Reviews Buku

Saturday, December 09, 2006

Kiat Sukses Jadi Komunikator

Oleh: Akhmad Kusai

Judul : Sukses Jadi Komunikator Ulung
Pengarang : A H Pohan
Penerbit : Indonesia Cerdas
Cetakan : I, 2006
Tebal : 104 halaman

Memasuki jaman yang serba post-modern ini, globalisasi merupakan sosok yang menjadi sentral perdebatan dunia di mana globaisasi sering diartikan hilangnya batas-batas wilayah antara-negara dengan negara lain dikarenakan semakin majunya teknologi komunikasi dan trasportasi, sehingga kita bisa langsung berkomunikasi dengan siapa pun, kapan pun dan dimana pun kita berada. Oleh sebab itu di era globalisasi ini dibutuhkan upaya pembenahan komunikasi sebagai acuan agar bisa berhubungan dengan siapa saja.
Seperti yang dikatakan oleh Jalaluddin Rakhmat, dengan komunikasi kita bisa membentuk saling pengertian, menumbuhkan persahabatan, memelihara kasih sayang, menyebarkan pengetahuan, dan melestarikan peradaban. Tetapi dengan komunikasi kita juga menyuburkan perpecahan, menghidupkan permusuhan, menanamkan kebencian, merintangi kemajuan, dan menghambat pemikiran.
Sebagaimana yang telah Jalaluddin Rakhmat katakan di atas nampaknya komunikasi bagai pedang bermata dua, dimana disatu sisi akan memberikan ketenangan dan perdamaian, tapi di sisi lain justru akan menumbuh suburkan permusuhan dan perpecahan.
Berangkat dari kondisi yang semacam ini A H Pohan seorang praktisi di sebuah perusahaan papan atas di jakarta dalam buku yang berjudul Sukses Jadi Komunikator Ulung ini, mencoba memberikan sebuah solusi dan tawaran baru bagaimana cara berkomunikasi dengan baik dan efektif serta efisien, dengan sebuah misi besarnya yakni mempererat persatuan dan kesatuan, dan mencegah permusuhan dan perpecahan.
Menurutnya komunikasi merupakan bagian penting dari setiap aktivitas dalam kehidupan kita. Tidak peduli apa profesi atau gelar yang kita sandang, entah direktur, manajer, supervisor, atau office boy sekalipun, pasti pernah melakukan aktivitas ini. Kemudian ia menambahkan bahwa komunikasi yang efektif sebaiknya harus berangkat dan dibangun atas dasar kepercayaan, visi, harapan, harga diri, dan keyakinan.
Di bagian komunikasi yang efektif, penulis menjelaskan secara ganblang trik-trik atau kiat membangun sebuah komunikasi yang efektif.. Untuk melakukan komunikasi yang efektif sebagai pengirim pesan, menurut Pohan, ada beberapa tahapan. Pertama, mengetahui dengan pasti apa yang hendak dikomunikasikan –sebuah ide, keputusan, atau permintaan atas informasi tertentu. Kedua, mengenali audiens sasaran –apakah Anda akan berbicara dengan cara yang sama? Mungkin saja tidak. Jadi Anda harus menggunakan kata-kata yang berbeda untuk setiap orang yang menjadi lawan bicara Anda. Ketiga, siapkan pesan yang jelas dan tepat untuk disampaikan. Keempat, minta kepada si penerima pesan untuk menguraikan pesan yang Anda sampaikan. Ketika mereka menguraikan dengan kata-kata mereka sendiri tentang apa yang baru saja Anda ungkapkan, hal ini akan membantu penerima pesan untuk memproses dan mengulang pesan-pesan tadi. Jika keliru Anda tentu saja dapat mengoreksinya.
Sebagai penerima pesan, Anda pun harus melakukan hal-hal berikut berikut. Pertama, dengarkan pesan dengan hati-hati; ulang pesan yang Anda dengar untuk mendapatkaa pesan yang dimaksud. Kedua, bertanyalah untuk mengklarifikasi maksud dari pesan tersebut. Ketiga, dengarkan bahasa tubuh. Jika bahasa tubuh dan kata-kata yang diungkapkan tidak sesuai, gali lagi informasi pesan tadi, atau segera klarifikasi pesan tersebut dengan pemberi pesan. Terakhir, biarkan si pemberi pesan menyelesaikan apa yang ingin ia sampaikan sebelum Anda merespon atau menginterupsi kata-katanya.
Dalam buku ini pula Pohan menjelaskan baragam cara berkomunkasi yang baik dan efektif dilengkapi strategi jitu tentang cara berkomunikasi di saat sulit, menjadi seorang fasilitator, sukses dalam meeting dan negosiasi, dan menjadi presentator yang tangkas dan tentunya komunikatif dalam segala hal.
Oleh karenanya buku ini layak untuk dijadikan pisau analisis kita terhadap semua persoalan komunikasi. Sehingga kasus kesalahpahaman yang berbutut pada pertumpahan darah tak akan terjadi, hanya gara-gara kesalahanpahaman dari sebuah komunikasi.

* Penulis adalah Mahasiswa Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta.

Thursday, December 07, 2006

Baskoro mengenang Chicago


Judul : Chicago, Chicago
Penulis : Baskara T Wardaya
Penerbit : Galang Press
Cetalan : pertama, 2006
Tebal : 278 halaman

Buku yang mengabil gaya bercerita ini merupakan hasil refleksi seorang manusia akan realitas sekitarnya. Penulisnya, yang memang seorang Romo dan yang pasti sudah menduduki posisi sebagai seorang yang suci, otomatis segala kehidupannya diisinya dengan membaktikan diri kepada kepentingan sosial selain bertanya tentang apa yang mampu ia perbuat bagi manusia lain di sekililingnya.
Di dalam buku ini tidak semata hanya bercerita tentang diri pribadi Baskoro, tapi juga menceritakan kehihupan-kehidupan yang dekat dengannya, serta teman-teman atau orang yang sempat ia temui dalam perjalan hidupnya. Dengan religiusitas dan humanitasnya yang tinggi, tak mengherankan bahwa di tengah-tengah kesibukan penelitiannya, Baskara tidak luput dari kancah pergumulan-pergumulan hak asasi manusia sedunia, yang seringkali mengambil AS sebagai gelanggang. Dalam konferensi PBB tentang HAM pada musim panas 19992, Ia berjumpa dengan Lilu, seorang veteran gerakan mahasiswa Tiongkok yang luput dari pembantaian di Tiannamen, tanggal 4 Juni 1989.
Setelah itu keduanya lama tak berjumpa atau berkomunikasi, tahu-tahu bahwa di bulan Mei 1996 itu Lilu, si pejuang demokrasi telah lulus dari Columbia University di New York. Selain perjumpaan kembali dengan Li Lu, Baskara juga pertama kali berjumpa da sekaligus mewancarai sastrawan hebat kita, Pramoedya Ananta Toer, satu-satunya penulis yang menjadi kandidat Nobel sastra dunia, di kota New York di musim semi 1999.
Dalam wawancara dengan Pramoedya ini ada teman sesama pewawancara yang bertanya soal budaya Indonesia, Pram langsung menunjukkan sikap kritisnya, "Budaya Indoensia itu adalah budaya Bapak-isme", katanya "dari dulu sampai sekarang semua harus dilakukan dalam kelompok, dan secara kolektif kekuasaan diserahkan pada seseorang yang biasa disebut dengan Bapak. Tak ada yang berani berpikir secara individual. Menurut Pram baru pada jaman Chairil Anwar mulai muncul pemikirann individual, sebagaiamana dicerminkan dalam puisinya yang berjudul Aku (118-119).
Dari cerita-ceritanya Baskoro, kota New York cukup berarti bagi studi dan pengembaraannya di AS. Kalau begitu kenapa tidak memilih judul New York, New York bagi bukunya ini ? ternyata karena Chicago yang paling merebut tempat dan waktu dalam pengalaman studi Baskara. Maklumlah Chicgo merupakan kota besar terdekat ke Milwauke, di mana kampus universitas Marquette berada. Tempat ia melanjutkan studi Magister serta doktoralnya sekaligus.
Di tengah kehidupan yang serba keras di AS, ada satu kelompok minoritas yang dijumpai oleh Baskara dalam masa studinya. Satu kelompok minoritas di mana keluaraga itu telah mengangkatnya menjadi anak angkat mereka. Itulah masyarakat Eropa yang non-Anglosaxon, yang aslinya tak berbahasa Inggris, yakni masyarakat Cajun, keturunan para imigran Prancis yang mendiami Lousiana, salah satu negara bagian AS. Walaupun di tempat-tempat umum mereka diharuskan berbahasa Inggris.
Berjibunnya pengalaman yang manis dengan Orang-orang AS yang secara umum dikategorikan sebagai "orang Barat" membuat Ia mempertanyakan kembali dikotomi "Orang Barat versus orang Timur" yang sering diajarkan guru-guru kita di Indonesia.orang Barat selama ini dinggap sebagai orang yang tidak ramah, kasar dalam tingkah laku, individualistis. Sedangkan orang timur adalah orang yang ramah, berbudi halus dan suka menolong sesamanya. Di mata guru tersebut dunia Barat penuh dengan adat yang kurang terhormat, sedang dunia timur itu berlimpah dengan kultur yang bersifat luhur. Mungkin apa yang dikategorikan itu benar tetapi, juga juga tak sepenuhnya demikian, artinya, bisa saja bahwa orang Timur itu mendekati semua ciri tersebut, namun bisa juga gambaran tentang orang-orang Barat itu tak sepenuhnya benar.
Selain itu, ada satu paradoks yang dicatat dengan jeli oleh Penulis buku ini, yakni kehadiran orang-orang Indonesia yang kaya raya sebagai pelanggan barang mewah di toko-toko mahal di Michigan Avenue, Chicago. Ini sangat mengherankan sebab di tengah-tengah kemiskinan dan penderitaan yang dialami rakyat kebanyakan Indonesia mereka masih saja sempat berpoya-poya.
Sebagai akhir, terlepas dari kelebihan maupun kekurangan, buku ini tetap layak untuk dijadiakan cerminan hidup kita yang notabene sudah mengarungi lika-liku kehidupan yang serba keras ini. Sehingga tak heran jika suatu kesalahan sering kita lakukan, baik itu dalam keadaan sadar atau pun tidak.

