-teks agama yang ditafsirkan secara misoginis, menaruh kebencian pada kaum perempuan, bukan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Kitab Suci yang menyatakan setiap umat manusia setara di hadapan Tuhan, kecuali keimanan yang membedakannya seringkali dipelintir dengan dalil lainnya tatkala perempuan akan menjadi pemimpin, dengan mengatakan jika meletakkan kepemimpinan pada perempuan maka tunggulah kehancurannya!
Tiga kenyataan itulah yang membuat posisi perempuan dalam hal partisipasi politiknya di Indonesia tidak setara. Wacana politik perempuan dengan kuota 30 % masih dalam tataran wacana, karena realisasinya banyak partai politik yang enggan menerapkannya dengan pelbagai alasan yang kadang dibuat-buat, sekalipun terkesan tidak masuk akal.
Mengetahui kondisi riil di lapangan seperti itu maka sudah seharusnya ormas-ormas keagamaan yang punya pengaruh berperan aktif dalam melakukan gerakan agar partisipasi politik perempuan dari jalur keagamaan bisa dapat direalisasikan. Menurutu Nasr Hamid Abu Zayd, Wacana perempuan bukan hanya wacana jenis kelamin, bukan pula problem kemunduran sosial atau kemunduran berpikir. Semua itu merupakan aspek-aspek yang diproyeksikan dalam menganalisis seluruh problem tersebut, sebagai sebuah problem yang bisa disebut "problem otoritas politik" dalam hubungannya dengan sejarah manusia sejak permulaan sejarah Arab. Dan itulah sesungguhnya akar krisis sejarah perempuan Arab-Islam.

Melihat betapa dominannya peran agama dalam kaitannya dengan problem partisipasi perempuan, Robert Hefner menyarankan kepada masyarakat Indonesia untuk membangun peradaban yang setara, laki-perempuan, sebab itu sebetulnya yang merupakan problem khas masyarakat multikultural seperti Indonesia. Bagaimana agar problem-problem tersebut direspon secara bersama-sama terutama di kalangan muslim Indonesia, sebab muslim Indonesia bisa diharapkan menjadi basis bagi tumbuhnya demokrasi yang berkeadaban
Dalam buku bunga rampai ini, pembaca akan mendapatkan segudang informasi penting. Dengan kecerdasan khas intelektual para penulis menyuguhkan berbagai macam wacana yang terkait dengan doktrin-doktrin keagamaan yang selama ini dianut, sehingga menempatkan perempuan pada "kelas dua". Dalam buku ini pembaca juga akan disuguhi beragam pemikiran dari para aktivis perempuan lintas agama yang bergelut dalam masalah kesetaraan gender di Indonesia.
Buku ini merupakan refleksi bersama dari orang yang masih peduli terhadap isu-isu perempuan, karena perempuan Indonesia masih kurang mendapatkan ruang dalam ranah sosial-politik. Sebagai makhluk sosial perempuan dan laki-laki saling membutuhkan, saling melengkapi dan saling memperkaya satu sama lain. Karenanya, bukan persaingan dan pertentangan yang harus dikedepankan, melainkan kerja sama secara maksimal dengan melibatkan nilai-nilai feminitas dalam percaturan masa depan demokrasi, yaitu demokrai yang menggnakan empati, simpati dan hati tulus penuh kasih sayang keibuan! Itulah yang dibutuhkan masa depan demokrasi kita, dan itulah sumbangan penting kehadiran perempuan dalam dinamika demokrasi kita. (Hal 33)
Sebagai akhir, hampir menimpa pada buku bunga rampai, yaitu banyak terjadi pengulangan bahasan serta minimnya tempat membuat buku ini tidak tuntas dalam menjawab pertanyaan elementer di atas. Namun bagaimanapun buku ini tetap layak dibaca sebagai bahan perenungan terhadap nasib perempuan Indonesia ke depan, agar kemudian, kesalahan-kesalahan di masa lalu tidak lagi terjadi pada saat ini. Sehingga kemudian kesejahteraan umum sebagai tujuan utama demokrasi bisa menjadi kenyataan.
Resensi ini katanya redaktur Koran Jakarta dimuat pada hari Senin 4 Mei 2008

Saturday, March 15, 2008

Menyingkap Perselingkuhan Politik Agama

Judul : Devil's Game
Penulis : Robert Dreyfuss
Penerbit : SR-Ins Publishing, Yogyakarta.
Cetakan : I, Maret 2007
Tebal : lviii + 487 halaman.

Jihad di abad modern bukanlah kita mencari mati di jalan Allah akan tetapi bagaimana kita bisa hidup bersama-sama di jalan Allah.
(Gamal al-Bana, xxix, 2007)

Dalam penulisan sejarah perang dingin dan tatanan dunia baru, terdapat satu episode penting yang tidak terekam, yaitu sejarah tentang Amerika Serikat yang mendanai dan mendorong aktivis fundamentalisme Islam sayap kanan yang terkadang dilakukan secara terbuka dan vulgar, maupun secara secret operation. Kehadiran buku Devil's Game ini berupaya mengisi missing link yang sangat vital tersebut.
Dikatakan vital, karena kebijakan yang tidak populer di khalayak publik ini telah berlangsung lebih dari enam dekade dan memicu munculnya terorisme Islam Fundamentalis sebagai sebuah fenomena global. Hegemoni Amerika yang tengah di bangun di Timur Tengah dan Asia Selatan, sebagian memang didesain untuk berpihak kepada kekuatan Islam politik dan, tentu saja, ini diharapkan oleh para arsitek dan thing-tanknya. Namun demikian, secara taktis semua itu membuktikan adanya sebuah permaian iblis dan sangatlah terlambat jika pasca 11 September 2001, Washington baru menyadari miskalkulasi strateginya.
Buku ini adalah buku yang berusaha menyingkap persingkuhan Agama (Islam) dan politik. Di mana pemerintah Amerika berusah mati-matian membendung pengaruh Uni Soviet di dunia internasional. Salah satu caranya adalah dengan persengkokolan Amerika dengan kelompok Islam Kanan yang radikal. Dengan bantuan dana dari Amerika para pemimin kelompok-kelompok islam ini merekrut besar-besaran pengikutnya yang sangat fanatik.
Buku ini adalah buku yang cukup kontroversial di mata dunia, khususnya dunia Islam. Dengan data-data yang akurat dipadu dengan analisis yang tajam membuat buku ini benar-benar mencengangkan orang yang membacanya. Dengan membaca buku ini orang akan tahu mata rantai atau asal-muasal terorisme dunia ang diharamkan keberadaannya oleh Barat beserta antek-anteknya.
Dengan buku ini setidaknya pembaca akan sadar bahwa terorisme yang mereka gembor-gembor sebagai sesautu yang harus dimusuhi ternya mereka sendiri yang melahirkan. Terorisme adalah anak haram yang tak diinginkan keberadaannya sehingga dengan tega sang Ibu membunuh bayi itu. Tapi si Ibu ternyata keliru, anak yang dia anggap sebagai makhluk tak berdaya itu ternyata kuat yang tak mudah dia bunuh. Secara keji dia meneriakkna bahwa sang anak harus dibunuh demi kemaslahatan masyarakat.

Memperkenalkan ESQ dalam Dinamika Kehidupan

Judul : Inspiring Heart.
Pengarang : Imron Andri Yuliansyah. & M. Ilham Marzuq.
Penerbit : Galangpress, Yogyakarta.
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 145 halaman.

Manusia bermimpi tidak hanya waktu ia tidur. Menurut saya mimpi adalah bentuk lain dari kreativitas. Menjadi kreatif tidak kenal siang atau malam. Ada banyak pekerjaan yang masih punya ruang untuk inspirasi, namun banyak juga pekerjaan yang menyita segalanya. Pekerjaan tanpa mimpi, atau tanpa waktu untuk bermimpi, adalah pekerjaannya robot. Bukan manusia.
(Dee, Supernova: 22)


Kesuksesan adalah suatu yang pasti menjadi impian setiap orang. Entah itu rakyat biasa, pejabat, konglomerat, politisi, serta Presiden sekalipun. Sebab tujuan primer manusia hidup adalah mencari, mengejar dan mewujudkan impian itu. Siapa yang menyangka jika kertas yang kemudian menjadi buku yang ada baca ini adalah bagian dari impian seseorang yang kemudian meruang dan mewaktu berupa buku bacaan.
Dari ilustrasi di atas sepertinya kesuksesan menuntut seseorang untuk selalu menggunakan IQ, EQ, serta SQ sebagai jalan menatap masa depan secara cermat. Tapi untuk menemukan kesuksesan yang benar-benar sukses itu, sangat diperlukan adanya ikatan satu sama lain, antara IQ, EQ, serta SQ, sebab dari ketiga hal tersebut bila tidak seimbang maka kemudian akan menimbulkan Miscomunication yang menyebabkan disinformasi satu sama lain.
Saat ini muncul ide cemerlang mengenai bagaimana menemukan kesuksesan yang benar-benar sukses. Ide itu adalah ESQ (Emotional Spiritual Quotient), yakni sintesis dari EQ dan SQ yang telah ada sebelumnya. Menurut Ari Ginanjar Agustin, seorang pakar sekaligus trainer, mengatakan bahwa ESQ merupakan metode dan konsep yang jelas untuk menjawa kekosongan batin tersebut. ESQ merupakan konsep universal yang mampu mengantarkan pada predikat yang memuaskan bagi dirinya sendiri dan orang lain. ESQ pula yang dapat menghambat segala hal yang kontra produktif terhadap kemajuan umat manusia”. (hal 15)
Berangkat dari sinilah buku yang berjudul lengkap Inspiring Heart; Hidup Sukses Dengan Kecerdasan Emosional Spiritual karangan duet Imron Andri Yuliansyah dan M. Ilham Marzuq ini hadir di tengah sidang pembaca. Dalam buku ini penulis coba mengulas sekaligus menganalisis ESQ secara mendalam. Dengan menggunakan pisau analisis yang tajam, penulis bisa membawa pembaca tidak hanya pada pemahaman ESQ secara tekstual saja, tapi lebih kepada pengalaman empiris dengan ESQ
Dalam buku ini, penulis mengatakan bahwa ESQ mampu membawa manusia ke alam yang lebih tinggi, karena memang ESQ bukan hanya sebuah bentuk hubungan kecerdasan yang terpisah, namun lebih kepada “jalan lain” yang di luar kendali manusia (transenden) mampu “memberikan” apa saja termasuk kesuksesan. (Hal 35)
Dalam hal ini penulis mengilustrasikan mengenai hal itu, dalam kisah seorang penjual bubur ayam yang tak memiliki kecakapan (kompetensi) atau IQ yang memadai, namun terlepas dari kekurangan itu, ia selalu menjual buburnya dengan keyakinan bahwa yang dilakukannya adalah ibadah. Dengan niat, ikhtiar, doa serta ketulusan hatinya, ia selalu menikmati hidupnya. Hingga waktu sang ibu ingin naik haji. Keinginan itu sangat kuat. Dalam hati ia bertekad memenuhi keinginan ibunya, namun kondisi ekonomi yang pas-pasan tidak bisa mewujudkan keinginan itu. Namun ia tetap ingin mewujudkan keinginan ibunya. Oleh karena itu, ia selalu giat menabung demi tercapainya niat mulia ibunya, dengan tidak lupa selalu berdoa pada Tuhan. Sehingga niat mulia ibunya terkabulkan dengan cara yang tak terduga, yaitu berupa menang undian di Bank tempatnya menabung dengan rutin. (Hal 19)
Berangkat dari cerita itulah, konsep ESQ di atas teraplikasi dengan baik. Menurut penulis, keinginan yang kuat, postive thinking, usaha keras, dan do’a yang tiada henti mampu menembus suatu yang di luar jangkauan pikiran manusia. Semua bisa diwujudkan dengan keyakinan.
Dari cerita di atas, tentu dapat semacam inspirasi baru mengenai pentingnya kekuatan lain di luar kemampuan akal pikiran kita (transenden). Media itulah yang diejawantahkan oleh ESQ, dengan berusaha (ikhtiar) dan do'a. sebab menurut penulis ESQ merangsang munculnya kemampuan emosi yang stabil dan sepritual yang mendalam.
Stimulai ESQ untuk mengeluarkan God Spot (suara Hati) itu menurut penulis merupakan ejawantah dari enam Rukun Iman dan lima Rukun Islam, antara lain: Pertama, sikap Zero Mind, memiliki Mental Building, memiliki Personal Strength, dan yang terakhir Social Strength.
Dengan empat poin itu diharapkan seseorang bisa mewujudkan sinergi dengan orang lain atau lingkungan dalam situasi dan kondisi apa pun. Oleh karena itu, IQ, EQ, serta SQ inilah adalah kekuatan yang bisa mendorong seseorang untuk menjadi seorang yang sukses sejati, karena dengan menggabungkan ketiga kekuatan itu segala sesuatu pasti akan terjadi di luar kehendak dan pikiran manusia.
Buku ini merupakan buku yang sangat provokatif. Dengan cerita-cerita yang disuguhkan, penulis mampu membuatt pembaca termotivasi yang kemudian menjadi optimis dalam menjalankan roda kehidupan mereka. Di ranah Indonesian buku ini terbilang baru yang mengangkat ESQ sebagai tema. Kalau diperhatikan hanya beberapa nama yang memang sense terhadap bidang kajian ini. Oleh karenanya buku ini merupakan sumbangan berharga bagi kalangan pembaca Indonesia. Namun, tak menutup kemungkinan buku ini jauh dari kekurangan. Tidak adanya indeks bisa membuat pembaca kebingungan dalam mencari kata yang diinginkan. Tapi buku ini tetap layak untuk dibaca sekaligus dipelajari dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tulisan ini pernah dijanjikan akan dimuat oleh salah satu koran, tapi sampai sekarang belum menjadi kenyataan .