Reviews Buku

Saturday, March 15, 2008

Menyingkap Perselingkuhan Politik Agama

Judul : Devil's Game
Penulis : Robert Dreyfuss
Penerbit : SR-Ins Publishing, Yogyakarta.
Cetakan : I, Maret 2007
Tebal : lviii + 487 halaman.

Jihad di abad modern bukanlah kita mencari mati di jalan Allah akan tetapi bagaimana kita bisa hidup bersama-sama di jalan Allah.
(Gamal al-Bana, xxix, 2007)

Dalam penulisan sejarah perang dingin dan tatanan dunia baru, terdapat satu episode penting yang tidak terekam, yaitu sejarah tentang Amerika Serikat yang mendanai dan mendorong aktivis fundamentalisme Islam sayap kanan yang terkadang dilakukan secara terbuka dan vulgar, maupun secara secret operation. Kehadiran buku Devil's Game ini berupaya mengisi missing link yang sangat vital tersebut.
Dikatakan vital, karena kebijakan yang tidak populer di khalayak publik ini telah berlangsung lebih dari enam dekade dan memicu munculnya terorisme Islam Fundamentalis sebagai sebuah fenomena global. Hegemoni Amerika yang tengah di bangun di Timur Tengah dan Asia Selatan, sebagian memang didesain untuk berpihak kepada kekuatan Islam politik dan, tentu saja, ini diharapkan oleh para arsitek dan thing-tanknya. Namun demikian, secara taktis semua itu membuktikan adanya sebuah permaian iblis dan sangatlah terlambat jika pasca 11 September 2001, Washington baru menyadari miskalkulasi strateginya.
Buku ini adalah buku yang berusaha menyingkap persingkuhan Agama (Islam) dan politik. Di mana pemerintah Amerika berusah mati-matian membendung pengaruh Uni Soviet di dunia internasional. Salah satu caranya adalah dengan persengkokolan Amerika dengan kelompok Islam Kanan yang radikal. Dengan bantuan dana dari Amerika para pemimin kelompok-kelompok islam ini merekrut besar-besaran pengikutnya yang sangat fanatik.
Buku ini adalah buku yang cukup kontroversial di mata dunia, khususnya dunia Islam. Dengan data-data yang akurat dipadu dengan analisis yang tajam membuat buku ini benar-benar mencengangkan orang yang membacanya. Dengan membaca buku ini orang akan tahu mata rantai atau asal-muasal terorisme dunia ang diharamkan keberadaannya oleh Barat beserta antek-anteknya.
Dengan buku ini setidaknya pembaca akan sadar bahwa terorisme yang mereka gembor-gembor sebagai sesautu yang harus dimusuhi ternya mereka sendiri yang melahirkan. Terorisme adalah anak haram yang tak diinginkan keberadaannya sehingga dengan tega sang Ibu membunuh bayi itu. Tapi si Ibu ternyata keliru, anak yang dia anggap sebagai makhluk tak berdaya itu ternyata kuat yang tak mudah dia bunuh. Secara keji dia meneriakkna bahwa sang anak harus dibunuh demi kemaslahatan masyarakat.

Memperkenalkan ESQ dalam Dinamika Kehidupan

Judul : Inspiring Heart.
Pengarang : Imron Andri Yuliansyah. & M. Ilham Marzuq.
Penerbit : Galangpress, Yogyakarta.
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 145 halaman.

Manusia bermimpi tidak hanya waktu ia tidur. Menurut saya mimpi adalah bentuk lain dari kreativitas. Menjadi kreatif tidak kenal siang atau malam. Ada banyak pekerjaan yang masih punya ruang untuk inspirasi, namun banyak juga pekerjaan yang menyita segalanya. Pekerjaan tanpa mimpi, atau tanpa waktu untuk bermimpi, adalah pekerjaannya robot. Bukan manusia.
(Dee, Supernova: 22)


Kesuksesan adalah suatu yang pasti menjadi impian setiap orang. Entah itu rakyat biasa, pejabat, konglomerat, politisi, serta Presiden sekalipun. Sebab tujuan primer manusia hidup adalah mencari, mengejar dan mewujudkan impian itu. Siapa yang menyangka jika kertas yang kemudian menjadi buku yang ada baca ini adalah bagian dari impian seseorang yang kemudian meruang dan mewaktu berupa buku bacaan.
Dari ilustrasi di atas sepertinya kesuksesan menuntut seseorang untuk selalu menggunakan IQ, EQ, serta SQ sebagai jalan menatap masa depan secara cermat. Tapi untuk menemukan kesuksesan yang benar-benar sukses itu, sangat diperlukan adanya ikatan satu sama lain, antara IQ, EQ, serta SQ, sebab dari ketiga hal tersebut bila tidak seimbang maka kemudian akan menimbulkan Miscomunication yang menyebabkan disinformasi satu sama lain.
Saat ini muncul ide cemerlang mengenai bagaimana menemukan kesuksesan yang benar-benar sukses. Ide itu adalah ESQ (Emotional Spiritual Quotient), yakni sintesis dari EQ dan SQ yang telah ada sebelumnya. Menurut Ari Ginanjar Agustin, seorang pakar sekaligus trainer, mengatakan bahwa ESQ merupakan metode dan konsep yang jelas untuk menjawa kekosongan batin tersebut. ESQ merupakan konsep universal yang mampu mengantarkan pada predikat yang memuaskan bagi dirinya sendiri dan orang lain. ESQ pula yang dapat menghambat segala hal yang kontra produktif terhadap kemajuan umat manusia”. (hal 15)
Berangkat dari sinilah buku yang berjudul lengkap Inspiring Heart; Hidup Sukses Dengan Kecerdasan Emosional Spiritual karangan duet Imron Andri Yuliansyah dan M. Ilham Marzuq ini hadir di tengah sidang pembaca. Dalam buku ini penulis coba mengulas sekaligus menganalisis ESQ secara mendalam. Dengan menggunakan pisau analisis yang tajam, penulis bisa membawa pembaca tidak hanya pada pemahaman ESQ secara tekstual saja, tapi lebih kepada pengalaman empiris dengan ESQ
Dalam buku ini, penulis mengatakan bahwa ESQ mampu membawa manusia ke alam yang lebih tinggi, karena memang ESQ bukan hanya sebuah bentuk hubungan kecerdasan yang terpisah, namun lebih kepada “jalan lain” yang di luar kendali manusia (transenden) mampu “memberikan” apa saja termasuk kesuksesan. (Hal 35)
Dalam hal ini penulis mengilustrasikan mengenai hal itu, dalam kisah seorang penjual bubur ayam yang tak memiliki kecakapan (kompetensi) atau IQ yang memadai, namun terlepas dari kekurangan itu, ia selalu menjual buburnya dengan keyakinan bahwa yang dilakukannya adalah ibadah. Dengan niat, ikhtiar, doa serta ketulusan hatinya, ia selalu menikmati hidupnya. Hingga waktu sang ibu ingin naik haji. Keinginan itu sangat kuat. Dalam hati ia bertekad memenuhi keinginan ibunya, namun kondisi ekonomi yang pas-pasan tidak bisa mewujudkan keinginan itu. Namun ia tetap ingin mewujudkan keinginan ibunya. Oleh karena itu, ia selalu giat menabung demi tercapainya niat mulia ibunya, dengan tidak lupa selalu berdoa pada Tuhan. Sehingga niat mulia ibunya terkabulkan dengan cara yang tak terduga, yaitu berupa menang undian di Bank tempatnya menabung dengan rutin. (Hal 19)
Berangkat dari cerita itulah, konsep ESQ di atas teraplikasi dengan baik. Menurut penulis, keinginan yang kuat, postive thinking, usaha keras, dan do’a yang tiada henti mampu menembus suatu yang di luar jangkauan pikiran manusia. Semua bisa diwujudkan dengan keyakinan.
Dari cerita di atas, tentu dapat semacam inspirasi baru mengenai pentingnya kekuatan lain di luar kemampuan akal pikiran kita (transenden). Media itulah yang diejawantahkan oleh ESQ, dengan berusaha (ikhtiar) dan do'a. sebab menurut penulis ESQ merangsang munculnya kemampuan emosi yang stabil dan sepritual yang mendalam.
Stimulai ESQ untuk mengeluarkan God Spot (suara Hati) itu menurut penulis merupakan ejawantah dari enam Rukun Iman dan lima Rukun Islam, antara lain: Pertama, sikap Zero Mind, memiliki Mental Building, memiliki Personal Strength, dan yang terakhir Social Strength.
Dengan empat poin itu diharapkan seseorang bisa mewujudkan sinergi dengan orang lain atau lingkungan dalam situasi dan kondisi apa pun. Oleh karena itu, IQ, EQ, serta SQ inilah adalah kekuatan yang bisa mendorong seseorang untuk menjadi seorang yang sukses sejati, karena dengan menggabungkan ketiga kekuatan itu segala sesuatu pasti akan terjadi di luar kehendak dan pikiran manusia.
Buku ini merupakan buku yang sangat provokatif. Dengan cerita-cerita yang disuguhkan, penulis mampu membuatt pembaca termotivasi yang kemudian menjadi optimis dalam menjalankan roda kehidupan mereka. Di ranah Indonesian buku ini terbilang baru yang mengangkat ESQ sebagai tema. Kalau diperhatikan hanya beberapa nama yang memang sense terhadap bidang kajian ini. Oleh karenanya buku ini merupakan sumbangan berharga bagi kalangan pembaca Indonesia. Namun, tak menutup kemungkinan buku ini jauh dari kekurangan. Tidak adanya indeks bisa membuat pembaca kebingungan dalam mencari kata yang diinginkan. Tapi buku ini tetap layak untuk dibaca sekaligus dipelajari dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tulisan ini pernah dijanjikan akan dimuat oleh salah satu koran, tapi sampai sekarang belum menjadi kenyataan .

IPDN: Sebuah Potret BuramPendidikan Indonesia

Judul : Kampus Maut
Penulis : Mesti Arnanda nasution & Agus Suryantoro
Penerbit : Mizan, Bandung
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 201 halaman.

Terbunuhnya salah satu praja IPDN, Cliff Muntu, yang diakibatkan oleh pemukulan yang dilakukan seniornya beberapa waktu lalu kian mencoreng citra pendidikan Indonesia. Pasalnya praja yang asalnya dididik untuk menjadi pengayom rakyat itu, kini malah menampakkan wajah yang mengerikan, menjadi pembunuh. Ironisnya, ini bukan pertama kali terjadi di IPDN.

Menurut Inu Kencana, salah satu pengajar di kampus itu, sedikitnya ada sekitar tiga puluh lima korban yang meninggal di IPDN, dalam priode 1990-an hingga sekarang. Dari jumlah itu, 17 di antaranya meninggal secara tak wajar. (hal 74). Namun paparnya lagi, yang hanya diberitakan hanya lima puluh persennya saja. Jawa Pos (9/04/07).

Adanya fakta seperti itu menunjukkan bahwa pihak birokrat IPDN tertutup terhadap media. Ini jelas-jelas melanggar UU tentang kebebasan Pers.

Kasus ini menarik karena yang melakukannya adalah para praja senior yang ada di IPDN. Kalau pelakunya adalah senior yang jelas yang jadi korban pastinya adalah yunior. Betapa mengakarnya budaya senioritas versus yunioritas di negeri Indonesia ini, sehingga suatu yang lumrah jika para senior memperlakukan adik-adik kelas mereka sebagai babu bagi para senior.
Sebagai kampus bagi calon praja sangat ironis memang jika budaya represip itu dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Mengingat calon praja itu nantinya akan menjadi pemimpin di daerah masing-masing, yang notabene menjadi panutan bagi masyarakat yang dipimpinnya.

Sebagai sebuah kampus pemerintah, IPDN sudah seharusnya menghilangkan cara-cara militeristik, karena setiap yang berbau militeristik identik dengan kekerasan dan itu sangat tidak wajar jika perilaku militer itu diterapkan pada siswa praja dari beberapa daerah.

Mungkin berangkat dari semua itu lah buku Kampus Maut ini terbit. Penulisnya yang notabene sudah sangat berpengalaman dalam dunia jurnalistik khsususnya berita menambah daya tarik buku ini. Buku investigasi ini berusaha mengungkap peristiwa-peristiwa yang lepas dari kamera wartawan. Dengan nara sumber yang meyakinkan penulis mampu memberikan konstribusi terhadap deretan fakta seputar kejadian kelam kampus IPDN itu.

Buku ini merupakan buku hasil laporan investigasi penulis di lapangan. Tentunya butuh tenaga extra keras agar buku ini bisa dihadirkan di hadapan sidang pembaca. Namun ada yang mengganjal ketika membaca buku ini. Berita-betita yang disajikan sepertinya terlalu berat sebelah terhadap satu pihak. Terlihat misalnya dalam hasil wawancaranya sedikit saja laporan yang membela kampus IPDN. Dalam buku ini IPDN seperti tersangka kejahatan yang terbukti menjadi pecundang, tanpa bisa membela dirinya. Bahkan pihak rektorat pun yang notabene punya otoritas terhadap laporan ini sepertinya dinomorduakan. Buku ini jelas terlalu berat sebelah terhadap suatu pihak yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan kepentinagn. Memang kita harus menghargai usaha keras yang dilakukan oleh Inu Kencana, salah satu nara sumber, tapi kita juga harus tahu selain Inu Kencana masih ada ribuan saksi yang juga punya otoritas penuh terhadap kampus kesayangan mereka.

Dalam buku ini penulis tampaknya melupakan itu semua. Dengan seenak perutnya penulis menggiring pembaca pada satu kesimpulan bahwa semua yang dikatakan Inu Kencana adalah benar dan tak bisa dibantah. Terbukti misalnya tuduhan terhadap Dosen perempuan yang dianggap melakukan seks bebas terhadap para Praja itu. Di dalam buku ini tidak cukup diberikan porsi kepada mereka. Mereka hanya diceritakan sekilas, itu pun dari orang ketiga. Seharusnya penulis lebih jeli dalam menulis laporan. Pertimbangan pun sangat diperlukan di sini. Satu-satunya pembelaan dari pihak Rektorat hanyalah yang dikatakan oleh PR III yang diduga menandatangani untuk menyuntik jenazah Clip Muntu dengan Formalim.

Kesalahan terbesar terjadi pada penulisan judul, Kampus Maut. Membaca judulnya sudah membuat semua orang takut sekaligus bertanya, sebegitu parahkah kampus IPDN sehingga begitu tega dijuluki Kampus Maut oleh penulis buku ini.

Memang tak bisa dipungkiri kejadian yang terjadi di kampus IPDN memang merupakan sebuah potret buram pendidikan Indonesia. Tapi yang harus dilakukan kemudian bukannya membubarkan kempus itu. Kita semua tahu bahwa IPDN adalah impian dari orang-orang di Indonesia yang kemudian diharapkan lulusan yang berasal dari kampus ini bisa melakukan pencerahan terhadap daerahnya. Jadi, menuntut pembubarannya kampus adalah keinginan yang sangat egois yang buta terhadap realitas sekitar.

Berbagai respons terhadap kasus itu cukup menggembirakan, mengingat ini adalah potret baik-tidaknya pendidikan di Indonesia. Apalagi IPDN adalah satu-satunya perguruan tinggi pemerintah yang disediakan khusus untuk menjadi praja di daerah masing-masing. Tapi sepertinya respon itu terlalu berlebihan, bahkan ada yang megusulkan penutupan kampus IPDN. Benarkah itu berjalan dengan wajar, bukankah tidak mungkin respon yang over itu terselip kepentingan segelintir oknum? Realitas lah yang akan menjawab itu.

Namun terlepas dari kekurangannya, buku ini tetap merupakan sumbangan yang berharga bagi terciptanyanya pendidikan yang mencerdaskan bagi moral sedini mungkin. Namun kehati-hatian penulis adalah salah satu yang harus menjadi pertimbangan ke depan.

Monday, February 11, 2008

KALAH dan MENANG


Apakah kekalahan harus ditangisi? Para jago bola yang harga transferannya miliaran, sering nampak menangis di layar kaca, kalau kesebelasannya kalah.
Berbeda sekali dengan para tokoh politik. Kalau kalah, mereka semakin lebar membuka mulut. Lalu berteriak mengeluarkan berbagai sumpah-serapah. Dan menuding dosa dan kesalahan ada di pihak musuhnya.
Apakah kekalahan itu rasa sakit yang tak tertahankan sehingga kita harus mencari keseimbangan dengan meraung seperti binatang? Atau lebih merupakan kenyataan yang menunjukkan harga sebenarnya dari nilai intrinsik mata uang kita sehingga kita jadi menangisi diri kita yang tak seperti yang kita lamun-lamunkan?
Mestikah kita memuji lawan terlalu besar, terlalu canggih, sehingga perlawanan kita yang luar biasa patah. Dengan kata lain, perlukah membuktikan bahwa kita sudah menunjukkan kejantanan kita yang tidak tercela. Kita sudah berjuang habis-habisan, tetapi memang lawan satu kelas di atas sehingga memang sudah adil kita kalah. Walhasil, semacam apologi, semacam hiburan. Tapi, diam-diam juga semacam pujian kepada diri sendiri. Bahwa kita sebenarnya cukup hebat, hanya nasib lawan lebih mujur.
Ataukah kita harus membongkar berbagai kecurangan, ketidakadilan, faktor-faktor di luar perhitungan, sehingga kekalahan kita adalah produk dari ketidakadilan. Jadi, meskipun kalah, sebenarnya kita menang. Kecurangan, rekayasa, ketidakadilanlah, yang sudah menyunat kita kalah.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, mungkin tidak akan rnenjadi persoalan bagi orang yang baru melangkah. la tidak punya beban. Kalah sudah menjadi kewajibannya sebagai pemula. la memang seharusnya keok, karena ia rawan pengalaman, rawan ilmu. Bagi orang seperti itu, kekalahan adalah janji. Justru karena sempat mengalami kalah, ia punya peluang untuk introspeksi sehingga bisa menjadi lebih jaya. Seperti kata orang pintar-pintar, kekalahan adalah peluang ke arah kemenangan.
Tetapi, celakalah kalau kekalahan itu terjadi di pertengahan jalan ke puncak. Apalagi di detik-detik terakhir, ketika kursi kemenangan sudah hampir ditelan. Itu akan menjadi tragedi yang memproduksi rasa sakit berbaur dengan frustrasi dan bukan tidak mungkin mengandaskan manusia bersangkutan, menjadi tenggelam selama-lamanya.
Walhasil, bukan kekalahan itu sendiri, tetapi momen terjadinya dan kondisinya yang membawa derita. Bayangkan lagi kekalahan yang terjadi di lapangan bola. Kekalahan itu bisa menjadi semacam pembunuhan bagi pelatihnya, bagi para pemainnya. Tetapi, sama sekali tidak berarti apa-apa bagi kita yang hanya melihat dari ribuan kilometer. Apalagi kalau sejak awal kita hanya menonton dan tidak berpihak.
Tetapi itu, tidak sepenuhnya benar. Ketika John Lennon atau Elvis Presley mati, beberapa orang fansnya bunuh diri. Padahal, mereka jauh dari tempat kejadian dan tidak ada hubungan keluarga dengan kedua superstar itu.
Bagaimana cara belajar kalah, penting buat semua orang. Khususnya dalam sebuah kompetisi. Dalam kompetisi, yang menang hanya satu, selebihnya kalah. Tetapi, siapa bilang menjaga yang kalah lebih penting dari menjaga yang menang. Sering sekali bibit kekacauan bermula dari tidak pintarnya yang rnenang menjaga yang kalah.
Diprediksi bahwa tidak perlu ada ilmu untuk menjaga yang menang, karena dia sudah senang. Dia bisa mengurus dirinya. Yang perlu adalah bagaimana membujuk agar mayoritas yang kalah itu tidak menjadi frustrasi, sakit hati, dan akhirnya
main gila.
Kekalahan itu membuat yang menang jadi mengumbar kemenangan dirinya. Sehingga, yang kalah terpancing atau lebih tenggelam lagi pada sakit hatinya. Buntutnya adalah menang dengan cara lain. Tawuran.
Contoh di atas mencoba menjelaskan bahwa kalah tetap persoalan semua orang. Yang jauh maupun yang dekat. Yang kalah maupun yang menang. Semua memerlukan ilmu pengobatan.
Tradisi Timur sebenarnya punya jurus "mengalah", jurus mandraguna yang menjadi jawaban piawai, tapi sayangnya kalau diucapkan sekarang terasa kuno. Kita selalu diberitahu oleh orang tua agar mau mengalah terhadap anak yang lebih kecil. Tetapi, kepada yang lebih kecil, juga sering dimintakan agar mengalah kepada kakaknya yang lebih besar. Jadi tidak dikhususkan kepada yang kalah.
Tradisi mengalah justru lebih ditujukan kepada yang menang. Mengalah berarti berpura-pura kalah. Sekadar menjaga perasaan yang kalah agar terobati dan merasa dirinya menang. Padahal, yang menang tetap saja yang lebih kuat.
Jadi, mengalah adalah etika orang yang menang. Agar membatasi kemenangannya dalam pengertian kemenangan batin saja. Sehingga, dalam eksekusinya, terjadilah tingkah-polah yang berbeda dan menimbulkan harmoni. Namun, tindakan sembunyi dan meredam ini menjadi bumerang, karena para pemenang akhirnya benar-benar kelihatan kalah. Minimal tak mampu menikmati kemenangannya, karena dilarang oleh harmoni. Mereka pun tertekan. Apa gunanya menang kalau tidak ada yang kalah?
Maka ramai-ramailah mereka yang menang melihat ke Barat. Menganggap bahwa di sana lebih banyak ada kejujuran. Karena, di situ menang adalah menang dan kalah adalah kalah. Mengekspresikan kemenangan adalah hak asasi. Tidak ada anjuran buat yang menang untuk berpura-pura kalah. Karena, itu namanya hipokrit. Sejenis penipuan. Yang menang harus menang dan yang kalah harus kalah, supaya terjadi prosespembelajaran.
Maka apa yang dulu disebut SARA pun, kini dipersalahkan. Timbang rasa dan basa-basi pun dianggap sebagai dosa yang sudah menimbun rasa tertekan. Setelah puluhan tahun, rasa tertekan itu diandaikan sudah menjadi padat, berubah jadi gumpalan energi yang kemudian meledak di mana-mana. Maka hancurlah persatuan.
Keroposnya persatuan dianggap sebagai ekspresi orang meloncat dari penjara tekanan pada hak asasinya. Mereka mengibarkan kemerdekaan. Individu menjadi lambang kebenaran yang harus diberikan kesempatan mengumbar kemerdekaan dan menuntut hak sepenuhnya-penuhnya.
Mengalah sekarang menjadi kejahatan dan dosa. Dari harmoni bukan lagi estetika tetapi disharmoni. Segalanya bertolak belakang. Pergulingan nilai-nilai begitu deras dan menghebat terpacu oleh krismon.
"Iman kita sudah runtuh bersama-sama sekarang," kata Amat. "Kita menjadi orang yang lebih Barat dari orang Barat. Kita menjadi lebih bule dari orang bule. Sementara orang Barat mempelajari Timur sebagai kekayaan rasa mereka untuk meluhurkan pencapaian teknologi mereka, kita mencampakkannya. Lalu berguru ilmu mengalah yang mereka beri nama demokrasi, tapi yang kita telan dengan arti: tidak boleh kalah."



SEBAGAI ORANG PALEMBANG DAN INDONESIA, SELAMAT UNTUK SRIWIJAYA FC YANG TELAH MEMENANGI KOMPETISI LIGA INDONESIA TAHUN 2007


Diadaptasi dengan sedikit perubahan dari Kalah dalam Putu Wijaya Goro-Goro, 2002

Friday, February 01, 2008

Menyoal Pluralisme Nurcholish Madjid

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid
Pengarang : Budhy Munawar Rachman
Penerbit : Paramadina, Jakarta.
Cetakan : Pertama, Mei 2007
Tebal : viii + 231 halaman

Wacana pluralisme sepertinya akan tetap menjadi tema menarik sepanjang jaman. Karena pada dasarnya pluralisme merupakan keniscayaan sejarah yang tak dapat dipungkiri keberadaannya. Ia hadir sebagai bagian besar sejarah pradaban manusia.

Paham pluralisme kembali menjadi perbincangan hangat di kalangan umat Islam, khususnya Indonesia akhir-akhir ini, setelah sebelumnya pada pertengahan pertama abad ke-20 sempat ramai dibicarakan. Menyikapi paham ini umat Islam sedikit berbeda pendapat, antara yang menerima, yang menolak, dan yang cuek-cuek saja.

Pluralisme agama adalah pandangan bahwa realitas kemajemukan agama seharusnya membawa kepada keharmonisan hidup bersama secara berdampingan dan seyogyanya menunjuk kepada watak mental yang positif dalam suasana perdamaian berhadapan dengan beragamnya agama dalam masyarakat.

Bagi yang menerima menganggap bahwa paham pluralisme agama merupakan suatu keniscayaan bagi terciptanya kehidupan yang toleran dan harmonis di antara umat beragama. Dalam pandangan mereka, paham pluralisme agama merupakan solusi terbaik terhadap ketegangan dan konflik intra dan antar-umat beragama yang terjadi, terutama pada era pasca-reformasi. Ini penting jika Pluralisme dikaitkan dengan kasus-kasus seperti Ahmadiiyah, Lia Aminuddin, Poso, serta kasus-kasus lain yang serupa.

Bagi yang menolak melihat paham ini sebagai upaya penyeragaman segala perbedaan dan keagamaan agama. Upaya ini secara ontologis dianggap bertentangan dengan Sunnatullah yang pada gilirannya mengancam eksistensi manusia sendiri. Mereka juga menganggap kelompok propluralisme tidak toleran karena menafikan "kebenarana eksklusi" semua agama. Bahkan bagi Anis Malik Toha, salah seorang yang menolak paham ini, "Pluralisme agama sebenarnya merupakan agama baru, di mana sebagai agama dia punya Tuhan sendiri, nabi, kitab suci dan ritual keagamaan sendiri. Bagi Irfan S. Awwas, penolak yag lain, pluralisme agama merupakan kerangka berpikir 'Talbisul Ibis', yaitu memoles kebathilan dengan menggunakan dalil-dalil agama atau argumentasi al-haq untuk tujuan kesesatan, seperti prilaku para pendeta Yahudi dan Nasrani. (Husaini, 2005).

Mungkin berawal dari polemik pemikiran itulah buku yang berjudul lengkap Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid karangan Budhy Munawar Rachman ini hadir di tengah sidang pembaca, yang walaupun pada awalnya diperuntukkan untuk mengingat hari kelahiran Nurcholish Madjid. Buku ini berisi eksiklopedi pemikiran Cak Nur mengenai Pluralisme Agama untuk ranah Indonesia.

Menurut Budhy, buku ini merupakan cerminan dari garis besar pemikiran Cak Nur, yaitu Islam yang terbuka, toleran, dan penuh keramahan. Salah satu contoh yang paling khas dari pemikiran Cak Nur adalah memahami Islam dari sudut pandang keindonesiaan, kemodernan, dan kerakyatan. Pemahaman seperti ini akan memiliki konsekuensi yang amat berbeda jika dibandingkan dengan memahami keislaman hanya menggunakan pendekatan formalistik.
Menurut penulis buku ini, pandangan keagamaan formalistik tidak akan berdampak luas bagi terciptanya kemaslahatan manusia. Pandangan keagamaan seperti itu hanya akan membawa maslahat bagi pencetus ide (penafsir) yang memang punya keahlian dalam memahami teks-teks secara formalistik, namun akibatnya penafsiran-penafsiran seperti itu kurang bisa dikontekskan dalam tradisi kehidupan masyarakat.

Dalam hal ini bisa dilihat dari sebuah diktum kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Hampir seluruh umat meyakini diktum tersebut sebagai sebuah keniscayaan teologis. Tapi secara sosiologis, diktum tersebut membawa dampak yang berbeda-beda. Ada yang memahaminya sebagai ideologi eksluvisme, tetapi ada yang memahami sebagai elan inklusivisme.

Dalam kasus ini Cak Nur sudah melahirkan sebuah penafsiran yang mempunyai relevansi dalam konteks kebangsaan dan keragaman. Al-Quran dan Sunnah merupakan sumber inklusivisme. Misalnya, dalam memahami al-Islam. Selama ini pelbagai kalangan muslim memahami Islam secara ekslusif. Namun, Cak Nur merujuk pada ayat-ayat Quran, bahwa makna yang lebih tepat tentang al-Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi terdahulu dari nabi Ibrahim hingga Muhammad. Sedangkan dalam merahmati non-Muslim, Cak Nur memandang bahwa Islam pada hakikatnya adalah agama universal. Artinya Islam bisa dibawa kemana-mana dan dari mana-mana bisa dibawa ke Islam.

Berkaitan dengan problem yang muncul akibat kemajemukan bangsa Indonesia, Cak Nur menyerukan perlunya kembali kepada konsistensi semangat motto negara kita, Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu harus ada penghargaan pola-pola budaya daerah dan harus menerima kebhinnekaan sebagai kekayaan, dan serentak dengan itu kita memelihara berdasarkan kepentingan bersama secara nasional. Kita harus memandang budaya daerah berjalan yang sejalan dengan nila-nilai kemanusiaan sebagai perwujudan kearifan lokal yang harus dijaga keutuhan dan kelestariannya. Keanekaragaman budaya itu harus dijadikan pijakan untuk berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan. Sebagaimana dikemukakan perlombaan itu akan menciptakan suasana penuburan silang budaya yang akan memperkaya dan menguatkan budaya nasional sebagai budaya hibrida yang unggul dan tangguh. Dalam hal ini, tidak ada satu pun budaya daerah yang terkecualikan.

Buku ini merupakan review terhadap pemikiran Cak Nur mengenai Pluralisme. Salah seorang tokoh yang sempat membuat dunia intelektual di Indonesia mengalami kemajuan. Dengan referensi yang cukup, membuat buku ini mempunyai nilai tambah tersendiri di hati pembaca. Namun terlalu panjangnya pembahahasan membuat buku ini sedikit membosankan. Terlepas dari kekurangannya buku ini tetap layak untuk dijadikan bahan renungan sekaligus referensi ke depan.