Reviews Buku

Tuesday, May 06, 2008

Perempuan dalam Himpitan Agama dan Politik

Oleh : Akhmad Kusairi
Judul : Perempuan, Agama & Demokrasi
Editor : Subkhi Ridho
Penerbit : LSIP, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : xvi + 277 halaman.

Dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia, perempuan selalu mempunyai andil yang sangat penting. Hal itu dibuktikan oleh peran aktif perempuan dalam berbagai pergerakan nasional di Nusantara baik pada masa pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan. Pada dua masa ini, kita kenal nama seperti Cut Nyak Dien, Cut Meutia, Dewi Sartika, RA Kartini dan masih banyak lagi yang lainnya. Namun peran penting para perempuan ini seringkali dipandang sebelah mata oleh orang kebanyakan. Keterlibatan perempuan dalam perjuangan pergerakan masih dianggap tidak sebanding dengan laki-laki, sekalipun sejatinya banyak perempuan yang gugur tetapi tidak tercatat dalam rekaman sejarah.
Perlakuan diskriminatif terhadap perempuan tersebut hingga sekarang masih terus berlanjut. Memang secara teori Partisipasi perempuan dalam politik praktis sudah dijamin dalam pelbagai peraturan. Namun pada praktiknya masih jauh dari harapan, apalagi jika mengetahui perwakilan perempuan dalam DPR hanya 9 % dari 51 % semua penduduk Indonesia.
Ini menjadi ironis, padahal persolan kuota tersebut sudah diatur agar keterwakilan perempuan dalam dewan mencapai 30 %. Artinya keterwakilan perempuan dalam politik nasional memang masih kurang jumlah. Bahkan di tingkat daerah perempuan hanya 350 orang dari total 10.250 anggota DPRD di seluruh Indonesia. Secara umum perempuan Indonesia sangat membutuhkan ruang yang lebih luas dalam mengakses hak politiknya, baik dalam ranah legislatif maupun eksekutif.
Pertanyaannya, mengapa partisipasi politik perempuan demikian rendah jika dibanding dengan laki-laki? Itulah pertanyaan yang akan dijawab dalam buku Perempuan, Agama & Demokrasi ini. Dengan data-data yang cukup meyakinkan para penulis buku ini berusaha menjawab persoalan seputar pertanyaan di atas. Secara umum alasannya terbagi dalam tiga hal.

Pertama,budaya yang belum sepenuhnya memberikan ruang secara luas kepada perempuan dalam bidang politik. Secara umum tradisi yang berkembang di Nusantara yang memandang bahwa perempuan secara kodrati harus selalu dipimpin oleh laki-laki, bukan sebaliknya.
Keduastruktur yang tidak memberikan ruang akses pada perempuan. Bahkan struktur politik Indonesia adalah struktur politik bias laki-laki, sehingga secara salah menempatkan perempuan tak lebih sebagai pelengkap saja. Orang kebanyakan ternyata masih enggan memberikan kesempatan secara luas pada perempuan untuk berkarir di bidang politik.
Dan terakhir, yang tak kalah pentingnya adalah soal tafsir agama yang bias gender, sehingga banyak sekali teks-teks agama yang ditafsirkan secara misoginis, menaruh kebencian pada kaum perempuan, bukan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Kitab Suci yang menyatakan setiap umat manusia setara di hadapan Tuhan, kecuali keimanan yang membedakannya seringkali dipelintir dengan dalil lainnya tatkala perempuan akan menjadi pemimpin, dengan mengatakan jika meletakkan kepemimpinan pada perempuan maka tunggulah kehancurannya!
Tiga kenyataan itulah yang membuat posisi perempuan dalam hal partisipasi politiknya di Indonesia tidak setara. Wacana politik perempuan dengan kuota 30 % masih dalam tataran wacana, karena realisasinya banyak partai politik yang enggan menerapkannya dengan pelbagai alasan yang kadang dibuat-buat, sekalipun terkesan tidak masuk akal.
Mengetahui kondisi riil di lapangan seperti itu maka sudah seharusnya ormas-ormas keagamaan yang punya pengaruh berperan aktif dalam melakukan gerakan agar partisipasi politik perempuan dari jalur keagamaan bisa dapat direalisasikan. Menurutu Nasr Hamid Abu Zayd, Wacana perempuan bukan hanya wacana jenis kelamin, bukan pula problem kemunduran sosial atau kemunduran berpikir. Semua itu merupakan aspek-aspek yang diproyeksikan dalam menganalisis seluruh problem tersebut, sebagai sebuah problem yang bisa disebut "problem otoritas politik" dalam hubungannya dengan sejarah manusia sejak permulaan sejarah Arab. Dan itulah sesungguhnya akar krisis sejarah perempuan Arab-Islam.

Melihat betapa dominannya peran agama dalam kaitannya dengan problem partisipasi perempuan, Robert Hefner menyarankan kepada masyarakat Indonesia untuk membangun peradaban yang setara, laki-perempuan, sebab itu sebetulnya yang merupakan problem khas masyarakat multikultural seperti Indonesia. Bagaimana agar problem-problem tersebut direspon secara bersama-sama terutama di kalangan muslim Indonesia, sebab muslim Indonesia bisa diharapkan menjadi basis bagi tumbuhnya demokrasi yang berkeadaban
Dalam buku bunga rampai ini, pembaca akan mendapatkan segudang informasi penting. Dengan kecerdasan khas intelektual para penulis menyuguhkan berbagai macam wacana yang terkait dengan doktrin-doktrin keagamaan yang selama ini dianut, sehingga menempatkan perempuan pada "kelas dua". Dalam buku ini pembaca juga akan disuguhi beragam pemikiran dari para aktivis perempuan lintas agama yang bergelut dalam masalah kesetaraan gender di Indonesia.
Buku ini merupakan refleksi bersama dari orang yang masih peduli terhadap isu-isu perempuan, karena perempuan Indonesia masih kurang mendapatkan ruang dalam ranah sosial-politik. Sebagai makhluk sosial perempuan dan laki-laki saling membutuhkan, saling melengkapi dan saling memperkaya satu sama lain. Karenanya, bukan persaingan dan pertentangan yang harus dikedepankan, melainkan kerja sama secara maksimal dengan melibatkan nilai-nilai feminitas dalam percaturan masa depan demokrasi, yaitu demokrai yang menggnakan empati, simpati dan hati tulus penuh kasih sayang keibuan! Itulah yang dibutuhkan masa depan demokrasi kita, dan itulah sumbangan penting kehadiran perempuan dalam dinamika demokrasi kita. (Hal 33)
Sebagai akhir, hampir menimpa pada buku bunga rampai, yaitu banyak terjadi pengulangan bahasan serta minimnya tempat membuat buku ini tidak tuntas dalam menjawab pertanyaan elementer di atas. Namun bagaimanapun buku ini tetap layak dibaca sebagai bahan perenungan terhadap nasib perempuan Indonesia ke depan, agar kemudian, kesalahan-kesalahan di masa lalu tidak lagi terjadi pada saat ini. Sehingga kemudian kesejahteraan umum sebagai tujuan utama demokrasi bisa menjadi kenyataan.
Resensi ini katanya redaktur Koran Jakarta dimuat pada hari Senin 4 Mei 2008

Saturday, March 15, 2008

Menyingkap Perselingkuhan Politik Agama

Judul : Devil's Game
Penulis : Robert Dreyfuss
Penerbit : SR-Ins Publishing, Yogyakarta.
Cetakan : I, Maret 2007
Tebal : lviii + 487 halaman.

Jihad di abad modern bukanlah kita mencari mati di jalan Allah akan tetapi bagaimana kita bisa hidup bersama-sama di jalan Allah.
(Gamal al-Bana, xxix, 2007)

Dalam penulisan sejarah perang dingin dan tatanan dunia baru, terdapat satu episode penting yang tidak terekam, yaitu sejarah tentang Amerika Serikat yang mendanai dan mendorong aktivis fundamentalisme Islam sayap kanan yang terkadang dilakukan secara terbuka dan vulgar, maupun secara secret operation. Kehadiran buku Devil's Game ini berupaya mengisi missing link yang sangat vital tersebut.
Dikatakan vital, karena kebijakan yang tidak populer di khalayak publik ini telah berlangsung lebih dari enam dekade dan memicu munculnya terorisme Islam Fundamentalis sebagai sebuah fenomena global. Hegemoni Amerika yang tengah di bangun di Timur Tengah dan Asia Selatan, sebagian memang didesain untuk berpihak kepada kekuatan Islam politik dan, tentu saja, ini diharapkan oleh para arsitek dan thing-tanknya. Namun demikian, secara taktis semua itu membuktikan adanya sebuah permaian iblis dan sangatlah terlambat jika pasca 11 September 2001, Washington baru menyadari miskalkulasi strateginya.
Buku ini adalah buku yang berusaha menyingkap persingkuhan Agama (Islam) dan politik. Di mana pemerintah Amerika berusah mati-matian membendung pengaruh Uni Soviet di dunia internasional. Salah satu caranya adalah dengan persengkokolan Amerika dengan kelompok Islam Kanan yang radikal. Dengan bantuan dana dari Amerika para pemimin kelompok-kelompok islam ini merekrut besar-besaran pengikutnya yang sangat fanatik.
Buku ini adalah buku yang cukup kontroversial di mata dunia, khususnya dunia Islam. Dengan data-data yang akurat dipadu dengan analisis yang tajam membuat buku ini benar-benar mencengangkan orang yang membacanya. Dengan membaca buku ini orang akan tahu mata rantai atau asal-muasal terorisme dunia ang diharamkan keberadaannya oleh Barat beserta antek-anteknya.
Dengan buku ini setidaknya pembaca akan sadar bahwa terorisme yang mereka gembor-gembor sebagai sesautu yang harus dimusuhi ternya mereka sendiri yang melahirkan. Terorisme adalah anak haram yang tak diinginkan keberadaannya sehingga dengan tega sang Ibu membunuh bayi itu. Tapi si Ibu ternyata keliru, anak yang dia anggap sebagai makhluk tak berdaya itu ternyata kuat yang tak mudah dia bunuh. Secara keji dia meneriakkna bahwa sang anak harus dibunuh demi kemaslahatan masyarakat.

Memperkenalkan ESQ dalam Dinamika Kehidupan

Judul : Inspiring Heart.
Pengarang : Imron Andri Yuliansyah. & M. Ilham Marzuq.
Penerbit : Galangpress, Yogyakarta.
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 145 halaman.

Manusia bermimpi tidak hanya waktu ia tidur. Menurut saya mimpi adalah bentuk lain dari kreativitas. Menjadi kreatif tidak kenal siang atau malam. Ada banyak pekerjaan yang masih punya ruang untuk inspirasi, namun banyak juga pekerjaan yang menyita segalanya. Pekerjaan tanpa mimpi, atau tanpa waktu untuk bermimpi, adalah pekerjaannya robot. Bukan manusia.
(Dee, Supernova: 22)


Kesuksesan adalah suatu yang pasti menjadi impian setiap orang. Entah itu rakyat biasa, pejabat, konglomerat, politisi, serta Presiden sekalipun. Sebab tujuan primer manusia hidup adalah mencari, mengejar dan mewujudkan impian itu. Siapa yang menyangka jika kertas yang kemudian menjadi buku yang ada baca ini adalah bagian dari impian seseorang yang kemudian meruang dan mewaktu berupa buku bacaan.
Dari ilustrasi di atas sepertinya kesuksesan menuntut seseorang untuk selalu menggunakan IQ, EQ, serta SQ sebagai jalan menatap masa depan secara cermat. Tapi untuk menemukan kesuksesan yang benar-benar sukses itu, sangat diperlukan adanya ikatan satu sama lain, antara IQ, EQ, serta SQ, sebab dari ketiga hal tersebut bila tidak seimbang maka kemudian akan menimbulkan Miscomunication yang menyebabkan disinformasi satu sama lain.
Saat ini muncul ide cemerlang mengenai bagaimana menemukan kesuksesan yang benar-benar sukses. Ide itu adalah ESQ (Emotional Spiritual Quotient), yakni sintesis dari EQ dan SQ yang telah ada sebelumnya. Menurut Ari Ginanjar Agustin, seorang pakar sekaligus trainer, mengatakan bahwa ESQ merupakan metode dan konsep yang jelas untuk menjawa kekosongan batin tersebut. ESQ merupakan konsep universal yang mampu mengantarkan pada predikat yang memuaskan bagi dirinya sendiri dan orang lain. ESQ pula yang dapat menghambat segala hal yang kontra produktif terhadap kemajuan umat manusia”. (hal 15)
Berangkat dari sinilah buku yang berjudul lengkap Inspiring Heart; Hidup Sukses Dengan Kecerdasan Emosional Spiritual karangan duet Imron Andri Yuliansyah dan M. Ilham Marzuq ini hadir di tengah sidang pembaca. Dalam buku ini penulis coba mengulas sekaligus menganalisis ESQ secara mendalam. Dengan menggunakan pisau analisis yang tajam, penulis bisa membawa pembaca tidak hanya pada pemahaman ESQ secara tekstual saja, tapi lebih kepada pengalaman empiris dengan ESQ
Dalam buku ini, penulis mengatakan bahwa ESQ mampu membawa manusia ke alam yang lebih tinggi, karena memang ESQ bukan hanya sebuah bentuk hubungan kecerdasan yang terpisah, namun lebih kepada “jalan lain” yang di luar kendali manusia (transenden) mampu “memberikan” apa saja termasuk kesuksesan. (Hal 35)
Dalam hal ini penulis mengilustrasikan mengenai hal itu, dalam kisah seorang penjual bubur ayam yang tak memiliki kecakapan (kompetensi) atau IQ yang memadai, namun terlepas dari kekurangan itu, ia selalu menjual buburnya dengan keyakinan bahwa yang dilakukannya adalah ibadah. Dengan niat, ikhtiar, doa serta ketulusan hatinya, ia selalu menikmati hidupnya. Hingga waktu sang ibu ingin naik haji. Keinginan itu sangat kuat. Dalam hati ia bertekad memenuhi keinginan ibunya, namun kondisi ekonomi yang pas-pasan tidak bisa mewujudkan keinginan itu. Namun ia tetap ingin mewujudkan keinginan ibunya. Oleh karena itu, ia selalu giat menabung demi tercapainya niat mulia ibunya, dengan tidak lupa selalu berdoa pada Tuhan. Sehingga niat mulia ibunya terkabulkan dengan cara yang tak terduga, yaitu berupa menang undian di Bank tempatnya menabung dengan rutin. (Hal 19)
Berangkat dari cerita itulah, konsep ESQ di atas teraplikasi dengan baik. Menurut penulis, keinginan yang kuat, postive thinking, usaha keras, dan do’a yang tiada henti mampu menembus suatu yang di luar jangkauan pikiran manusia. Semua bisa diwujudkan dengan keyakinan.
Dari cerita di atas, tentu dapat semacam inspirasi baru mengenai pentingnya kekuatan lain di luar kemampuan akal pikiran kita (transenden). Media itulah yang diejawantahkan oleh ESQ, dengan berusaha (ikhtiar) dan do'a. sebab menurut penulis ESQ merangsang munculnya kemampuan emosi yang stabil dan sepritual yang mendalam.
Stimulai ESQ untuk mengeluarkan God Spot (suara Hati) itu menurut penulis merupakan ejawantah dari enam Rukun Iman dan lima Rukun Islam, antara lain: Pertama, sikap Zero Mind, memiliki Mental Building, memiliki Personal Strength, dan yang terakhir Social Strength.
Dengan empat poin itu diharapkan seseorang bisa mewujudkan sinergi dengan orang lain atau lingkungan dalam situasi dan kondisi apa pun. Oleh karena itu, IQ, EQ, serta SQ inilah adalah kekuatan yang bisa mendorong seseorang untuk menjadi seorang yang sukses sejati, karena dengan menggabungkan ketiga kekuatan itu segala sesuatu pasti akan terjadi di luar kehendak dan pikiran manusia.
Buku ini merupakan buku yang sangat provokatif. Dengan cerita-cerita yang disuguhkan, penulis mampu membuatt pembaca termotivasi yang kemudian menjadi optimis dalam menjalankan roda kehidupan mereka. Di ranah Indonesian buku ini terbilang baru yang mengangkat ESQ sebagai tema. Kalau diperhatikan hanya beberapa nama yang memang sense terhadap bidang kajian ini. Oleh karenanya buku ini merupakan sumbangan berharga bagi kalangan pembaca Indonesia. Namun, tak menutup kemungkinan buku ini jauh dari kekurangan. Tidak adanya indeks bisa membuat pembaca kebingungan dalam mencari kata yang diinginkan. Tapi buku ini tetap layak untuk dibaca sekaligus dipelajari dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tulisan ini pernah dijanjikan akan dimuat oleh salah satu koran, tapi sampai sekarang belum menjadi kenyataan .

IPDN: Sebuah Potret BuramPendidikan Indonesia

Judul : Kampus Maut
Penulis : Mesti Arnanda nasution & Agus Suryantoro
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 201 halaman.

Terbunuhnya salah satu praja IPDN, Cliff Muntu, yang diakibatkan oleh pemukulan yang dilakukan seniornya beberapa waktu lalu kian mencoreng citra pendidikan Indonesia. Pasalnya praja yang asalnya dididik untuk menjadi pengayom rakyat itu, kini malah menampakkan wajah yang mengerikan, menjadi pembunuh. Ironisnya, ini bukan pertama kali terjadi di IPDN.

Menurut Inu Kencana, salah satu pengajar di kampus itu, sedikitnya ada sekitar tiga puluh lima korban yang meninggal di IPDN, dalam priode 1990-an hingga sekarang. Dari jumlah itu, 17 di antaranya meninggal secara tak wajar. (hal 74). Namun paparnya lagi, yang hanya diberitakan hanya lima puluh persennya saja. Jawa Pos (9/04/07).

Adanya fakta seperti itu menunjukkan bahwa pihak birokrat IPDN tertutup terhadap media. Ini jelas-jelas melanggar UU tentang kebebasan Pers.

Kasus ini menarik karena yang melakukannya adalah para praja senior yang ada di IPDN. Kalau pelakunya adalah senior yang jelas yang jadi korban pastinya adalah yunior. Betapa mengakarnya budaya senioritas versus yunioritas di negeri Indonesia ini, sehingga suatu yang lumrah jika para senior memperlakukan adik-adik kelas mereka sebagai babu bagi para senior.
Sebagai kampus bagi calon praja sangat ironis memang jika budaya represip itu dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Mengingat calon praja itu nantinya akan menjadi pemimpin di daerah masing-masing, yang notabene menjadi panutan bagi masyarakat yang dipimpinnya.

Sebagai sebuah kampus pemerintah, IPDN sudah seharusnya menghilangkan cara-cara militeristik, karena setiap yang berbau militeristik identik dengan kekerasan dan itu sangat tidak wajar jika perilaku militer itu diterapkan pada siswa praja dari beberapa daerah.

Mungkin berangkat dari semua itu lah buku Kampus Maut ini terbit. Penulisnya yang notabene sudah sangat berpengalaman dalam dunia jurnalistik khsususnya berita menambah daya tarik buku ini. Buku investigasi ini berusaha mengungkap peristiwa-peristiwa yang lepas dari kamera wartawan. Dengan nara sumber yang meyakinkan penulis mampu memberikan konstribusi terhadap deretan fakta seputar kejadian kelam kampus IPDN itu.

Buku ini merupakan buku hasil laporan investigasi penulis di lapangan. Tentunya butuh tenaga extra keras agar buku ini bisa dihadirkan di hadapan sidang pembaca. Namun ada yang mengganjal ketika membaca buku ini. Berita-betita yang disajikan sepertinya terlalu berat sebelah terhadap satu pihak. Terlihat misalnya dalam hasil wawancaranya sedikit saja laporan yang membela kampus IPDN. Dalam buku ini IPDN seperti tersangka kejahatan yang terbukti menjadi pecundang, tanpa bisa membela dirinya. Bahkan pihak rektorat pun yang notabene punya otoritas terhadap laporan ini sepertinya dinomorduakan. Buku ini jelas terlalu berat sebelah terhadap suatu pihak yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan kepentinagn. Memang kita harus menghargai usaha keras yang dilakukan oleh Inu Kencana, salah satu nara sumber, tapi kita juga harus tahu selain Inu Kencana masih ada ribuan saksi yang juga punya otoritas penuh terhadap kampus kesayangan mereka.

Dalam buku ini penulis tampaknya melupakan itu semua. Dengan seenak perutnya penulis menggiring pembaca pada satu kesimpulan bahwa semua yang dikatakan Inu Kencana adalah benar dan tak bisa dibantah. Terbukti misalnya tuduhan terhadap Dosen perempuan yang dianggap melakukan seks bebas terhadap para Praja itu. Di dalam buku ini tidak cukup diberikan porsi kepada mereka. Mereka hanya diceritakan sekilas, itu pun dari orang ketiga. Seharusnya penulis lebih jeli dalam menulis laporan. Pertimbangan pun sangat diperlukan di sini. Satu-satunya pembelaan dari pihak Rektorat hanyalah yang dikatakan oleh PR III yang diduga menandatangani untuk menyuntik jenazah Clip Muntu dengan Formalim.

Kesalahan terbesar terjadi pada penulisan judul, Kampus Maut. Membaca judulnya sudah membuat semua orang takut sekaligus bertanya, sebegitu parahkah kampus IPDN sehingga begitu tega dijuluki Kampus Maut oleh penulis buku ini.

Memang tak bisa dipungkiri kejadian yang terjadi di kampus IPDN memang merupakan sebuah potret buram pendidikan Indonesia. Tapi yang harus dilakukan kemudian bukannya membubarkan kempus itu. Kita semua tahu bahwa IPDN adalah impian dari orang-orang di Indonesia yang kemudian diharapkan lulusan yang berasal dari kampus ini bisa melakukan pencerahan terhadap daerahnya. Jadi, menuntut pembubarannya kampus adalah keinginan yang sangat egois yang buta terhadap realitas sekitar.

Berbagai respons terhadap kasus itu cukup menggembirakan, mengingat ini adalah potret baik-tidaknya pendidikan di Indonesia. Apalagi IPDN adalah satu-satunya perguruan tinggi pemerintah yang disediakan khusus untuk menjadi praja di daerah masing-masing. Tapi sepertinya respon itu terlalu berlebihan, bahkan ada yang megusulkan penutupan kampus IPDN. Benarkah itu berjalan dengan wajar, bukankah tidak mungkin respon yang over itu terselip kepentingan segelintir oknum? Realitas lah yang akan menjawab itu.

Namun terlepas dari kekurangannya, buku ini tetap merupakan sumbangan yang berharga bagi terciptanyanya pendidikan yang mencerdaskan bagi moral sedini mungkin. Namun kehati-hatian penulis adalah salah satu yang harus menjadi pertimbangan ke depan.

Monday, February 11, 2008

KALAH dan MENANG


Apakah kekalahan harus ditangisi? Para jago bola yang harga transferannya miliaran, sering nampak menangis di layar kaca, kalau kesebelasannya kalah.
Berbeda sekali dengan para tokoh politik. Kalau kalah, mereka semakin lebar membuka mulut. Lalu berteriak mengeluarkan berbagai sumpah-serapah. Dan menuding dosa dan kesalahan ada di pihak musuhnya.
Apakah kekalahan itu rasa sakit yang tak tertahankan sehingga kita harus mencari keseimbangan dengan meraung seperti binatang? Atau lebih merupakan kenyataan yang menunjukkan harga sebenarnya dari nilai intrinsik mata uang kita sehingga kita jadi menangisi diri kita yang tak seperti yang kita lamun-lamunkan?
Mestikah kita memuji lawan terlalu besar, terlalu canggih, sehingga perlawanan kita yang luar biasa patah. Dengan kata lain, perlukah membuktikan bahwa kita sudah menunjukkan kejantanan kita yang tidak tercela. Kita sudah berjuang habis-habisan, tetapi memang lawan satu kelas di atas sehingga memang sudah adil kita kalah. Walhasil, semacam apologi, semacam hiburan. Tapi, diam-diam juga semacam pujian kepada diri sendiri. Bahwa kita sebenarnya cukup hebat, hanya nasib lawan lebih mujur.
Ataukah kita harus membongkar berbagai kecurangan, ketidakadilan, faktor-faktor di luar perhitungan, sehingga kekalahan kita adalah produk dari ketidakadilan. Jadi, meskipun kalah, sebenarnya kita menang. Kecurangan, rekayasa, ketidakadilanlah, yang sudah menyunat kita kalah.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, mungkin tidak akan rnenjadi persoalan bagi orang yang baru melangkah. la tidak punya beban. Kalah sudah menjadi kewajibannya sebagai pemula. la memang seharusnya keok, karena ia rawan pengalaman, rawan ilmu. Bagi orang seperti itu, kekalahan adalah janji. Justru karena sempat mengalami kalah, ia punya peluang untuk introspeksi sehingga bisa menjadi lebih jaya. Seperti kata orang pintar-pintar, kekalahan adalah peluang ke arah kemenangan.
Tetapi, celakalah kalau kekalahan itu terjadi di pertengahan jalan ke puncak. Apalagi di detik-detik terakhir, ketika kursi kemenangan sudah hampir ditelan. Itu akan menjadi tragedi yang memproduksi rasa sakit berbaur dengan frustrasi dan bukan tidak mungkin mengandaskan manusia bersangkutan, menjadi tenggelam selama-lamanya.
Walhasil, bukan kekalahan itu sendiri, tetapi momen terjadinya dan kondisinya yang membawa derita. Bayangkan lagi kekalahan yang terjadi di lapangan bola. Kekalahan itu bisa menjadi semacam pembunuhan bagi pelatihnya, bagi para pemainnya. Tetapi, sama sekali tidak berarti apa-apa bagi kita yang hanya melihat dari ribuan kilometer. Apalagi kalau sejak awal kita hanya menonton dan tidak berpihak.
Tetapi itu, tidak sepenuhnya benar. Ketika John Lennon atau Elvis Presley mati, beberapa orang fansnya bunuh diri. Padahal, mereka jauh dari tempat kejadian dan tidak ada hubungan keluarga dengan kedua superstar itu.
Bagaimana cara belajar kalah, penting buat semua orang. Khususnya dalam sebuah kompetisi. Dalam kompetisi, yang menang hanya satu, selebihnya kalah. Tetapi, siapa bilang menjaga yang kalah lebih penting dari menjaga yang menang. Sering sekali bibit kekacauan bermula dari tidak pintarnya yang rnenang menjaga yang kalah.
Diprediksi bahwa tidak perlu ada ilmu untuk menjaga yang menang, karena dia sudah senang. Dia bisa mengurus dirinya. Yang perlu adalah bagaimana membujuk agar mayoritas yang kalah itu tidak menjadi frustrasi, sakit hati, dan akhirnya
main gila.
Kekalahan itu membuat yang menang jadi mengumbar kemenangan dirinya. Sehingga, yang kalah terpancing atau lebih tenggelam lagi pada sakit hatinya. Buntutnya adalah menang dengan cara lain. Tawuran.
Contoh di atas mencoba menjelaskan bahwa kalah tetap persoalan semua orang. Yang jauh maupun yang dekat. Yang kalah maupun yang menang. Semua memerlukan ilmu pengobatan.
Tradisi Timur sebenarnya punya jurus "mengalah", jurus mandraguna yang menjadi jawaban piawai, tapi sayangnya kalau diucapkan sekarang terasa kuno. Kita selalu diberitahu oleh orang tua agar mau mengalah terhadap anak yang lebih kecil. Tetapi, kepada yang lebih kecil, juga sering dimintakan agar mengalah kepada kakaknya yang lebih besar. Jadi tidak dikhususkan kepada yang kalah.
Tradisi mengalah justru lebih ditujukan kepada yang menang. Mengalah berarti berpura-pura kalah. Sekadar menjaga perasaan yang kalah agar terobati dan merasa dirinya menang. Padahal, yang menang tetap saja yang lebih kuat.
Jadi, mengalah adalah etika orang yang menang. Agar membatasi kemenangannya dalam pengertian kemenangan batin saja. Sehingga, dalam eksekusinya, terjadilah tingkah-polah yang berbeda dan menimbulkan harmoni. Namun, tindakan sembunyi dan meredam ini menjadi bumerang, karena para pemenang akhirnya benar-benar kelihatan kalah. Minimal tak mampu menikmati kemenangannya, karena dilarang oleh harmoni. Mereka pun tertekan. Apa gunanya menang kalau tidak ada yang kalah?
Maka ramai-ramailah mereka yang menang melihat ke Barat. Menganggap bahwa di sana lebih banyak ada kejujuran. Karena, di situ menang adalah menang dan kalah adalah kalah. Mengekspresikan kemenangan adalah hak asasi. Tidak ada anjuran buat yang menang untuk berpura-pura kalah. Karena, itu namanya hipokrit. Sejenis penipuan. Yang menang harus menang dan yang kalah harus kalah, supaya terjadi prosespembelajaran.
Maka apa yang dulu disebut SARA pun, kini dipersalahkan. Timbang rasa dan basa-basi pun dianggap sebagai dosa yang sudah menimbun rasa tertekan. Setelah puluhan tahun, rasa tertekan itu diandaikan sudah menjadi padat, berubah jadi gumpalan energi yang kemudian meledak di mana-mana. Maka hancurlah persatuan.
Keroposnya persatuan dianggap sebagai ekspresi orang meloncat dari penjara tekanan pada hak asasinya. Mereka mengibarkan kemerdekaan. Individu menjadi lambang kebenaran yang harus diberikan kesempatan mengumbar kemerdekaan dan menuntut hak sepenuhnya-penuhnya.
Mengalah sekarang menjadi kejahatan dan dosa. Dari harmoni bukan lagi estetika tetapi disharmoni. Segalanya bertolak belakang. Pergulingan nilai-nilai begitu deras dan menghebat terpacu oleh krismon.
"Iman kita sudah runtuh bersama-sama sekarang," kata Amat. "Kita menjadi orang yang lebih Barat dari orang Barat. Kita menjadi lebih bule dari orang bule. Sementara orang Barat mempelajari Timur sebagai kekayaan rasa mereka untuk meluhurkan pencapaian teknologi mereka, kita mencampakkannya. Lalu berguru ilmu mengalah yang mereka beri nama demokrasi, tapi yang kita telan dengan arti: tidak boleh kalah."



SEBAGAI ORANG PALEMBANG DAN INDONESIA, SELAMAT UNTUK SRIWIJAYA FC YANG TELAH MEMENANGI KOMPETISI LIGA INDONESIA TAHUN 2007


Diadaptasi dengan sedikit perubahan dari Kalah dalam Putu Wijaya Goro-Goro, 2002

Friday, February 01, 2008

Menyoal Pluralisme Nurcholish Madjid

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid
Pengarang : Budhy Munawar Rachman
Penerbit : Paramadina, Jakarta.
Cetakan : Pertama, Mei 2007
Tebal : viii + 231 halaman

Wacana pluralisme sepertinya akan tetap menjadi tema menarik sepanjang jaman. Karena pada dasarnya pluralisme merupakan keniscayaan sejarah yang tak dapat dipungkiri keberadaannya. Ia hadir sebagai bagian besar sejarah pradaban manusia.

Paham pluralisme kembali menjadi perbincangan hangat di kalangan umat Islam, khususnya Indonesia akhir-akhir ini, setelah sebelumnya pada pertengahan pertama abad ke-20 sempat ramai dibicarakan. Menyikapi paham ini umat Islam sedikit berbeda pendapat, antara yang menerima, yang menolak, dan yang cuek-cuek saja.

Pluralisme agama adalah pandangan bahwa realitas kemajemukan agama seharusnya membawa kepada keharmonisan hidup bersama secara berdampingan dan seyogyanya menunjuk kepada watak mental yang positif dalam suasana perdamaian berhadapan dengan beragamnya agama dalam masyarakat.

Bagi yang menerima menganggap bahwa paham pluralisme agama merupakan suatu keniscayaan bagi terciptanya kehidupan yang toleran dan harmonis di antara umat beragama. Dalam pandangan mereka, paham pluralisme agama merupakan solusi terbaik terhadap ketegangan dan konflik intra dan antar-umat beragama yang terjadi, terutama pada era pasca-reformasi. Ini penting jika Pluralisme dikaitkan dengan kasus-kasus seperti Ahmadiiyah, Lia Aminuddin, Poso, serta kasus-kasus lain yang serupa.

Bagi yang menolak melihat paham ini sebagai upaya penyeragaman segala perbedaan dan keagamaan agama. Upaya ini secara ontologis dianggap bertentangan dengan Sunnatullah yang pada gilirannya mengancam eksistensi manusia sendiri. Mereka juga menganggap kelompok propluralisme tidak toleran karena menafikan "kebenarana eksklusi" semua agama. Bahkan bagi Anis Malik Toha, salah seorang yang menolak paham ini, "Pluralisme agama sebenarnya merupakan agama baru, di mana sebagai agama dia punya Tuhan sendiri, nabi, kitab suci dan ritual keagamaan sendiri. Bagi Irfan S. Awwas, penolak yag lain, pluralisme agama merupakan kerangka berpikir 'Talbisul Ibis', yaitu memoles kebathilan dengan menggunakan dalil-dalil agama atau argumentasi al-haq untuk tujuan kesesatan, seperti prilaku para pendeta Yahudi dan Nasrani. (Husaini, 2005).

Mungkin berawal dari polemik pemikiran itulah buku yang berjudul lengkap Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid karangan Budhy Munawar Rachman ini hadir di tengah sidang pembaca, yang walaupun pada awalnya diperuntukkan untuk mengingat hari kelahiran Nurcholish Madjid. Buku ini berisi eksiklopedi pemikiran Cak Nur mengenai Pluralisme Agama untuk ranah Indonesia.

Menurut Budhy, buku ini merupakan cerminan dari garis besar pemikiran Cak Nur, yaitu Islam yang terbuka, toleran, dan penuh keramahan. Salah satu contoh yang paling khas dari pemikiran Cak Nur adalah memahami Islam dari sudut pandang keindonesiaan, kemodernan, dan kerakyatan. Pemahaman seperti ini akan memiliki konsekuensi yang amat berbeda jika dibandingkan dengan memahami keislaman hanya menggunakan pendekatan formalistik.
Menurut penulis buku ini, pandangan keagamaan formalistik tidak akan berdampak luas bagi terciptanya kemaslahatan manusia. Pandangan keagamaan seperti itu hanya akan membawa maslahat bagi pencetus ide (penafsir) yang memang punya keahlian dalam memahami teks-teks secara formalistik, namun akibatnya penafsiran-penafsiran seperti itu kurang bisa dikontekskan dalam tradisi kehidupan masyarakat.

Dalam hal ini bisa dilihat dari sebuah diktum kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Hampir seluruh umat meyakini diktum tersebut sebagai sebuah keniscayaan teologis. Tapi secara sosiologis, diktum tersebut membawa dampak yang berbeda-beda. Ada yang memahaminya sebagai ideologi eksluvisme, tetapi ada yang memahami sebagai elan inklusivisme.

Dalam kasus ini Cak Nur sudah melahirkan sebuah penafsiran yang mempunyai relevansi dalam konteks kebangsaan dan keragaman. Al-Quran dan Sunnah merupakan sumber inklusivisme. Misalnya, dalam memahami al-Islam. Selama ini pelbagai kalangan muslim memahami Islam secara ekslusif. Namun, Cak Nur merujuk pada ayat-ayat Quran, bahwa makna yang lebih tepat tentang al-Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi terdahulu dari nabi Ibrahim hingga Muhammad. Sedangkan dalam merahmati non-Muslim, Cak Nur memandang bahwa Islam pada hakikatnya adalah agama universal. Artinya Islam bisa dibawa kemana-mana dan dari mana-mana bisa dibawa ke Islam.

Berkaitan dengan problem yang muncul akibat kemajemukan bangsa Indonesia, Cak Nur menyerukan perlunya kembali kepada konsistensi semangat motto negara kita, Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu harus ada penghargaan pola-pola budaya daerah dan harus menerima kebhinnekaan sebagai kekayaan, dan serentak dengan itu kita memelihara berdasarkan kepentingan bersama secara nasional. Kita harus memandang budaya daerah berjalan yang sejalan dengan nila-nilai kemanusiaan sebagai perwujudan kearifan lokal yang harus dijaga keutuhan dan kelestariannya. Keanekaragaman budaya itu harus dijadikan pijakan untuk berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan. Sebagaimana dikemukakan perlombaan itu akan menciptakan suasana penuburan silang budaya yang akan memperkaya dan menguatkan budaya nasional sebagai budaya hibrida yang unggul dan tangguh. Dalam hal ini, tidak ada satu pun budaya daerah yang terkecualikan.

Buku ini merupakan review terhadap pemikiran Cak Nur mengenai Pluralisme. Salah seorang tokoh yang sempat membuat dunia intelektual di Indonesia mengalami kemajuan. Dengan referensi yang cukup, membuat buku ini mempunyai nilai tambah tersendiri di hati pembaca. Namun terlalu panjangnya pembahahasan membuat buku ini sedikit membosankan. Terlepas dari kekurangannya buku ini tetap layak untuk dijadikan bahan renungan sekaligus referensi ke depan.

Wednesday, January 23, 2008

Melirik Islam Lokal di Indonesia

Judul : Satu Dusun Tiga Masjid; Anomali Ideologisasi dalam Agama
Pengarang : Ahmad Salehudin
Penerbit : Pilar Media, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : xxiv + 132 halaman.

Dalam sekup dunia global pertemuan Islam vis to vis tradisi-tradisi yang menyertainya menjadikan Islam di Indonesia mempunyai banyak wajah. Perbedaan cara pandang dalam merespon kehadiran Islam di Indonesia dapat dipahami dari ekrpresi keislaman dalam kehidupan masyarakat, baik dalam bentuk pemikiran, ritual, atau organisasi keislamannya. Banyaknya organisasi keislaman seperti NU, Muhamadiyah, Persis, FPI, HTI dan lain-lain yang ada di Indonesia adalah bukti pluralitas ekspresi keislaman tadi.

Dengan kata lain Indonesia mempunyai banyak varian. Varian-varian itu dipengaruhi oleh proses panjang pertemuan Islam dengan budaya lokal (local culture) yang sangat heterogen. Menurut banyak kalangan, termasuk di sini para orientalis, Islam di Jawa merupakan hasil perkawinan dengan local javanese religion, Hinduisme dan Budhisme yang hidup secara bersamaan (Lombard, 1996) yang mengakibatkan timbulnya wajah-wajah Islam yang berbeda (Geertz, 1960).

Menurut Clifford Geertz, pertemuan Islam dengan budaya Jawa akan menghasilkan tiga varian Islam, yaitu Abangan, Santri, dan priyayi. Kelompok abangan tumbuh berkembang di daerah pedesaan, menjalankan agama dengan menggunakan referensi budaya lokal (local cultur) yang bersifat animis dan bertemu dengan Islam hanya pada permukaannya saja (Geertz, 1964:5). Statmen Geertz ini ditolak oleh Kontjaraningrat dengan menyatakan bahwa kelompok Priyayi bukanlah kelompok keagamaan tetapi kelompok yang ditimbulkan oleh stratifikasi sosial masyarakat feodal.

Sedangkan kelompok santri berkembang di pasar, merupakan kelompok Islam yang tidak tercampur dengan tradisi lokal (local tradition), melaksakan ritual keagamaan secara ketat, serta mempunyai pengertian yang cukup terhadap agama. Kelompok Priyayi menunjuk kepada orang Jawa yang bukan muslim (kecuali pengakuan saja) dan tidak menerima konsep-konsep animisme, tetapi menerima beberapa doktrin tradisi Jawa yang lebih abstrak. Kelompok Priyayi sering juga disebut sebagai penganut mistisisme (Hasaan, 1985: 113). Sedangkan menurut Simuh, pilihan kaum Priyayi untuk memeluk Islam karena adanya orientasi pada nilai kekuasaan yang sangat besar (Simuh:, 2003: 59).

Statement serupa di atas juga dapat ditemukan dalam berbagai penelitian lainnya, baik itu penelitian yang dilakukan oleh orang Islam Indonesia atau dari luar, yang meneliti tentang agama sebagai sistem kebudayaan. Hasilnya akan memunculkan beragam wajah Islam baru, yang masing-masing terjadi perbedaan cara memahami, menghayati dan mengonstruksi agama yang bekerja dalam masyarakat tersebut (baca: lokal). Namun begitu, dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, secara garis besar terdapat tiga tipologi hubungan antara agama denga budaya lokal, yaitu sinkretis, akulturatif dan sinkretis-akulturatif.

Ketiga kecenderungan paradigmatik yang sekaligus dijadikan kata kunci ini pula lah yang menjadi kajian utama dalam buku yang berjudul Satu Dusun Tiga Masjid; Anomali Ideologisasi Agama dalam Agama karangan Ahmad Salehudin ini. Yaitu dengan memfokuskan pada ekspresi keberagamaan masyarakat dan interaksi sosial keagamaan dengan mempertimbangkan pola konstruksi sosial keber-agamaannya. Dengan kata lain, buku ini ingin melihat ekspresi keberagamaan yang berada dalam masyarakat.

Dalam konteks ini, Ahmad Salehudin selaku penulis buku, berusaha mengamati sekaligus mendengarkan suara masyarakat pegunungan dalam mengkonstruksi tradisi Islam lokal, sehingga kemudian melahirkan ekspresi keber-Islaman yang unik dalam kelompok-kelompok Islam berdasarkan letak geografis dan pemahaman keagamaan yang dipengaruhi oleh tradisi-tradisi lokal.

Dalam buku ini Salehudin, mengamati dan mengulas kembali konsepsi Islam sinkretis yang selalu diidentikkan kepada Islam pedalaman. Apabila selama ini ada pernyataan bahwa Islam Jawa adalah Islam sinkretis yang mencampur-adukkan ajaran Islam, Hindu-Buddha, dan tradisi lokal, maka penulis buku ini akan menghadirkan sesuatu yang berbeda, yaitu sebuah konsep kebenaran dalam beragama sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat lokal dan bukan dengan meminjam pandangan orang luar (orientalis).

Buku ini merupakan hasil penelitian di Gunung Sari, dengan masyarakat yang dulu salat di satu langgar saja, tapi kelak berubah menjadi tiga tiga masjid, setelah gerakan-gerakan puritan agama masuk ke desa itu. Muhammadiyah, Islam Tauhid, dan NU punya peran penting di sini. Cuma perbedaannya, Islam Tauhid merupakan gerakan yang cukup fundamanalis. Gerakan ini mengisolasi diri dari pergaulan masyakat Gunung Sari dan juga dikucilkan oleh masyarakat itu.
Dialektika agama dan tradisi lokal selalu menarik untuk dikaji dan dikritisi. Keduanya adalah entitas yang benar dan berada dalam wilayah yang sama sehingga selalu tumpah tindih dan saling mempengaruhi. Dalam buku ini. Agama diposisikan sebagai bagian dari sistem budaya, yaitu agama yang bekerja di dalam masyarakat. Buku ini diharapkan dapat membuka cakrawala berpikir masyarakat terhadap pluralitas ekspresi keberagamaan, sehingga tumbuh kearifan dalam menyikapi keragaman yang ada, tentunya di sini kearifan lokal.

Pada bagian akhir buku ini, Penulis memberikan penilaiannya bahwa Islam dan tradisi lokal adalah entitas yang berbeda tetapi mereka tidak dapat dipisahkan. Pandangan semacam ini pernah diekspresikan dalam bahasa Jawa Kuno melalui sebuah ungkapan yang sangat terkenal dan masih sangat relevan, yaitu bhinneka tunggal ika.

Sebagai sebuah penelitian, buku ini sangat layak untuk dijadikan referensi penelitian ke depan, khusunya tentang Islam dan Budaya lokal. Namun, tak menutup kemungkinan buku ini jauh dari kelemahan, banyak ejaan yang salah serta pengulangan-pengulangan kata yang sering membuat buku ini sedikit membosankan.

Saturday, December 22, 2007

Menggagas Sufi Pinggiran dalam Kehidupan Praktis

Judul : Sufi Pinggiran: Menembus Batas-Batas
Pengarang : Abdul Munir Mulkhan
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta.
Cetakan : 1, 2007
Tebal : 205 Halaman

Di kalangan Islam, Sufi merupakan sebuah praktik keberagamaan dalam komunitas pemeluk Islam yang berusaha menemukan kesadaran Ilahiah otentik, jujur, dan manusiawi. Namun seperti praktik keberagamaan biasanya, sufi adalah sebuah tindakan yang sama sekali tidak bebas dari kepentingan manusia.
Jalan mulia sufi yang selama ini dianggap sebagai salah satu jalan menuju kebenaran Sejati, ternyata juga tidak lepas dari praktik-praktik manipulatif, malah tak jarang, ada orang yang tertipu dengan para sufi. Oleh sebab itu sangat dibutuhkan sikap kritis atas berita yang dibawa oleh orang-orang yang mengaku berbaju surga dan berjubah malaikat itu.
Sufi Pinggiran merupakan sebuah kritik atas praktik keberagamaan dalam mencari kebenaran ketuhanan. Sufi Pinggiran merupakan pengakuan bahwa semua orang memiliki kesadaran atau kearifan ilahiah paling otentik, tak peduli apakah orang itu menyatakan beriman kepada Tuhan, atau tidak, yang kemudian dilihat adalah prilaku keseharian mereka dalam menjalani kehidupan.
Munir Mulkhan dalam buku yang berjudul lengkap Sufi Pinggiran: Menembus Batas-batas ini, secara tak langsung ingin mengatakan bahwa Sufi pinggiran adalah sebuah pengakuan bahwa kita sama-sama mencari kebenaran ketuhanan yang paling jujur. Sufi pinggiran tak terbatas bagi mereka yang menyatakan beriman sesuai agama yang diyakini dan dipeluk, ataupun bagi mereka yang menyatakan beriman kepada yang Tuhan, sebuah usaha untuk jujur dalam beragama dan Ber-Tuhan. (hal 14)
Bunga rampai dalam buku yang tak terlalu tebal ini sarat dengan energi untuk keluar dari berbagai banalisme dalam beragama serta pembahasan tentang agama secara positivistik yang kaku tapi lebih dari itu, buku ini mengajak pembaca untuk bisa memahami agama tak hanya sebagai sebuah ideologi yang sudah terkungkung dengan dogma-dogma. Dalam buku ini kita diajak agar bisa arif menyiakapi segala keterkungkungan sekat-sekat yang sengaja kita ciptakan demi memuaskan rasa haus terhadap primordialitas kita.
Dalam buku ini memang membahas tema-tema yang biasa ditemui dalam buku-buku Islam khususnya yang berkaitan dengan hari-hari besar Islam. Akan tetapi, cara mengulas dan arah pernbahasannya sangat berbeda dengan buku karangan orang non-Islam. Buku ini tak hanya berjalan pada level historis-informatif melainkan pada level kerohanian. Reaksi semacam inilah kiranya yang sebenarnya dibutuhkan oleh orang-orang yang hidup dalam masyarakat Muslim seperti Indonesia. Reaksi semacam ini bisa mencairkan stereotip yang dibangun oleh informasi historis semata. Tulisan seperti inilah yang menjadikan buku Munir Mulkhan ini menarik untuk dibaca. Dengan bahasa sufi yang ringan Munir bisa membawa pembaca pada persoalan yang selama ini dianggap sebagai suatu yang final. Minimal dengan membaca buku ini orang akan bertanya dalam hatinya bahwa cara saya bersosialisasi serta beritual selama ini salah, atau kurang tepat lah.
Sekali lagi Munir Mulkhan memberikan sumbangan terhadap dunia perbukuan Indonesia yang sebelumnya menerbitkan buku Satu Tuhan Tafsir. Hampir sama dengan buku yang pertama buku Sufi Pinggiran ini tak kalah berharganya dengan buku sebelumnya. Dengan gaya intelektual yang cerdas dan sedikit nakal Munir mampu membawa pembaca kepada suatu pencerahan yang selama ini hanya diklaim bisa dirasakan kaum sufi. Melalui buku ini kita sadar bahwa pengalaman sufistik ternyata bukan monopoli orang atau kelompok tertentu saja, tapi bisa dirasakan setiap orang yang mengalami kehausan sepiritual Ketuhanan. Namun hampir menimpa setiap buku, bahwa pasti punya titik lemah. Dan itu juga yang menimpa buku karangan Munir ini. Dia kurang menjelaskan makna sufi itu seperti apa sehingga pembahsaan dalam buku ini sepertinya kurang mendasar. Dan lagi kalau ada istilah sufi Pinggiran nantinya juga istilah Sufi Tengahan atau Sufi Perkotaan, sehingga kemudian ada sekat antara Sufi Perkotaan dan sufi Pinggiran. Terlepas dari kekuranggnya buku ini tetap layak untuk dibaca sekaligus dijadikan bahan perenungan bagi umat beragama ke depan.
Dalam buku ini memang membahas tema-tema yang biasa ditemui dalam buku-buku Islam khususnya yang berkaitan dengan hari-hari besar Islam. Akan tetapi, cara mengulas dan arah pernbahasannya sangat berbeda dengan buku karangan orang non-Islam.
Buku ini tak hanya berjalan pada level historis-informatif melainkan pada level kerohanian. Reaksi semacam inilah kiranya yang sebenarnya dibutuhkan oleh orang-orang yang hidup dalam masyarakat Muslim seperti Indonesia. Reaksi semacam ini bisa mencairkan stereotip yang dibangun oleh informasi historis semata. Tulisan seperti inilah yang menjadikan buku Munir Mulkhan ini menarik untuk dibaca. Dengan bahasa sufi yang ringan Munir bisa membawa pembaca pada persoalan yang selama ini dianggap sebagai suatu yang final. Minimal dengan membaca buku ini orang akan bertanya dalam hatinya bahwa cara saya bersosialisasi serta beritual selama ini salah, atau kurang tepat lah.
Sekali lagi Munir Mulkhan memberikan sumbangan terhadap dunia perbukuan Indonesia yang sebelumnya menerbitkan buku Satu Tuhan Tafsir. Hampir sama dengan buku yang pertama buku Sufi Pinggiran ini tak kalah berharganya dengan buku sebelumnya. Dengan gaya intelektual yang cerdas dan sedikit nakal Munir mampu membawa pembaca kepada suatu pencerahan yang selama ini hanya diklaim bisa dirasakan kaum sufi. Melalui buku ini kita sadar bahwa pengalaman sufistik ternyata bukan monopoli orang atau kelompok tertentu saja, tapi bisa dirasakan setiap orang yang mengalami kehausan sepiritual Ketuhanan.
Namun hampir menimpa setiap buku, bahwa pasti punya titik lemah. Dan itu juga yang menimpa buku karangan Munir ini. Dia kurang menjelaskan makna sufi itu seperti apa sehingga pembahsaan dalam buku ini sepertinya kurang mendasar. Dan lagi kalau ada istilah sufi Pinggiran nantinya juga istilah Sufi Tengahan atau Sufi Perkotaan, sehingga kemudian ada sekat antara Sufi Perkotaan dan sufi Pinggiran. Terlepas dari kekuranggnya buku ini tetap layak untuk dibaca sekaligus dijadikan bahan perenungan bagi umat beragama ke depan.
Tulisan ini dimuat di harian Media Indonesia 1 Desember 2007

Thursday, November 01, 2007

Menemukan Kembali Indonesia

Judul : Masih (Kah) Indonesia
Editor : Budi Susanto
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta.
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 296 halaman

Indonesia sudah merdeka lebih dari 62 tahun, tapi wacana seputar nasionalisme jarang dimulai dari akar kebangsaan. Padahal, untuk dapat menemukan sosok Indonesia di tengah kekhawatiran lunturnya rasa kebangsaan sangat perlu digunakan sebagai pijakan.

Selain itu, Indonesia sebagai negara bangsa (nation-state) majmuk terbesar di dunia sangat rentan akan perpecahan. Ironisnya lagi perpecahan ini tidak hanya berasal dari jumlah etnisnya yang beragam, tetapi juga agama dan ras tak kalah beragamnya. Lantas pertanyaan berikutnya adalah bagaimana menyatukan keragaman itu semua? Atau paling tidak adannya formula dalam mengobati perbedaan yang kronis itu.

Indonesianis terkemuka, Benedict Anderson menyebut Indonesia sebagai imagine communities dengan unsur-unsur pembentuk yang saling tidak mendengar dan tidak mengenal. Namun, kemudian ia disatukan oleh cita-cita, harapan, dan sentimen. Muncul rasa kebangsaan, biasanya juga disebut nasionalisme, yang berdimensi sensoris.

Dimensi sensoris itu ibarat selimut yang menaungi dan berbagai unsur atau kelompok masyarakat dikendalikan dengan kuat oleh negara. Ketika zaman berubah, selubung itu ikut melemah. Unsur seperti suku bangsa semakin mengkristalkan dan menguatkan identitasnya dalam kondisi tidak saling mengenal dan memahami kelompok lain.

Untuk mengatasi permasalahan masyarakat yang beragam tadi ialah dengan mengganti kebijakan pluralisme dengan kebijakan multikulturalisme sebagai sebuah strategi besar. Oleh karena itu integrasi tidak hanya sebatas integrasi sosial, tetapi juga integrasi kebudayaan.
Oleh sebab itu Peran negara yang semula merekayasa integrasi yang berujung kepada politik penyeragaman perlu berubah menjadi fasilitator. Masyarakat yang tadinya merupakan obyek integrasi berubah menjadi subyek yang sadar, dengan kata lain menempatkan kembali manusia sebagai subyek. Konsekuensinya adalah masyarakat diberikan perangkat hak mereka dalam mengembangkan kebudayaan dan identitasnya. Dengan catatan, pemberian hak itu disertai dengan membangun jembatan antarunsur atau multikulturalisme. Dengan demikian, tidak lagi ada primordial baru.

Substansi dari multikulturalisme ialah pengembangan wisdom. Dalam hal ini masyarakat sudah tidak lagi melihat kelompok lain dengan dipenuhi prasangka. Dalam masyarakat multikultur masyarakat dituntut untuk memahami orang lain sebagai manusia utuh dan mampu hidup bersama dalam perbedaan.
Dalam membangun jembatan antar-kelompok masyarakat atau multikulturalisme, peran negara dalam hal ini hanya sebagai fasilitator melalui strategi pembangunan kebudayaannya. Misalnya lewat kurikulum sekolah sebagai sarana, dan lain-lain.
Buku ini merupakan upaya sekumpulan anak bangsa yang ingin mengembalikan identitas bangsa yang moderat, serta toleran terhadap perbedaan. Pertanyaan Masihkan Indonesia memang cocok untuk diajukan untuk situasi bangsa saat ini. Westernisasi yang membati buta tanpa filterisasi yang memadai secara tak langsung membuat anak muda Indonesia mengalami ambiguitas dalam berpikir dan bersikap, apakah menerima atau menolak.

Dalam salah satu penelitian Erni dalam buku ini misalnya memperlihatkan betapa rapuh impian dan bayangan tentang Indonesia (Orde) Baru yang dibangun oleh rejim-rejim militer yang pernah terlibat di Pariaman. Rejim yang lebih suka memandang orang berdasar identifikasi rasial (ke-Cina-an) dari pada pekerjaannya sebagai pedagang (sengli), atau perantau (Hoa Kiauw) dari daratan Tiong Kok. Sebuah cara pandang yang dengan mudah berkait dengan ikatan (identitas) primordial lainnya berdasar perbedaan kelas Sosial dan kepercayaan Agama dan Rasial tadi. Kesetiaan penulis mencatat cara pandang (orde) baru berdasar primordialitas SARA di kalangan subyek penelitiannya, akhirnya tidak sekedar mengungkap konflik sosial yang ada, tetapi juga memberi rincian contoh betapa keji dan kejam hasil konflik tersebut ketika kalau disadari demokratisasi ala Ranah Minang telah lama mangkir. Tentu saja, kemangkiran hidup bersesama ala sebuah "nagari" semakin memberi peluang kehadiran sikap-sikap militeristik dengan segala akibatnya yang harus ditanggung oleh golongan SARA tertentu, yang dijadikan korban seperti pernah terjadi di kota kabupaten yang sekarang disebut Pariaman. (Hal 269)

Substansi dari multikulturalisme ialah pengembangan wisdom. Dalam hal ini masyarakat sudah tidak lagi melihat kelompok lain dengan dipenuhi prasangka. Dalam masyarakat multikultur masyarakat dituntut untuk memahami orang lain sebagai manusia utuh dan mampu hidup bersama dalam perbedaan.

Dalam membangun jembatan antar-kelompok masyarakat atau multikulturalisme, peran negara dalam hal ini hanya sebagai fasilitator melalui strategi pembangunan kebudayaannya. Misalnya lewat kurikulum sekolah sebagai sarana, dan lain-lain.
Buku ini merupakan upaya sekumpulan anak bangsa yang ingin mengembalikan identitas bangsa yang moderat, serta toleran terhadap perbedaan. Pertanyaan Masihkan Indonesia memang cocok untuk diajukan untuk situasi bangsa saat ini. Westernisasi yang membati buta tanpa filterisasi yang memadai secara tak langsung membuat anak muda Indonesia mengalami ambiguitas dalam berpikir dan bersikap, apakah menerima atau menolak.

Dalam salah satu penelitian Erni dalam buku ini misalnya memperlihatkan betapa rapuh impian dan bayangan tentang Indonesia (Orde) Baru yang dibangun oleh rejim-rejim militer yang pernah terlibat di Pariaman. Rejim yang lebih suka memandang orang berdasar identifikasi rasial (ke-Cina-an) dari pada pekerjaannya sebagai pedagang (sengli), atau perantau (Hoa Kiauw) dari daratan Tiong Kok. Sebuah cara pandang yang dengan mudah berkait dengan ikatan (identitas) primordial lainnya berdasar perbedaan kelas Sosial dan kepercayaan Agama dan Rasial tadi. Kesetiaan penulis mencatat cara pandang (orde) baru berdasar primordialitas SARA di kalangan subyek penelitiannya, akhirnya tidak sekedar mengungkap konflik sosial yang ada, tetapi juga memberi rincian contoh betapa keji dan kejam hasil konflik tersebut ketika kalau disadari demokratisasi ala Ranah Minang telah lama mangkir. Tentu saja, kemangkiran hidup bersesama ala sebuah "nagari" semakin memberi peluang kehadiran sikap-sikap militeristik dengan segala akibatnya yang harus ditanggung oleh golongan SARA tertentu, yang dijadikan korban seperti pernah terjadi di kota kabupaten yang sekarang disebut Pariaman. (Hal 269)
Sudah begitu banyak kata-kata, gagasan dan "kenyataan" tentang ke-Indonesia-an yang telah ditampilkan termasuk oleh para penulis dan pembaca buku ini di media komunikasi massa modern, cetak, suara, maupun gambar. Enam peneliti muda dalam bunga rampai ini menangkap ada kekhawatiran orang-orang urban modern dari kelas sosial tertentu berkaitan dengan identitas dan keberlanjutan nasionalisme Indonesia masa kini. Kekhawatiran mereka, nampaknya, karena mereka memang diajar memperingati peristiwa Soempah Pemoeda ((1928), dan diingat-ingatkan bahwa nasionalisme lah yang akan menghasilkan bahasa bersama, bahasa Indonesia, padahal sejarah dari pengalaman masa rakyat Indonesia mencatat sebaliknya: bahwa bahasa bersamalah yang lebih menghasilkan nasionalisme.
Mungkin dengan alasan itulah buku ini hadir di tengah sidang pembaca. Namun karena buku ini adalah kumpulan karangan sehingga tak heran kelihatan ada ketidaksamaan tema serta misi yang diemban oleh para penulis buku ini. Terlepas dari kelemahan itu buku ini tetap layak sebagai langkah awal menemukan Kembali indentitas Indonesia yang selama ini mulai memudar oleh gempuran modernitas.

Sudah begitu banyak kata-kata, gagasan dan "kenyataan" tentang ke-Indonesia-an yang telah ditampilkan termasuk oleh para penulis dan pembaca buku ini di media komunikasi massa modern, cetak, suara, maupun gambar. Enam peneliti muda dalam bunga rampai ini menangkap ada kekhawatiran orang-orang urban modern dari kelas sosial tertentu berkaitan dengan identitas dan keberlanjutan nasionalisme Indonesia masa kini. Kekhawatiran mereka, nampaknya, karena mereka memang diajar memperingati peristiwa Soempah Pemoeda ((1928), dan diingat-ingatkan bahwa nasionalisme lah yang akan menghasilkan bahasa bersama, bahasa Indonesia, padahal sejarah dari pengalaman masa rakyat Indonesia mencatat sebaliknya: bahwa bahasa bersamalah yang lebih menghasilkan nasionalisme.

Mungkin dengan alasan itulah buku ini hadir di tengah sidang pembaca. Namun karena buku ini adalah kumpulan karangan sehingga tak heran kelihatan ada ketidaksamaan tema serta misi yang diemban oleh para penulis buku ini. Terlepas dari kelemahan itu buku ini tetap layak sebagai langkah awal menemukan Kembali indentitas Indonesia yang selama ini mulai memudar oleh gempuran modernitas.

Dimuat di Seputar Indonesia 28 Oktober 2007

Monday, August 20, 2007

Televisi dan Media Pendidikan*

Judul : Televisi sebagai Media Pendidikan
Penulis : Drs. Darwanto, S.S
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal : ix+347 halaman.

Sebagai salah satu media massa, televisi setiap waktunya terus mengalami perkembangan. Yang dulunya hanya hitam-putih kini merambah ke warna yang bervariasi, yang dulunya hanya beberapa chanel saja yang bisa diakses kini beribu chanel bisa dipelototi dan tonton setiap waktu. Sehingga tidak heran bila televisi dijadikan Dewa nomor satu sebagai media penyampai berita dan informasi, setelah koran, radio dan internet tentunya.
Di ranah Indonesia, sejarah pertelevisian pertamakali dimulai saat Pemerintah memutuskan untuk memasukkan proyek media massa televisi ke dalam proyek Asian Games, yang sebelumnya telah dilakukan penelitian yang mendalam tentang manfaat dan fungsi dari televisi. Berdasarkan surat keputusan Menteri Penerangan No.20/E/M/1961, dibentukklah Panitia Persiapam Pembangunan Televisi di Indonesia, kemudian berdasarkan surat keputusan Presiden No. 215/ 1963, didirikanlah Yayasan Televisi Repuplik Indonesia, yang berlaku sejak tanggal 20 oktober 1963.
Dengan kondisi yang terbatas lahirlah televisi siaran pertama di tanah air Indonesia. Walupun pada awalnya hanya mempunyai jangkauan siar yang terbatas serta jumlah pesawat penerima yang terbatas pula. Meskipun agak lamban, perkembangan terus berjalan seiirng dengan terus berputarnya roda waktu yang silih berganti, sekarang hampir semua daerah tingkat I da II telah mempunyai stasiun TVRI dan bahkan ada stasiun produksi keliling
Menurut Darwanto dalam buku ini, salah satu alasaan kenapa televisi bisa dijadikan sebagai pendidikan adalah karena televisi mempunyai karakteristik tersendiri yang tidak bisa dimiliki oleh media massa lainnya. Karakteristik audio visual yang lebih dirasakan perannya dalam mempengaruhi khalayak, sehingga dapat dimanfaatkan oleh negara dalam menyukseskan pembangunan negara dalam bidang pendidikan melalui program televisi sebagai sarana pendukung
Semula dinilai bahwa televisi siaran kurang bermanfaat dalam dunia pendidikan, hal ini mengingat biaya operasionalnya yang cukup mahal, tetapi kemudian muncul pendapat yang berlawanan, yang menyatakan bahwa televisi sebagai media massa sangat bermanfaat dalam memajukan pendidikan suatu bangsa. Dari pendapat itu dalam perkembangannya membuktikan bahwa dengan sifat audio visual yang dimiliki oleh televisi, menjadikan televisi sangat pragmatis, sehingga mudah mempengaruhi penonton dalam hal: sikap, tingkah laku dan pola pikirnya, maka tidak pantaslah kalau dalam waktu relatif singkat televisi telah menempati jajaran teratas dari jajaran media massa .
Menurut Dr. Jack Lyle, televisi dengan gambar audio visualnya sangat membantu dalam mengembangkan daya kreasi kita, hal ini seperti diungkapkan oleh Walter Lippman beberapa tahun lalu, bahwa dalam pikiran kita ada semacam ilustrasi gambar dan gambar-gambar ini merupakan suatu yang penting dalam hubungannya dengan proses belajar, terutama sekali yang berkenaan dengan orang, tempat dan situasi yang tidak setiap orang pernah ketemu mengunjungi atau telah mempunyai pengalaman.
Dari sedikit pendapat Lyle serta Lippman di atas, jelas sekali televisi bisa memberikan apresiasi kepada khalayak penonton. Sebagai media audio-visual penyajian acaranya lebih menekankan kepada bahasa audio visual, meskipun tidak menutup kemungkinan mengabaikan masalah yang bersifat auditif, walaupun yang bersifat auditif hanya sebagai kelengkapan penjelasan bagi hal-hal yang belum atau tidak tampak pada gambar.
Hal itu menyebabkan apabila seseorang melihat susunan gambar di layar televisi, merasakan ada nuansa yang baru, yang menyebabkan penonton tadi hampir tidak mampu membedakan mana yang pernah dilihat, atau dengan kata lain, penonton tadi hampir tak dapat membedakan pengalaman yang telah dimiliki. Hal ini berarti bahwa audio visual dapat memberikan pengalaman-pengalaman yang baru sesuai dengan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya, atau dapat memberikan pengalaman semu atau Simulated Experience.
Walaupun begitu, segala sesuatu pasti mempunyai titik lemah dan sisi negatifnya. Menurut peresensi begitu pula yang terjadi pada televisi. Telvisi tak jarang membuat orang melakukan tindakan yang abnormal yang asusila seperti yang menimpa anak SD kemarin karena gara-gara menyaksikan tayangan Smackdown yang ditayangkan oleh salah satu stasiun swasta negeri seribu banjir ini.
Kelemahan lain dari media massa televisi adalah sifat komunikasinya yang hanya satu arah, sehingga khalayak penonton menjadi pasif, artinya penonton tak bisa memberikan tanggapan-tanggapann secara langsung. Karena itu tak mengherankan kalau ada beberapa pendapat yang mengatakan, televisi sebagai media massa yang mendorong orang untuk bermalas-malasan. Bahkan cenderung berpengaruh negatif terhadap tingkah laku dan sikap seseorang.
Sebagai penulis buku yang berjudul Televisi sebagai Media Pendidikan ini, Darwanto, menurut Presensi cukup berhasil mengetengahkan hasil penelitiannya yang walaupun sudah agak lama, tapi tetap bisa untuk bisa diikuti oleh pembaca yang lebih umum lagi luas, yang asalnya hanya bisa diakses oleh rekan-rekannya sesama akademis di salah satu unversitas negeri ini.
Dari tampilan luar serta pembahasan-pembahasannya yang ditengahkan Darwanto dalam hal ini menuai sukses yang cukup berarti sehingga sudah cukup layak untuk dijadikan bahan referensi bagi akdemis komunal maupun individu sebagai bahan rujukan selanjutynya.
Namun tak ada gading yang tak retak, begitu juga yang bisa ditemui dalam buku ini, setelah membaca isi buku ini sepertinya judul buku, sebagaimana yang telah tertera di atas kurang cocok, karena dari sekian halaman buku yang lumayan tebal ini hanya berapa halaman saja yang berisi televisi sebagai media Pendidikan, yang cukup mendapat porsi dari buku adalah sepertinya ke masalah teknis dunia pertelevisian, seperti misalnya, penayangan, artis, serta produser yang kerja dalam satu tim di dalamnya.
Selain itu penulis terkesan memaksakan pendapat kepada pembaca berupa konsep yang telah penulis masukkan pada judul buku ini yakni, bahwa Televisi sebagai media Pendidikan sehingga Penulis terkesan menggurui pembaca. Walaupun begitu sebagai Buku, tetap layak untuk dijadikan bahan perenungan sekaligus bahan ajar bersama ke depan khusunya pada dunia pendidikan di Indonesia.
*Resensi ini dimuat di Suara Pembaruan, 14 Maret 2007

Thursday, January 25, 2007

Menelusuri Jejak Ho dalam Mite Nias

Akhmad Kusairi*

Judul : Ho Jendela Nias Kuno: Sebuah Kajian kritis Mitologis
Penulis : Victor Zebua
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I Desember 2006
Tebal : x + 158 halaman.

Sudah banyak kajian tentang mitologi Nias, namun belum ada satu pun karya yang mampu mengungkap secara tuntas dan benar apa yang menjadi tradisi di Nias, termasuk tentang cerita Ho yang di Nias dianggap sebagai salah satu keturunan para Dewa yang diturunkan dari langit secara langsung utuk mengurus muka bumi khususnya bumi Nias.
Ada banyak kontradiksi seputar asal-usul Ho sendiri, mengingat banyaknya cerita-cerita mite yang beredar di Masyarakat Nias sebagai cerita sehari-sehari. Victor Zebua dengan analisisnya yang tajam mengupas tuntas asal-usul orang Nias yang kemudian menunjukkan bahwa Ho berasal dari mana, apakah dia berasal dari langit seperti yang dianggap oleh sebagian orang, apakah dia Cuman manusia yang berasal dari salah satu tempat di Nias. Setidaknya itulah alasan kenapa buku ini terbit.
Vivtor Zebua, Penulis buku yang berjudul Ho Jendela Nias Kuno: Sebuah Kajian Kritis Mitologis ini, dengan referensi yang dikutipnya mampu menganalisis kemungkinan yang mendekati kebenaran, tentunya kebenaran di sini sifatnya relatif, atau bahkan hanya benar menurut Victor saja.
Sebagai sebuah buku antropologi mitologi tentunya buku ini tak akan terlepas dari yang namanya cerita-cerita mite yang biasanya selalu hidup mengiringi kehidupan yang sebenarnya. Terus apa bedanya dengan dongeng atau cerita-cerita pengantar tidur untuk anak-anak yang belum akil baligh? Menurut Victor dalam buku ini, cerita-cerita mite biasanya dianggap sakral keberadaannya, sehingga orang harus berhati-hati dalam menceritakannya sehingga tak terjadi kesalahan yang nantinya, menurut mereka akan berakibat fatal bagi orang bercerita, yang diceritai atau malah suatu masyarakat yang akan mengalami nasib yang tak enak.
Dalam buku yang lumayan tebal ini, Victor juga memaparkan dengan lugas latar belakang Sawuyu (perbudakan dalam konsep Nias). Menurut Faugoli yang dikutip oleh Victor, ada tiga macam Sawuyu di jaman kuno. Pertama Sondrara Hare yaitu orang yang terlilit hutang, pada rentenir (orang kaya atau raja), berkerja pada rentenir itu, gajinya dipotong untuk melunasi hutangnya, dan bila sudah lunas dibebaskannya. Kedua, Holito, ialah orang yang dihukum mati menurut adat, namun jika ada yang membayar holi-holi (penebus jiwa). Dia menjadi Sawuyu dari sang penebus dirinya. Status sawuyu ini turun-temurun hingga ke anak cucunya. Dan yang ketiga adalah Sawuyu tawanan perang adalah tawanan yang menjadi budak raja. Status budak ini juga turun-temurun hingga ke anak cucunya. Oleh Yoshiko Yamamoto, tiga macam Sawuyu tersebut dirumuskan dengan tiga kata kunci, yaitu Utang, Kriminal, dan tawanan.
Mabel Cook Cole menulis dalam The Island of Nias at the Edge of the Word bahwa mayoritas Sawuyu adalah orang yang berutang. Ini berarti perbudakan pada jaman dulu di Nias kuno mempunyai motif ekonomi. Sehingga bila Sawuyu kurang cocok dikategorikan dalam stratifikasi sosial, tentu tidak perlu ragu-ragu bila ia dipandang sebagai kelas sosial.
Menurut ahli antropologi budaya, Koentjaraningrat, ada tiga wujud kebudayaan Pertama, adat tata-kelakuan (adat-istiadat) yang terdiri dari: sistem nilai budaya, simtem norma-norma, sistem hukum, dan aturan khusus (misalnya sopan-santun). kedua, sistern nilai budaya, yaitu suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam msyrakat. Dan yang ketiga, kebudayaan fisik, yaitu benda hasil karya manusia.
Sawuyu merupakan wujud kedua kebudayaan, yaitu sistem sosial, entah dia disebut sebagai strata (social stratification) atau disebut kelas (social class}. Sedangkan mitos ada dalam wujud pertama kebudayaan. Sehingga argumentasii mitos penciptaan dari Laiya dalam menyanggah Danandjaja ada di kamar yang berbeda. Pandangan dua ahli anlropologi ini tentang sawuyu tidak bertemu, bagaikan dua titik embun yang bersebelahan di dinding kaca.
Dari atas angin, mitos merembes kewujud pcrtama kebudayaan dalam hentuk ide, gagasan nilai, norma, dan peraturan. Penyebab pcrbudakan (utang, kriminal, tawanan) adalah hasil dari paradigma adat-istiadat pada jaman itu. Sistem yang diharisilkan (nilai budaya, norma, hukum, bahkan ekonomi) tidak mencegah, justru memproduksi perbudakarn. Agama bahkan gagal memhendung fenomena perbudakan. Inilah rembesan mitos, sebuah mitos yang dijabarkan oleh para pemilik mitos menjadi wajah sosial yang mengerikan, yaitu sawuyu.
Pada perkembangan selanjutnya mengalami perkembangan. Yaitu ada penambahan dari tiga kata kunci yang Yoshiko Yamamoto. Pertam, Komoditas, dan selanjutnya ritual. Sebagai sebuah komoditas Sawuyu dijadikan barang komoditas, artinya Sauyu bisa ditukar, dibeli bahkan dijadikan ekspor oleh suatu negeri. Sebagai ritual Sawuyu dijadikan sebagai tumbal ritual, berupa pemenggalan kepala para laki-laki, dan ini biasanya ditimpakan pada para Sawuyu. Oleh Victor tiga kata kunci yang diusulakn oleh Yoshiko yamamoto harus ditambah menjadi Utang, Kriminal, dan tawanan, komoditas, dan ritual.
Sebagai sebuah buku antropolog sekali lagi presensi tekankan, buku ini sangat layak untuk dijadikan referensi keilmuan kita. Kritik keras Victor kepada Peter Suzuki adalah suatu yang baru pemikiaran kita. Mengingat selama ini Karya orang Jepang ini tak tersentuh oleh kritik.
Menurut Victor dalam buku ini, buku The Riligious System and Culture of Nias, Indonesia karangan Suzuki yang terbit 1959, Suzuki telah bias menilai karena Beliau telah terjebak ke dalam tiga hal. Pertama teori struktur sosial yang diterapkan Suzuki gagal menjelaskan posisi Sawuyu (budak) dalam starfikasi sosial di Nias. Kedua, model analisis dewa Hermes tidak valid sebagai instrumen untuk mengkaji eksistensi Silewe Nazarata. Dan yang ketiga, Suzuki tidal mampu dengan jernih membedakan mitos Kosmogonis dan teogonis. Kekeliruan di atas Menurut Victor lagi, selain Suzuki tak pernah datang sendiri ke Nias, juga dikarenakan suzuki terlalu percaya terhadap promotornya yang berasal dari Belanda, P.E de Jos Seling de Jong yang mengeluarkan teori struktur sosial yang diamini secara kasar oleh Suzuki. (hal 98-99)
Sebagaai sebuah buku, apalagi buku antropologi, di ranah Indonesia sangat kekurangan. Sampai sekarang hanya ada beberapa nama yang telah membuktikan bahwa mereka adalah benar-benar antropolog. Kontjaraningrat patut dimasukkan ke dalam sini. Karena menurut presensi berkat beliaulah studi Antropologi dijadikan disiplin ilmu yang tak kalah pentingnya bagi dunia pendidikan, ilmiah dan akademis. Sehingga Presesensi mengusulkan pada pemerintah bagaimana Kontjara Ningrat dijadikan sebagai Bapak pelopor Antropologi di Indonesia seperti yang telah pemerintah lakukan terhadap Driyarkara yang dijadikan Bapak Filsafat di Indonesia, karena dia lah yang telah berjasa mentransfer ilmu filsafat kedalam ranah intelektual Indonesia.
Resensi ini adalah tulisan pertama yang masuk ke koran yang pernah dimuat di harian Suara Pembaruan, 14 februari 2007