Reviews Buku

Friday, May 08, 2009

Mengungkap Sisi Senyap Umar Kayam

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul Buku : Manusia Ulang-Alik Biografi Umar Kayam
Penulis : Ahmad Nashih Luthfi
Penerbit : Eja Publisher, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal Buku : xxii + 183 Halaman

Dalam perjalan sejarah pradaban manusia biografi biasanya menempatkan manusia sebagai titik kajian. Di catatan ilmu sejarah Indonesia, terdapat tiga bentuk penulisan biografi. Bentuk pertama adalah biografi interpretatif; kedua biografi sumber; dan ketiga biografi populer. Dua biografi pertama termasuk biografi ilmiah, dengan segenap tehnical discipline keilmuan (sejarah). Biografi interpretatatif menyertakan analisis ilmu-ilmu sosial misalnya sosiologi dan psikologi. Sedangkan biografi populer tidak terlalu mementingkan kebenaran ilmiah, retorika, serta dialog antar tokoh yang di setting sedemikian rupa, sehingga menempatkan tokoh secara berlebihan.
Dalam biografi ilmiah sedapat mungkin penulis menghindari unsur sentimentalitasnya yang disebabkan sedemikian dekatnya dengan obyek kajian. Ia dapat melihat obyek kajian dari luar dan hanya berperan sebagai explanator; verstehen dalam pengertian Wilhelm Dilthey dimungkinkan bila subyek tineliti masih hidup atau meninggalkan jejak-jejak yang dapat dibaca dengan sejelas-jelasnya sehingga menutup kemungkinan multi tafsir. (Hal 3)
Melalui buku Manusia Ulang-Alik Biografi Umar Kayam ini, Ahmad Nashih Luthfi selaku pengarang coba menelusuri lika-liku kehidupan Umar Kayam yan penuh dengan perjuangan. Walaupun buku ini tak terlalu tebal seperti biasanya buku biografi, di buku ini justru pembaca akan disuguhi keunikan tersendiri dari apa yang akan disajikan oleh penulis.
Umar Kayam lahir di Ngawi, 30 April 1932. Ia merupakan seorang seniman, ilmuwan, budayawan di Indonesia. Selain menjabat sebagai Guru Besar Sastra Universitas Gadjah Mada (1978-1997) juga pernah menjabat antara lain menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Radio, Televisi, Film Departemen Penerangan (1966-1969) serta Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1969-1972). Sebagai Dirjen RTF, dia melakukan perombakan besar khususnya dalam infrastruktur film Indonesia. Salah satunya adalah membolehkan kembali Film Barat masuk yang sebelumnya sempat dilarang oleh Soekarno yang boleh masuk waktu itu hanya film-film sosialis yang tidak disukai kebanyakan orang waktu itu. Akibatnya bioskop menjadi mati dan perfilman menjadi mandek.

Dalam keadaan seperti itu, Umar Kayam datang dengan beberapa gagasan briliannya, antara lain Indonesia harus memproduksi dua jenis film, yang populer tetapi laku dan film bermutu tetapi kurang laku. Waktu itu Umar Kayam membentuk DPFN (Dewan Pertimbangan Film Nasional) dan mengumpulkan dana yang mencapai sekitar Rp 30 juta.
Dalam dunia sastra, Umar Kayam hadir dengan karya-karyanya yang menonjol seperti Seribu Kunang-Kunang di Manhattan, Sri Sumarah, Bawuk, serta novel masterpiece-nya yang terakhir Para Priyayi, novel yang bisa dikatakan sebagai kontruksi awal munculnya ambtenaarisme di Indonesia. Siapa saja yang membaca pandangan-pandangan Umar Kayam, baik dari buku atau pidato-pidatonya, akan akrab dengan tesisnya mengenai proses kebudayaan yang digambarkan seperti sebuah proses ulang-alik.
Tampaknya, sikap rileks dan penuh humor itu bertitik tolak dari dasar pandangan hidupnya, ialah rasa ikhlas. Jelasnya, betapapun ia menginginkan sesuatu, jika memang tidak bisa dicapai, ia melepaskannya dengan ringan. Umar Kayam adalah orang yang hampir hidup tanpa beban. Jika ia merasa bersalah kepada seseorang, betapapun orang itu hanya cantrik-cantriknya, ia tidak segan-segan minta maaf dengan tulus.
Umar Kayam adalah juga seorang yang gigih dalam memegang prinsip hidupnya. Jika mendapati satu tindakan tidak benar dan tidak adil, ia tidak segan-segan melawannya. Prof Siti Baroroh Baried almarhum mengatakan bahwa Umar Kayam selalu ingin meluruskan sesuatu yang bengkok. Oleh sebab itu, di balik ketenarannya, Umar Kayam menghadapi banyak tantangan. Tantangan itu bisa berupa apa saja termasuk juga yang muncul sebab kolom mingguannya di harian Kedaulatan Rakyat.
Walaupun kolom itu lebih banyak bersifat glenyengan, akan tetapi terdapat banyak sekali sindiran. Tidak mengherankan jika ia seringkali menerima surat anonim yang kadang-kadang menakutkan. Menghadapi surat-surat semacam itu, Kayam hanya tersenyum. Ia mengatakan bahwa negeri ini betul-betul aneh, diajak tertawa atau tersenyum saja sulitnya bukan main.
Sindiran adalah salah satu kekuatan Umar Kayam dalam menyampaikan misi humanisnya, baik lewat tulisan maupun ceramahnya. Kekuatannya yang lain adalah kemampuannya memandang suatu jagat besar pada suatu soal yang kecil.
Kayam juga mengagumi Soekarno, walaupun ia sangat kritis terhadap gagasan-gagasan besarnya. Kekaguman Kayam kepada Soekarno adalah pandangannya yang dalam beberapa aspek cukup liberal dalam kemampuannya menyatukan ribuan pulau yang tersebar di Nusantara. Kedekatannya dengan Dr Soedjatmoko tampak juga apabila sedang berbicara dengan teman-temannya di Jogja. Ia selalu mengajak agar teman-teman belajar memandang suatu masalah dengan skala besar. Jika pandangan orang terlalu jlimet, ia akan segera ketinggalan zaman.
Kelebihan lain yang ditinggalkan oleh Kayam adalah kemampuannya mendudukkan masalah pada proporsinya. Setiap masalah harus didudukkan lebih dahulu pada posisi mana. Dengan demikian, persoalan menjadi jelas walaupun pemecahannya belum tentu menjadi lebih mudah. Sekalipun berada pada puncak popularitas, Kayam sedikit pun tak memanfaatkan kesempatan itu untuk menjustifikasi segala tindakannya. Justru dengan popularitas yang digandrunginya ia melakukan perubahan-perubahan besar, sekalipun tidak signifikan. Digambarkan oleh penulis, bahwa geliat perubahan itu sekaligus merupakan sikap antitesis serta kritik Umar Kayam atas pandangan para sejarawan yang begitu sempit dalam memandang masyarakat Jawa.
Kritikan itu khususnya ditujukan pada Clifford Geertz yang membagi masyarakat Jawa secara trikotomi yakni: santri, priyayi, dan abangan. Sehingga akibat dari pembagian itu dinilai oleh Kayam sebagai sebuah upaya pemetakan masyarakat Jawa yang disengaja. Alhasil, tidak sedikit masyarakat Jawa saat ini terdikotomi sehingga menjadi pribadi-pribadi yang hirarkis dan eksklusif. Inilah yang harus dipikirkan bersama.
Sampai di sini, inilah mungkin yang membedakan biografi ini berbeda dengan biografi pada umumnya. Keberanian penulis untuk menguak segala pemikiran Umar Kayam lewat karya-karyanya yang kritis baik yang berupa cerpen, novel, sekaligus esainya seoalah menjadi bumbu tersendiri dalam buku ini

Telah banyak hal yang diberikan Umar Kayam atas negeri ini. Namun hal terpenting dari sekian hal yang Umar Kayam berikan ialah upayanya menumbuhkan semangat demokrasi yang tinggi dan berupaya pula untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata.
Sekarang Umar Kayam sudah istirahat di Karet bersama Chairil Anwar dimakamkan. Ia mungkin sudah membayangkannya sejak beberapa tahun lalu saat ia menuli cerpen Lebaran di Karet, di Karet (Kompas). Kayam yang rileks dan penuh humor, namun gagasannya yang cerdas selalu akan dikenang sebagai tokoh sejuta inspirasi. Buku ini coba menguak lika-liku kehidupan Umar Kayam. Seorang tokoh yang tak akan tinggal diam terhadap segala ketidakberesan yang ditemukannya.
Buku yang tak terlalu tebal ini adalah upaya seorang Luthfi dalam menyingkap sisi senyap seoarang Kayam. Karenanya tidak menutup kemungkinan ada usaha-usaha lain yang juga mencoba menyingkap sisi senyap tokoh kharismatik ini.

1 comment:

lain said...

makasih dah review buku saya ini.
luthfi