Reviews Buku

Tuesday, October 10, 2006

Gratifikasi sebagai Legalisasi Korupsi

Akhmad Kusairi*

Membicarakan korupsi di ranah internasional tentunya sangat beda jika dibicarakan di tingkat lokal, dalam hal ini Indonesia yang sudah mendapat predikat tingkat korupsi terbesar kedua di dunia. Jadi bukan suatu yang mengherankan jika sebagian besar warga negara Indonesia menjadikan korupsi sebagai guide of life (pegangan hidup) sehari-sehari. Apalagi sistem birokrasi yang tampaknya memberikan angin segar bagi para koruptor, baik itu dalam skala kecil maupun yang dalam sekala besar, dengan artian menilep uang negara tanpa rasa bersalah sedikitpun bahkan membela mati-matian jika si Koruptor dihadapkan batu sandungan berupa pangadilan, yang dalam hal ini diwakili oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK). Saat menjelang lebaran seperti sekarang ini pemberian dalam bentuk parsel, Soufenir, atau hadiah biasa diberikan oleh pejabat negara yang satu kepada yang lain yang awalnya memang tak tak bisa dipungkiri sebagai bentuk tali silaturrahim bagi sesama muslim atau mempererat tali persaudaraan bagi yang non-Islam.
Tapi gejala lain menunjukkan bahwa nilai dan bentuk pemberian tadi semakin hari semakin tak proporsional atau dengan kata lain melebihi batas kewajaran. Dari segi esensinya pun parsel atau pemberian tadi bisa berubah bentuk dari berupa uang menjadi bentuk lain dengan nilai yang lebih besar. Mungkin dengan alasan itulah menurut penulis KPK melarang pejabat publik atau pejabat negara mengirim dan menerima parsel. Persoalannya, kenapa KPK melarang pejabat negara menerima dan mengirim gartifikasi? Sebab, parsel merupakan salah satu bentuk tindakan yang jelas bernuansa korupsi. Hal itu diatur Dalam Undang-undang No 20/2001 pasal 12 B ayat 1 dan 2 bahwa setiap tindakan gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggao pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Dengan undang-undang tadi, setiap pejabat negara yang menerima bingkisan atau parsel wajib melapor kepada KPK untuk diverifikasi, apakah pemberian itu benar-benar sebagai bemtuk pemberian yang murni, atau pemberian tadi memiliki keterkaitan dengan jabatan, dengan kata lain suap tersamar.
Dari pemaparan tadi, penulis sangat setuju dengan tesisnya Dennis F. Thompson dalam Political Ethics and Public Office ( 1993) yang menulis, bahwa pemberian gratifikasi merupakan bagian dari pelanggaran etika. Karena secara ringan saja kebiasaan tadi sangat tak bermoral atau bahkan tak manusiawi jika melihat fakta realita yang ada sekarang ini yang sebagian besar masih terjerat dengan kemiskinan serta utang yang menjerat leher ditambah dengan bencana yang bak hujan deras yang turun dari langit menimpa bangsa Indonesia ini.
Memang pada prinsipnya pemberian tadi ada benarnya menngingat kita adalah sebagai makhluk social yang tak akan luput dari yang namanya mansyarakat lain yang itu juga bias berbentuk rasaimpatik atau penghormatan kepada yang lain yang juga sesame pejabat. Intinya pemberian parsel tadi harus logis dalam artian wajar dalam tatanan bermasyarakat.
Akhirnya penulis beependapat pemberian parsel tadi sah-sah saja jika terlepas dari unsur kepentingam yang mengarah pada kepentingam plitik atau semacamnya. Terus timbul pertanyaan, bagaimana kita tahu bahwa itu ada kepentingan politiknya apa tidak? Itu menurut penulis terserah pada KPK. Tapi penulis mengutuk penberian parsel yang jumlahnya melebihi kewajaran, karena bukankH lebih baik jika parsel tadi diberikan kpeda yang lebih memerlukan, dengann kata lain pemberian parsel yang jumlahnya besar itu tak lain dari bentuk legalisasi korupsi berupa gratifikasi.

* penulis adalah Mahasiswa Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

No comments: