Reviews Buku

Saturday, March 15, 2008

IPDN: Sebuah Potret BuramPendidikan Indonesia

Judul : Kampus Maut
Penulis : Mesti Arnanda nasution & Agus Suryantoro
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 201 halaman.

Terbunuhnya salah satu praja IPDN, Cliff Muntu, yang diakibatkan oleh pemukulan yang dilakukan seniornya beberapa waktu lalu kian mencoreng citra pendidikan Indonesia. Pasalnya praja yang asalnya dididik untuk menjadi pengayom rakyat itu, kini malah menampakkan wajah yang mengerikan, menjadi pembunuh. Ironisnya, ini bukan pertama kali terjadi di IPDN.

Menurut Inu Kencana, salah satu pengajar di kampus itu, sedikitnya ada sekitar tiga puluh lima korban yang meninggal di IPDN, dalam priode 1990-an hingga sekarang. Dari jumlah itu, 17 di antaranya meninggal secara tak wajar. (hal 74). Namun paparnya lagi, yang hanya diberitakan hanya lima puluh persennya saja. Jawa Pos (9/04/07).

Adanya fakta seperti itu menunjukkan bahwa pihak birokrat IPDN tertutup terhadap media. Ini jelas-jelas melanggar UU tentang kebebasan Pers.

Kasus ini menarik karena yang melakukannya adalah para praja senior yang ada di IPDN. Kalau pelakunya adalah senior yang jelas yang jadi korban pastinya adalah yunior. Betapa mengakarnya budaya senioritas versus yunioritas di negeri Indonesia ini, sehingga suatu yang lumrah jika para senior memperlakukan adik-adik kelas mereka sebagai babu bagi para senior.
Sebagai kampus bagi calon praja sangat ironis memang jika budaya represip itu dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Mengingat calon praja itu nantinya akan menjadi pemimpin di daerah masing-masing, yang notabene menjadi panutan bagi masyarakat yang dipimpinnya.

Sebagai sebuah kampus pemerintah, IPDN sudah seharusnya menghilangkan cara-cara militeristik, karena setiap yang berbau militeristik identik dengan kekerasan dan itu sangat tidak wajar jika perilaku militer itu diterapkan pada siswa praja dari beberapa daerah.

Mungkin berangkat dari semua itu lah buku Kampus Maut ini terbit. Penulisnya yang notabene sudah sangat berpengalaman dalam dunia jurnalistik khsususnya berita menambah daya tarik buku ini. Buku investigasi ini berusaha mengungkap peristiwa-peristiwa yang lepas dari kamera wartawan. Dengan nara sumber yang meyakinkan penulis mampu memberikan konstribusi terhadap deretan fakta seputar kejadian kelam kampus IPDN itu.

Buku ini merupakan buku hasil laporan investigasi penulis di lapangan. Tentunya butuh tenaga extra keras agar buku ini bisa dihadirkan di hadapan sidang pembaca. Namun ada yang mengganjal ketika membaca buku ini. Berita-betita yang disajikan sepertinya terlalu berat sebelah terhadap satu pihak. Terlihat misalnya dalam hasil wawancaranya sedikit saja laporan yang membela kampus IPDN. Dalam buku ini IPDN seperti tersangka kejahatan yang terbukti menjadi pecundang, tanpa bisa membela dirinya. Bahkan pihak rektorat pun yang notabene punya otoritas terhadap laporan ini sepertinya dinomorduakan. Buku ini jelas terlalu berat sebelah terhadap suatu pihak yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan kepentinagn. Memang kita harus menghargai usaha keras yang dilakukan oleh Inu Kencana, salah satu nara sumber, tapi kita juga harus tahu selain Inu Kencana masih ada ribuan saksi yang juga punya otoritas penuh terhadap kampus kesayangan mereka.

Dalam buku ini penulis tampaknya melupakan itu semua. Dengan seenak perutnya penulis menggiring pembaca pada satu kesimpulan bahwa semua yang dikatakan Inu Kencana adalah benar dan tak bisa dibantah. Terbukti misalnya tuduhan terhadap Dosen perempuan yang dianggap melakukan seks bebas terhadap para Praja itu. Di dalam buku ini tidak cukup diberikan porsi kepada mereka. Mereka hanya diceritakan sekilas, itu pun dari orang ketiga. Seharusnya penulis lebih jeli dalam menulis laporan. Pertimbangan pun sangat diperlukan di sini. Satu-satunya pembelaan dari pihak Rektorat hanyalah yang dikatakan oleh PR III yang diduga menandatangani untuk menyuntik jenazah Clip Muntu dengan Formalim.

Kesalahan terbesar terjadi pada penulisan judul, Kampus Maut. Membaca judulnya sudah membuat semua orang takut sekaligus bertanya, sebegitu parahkah kampus IPDN sehingga begitu tega dijuluki Kampus Maut oleh penulis buku ini.

Memang tak bisa dipungkiri kejadian yang terjadi di kampus IPDN memang merupakan sebuah potret buram pendidikan Indonesia. Tapi yang harus dilakukan kemudian bukannya membubarkan kempus itu. Kita semua tahu bahwa IPDN adalah impian dari orang-orang di Indonesia yang kemudian diharapkan lulusan yang berasal dari kampus ini bisa melakukan pencerahan terhadap daerahnya. Jadi, menuntut pembubarannya kampus adalah keinginan yang sangat egois yang buta terhadap realitas sekitar.

Berbagai respons terhadap kasus itu cukup menggembirakan, mengingat ini adalah potret baik-tidaknya pendidikan di Indonesia. Apalagi IPDN adalah satu-satunya perguruan tinggi pemerintah yang disediakan khusus untuk menjadi praja di daerah masing-masing. Tapi sepertinya respon itu terlalu berlebihan, bahkan ada yang megusulkan penutupan kampus IPDN. Benarkah itu berjalan dengan wajar, bukankah tidak mungkin respon yang over itu terselip kepentingan segelintir oknum? Realitas lah yang akan menjawab itu.

Namun terlepas dari kekurangannya, buku ini tetap merupakan sumbangan yang berharga bagi terciptanyanya pendidikan yang mencerdaskan bagi moral sedini mungkin. Namun kehati-hatian penulis adalah salah satu yang harus menjadi pertimbangan ke depan.

No comments: