Reviews Buku

Tuesday, May 06, 2008

Perempuan dalam Himpitan Agama dan Politik

Oleh : Akhmad Kusairi
Judul : Perempuan, Agama & Demokrasi
Editor : Subkhi Ridho
Penerbit : LSIP, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : xvi + 277 halaman.

Dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia, perempuan selalu mempunyai andil yang sangat penting. Hal itu dibuktikan oleh peran aktif perempuan dalam berbagai pergerakan nasional di Nusantara baik pada masa pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan. Pada dua masa ini, kita kenal nama seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Dewi Sartika, RA Kartini dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun peran penting para perempuan ini seringkali dipandang sebelah mata oleh orang kebanyakan. Keterlibatan perempuan dalam perjuangan pergerakan masih dianggap tidak sebanding dengan laki-laki, sekalipun sejatinya banyak perempuan yang gugur tetapi tidak tercatat dalam rekaman sejarah.
Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan tersebut hingga sekarang masih terus berlanjut. Memang secara teori Partisipasi perempuan dalam politik praktis sudah dijamin dalam pelbagai peraturan. Namun pada praktiknya masih jauh dari harapan, apalagi jika mengetahui perwakilan perempuan dalam DPR hanya 9 % dari 51 % semua penduduk Indonesia.
Ini menjadi ironis, padahal persolan kuota tersebut sudah diatur agar keterwakilan perempuan dalam dewan mencapai 30 %. Artinya keterwakilan perempuan dalam politik nasional memang masih kurang jumlah. Bahkan di tingkat daerah perempuan hanya 350 orang dari total 10.250 anggota DPRD di seluruh Indonesia. Secara umum perempuan Indonesia sangat membutuhkan ruang yang lebih luas dalam mengakses hak politiknya, baik dalam ranah legislatif maupun eksekutif.
Pertanyaannya, mengapa partisipasi politik perempuan demikian rendah jika dibanding dengan laki-laki? Itulah pertanyaan yang akan dijawab dalam buku Perempuan, Agama & Demokrasi ini. Dengan data-data yang cukup meyakinkan para penulis buku ini berusaha menjawab persoalan seputar pertanyaan di atas. Secara umum alasannya terbagi dalam tiga hal.

Pertama,budaya yang belum sepenuhnya memberikan ruang secara luas kepada perempuan dalam bidang politik. Secara umum tradisi yang berkembang di Nusantara yang memandang bahwa perempuan secara kodrati harus selalu dipimpin oleh laki-laki, bukan sebaliknya.
Keduastruktur yang tidak memberikan ruang akses pada perempuan. Bahkan struktur politik Indonesia adalah struktur politik bias laki-laki, sehingga secara salah menempatkan perempuan tak lebih sebagai pelengkap saja. Orang kebanyakan ternyata masih enggan memberikan kesempatan secara luas pada perempuan untuk berkarir di bidang politik.
Dan terakhir, yang tak kalah pentingnya adalah soal tafsir agama yang bias gender, sehingga banyak sekali teks-teks agama yang ditafsirkan secara misoginis, menaruh kebencian pada kaum perempuan, bukan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Kitab Suci yang menyatakan setiap umat manusia setara di hadapan Tuhan, kecuali keimanan yang membedakannya seringkali dipelintir dengan dalil lainnya tatkala perempuan akan menjadi pemimpin, dengan mengatakan jika meletakkan kepemimpinan pada perempuan maka tunggulah kehancurannya!
Tiga kenyataan itulah yang membuat posisi perempuan dalam hal partisipasi politiknya di Indonesia tidak setara. Wacana politik perempuan dengan kuota 30 % masih dalam tataran wacana, karena realisasinya banyak partai politik yang enggan menerapkannya dengan pelbagai alasan yang kadang dibuat-buat, sekalipun terkesan tidak masuk akal.
Mengetahui kondisi riil di lapangan seperti itu maka sudah seharusnya ormas-ormas keagamaan yang punya pengaruh berperan aktif dalam melakukan gerakan agar partisipasi politik perempuan dari jalur keagamaan bisa dapat direalisasikan. Menurutu Nasr Hamid Abu Zayd, Wacana perempuan bukan hanya wacana jenis kelamin, bukan pula problem kemunduran sosial atau kemunduran berpikir. Semua itu merupakan aspek-aspek yang diproyeksikan dalam menganalisis seluruh problem tersebut, sebagai sebuah problem yang bisa disebut "problem otoritas politik" dalam hubungannya dengan sejarah manusia sejak permulaan sejarah Arab. Dan itulah sesungguhnya akar krisis sejarah perempuan Arab-Islam.

Melihat betapa dominannya peran agama dalam kaitannya dengan problem partisipasi perempuan, Robert Hefner menyarankan kepada masyarakat Indonesia untuk membangun peradaban yang setara, laki-perempuan, sebab itu sebetulnya yang merupakan problem khas masyarakat multikultural seperti Indonesia. Bagaimana agar problem-problem tersebut direspon secara bersama-sama terutama di kalangan muslim Indonesia, sebab muslim Indonesia bisa diharapkan menjadi basis bagi tumbuhnya demokrasi yang berkeadaban
Dalam buku bunga rampai ini, pembaca akan mendapatkan segudang informasi penting. Dengan kecerdasan khas intelektual para penulis menyuguhkan berbagai macam wacana yang terkait dengan doktrin-doktrin keagamaan yang selama ini dianut, sehingga menempatkan perempuan pada "kelas dua". Dalam buku ini pembaca juga akan disuguhi beragam pemikiran dari para aktivis perempuan lintas agama yang bergelut dalam masalah kesetaraan gender di Indonesia.
Buku ini merupakan refleksi bersama dari orang yang masih peduli terhadap isu-isu perempuan, karena perempuan Indonesia masih kurang mendapatkan ruang dalam ranah sosial-politik. Sebagai makhluk sosial perempuan dan laki-laki saling membutuhkan, saling melengkapi dan saling memperkaya satu sama lain. Karenanya, bukan persaingan dan pertentangan yang harus dikedepankan, melainkan kerja sama secara maksimal dengan melibatkan nilai-nilai feminitas dalam percaturan masa depan demokrasi, yaitu demokrai yang menggnakan empati, simpati dan hati tulus penuh kasih sayang keibuan! Itulah yang dibutuhkan masa depan demokrasi kita, dan itulah sumbangan penting kehadiran perempuan dalam dinamika demokrasi kita. (Hal 33)
Sebagai akhir, hampir menimpa pada buku bunga rampai, yaitu banyak terjadi pengulangan bahasan serta minimnya tempat membuat buku ini tidak tuntas dalam menjawab pertanyaan elementer di atas. Namun bagaimanapun buku ini tetap layak dibaca sebagai bahan perenungan terhadap nasib perempuan Indonesia ke depan, agar kemudian, kesalahan-kesalahan di masa lalu tidak lagi terjadi pada saat ini. Sehingga kemudian kesejahteraan umum sebagai tujuan utama demokrasi bisa menjadi kenyataan.
Resensi ini katanya redaktur Koran Jakarta dimuat pada hari Senin 4 Mei 2008

Saturday, March 15, 2008

Menyingkap Perselingkuhan Politik Agama

Judul : Devil's Game
Penulis : Robert Dreyfuss
Penerbit : SR-Ins Publishing, Yogyakarta.
Cetakan : I, Maret 2007
Tebal : lviii + 487 halaman.

Jihad di abad modern bukanlah kita mencari mati di jalan Allah akan tetapi bagaimana kita bisa hidup bersama-sama di jalan Allah.
(Gamal al-Bana, xxix, 2007)

Dalam penulisan sejarah perang dingin dan tatanan dunia baru, terdapat satu episode penting yang tidak terekam, yaitu sejarah tentang Amerika Serikat yang mendanai dan mendorong aktivis fundamentalisme Islam sayap kanan yang terkadang dilakukan secara terbuka dan vulgar, maupun secara secret operation. Kehadiran buku Devil's Game ini berupaya mengisi missing link yang sangat vital tersebut.
Dikatakan vital, karena kebijakan yang tidak populer di khalayak publik ini telah berlangsung lebih dari enam dekade dan memicu munculnya terorisme Islam Fundamentalis sebagai sebuah fenomena global. Hegemoni Amerika yang tengah di bangun di Timur Tengah dan Asia Selatan, sebagian memang didesain untuk berpihak kepada kekuatan Islam politik dan, tentu saja, ini diharapkan oleh para arsitek dan thing-tanknya. Namun demikian, secara taktis semua itu membuktikan adanya sebuah permaian iblis dan sangatlah terlambat jika pasca 11 September 2001, Washington baru menyadari miskalkulasi strateginya.
Buku ini adalah buku yang berusaha menyingkap persingkuhan Agama (Islam) dan politik. Di mana pemerintah Amerika berusah mati-matian membendung pengaruh Uni Soviet di dunia internasional. Salah satu caranya adalah dengan persengkokolan Amerika dengan kelompok Islam Kanan yang radikal. Dengan bantuan dana dari Amerika para pemimin kelompok-kelompok islam ini merekrut besar-besaran pengikutnya yang sangat fanatik.
Buku ini adalah buku yang cukup kontroversial di mata dunia, khususnya dunia Islam. Dengan data-data yang akurat dipadu dengan analisis yang tajam membuat buku ini benar-benar mencengangkan orang yang membacanya. Dengan membaca buku ini orang akan tahu mata rantai atau asal-muasal terorisme dunia ang diharamkan keberadaannya oleh Barat beserta antek-anteknya.
Dengan buku ini setidaknya pembaca akan sadar bahwa terorisme yang mereka gembor-gembor sebagai sesautu yang harus dimusuhi ternya mereka sendiri yang melahirkan. Terorisme adalah anak haram yang tak diinginkan keberadaannya sehingga dengan tega sang Ibu membunuh bayi itu. Tapi si Ibu ternyata keliru, anak yang dia anggap sebagai makhluk tak berdaya itu ternyata kuat yang tak mudah dia bunuh. Secara keji dia meneriakkna bahwa sang anak harus dibunuh demi kemaslahatan masyarakat.

Memperkenalkan ESQ dalam Dinamika Kehidupan

Judul : Inspiring Heart.
Pengarang : Imron Andri Yuliansyah. & M. Ilham Marzuq.
Penerbit : Galangpress, Yogyakarta.
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 145 halaman.

Manusia bermimpi tidak hanya waktu ia tidur. Menurut saya mimpi adalah bentuk lain dari kreativitas. Menjadi kreatif tidak kenal siang atau malam. Ada banyak pekerjaan yang masih punya ruang untuk inspirasi, namun banyak juga pekerjaan yang menyita segalanya. Pekerjaan tanpa mimpi, atau tanpa waktu untuk bermimpi, adalah pekerjaannya robot. Bukan manusia.
(Dee, Supernova: 22)


Kesuksesan adalah suatu yang pasti menjadi impian setiap orang. Entah itu rakyat biasa, pejabat, konglomerat, politisi, serta Presiden sekalipun. Sebab tujuan primer manusia hidup adalah mencari, mengejar dan mewujudkan impian itu. Siapa yang menyangka jika kertas yang kemudian menjadi buku yang ada baca ini adalah bagian dari impian seseorang yang kemudian meruang dan mewaktu berupa buku bacaan.
Dari ilustrasi di atas sepertinya kesuksesan menuntut seseorang untuk selalu menggunakan IQ, EQ, serta SQ sebagai jalan menatap masa depan secara cermat. Tapi untuk menemukan kesuksesan yang benar-benar sukses itu, sangat diperlukan adanya ikatan satu sama lain, antara IQ, EQ, serta SQ, sebab dari ketiga hal tersebut bila tidak seimbang maka kemudian akan menimbulkan Miscomunication yang menyebabkan disinformasi satu sama lain.
Saat ini muncul ide cemerlang mengenai bagaimana menemukan kesuksesan yang benar-benar sukses. Ide itu adalah ESQ (Emotional Spiritual Quotient), yakni sintesis dari EQ dan SQ yang telah ada sebelumnya. Menurut Ari Ginanjar Agustin, seorang pakar sekaligus trainer, mengatakan bahwa ESQ merupakan metode dan konsep yang jelas untuk menjawa kekosongan batin tersebut. ESQ merupakan konsep universal yang mampu mengantarkan pada predikat yang memuaskan bagi dirinya sendiri dan orang lain. ESQ pula yang dapat menghambat segala hal yang kontra produktif terhadap kemajuan umat manusia”. (hal 15)
Berangkat dari sinilah buku yang berjudul lengkap Inspiring Heart; Hidup Sukses Dengan Kecerdasan Emosional Spiritual karangan duet Imron Andri Yuliansyah dan M. Ilham Marzuq ini hadir di tengah sidang pembaca. Dalam buku ini penulis coba mengulas sekaligus menganalisis ESQ secara mendalam. Dengan menggunakan pisau analisis yang tajam, penulis bisa membawa pembaca tidak hanya pada pemahaman ESQ secara tekstual saja, tapi lebih kepada pengalaman empiris dengan ESQ
Dalam buku ini, penulis mengatakan bahwa ESQ mampu membawa manusia ke alam yang lebih tinggi, karena memang ESQ bukan hanya sebuah bentuk hubungan kecerdasan yang terpisah, namun lebih kepada “jalan lain” yang di luar kendali manusia (transenden) mampu “memberikan” apa saja termasuk kesuksesan. (Hal 35)
Dalam hal ini penulis mengilustrasikan mengenai hal itu, dalam kisah seorang penjual bubur ayam yang tak memiliki kecakapan (kompetensi) atau IQ yang memadai, namun terlepas dari kekurangan itu, ia selalu menjual buburnya dengan keyakinan bahwa yang dilakukannya adalah ibadah. Dengan niat, ikhtiar, doa serta ketulusan hatinya, ia selalu menikmati hidupnya. Hingga waktu sang ibu ingin naik haji. Keinginan itu sangat kuat. Dalam hati ia bertekad memenuhi keinginan ibunya, namun kondisi ekonomi yang pas-pasan tidak bisa mewujudkan keinginan itu. Namun ia tetap ingin mewujudkan keinginan ibunya. Oleh karena itu, ia selalu giat menabung demi tercapainya niat mulia ibunya, dengan tidak lupa selalu berdoa pada Tuhan. Sehingga niat mulia ibunya terkabulkan dengan cara yang tak terduga, yaitu berupa menang undian di Bank tempatnya menabung dengan rutin. (Hal 19)
Berangkat dari cerita itulah, konsep ESQ di atas teraplikasi dengan baik. Menurut penulis, keinginan yang kuat, postive thinking, usaha keras, dan do’a yang tiada henti mampu menembus suatu yang di luar jangkauan pikiran manusia. Semua bisa diwujudkan dengan keyakinan.
Dari cerita di atas, tentu dapat semacam inspirasi baru mengenai pentingnya kekuatan lain di luar kemampuan akal pikiran kita (transenden). Media itulah yang diejawantahkan oleh ESQ, dengan berusaha (ikhtiar) dan do'a. sebab menurut penulis ESQ merangsang munculnya kemampuan emosi yang stabil dan sepritual yang mendalam.
Stimulai ESQ untuk mengeluarkan God Spot (suara Hati) itu menurut penulis merupakan ejawantah dari enam Rukun Iman dan lima Rukun Islam, antara lain: Pertama, sikap Zero Mind, memiliki Mental Building, memiliki Personal Strength, dan yang terakhir Social Strength.
Dengan empat poin itu diharapkan seseorang bisa mewujudkan sinergi dengan orang lain atau lingkungan dalam situasi dan kondisi apa pun. Oleh karena itu, IQ, EQ, serta SQ inilah adalah kekuatan yang bisa mendorong seseorang untuk menjadi seorang yang sukses sejati, karena dengan menggabungkan ketiga kekuatan itu segala sesuatu pasti akan terjadi di luar kehendak dan pikiran manusia.
Buku ini merupakan buku yang sangat provokatif. Dengan cerita-cerita yang disuguhkan, penulis mampu membuatt pembaca termotivasi yang kemudian menjadi optimis dalam menjalankan roda kehidupan mereka. Di ranah Indonesian buku ini terbilang baru yang mengangkat ESQ sebagai tema. Kalau diperhatikan hanya beberapa nama yang memang sense terhadap bidang kajian ini. Oleh karenanya buku ini merupakan sumbangan berharga bagi kalangan pembaca Indonesia. Namun, tak menutup kemungkinan buku ini jauh dari kekurangan. Tidak adanya indeks bisa membuat pembaca kebingungan dalam mencari kata yang diinginkan. Tapi buku ini tetap layak untuk dibaca sekaligus dipelajari dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tulisan ini pernah dijanjikan akan dimuat oleh salah satu koran, tapi sampai sekarang belum menjadi kenyataan .

IPDN: Sebuah Potret BuramPendidikan Indonesia

Judul : Kampus Maut
Penulis : Mesti Arnanda nasution & Agus Suryantoro
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 201 halaman.

Terbunuhnya salah satu praja IPDN, Cliff Muntu, yang diakibatkan oleh pemukulan yang dilakukan seniornya beberapa waktu lalu kian mencoreng citra pendidikan Indonesia. Pasalnya praja yang asalnya dididik untuk menjadi pengayom rakyat itu, kini malah menampakkan wajah yang mengerikan, menjadi pembunuh. Ironisnya, ini bukan pertama kali terjadi di IPDN.

Menurut Inu Kencana, salah satu pengajar di kampus itu, sedikitnya ada sekitar tiga puluh lima korban yang meninggal di IPDN, dalam priode 1990-an hingga sekarang. Dari jumlah itu, 17 di antaranya meninggal secara tak wajar. (hal 74). Namun paparnya lagi, yang hanya diberitakan hanya lima puluh persennya saja. Jawa Pos (9/04/07).

Adanya fakta seperti itu menunjukkan bahwa pihak birokrat IPDN tertutup terhadap media. Ini jelas-jelas melanggar UU tentang kebebasan Pers.

Kasus ini menarik karena yang melakukannya adalah para praja senior yang ada di IPDN. Kalau pelakunya adalah senior yang jelas yang jadi korban pastinya adalah yunior. Betapa mengakarnya budaya senioritas versus yunioritas di negeri Indonesia ini, sehingga suatu yang lumrah jika para senior memperlakukan adik-adik kelas mereka sebagai babu bagi para senior.
Sebagai kampus bagi calon praja sangat ironis memang jika budaya represip itu dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Mengingat calon praja itu nantinya akan menjadi pemimpin di daerah masing-masing, yang notabene menjadi panutan bagi masyarakat yang dipimpinnya.

Sebagai sebuah kampus pemerintah, IPDN sudah seharusnya menghilangkan cara-cara militeristik, karena setiap yang berbau militeristik identik dengan kekerasan dan itu sangat tidak wajar jika perilaku militer itu diterapkan pada siswa praja dari beberapa daerah.

Mungkin berangkat dari semua itu lah buku Kampus Maut ini terbit. Penulisnya yang notabene sudah sangat berpengalaman dalam dunia jurnalistik khsususnya berita menambah daya tarik buku ini. Buku investigasi ini berusaha mengungkap peristiwa-peristiwa yang lepas dari kamera wartawan. Dengan nara sumber yang meyakinkan penulis mampu memberikan konstribusi terhadap deretan fakta seputar kejadian kelam kampus IPDN itu.

Buku ini merupakan buku hasil laporan investigasi penulis di lapangan. Tentunya butuh tenaga extra keras agar buku ini bisa dihadirkan di hadapan sidang pembaca. Namun ada yang mengganjal ketika membaca buku ini. Berita-betita yang disajikan sepertinya terlalu berat sebelah terhadap satu pihak. Terlihat misalnya dalam hasil wawancaranya sedikit saja laporan yang membela kampus IPDN. Dalam buku ini IPDN seperti tersangka kejahatan yang terbukti menjadi pecundang, tanpa bisa membela dirinya. Bahkan pihak rektorat pun yang notabene punya otoritas terhadap laporan ini sepertinya dinomorduakan. Buku ini jelas terlalu berat sebelah terhadap suatu pihak yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan kepentinagn. Memang kita harus menghargai usaha keras yang dilakukan oleh Inu Kencana, salah satu nara sumber, tapi kita juga harus tahu selain Inu Kencana masih ada ribuan saksi yang juga punya otoritas penuh terhadap kampus kesayangan mereka.

Dalam buku ini penulis tampaknya melupakan itu semua. Dengan seenak perutnya penulis menggiring pembaca pada satu kesimpulan bahwa semua yang dikatakan Inu Kencana adalah benar dan tak bisa dibantah. Terbukti misalnya tuduhan terhadap Dosen perempuan yang dianggap melakukan seks bebas terhadap para Praja itu. Di dalam buku ini tidak cukup diberikan porsi kepada mereka. Mereka hanya diceritakan sekilas, itu pun dari orang ketiga. Seharusnya penulis lebih jeli dalam menulis laporan. Pertimbangan pun sangat diperlukan di sini. Satu-satunya pembelaan dari pihak Rektorat hanyalah yang dikatakan oleh PR III yang diduga menandatangani untuk menyuntik jenazah Clip Muntu dengan Formalim.

Kesalahan terbesar terjadi pada penulisan judul, Kampus Maut. Membaca judulnya sudah membuat semua orang takut sekaligus bertanya, sebegitu parahkah kampus IPDN sehingga begitu tega dijuluki Kampus Maut oleh penulis buku ini.

Memang tak bisa dipungkiri kejadian yang terjadi di kampus IPDN memang merupakan sebuah potret buram pendidikan Indonesia. Tapi yang harus dilakukan kemudian bukannya membubarkan kempus itu. Kita semua tahu bahwa IPDN adalah impian dari orang-orang di Indonesia yang kemudian diharapkan lulusan yang berasal dari kampus ini bisa melakukan pencerahan terhadap daerahnya. Jadi, menuntut pembubarannya kampus adalah keinginan yang sangat egois yang buta terhadap realitas sekitar.

Berbagai respons terhadap kasus itu cukup menggembirakan, mengingat ini adalah potret baik-tidaknya pendidikan di Indonesia. Apalagi IPDN adalah satu-satunya perguruan tinggi pemerintah yang disediakan khusus untuk menjadi praja di daerah masing-masing. Tapi sepertinya respon itu terlalu berlebihan, bahkan ada yang megusulkan penutupan kampus IPDN. Benarkah itu berjalan dengan wajar, bukankah tidak mungkin respon yang over itu terselip kepentingan segelintir oknum? Realitas lah yang akan menjawab itu.

Namun terlepas dari kekurangannya, buku ini tetap merupakan sumbangan yang berharga bagi terciptanyanya pendidikan yang mencerdaskan bagi moral sedini mungkin. Namun kehati-hatian penulis adalah salah satu yang harus menjadi pertimbangan ke depan.

Monday, February 11, 2008

KALAH dan MENANG


Apakah kekalahan harus ditangisi? Para jago bola yang harga transferannya miliaran, sering nampak menangis di layar kaca, kalau kesebelasannya kalah.
Berbeda sekali dengan para tokoh politik. Kalau kalah, mereka semakin lebar membuka mulut. Lalu berteriak mengeluarkan berbagai sumpah-serapah. Dan menuding dosa dan kesalahan ada di pihak musuhnya.
Apakah kekalahan itu rasa sakit yang tak tertahankan sehingga kita harus mencari keseimbangan dengan meraung seperti binatang? Atau lebih merupakan kenyataan yang menunjukkan harga sebenarnya dari nilai intrinsik mata uang kita sehingga kita jadi menangisi diri kita yang tak seperti yang kita lamun-lamunkan?
Mestikah kita memuji lawan terlalu besar, terlalu canggih, sehingga perlawanan kita yang luar biasa patah. Dengan kata lain, perlukah membuktikan bahwa kita sudah menunjukkan kejantanan kita yang tidak tercela. Kita sudah berjuang habis-habisan, tetapi memang lawan satu kelas di atas sehingga memang sudah adil kita kalah. Walhasil, semacam apologi, semacam hiburan. Tapi, diam-diam juga semacam pujian kepada diri sendiri. Bahwa kita sebenarnya cukup hebat, hanya nasib lawan lebih mujur.
Ataukah kita harus membongkar berbagai kecurangan, ketidakadilan, faktor-faktor di luar perhitungan, sehingga kekalahan kita adalah produk dari ketidakadilan. Jadi, meskipun kalah, sebenarnya kita menang. Kecurangan, rekayasa, ketidakadilanlah, yang sudah menyunat kita kalah.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, mungkin tidak akan rnenjadi persoalan bagi orang yang baru melangkah. la tidak punya beban. Kalah sudah menjadi kewajibannya sebagai pemula. la memang seharusnya keok, karena ia rawan pengalaman, rawan ilmu. Bagi orang seperti itu, kekalahan adalah janji. Justru karena sempat mengalami kalah, ia punya peluang untuk introspeksi sehingga bisa menjadi lebih jaya. Seperti kata orang pintar-pintar, kekalahan adalah peluang ke arah kemenangan.
Tetapi, celakalah kalau kekalahan itu terjadi di pertengahan jalan ke puncak. Apalagi di detik-detik terakhir, ketika kursi kemenangan sudah hampir ditelan. Itu akan menjadi tragedi yang memproduksi rasa sakit berbaur dengan frustrasi dan bukan tidak mungkin mengandaskan manusia bersangkutan, menjadi tenggelam selama-lamanya.
Walhasil, bukan kekalahan itu sendiri, tetapi momen terjadinya dan kondisinya yang membawa derita. Bayangkan lagi kekalahan yang terjadi di lapangan bola. Kekalahan itu bisa menjadi semacam pembunuhan bagi pelatihnya, bagi para pemainnya. Tetapi, sama sekali tidak berarti apa-apa bagi kita yang hanya melihat dari ribuan kilometer. Apalagi kalau sejak awal kita hanya menonton dan tidak berpihak.
Tetapi itu, tidak sepenuhnya benar. Ketika John Lennon atau Elvis Presley mati, beberapa orang fansnya bunuh diri. Padahal, mereka jauh dari tempat kejadian dan tidak ada hubungan keluarga dengan kedua superstar itu.
Bagaimana cara belajar kalah, penting buat semua orang. Khususnya dalam sebuah kompetisi. Dalam kompetisi, yang menang hanya satu, selebihnya kalah. Tetapi, siapa bilang menjaga yang kalah lebih penting dari menjaga yang menang. Sering sekali bibit kekacauan bermula dari tidak pintarnya yang rnenang menjaga yang kalah.
Diprediksi bahwa tidak perlu ada ilmu untuk menjaga yang menang, karena dia sudah senang. Dia bisa mengurus dirinya. Yang perlu adalah bagaimana membujuk agar mayoritas yang kalah itu tidak menjadi frustrasi, sakit hati, dan akhirnya
main gila.
Kekalahan itu membuat yang menang jadi mengumbar kemenangan dirinya. Sehingga, yang kalah terpancing atau lebih tenggelam lagi pada sakit hatinya. Buntutnya adalah menang dengan cara lain. Tawuran.
Contoh di atas mencoba menjelaskan bahwa kalah tetap persoalan semua orang. Yang jauh maupun yang dekat. Yang kalah maupun yang menang. Semua memerlukan ilmu pengobatan.
Tradisi Timur sebenarnya punya jurus "mengalah", jurus mandraguna yang menjadi jawaban piawai, tapi sayangnya kalau diucapkan sekarang terasa kuno. Kita selalu diberitahu oleh orang tua agar mau mengalah terhadap anak yang lebih kecil. Tetapi, kepada yang lebih kecil, juga sering dimintakan agar mengalah kepada kakaknya yang lebih besar. Jadi tidak dikhususkan kepada yang kalah.
Tradisi mengalah justru lebih ditujukan kepada yang menang. Mengalah berarti berpura-pura kalah. Sekadar menjaga perasaan yang kalah agar terobati dan merasa dirinya menang. Padahal, yang menang tetap saja yang lebih kuat.
Jadi, mengalah adalah etika orang yang menang. Agar membatasi kemenangannya dalam pengertian kemenangan batin saja. Sehingga, dalam eksekusinya, terjadilah tingkah-polah yang berbeda dan menimbulkan harmoni. Namun, tindakan sembunyi dan meredam ini menjadi bumerang, karena para pemenang akhirnya benar-benar kelihatan kalah. Minimal tak mampu menikmati kemenangannya, karena dilarang oleh harmoni. Mereka pun tertekan. Apa gunanya menang kalau tidak ada yang kalah?
Maka ramai-ramailah mereka yang menang melihat ke Barat. Menganggap bahwa di sana lebih banyak ada kejujuran. Karena, di situ menang adalah menang dan kalah adalah kalah. Mengekspresikan kemenangan adalah hak asasi. Tidak ada anjuran buat yang menang untuk berpura-pura kalah. Karena, itu namanya hipokrit. Sejenis penipuan. Yang menang harus menang dan yang kalah harus kalah, supaya terjadi prosespembelajaran.
Maka apa yang dulu disebut SARA pun, kini dipersalahkan. Timbang rasa dan basa-basi pun dianggap sebagai dosa yang sudah menimbun rasa tertekan. Setelah puluhan tahun, rasa tertekan itu diandaikan sudah menjadi padat, berubah jadi gumpalan energi yang kemudian meledak di mana-mana. Maka hancurlah persatuan.
Keroposnya persatuan dianggap sebagai ekspresi orang meloncat dari penjara tekanan pada hak asasinya. Mereka mengibarkan kemerdekaan. Individu menjadi lambang kebenaran yang harus diberikan kesempatan mengumbar kemerdekaan dan menuntut hak sepenuhnya-penuhnya.
Mengalah sekarang menjadi kejahatan dan dosa. Dari harmoni bukan lagi estetika tetapi disharmoni. Segalanya bertolak belakang. Pergulingan nilai-nilai begitu deras dan menghebat terpacu oleh krismon.
"Iman kita sudah runtuh bersama-sama sekarang," kata Amat. "Kita menjadi orang yang lebih Barat dari orang Barat. Kita menjadi lebih bule dari orang bule. Sementara orang Barat mempelajari Timur sebagai kekayaan rasa mereka untuk meluhurkan pencapaian teknologi mereka, kita mencampakkannya. Lalu berguru ilmu mengalah yang mereka beri nama demokrasi, tapi yang kita telan dengan arti: tidak boleh kalah."



SEBAGAI ORANG PALEMBANG DAN INDONESIA, SELAMAT UNTUK SRIWIJAYA FC YANG TELAH MEMENANGI KOMPETISI LIGA INDONESIA TAHUN 2007


Diadaptasi dengan sedikit perubahan dari Kalah dalam Putu Wijaya Goro-Goro, 2002