Saturday, October 14, 2006

Zakat dan Misi Sosial

Oleh: Akhmad Kusairi*

Zakat adalah suatu institusi keagamaan yang merupakan salah satu dari tiang-tiang tertinggi dalam agama Islam. Ia adalah salah satu syiar agama dan identitas masyararakat Islam. Di samping sebagai ibadah, zakat juga mengemban misi sosial dalam prakteknya. Allah selalu menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya menolong sesamanya ( al-Hadist). Begitu tinggi posisi zakat sehingga ia ditempatkan sebagai salah satu rukun dalam agama Islam. Penempatan zakat sejajar dengan rukun Islam itu mengindikasikan bahwa seorang manusia dalam kacamata Islam belum dianggap sempurna Islamnya sebelum bersedia mengeluarkan sebagian hartanya untuk keperluan masyarakat yang dalam keadaan sangat membutuhkan.
Sekarang yang terpenting adalah bagaimana zakat memainkan peranannya di tengah himpitan kemiskinan sosial dan ekonomi? Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dan inteletual, telah menawarkan beberapa solusi dalam menyikapi realitas tersebut. Salah satunya konsep Zakat sebagaimana telah disinggung di atas. Zakat dalam Islam bertujuan untuk meminimalisasikan kesenjangan sosial antara si kaya dan si meiskin (kaum borjuis dan proletar seperti thesis-nya Marx dengan sosialismenya) agar tercipta bangunan keadilan dan pemerataan kesejahteraan.
Zakat dalam konsep Islam terbagi menjadi dua, yaitu zakat Mal dan zakat Fitrah. Zakat Mal adalah bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang harus diberikan kepada orang-orang tertentu, dan bisa dikeluarkan kapan saja tanpa mengenal waktu. Berbeda dengan zakat Mal, zakat Fitrah hanya bisa dikeluarkan pada bulan Ramadhan, dengan batasan-batasan dan syariat yang berbeda. secara umum tujuan dari kedua zakat itu adalah sama, yaitu demi kesejahteraan sosial. Mungkin yang jadi persoalan sekarang adalah tentang standardisasi miskin atau kayanya seseorang, karena itu akan berpengaruh pada pengeluaran zakat. Sebab orang akan berpikir apakah wajib menerima atau mengeluarkan zakat.
Kaya dan miskin merupakan dua sisi mata uang yang tak dapat berbeda tetapi saling melengkapi dan membutuhkan. Orang miskin tanpa orang kaya, tak akan bisa hidup. Sedang orang kaya tanpa orang miskin akan susah. Realitas seperti ini menimbulkan suatu problema tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat.
Jika dipandang dari sudut teori, penyebab kemiskinan tak lain adalah adanya hierarki socio-ecomic di tengah masyarakat. Hierarki ini dapat berupa persaingan yang tak sehat dalam hal ekonomi, adanya hasrat menguasai (seperti analisis Marx), dan lain sebagainya.
Berangkat dari realitas itulah, kemudian zakat dengan misinya mencoba menekan sekecil mungkin angka kemiskinan masyarakat. Zakat yang dalam akar katanya berasal dari bahasa Arab dari kata dasar (fiil madhi) zaka yang berarti berkah, tumbuh dengan subur, sejak dari jaman klasik hingga jaman posmodernisme sekarang telah menjadi sebuah rutinitas dalam masyarakat Islam terutama di bulan Ramadhan.
Selama ini kita mungkin hanya mengenal konsep zakat di kalangan muslim, sebenarnya kalau boleh jujur konsep zakat tak hanya ada di dalam Islam, tetapi hampir semua agama besar di dunia juga menerapkan zakat. Namun simbol dan bahasa yang digunakan saja yang berbeda. Dalam hal ini perbedaan hanya sebatas pada form saja, karena dalam esensi dan eksistensi, tujuannya sama dengan Islam. Dalam Hindu konsep zakat dikenal dengan Datria Datrium. Dalam Buddha, konsep sejenis disebut sebagai Etika atau Sutta Nipata. Sedang bagi agama Kristian menjadikan Tithe sebagain konsep zakat.
Jadi dalam mengatasi pernmasalahan-permasalah sosial khusunya kemiskinan, semua agama mempunyai cara (solusi) tersendiri dengan bungkus yang berbeda-beda, sebab problema kemiskinan itu tak hanya terjadi dalam masyarakat Islam. Tetapi juga agama-agama lain juga mengalami hal yangs serupa, dengan kata lain problema kemiskinan sudah menjadi problema global.
Zakat dan berbagai macam bentuknya tadi menurut penulis merupakan solusi yang solutif guna memerangi kemiskinan seperti sekarang ini. Terus apa relasinya dengan dunia pendidikan, dalam hal ini zakat digunakan untuk biaya pendidikan? Menurut penulis relasinya sudah sangat jelas, dengan artian masalah utama pendidikan sekarang, terutama di Indoenesia adalah minimnya dana bagi orang yang mau mengenyam pendidikan. Sehingga membentuk paradigma umum bahwa “Orang Miskin dilarang sekolah” tulis Eko Prasetyo dalam bukunya.
Akhirnya dalam mengatasi masalah minimnya biaya untuk pendidikan, penulis berpendapat bahwa zakat dan berbagai bentuknya tadi merupakan solusi yang terbaik, yang sedikit sekali negatif effect-nya, dibanding dengan solusi ngutang ke luar negeri untuk mendapatkan dana sepeti yang dilakukan pemerintah Indonesia sekarang.

· Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tuesday, October 10, 2006

Gratifikasi sebagai Legalisasi Korupsi

Akhmad Kusairi*

Membicarakan korupsi di ranah internasional tentunya sangat beda jika dibicarakan di tingkat lokal, dalam hal ini Indonesia yang sudah mendapat predikat tingkat korupsi terbesar kedua di dunia. Jadi bukan suatu yang mengherankan jika sebagian besar warga negara Indonesia menjadikan korupsi sebagai guide of life (pegangan hidup) sehari-sehari. Apalagi sistem birokrasi yang tampaknya memberikan angin segar bagi para koruptor, baik itu dalam skala kecil maupun yang dalam sekala besar, dengan artian menilep uang negara tanpa rasa bersalah sedikitpun bahkan membela mati-matian jika si Koruptor dihadapkan batu sandungan berupa pangadilan, yang dalam hal ini diwakili oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK). Saat menjelang lebaran seperti sekarang ini pemberian dalam bentuk parsel, Soufenir, atau hadiah biasa diberikan oleh pejabat negara yang satu kepada yang lain yang awalnya memang tak tak bisa dipungkiri sebagai bentuk tali silaturrahim bagi sesama muslim atau mempererat tali persaudaraan bagi yang non-Islam.
Tapi gejala lain menunjukkan bahwa nilai dan bentuk pemberian tadi semakin hari semakin tak proporsional atau dengan kata lain melebihi batas kewajaran. Dari segi esensinya pun parsel atau pemberian tadi bisa berubah bentuk dari berupa uang menjadi bentuk lain dengan nilai yang lebih besar. Mungkin dengan alasan itulah menurut penulis KPK melarang pejabat publik atau pejabat negara mengirim dan menerima parsel. Persoalannya, kenapa KPK melarang pejabat negara menerima dan mengirim gartifikasi? Sebab, parsel merupakan salah satu bentuk tindakan yang jelas bernuansa korupsi. Hal itu diatur Dalam Undang-undang No 20/2001 pasal 12 B ayat 1 dan 2 bahwa setiap tindakan gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggao pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Dengan undang-undang tadi, setiap pejabat negara yang menerima bingkisan atau parsel wajib melapor kepada KPK untuk diverifikasi, apakah pemberian itu benar-benar sebagai bemtuk pemberian yang murni, atau pemberian tadi memiliki keterkaitan dengan jabatan, dengan kata lain suap tersamar.
Dari pemaparan tadi, penulis sangat setuju dengan tesisnya Dennis F. Thompson dalam Political Ethics and Public Office ( 1993) yang menulis, bahwa pemberian gratifikasi merupakan bagian dari pelanggaran etika. Karena secara ringan saja kebiasaan tadi sangat tak bermoral atau bahkan tak manusiawi jika melihat fakta realita yang ada sekarang ini yang sebagian besar masih terjerat dengan kemiskinan serta utang yang menjerat leher ditambah dengan bencana yang bak hujan deras yang turun dari langit menimpa bangsa Indonesia ini.
Memang pada prinsipnya pemberian tadi ada benarnya menngingat kita adalah sebagai makhluk social yang tak akan luput dari yang namanya mansyarakat lain yang itu juga bias berbentuk rasaimpatik atau penghormatan kepada yang lain yang juga sesame pejabat. Intinya pemberian parsel tadi harus logis dalam artian wajar dalam tatanan bermasyarakat.
Akhirnya penulis beependapat pemberian parsel tadi sah-sah saja jika terlepas dari unsur kepentingam yang mengarah pada kepentingam plitik atau semacamnya. Terus timbul pertanyaan, bagaimana kita tahu bahwa itu ada kepentingan politiknya apa tidak? Itu menurut penulis terserah pada KPK. Tapi penulis mengutuk penberian parsel yang jumlahnya melebihi kewajaran, karena bukankH lebih baik jika parsel tadi diberikan kpeda yang lebih memerlukan, dengann kata lain pemberian parsel yang jumlahnya besar itu tak lain dari bentuk legalisasi korupsi berupa gratifikasi.

* penulis adalah Mahasiswa Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Saturday, October 07, 2006

Keberanian sang Reporter Bawah Tanah

Judul : The underground Reporter
Penulis : Kathy Kacer
Penerjemah : Purnawijayanti
Penerbit : Kansisius
Terbit : Pertama, 2006
Tebal : 217 halaman

Pada mulanya kehidupan yang dijalani oleh John Freund beserta teman-temannya di Budejovice ( baca; bu-de-ho-vi-sai), Cekoslavakia biasa-biasa saja, tapi setelah kedatangan tentara Nazi pada Maret 1939, mereka selalu dihantui perasaan takut. Penyiksaan, perlakuan kasar, serta penerapan aturan-aturan baru untuk rakyat secara perlahan mencekam perasaan warga setempat. Dari sinilah cerita yang mengambil gaya menulis laporan reportase ini bermula. Bagaimana saat peraturan-peraturan yang dibuat oleh kaki tangan Hitler sangat tak berpihak pada mereka orang Yahudi, malahan menganggap orang Yahudi sebagai penyebab kekalahan Jerman pada perang dunia pertama, karena sejak mengalami kekakalahan pada perang dunia itu keadaan di Jerman sangat memprihatinkan. Ekonomi yang serba parah yang menyebabkan banyak orang Jerman kehilangan pekerjaan.

Hitler yang memang anti-Yahudi menuding Yahudi sebagai penyebab seluruh kesulitan yang dialami oleh bangsa Jerman. Di tengah keadaan yang seperti itu banyak orang Jerman yang merasa senang, karena telah menemukan orang yang bertanggung jawab atas peceklik yang menimpa Jerman. Propaganda anti-Yahudi dan genosida itu tidak hanya berlaku pada bangsa Yahudi Jerman, di era 1920-1944, tetapi juga beberapa negara di Eropa lainnya. Termasuk di dalamnya Negara Cekoslavakia Negara tempat John bersama Ruda hidup

Di tengah diskriminasi dan kekejaman tentara Nazi, John Freund beserta teman-temannya merasa kehidupan mereka terasa hampa tak berarti, Karena mereka harus menaati peraturan-peraturan yang tak berpihak kepada meraka. Akhirnya atas inisiatif Ruda Stadler, mereka membuat majalah Klepy ( yang dalam bahasa Cheska berarti gossip).
Setelah sukes dengan edisi pertama, Klepy yang sebelumnya hanya diisi oleh Ruda mendapat sambutan yang luar biasa dari teman-teman sesama Yahudinya, khususnya anak-anak. Edisi demi edisi majalah Klepy mengalami kemajuan, yang semula hanya 3 halaman, kini menjadi 25 halaman sampai terbit 20 edisi pimpinan Ruda, dan 2 edisi berikutnya oleh anak yang bernama Milos.

Peraturan-peraturan baru terus dibuat oleh Hitler, termasuk di antaranya pada April 1942 semua warga Yahudi di Budejovice, kotanya John dan Ruda, diharuskan mengunggsi ke ‘Theresienstadt’, kota yang diperuntukkan bagi tahanan Yahudi dari Cekoslovakia dan sebagian wilayah Eropa yang kemudian diungsikan lagi menuju kota kematian , yaitu Auschwitz.
Di tengah ketakutan terhadap kematian di Theresienstadt, John bersama teman senasib kembali membuat majalah yang bernama Bobrick, yang diambil dari bahasa Cheska yang artinya “berang-berang” untuk menunjukkan semangat pekerja yang rajin.

Ternyata harapan yang sudah diharapkan oleh orang Yahudi terkabul juga saat tentara sekutu membuat pasukan Jerman dan teman-temannya menyerah pada Sekutu.

Novel karangan Kathy Kacer ini walaupun sedikit membosankan karena gaya bercerita ala wartawan patut diacungi jempol karena berkat ketekunan, serta keberanian penulisnya buku ini dapat kita nikamati sebagai warisan perang Dunia kedua yang notabene sekaligus sejarah yang sangat berarti bagi kelangsungan sejarah kehidupan dunia. Selamat membaca…!

* Penulis adalah Mahasiswa Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakartatersadar