Reviews Buku

Friday, February 01, 2008

Menyoal Pluralisme Nurcholish Madjid

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid
Pengarang : Budhy Munawar Rachman
Penerbit : Paramadina, Jakarta.
Cetakan : Pertama, Mei 2007
Tebal : viii + 231 halaman

Wacana pluralisme sepertinya akan tetap menjadi tema menarik sepanjang jaman. Karena pada dasarnya pluralisme merupakan keniscayaan sejarah yang tak dapat dipungkiri keberadaannya. Ia hadir sebagai bagian besar sejarah pradaban manusia.

Paham pluralisme kembali menjadi perbincangan hangat di kalangan umat Islam, khususnya Indonesia akhir-akhir ini, setelah sebelumnya pada pertengahan pertama abad ke-20 sempat ramai dibicarakan. Menyikapi paham ini umat Islam sedikit berbeda pendapat, antara yang menerima, yang menolak, dan yang cuek-cuek saja.

Pluralisme agama adalah pandangan bahwa realitas kemajemukan agama seharusnya membawa kepada keharmonisan hidup bersama secara berdampingan dan seyogyanya menunjuk kepada watak mental yang positif dalam suasana perdamaian berhadapan dengan beragamnya agama dalam masyarakat.

Bagi yang menerima menganggap bahwa paham pluralisme agama merupakan suatu keniscayaan bagi terciptanya kehidupan yang toleran dan harmonis di antara umat beragama. Dalam pandangan mereka, paham pluralisme agama merupakan solusi terbaik terhadap ketegangan dan konflik intra dan antar-umat beragama yang terjadi, terutama pada era pasca-reformasi. Ini penting jika Pluralisme dikaitkan dengan kasus-kasus seperti Ahmadiiyah, Lia Aminuddin, Poso, serta kasus-kasus lain yang serupa.

Bagi yang menolak melihat paham ini sebagai upaya penyeragaman segala perbedaan dan keagamaan agama. Upaya ini secara ontologis dianggap bertentangan dengan Sunnatullah yang pada gilirannya mengancam eksistensi manusia sendiri. Mereka juga menganggap kelompok propluralisme tidak toleran karena menafikan "kebenarana eksklusi" semua agama. Bahkan bagi Anis Malik Toha, salah seorang yang menolak paham ini, "Pluralisme agama sebenarnya merupakan agama baru, di mana sebagai agama dia punya Tuhan sendiri, nabi, kitab suci dan ritual keagamaan sendiri. Bagi Irfan S. Awwas, penolak yag lain, pluralisme agama merupakan kerangka berpikir 'Talbisul Ibis', yaitu memoles kebathilan dengan menggunakan dalil-dalil agama atau argumentasi al-haq untuk tujuan kesesatan, seperti prilaku para pendeta Yahudi dan Nasrani. (Husaini, 2005).

Mungkin berawal dari polemik pemikiran itulah buku yang berjudul lengkap Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid karangan Budhy Munawar Rachman ini hadir di tengah sidang pembaca, yang walaupun pada awalnya diperuntukkan untuk mengingat hari kelahiran Nurcholish Madjid. Buku ini berisi eksiklopedi pemikiran Cak Nur mengenai Pluralisme Agama untuk ranah Indonesia.

Menurut Budhy, buku ini merupakan cerminan dari garis besar pemikiran Cak Nur, yaitu Islam yang terbuka, toleran, dan penuh keramahan. Salah satu contoh yang paling khas dari pemikiran Cak Nur adalah memahami Islam dari sudut pandang keindonesiaan, kemodernan, dan kerakyatan. Pemahaman seperti ini akan memiliki konsekuensi yang amat berbeda jika dibandingkan dengan memahami keislaman hanya menggunakan pendekatan formalistik.
Menurut penulis buku ini, pandangan keagamaan formalistik tidak akan berdampak luas bagi terciptanya kemaslahatan manusia. Pandangan keagamaan seperti itu hanya akan membawa maslahat bagi pencetus ide (penafsir) yang memang punya keahlian dalam memahami teks-teks secara formalistik, namun akibatnya penafsiran-penafsiran seperti itu kurang bisa dikontekskan dalam tradisi kehidupan masyarakat.

Dalam hal ini bisa dilihat dari sebuah diktum kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Hampir seluruh umat meyakini diktum tersebut sebagai sebuah keniscayaan teologis. Tapi secara sosiologis, diktum tersebut membawa dampak yang berbeda-beda. Ada yang memahaminya sebagai ideologi eksluvisme, tetapi ada yang memahami sebagai elan inklusivisme.

Dalam kasus ini Cak Nur sudah melahirkan sebuah penafsiran yang mempunyai relevansi dalam konteks kebangsaan dan keragaman. Al-Quran dan Sunnah merupakan sumber inklusivisme. Misalnya, dalam memahami al-Islam. Selama ini pelbagai kalangan muslim memahami Islam secara ekslusif. Namun, Cak Nur merujuk pada ayat-ayat Quran, bahwa makna yang lebih tepat tentang al-Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi terdahulu dari nabi Ibrahim hingga Muhammad. Sedangkan dalam merahmati non-Muslim, Cak Nur memandang bahwa Islam pada hakikatnya adalah agama universal. Artinya Islam bisa dibawa kemana-mana dan dari mana-mana bisa dibawa ke Islam.

Berkaitan dengan problem yang muncul akibat kemajemukan bangsa Indonesia, Cak Nur menyerukan perlunya kembali kepada konsistensi semangat motto negara kita, Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu harus ada penghargaan pola-pola budaya daerah dan harus menerima kebhinnekaan sebagai kekayaan, dan serentak dengan itu kita memelihara berdasarkan kepentingan bersama secara nasional. Kita harus memandang budaya daerah berjalan yang sejalan dengan nila-nilai kemanusiaan sebagai perwujudan kearifan lokal yang harus dijaga keutuhan dan kelestariannya. Keanekaragaman budaya itu harus dijadikan pijakan untuk berlomba-lomba menuju kepada berbagai kebaikan. Sebagaimana dikemukakan perlombaan itu akan menciptakan suasana penuburan silang budaya yang akan memperkaya dan menguatkan budaya nasional sebagai budaya hibrida yang unggul dan tangguh. Dalam hal ini, tidak ada satu pun budaya daerah yang terkecualikan.

Buku ini merupakan review terhadap pemikiran Cak Nur mengenai Pluralisme. Salah seorang tokoh yang sempat membuat dunia intelektual di Indonesia mengalami kemajuan. Dengan referensi yang cukup, membuat buku ini mempunyai nilai tambah tersendiri di hati pembaca. Namun terlalu panjangnya pembahahasan membuat buku ini sedikit membosankan. Terlepas dari kekurangannya buku ini tetap layak untuk dijadikan bahan renungan sekaligus referensi ke depan.

Wednesday, January 23, 2008

Melirik Islam Lokal di Indonesia

Judul : Satu Dusun Tiga Masjid; Anomali Ideologisasi dalam Agama
Pengarang : Ahmad Salehudin
Penerbit : Pilar Media, Yogyakarta
Cetakan : I, 2007
Tebal : xxiv + 132 halaman.

Dalam sekup dunia global pertemuan Islam vis to vis tradisi-tradisi yang menyertainya menjadikan Islam di Indonesia mempunyai banyak wajah. Perbedaan cara pandang dalam merespon kehadiran Islam di Indonesia dapat dipahami dari ekrpresi keislaman dalam kehidupan masyarakat, baik dalam bentuk pemikiran, ritual, atau organisasi keislamannya. Banyaknya organisasi keislaman seperti NU, Muhamadiyah, Persis, FPI, HTI dan lain-lain yang ada di Indonesia adalah bukti pluralitas ekspresi keislaman tadi.

Dengan kata lain Indonesia mempunyai banyak varian. Varian-varian itu dipengaruhi oleh proses panjang pertemuan Islam dengan budaya lokal (local culture) yang sangat heterogen. Menurut banyak kalangan, termasuk di sini para orientalis, Islam di Jawa merupakan hasil perkawinan dengan local javanese religion, Hinduisme dan Budhisme yang hidup secara bersamaan (Lombard, 1996) yang mengakibatkan timbulnya wajah-wajah Islam yang berbeda (Geertz, 1960).

Menurut Clifford Geertz, pertemuan Islam dengan budaya Jawa akan menghasilkan tiga varian Islam, yaitu Abangan, Santri, dan priyayi. Kelompok abangan tumbuh berkembang di daerah pedesaan, menjalankan agama dengan menggunakan referensi budaya lokal (local cultur) yang bersifat animis dan bertemu dengan Islam hanya pada permukaannya saja (Geertz, 1964:5). Statmen Geertz ini ditolak oleh Kontjaraningrat dengan menyatakan bahwa kelompok Priyayi bukanlah kelompok keagamaan tetapi kelompok yang ditimbulkan oleh stratifikasi sosial masyarakat feodal.

Sedangkan kelompok santri berkembang di pasar, merupakan kelompok Islam yang tidak tercampur dengan tradisi lokal (local tradition), melaksakan ritual keagamaan secara ketat, serta mempunyai pengertian yang cukup terhadap agama. Kelompok Priyayi menunjuk kepada orang Jawa yang bukan muslim (kecuali pengakuan saja) dan tidak menerima konsep-konsep animisme, tetapi menerima beberapa doktrin tradisi Jawa yang lebih abstrak. Kelompok Priyayi sering juga disebut sebagai penganut mistisisme (Hasaan, 1985: 113). Sedangkan menurut Simuh, pilihan kaum Priyayi untuk memeluk Islam karena adanya orientasi pada nilai kekuasaan yang sangat besar (Simuh:, 2003: 59).

Statement serupa di atas juga dapat ditemukan dalam berbagai penelitian lainnya, baik itu penelitian yang dilakukan oleh orang Islam Indonesia atau dari luar, yang meneliti tentang agama sebagai sistem kebudayaan. Hasilnya akan memunculkan beragam wajah Islam baru, yang masing-masing terjadi perbedaan cara memahami, menghayati dan mengonstruksi agama yang bekerja dalam masyarakat tersebut (baca: lokal). Namun begitu, dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, secara garis besar terdapat tiga tipologi hubungan antara agama denga budaya lokal, yaitu sinkretis, akulturatif dan sinkretis-akulturatif.

Ketiga kecenderungan paradigmatik yang sekaligus dijadikan kata kunci ini pula lah yang menjadi kajian utama dalam buku yang berjudul Satu Dusun Tiga Masjid; Anomali Ideologisasi Agama dalam Agama karangan Ahmad Salehudin ini. Yaitu dengan memfokuskan pada ekspresi keberagamaan masyarakat dan interaksi sosial keagamaan dengan mempertimbangkan pola konstruksi sosial keber-agamaannya. Dengan kata lain, buku ini ingin melihat ekspresi keberagamaan yang berada dalam masyarakat.

Dalam konteks ini, Ahmad Salehudin selaku penulis buku, berusaha mengamati sekaligus mendengarkan suara masyarakat pegunungan dalam mengkonstruksi tradisi Islam lokal, sehingga kemudian melahirkan ekspresi keber-Islaman yang unik dalam kelompok-kelompok Islam berdasarkan letak geografis dan pemahaman keagamaan yang dipengaruhi oleh tradisi-tradisi lokal.

Dalam buku ini Salehudin, mengamati dan mengulas kembali konsepsi Islam sinkretis yang selalu diidentikkan kepada Islam pedalaman. Apabila selama ini ada pernyataan bahwa Islam Jawa adalah Islam sinkretis yang mencampur-adukkan ajaran Islam, Hindu-Buddha, dan tradisi lokal, maka penulis buku ini akan menghadirkan sesuatu yang berbeda, yaitu sebuah konsep kebenaran dalam beragama sebagaimana yang dipahami oleh masyarakat lokal dan bukan dengan meminjam pandangan orang luar (orientalis).

Buku ini merupakan hasil penelitian di Gunung Sari, dengan masyarakat yang dulu salat di satu langgar saja, tapi kelak berubah menjadi tiga tiga masjid, setelah gerakan-gerakan puritan agama masuk ke desa itu. Muhammadiyah, Islam Tauhid, dan NU punya peran penting di sini. Cuma perbedaannya, Islam Tauhid merupakan gerakan yang cukup fundamanalis. Gerakan ini mengisolasi diri dari pergaulan masyakat Gunung Sari dan juga dikucilkan oleh masyarakat itu.
Dialektika agama dan tradisi lokal selalu menarik untuk dikaji dan dikritisi. Keduanya adalah entitas yang benar dan berada dalam wilayah yang sama sehingga selalu tumpah tindih dan saling mempengaruhi. Dalam buku ini. Agama diposisikan sebagai bagian dari sistem budaya, yaitu agama yang bekerja di dalam masyarakat. Buku ini diharapkan dapat membuka cakrawala berpikir masyarakat terhadap pluralitas ekspresi keberagamaan, sehingga tumbuh kearifan dalam menyikapi keragaman yang ada, tentunya di sini kearifan lokal.

Pada bagian akhir buku ini, Penulis memberikan penilaiannya bahwa Islam dan tradisi lokal adalah entitas yang berbeda tetapi mereka tidak dapat dipisahkan. Pandangan semacam ini pernah diekspresikan dalam bahasa Jawa Kuno melalui sebuah ungkapan yang sangat terkenal dan masih sangat relevan, yaitu bhinneka tunggal ika.

Sebagai sebuah penelitian, buku ini sangat layak untuk dijadikan referensi penelitian ke depan, khusunya tentang Islam dan Budaya lokal. Namun, tak menutup kemungkinan buku ini jauh dari kelemahan, banyak ejaan yang salah serta pengulangan-pengulangan kata yang sering membuat buku ini sedikit membosankan.

Saturday, December 22, 2007

Menggagas Sufi Pinggiran dalam Kehidupan Praktis

Judul : Sufi Pinggiran: Menembus Batas-Batas
Pengarang : Abdul Munir Mulkhan
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta.
Cetakan : 1, 2007
Tebal : 205 Halaman

Di kalangan Islam, Sufi merupakan sebuah praktik keberagamaan dalam komunitas pemeluk Islam yang berusaha menemukan kesadaran Ilahiah otentik, jujur, dan manusiawi. Namun seperti praktik keberagamaan biasanya, sufi adalah sebuah tindakan yang sama sekali tidak bebas dari kepentingan manusia.
Jalan mulia sufi yang selama ini dianggap sebagai salah satu jalan menuju kebenaran Sejati, ternyata juga tidak lepas dari praktik-praktik manipulatif, malah tak jarang, ada orang yang tertipu dengan para sufi. Oleh sebab itu sangat dibutuhkan sikap kritis atas berita yang dibawa oleh orang-orang yang mengaku berbaju surga dan berjubah malaikat itu.
Sufi Pinggiran merupakan sebuah kritik atas praktik keberagamaan dalam mencari kebenaran ketuhanan. Sufi Pinggiran merupakan pengakuan bahwa semua orang memiliki kesadaran atau kearifan ilahiah paling otentik, tak peduli apakah orang itu menyatakan beriman kepada Tuhan, atau tidak, yang kemudian dilihat adalah prilaku keseharian mereka dalam menjalani kehidupan.
Munir Mulkhan dalam buku yang berjudul lengkap Sufi Pinggiran: Menembus Batas-batas ini, secara tak langsung ingin mengatakan bahwa Sufi pinggiran adalah sebuah pengakuan bahwa kita sama-sama mencari kebenaran ketuhanan yang paling jujur. Sufi pinggiran tak terbatas bagi mereka yang menyatakan beriman sesuai agama yang diyakini dan dipeluk, ataupun bagi mereka yang menyatakan beriman kepada yang Tuhan, sebuah usaha untuk jujur dalam beragama dan Ber-Tuhan. (hal 14)
Bunga rampai dalam buku yang tak terlalu tebal ini sarat dengan energi untuk keluar dari berbagai banalisme dalam beragama serta pembahasan tentang agama secara positivistik yang kaku tapi lebih dari itu, buku ini mengajak pembaca untuk bisa memahami agama tak hanya sebagai sebuah ideologi yang sudah terkungkung dengan dogma-dogma. Dalam buku ini kita diajak agar bisa arif menyiakapi segala keterkungkungan sekat-sekat yang sengaja kita ciptakan demi memuaskan rasa haus terhadap primordialitas kita.
Dalam buku ini memang membahas tema-tema yang biasa ditemui dalam buku-buku Islam khususnya yang berkaitan dengan hari-hari besar Islam. Akan tetapi, cara mengulas dan arah pernbahasannya sangat berbeda dengan buku karangan orang non-Islam. Buku ini tak hanya berjalan pada level historis-informatif melainkan pada level kerohanian. Reaksi semacam inilah kiranya yang sebenarnya dibutuhkan oleh orang-orang yang hidup dalam masyarakat Muslim seperti Indonesia. Reaksi semacam ini bisa mencairkan stereotip yang dibangun oleh informasi historis semata. Tulisan seperti inilah yang menjadikan buku Munir Mulkhan ini menarik untuk dibaca. Dengan bahasa sufi yang ringan Munir bisa membawa pembaca pada persoalan yang selama ini dianggap sebagai suatu yang final. Minimal dengan membaca buku ini orang akan bertanya dalam hatinya bahwa cara saya bersosialisasi serta beritual selama ini salah, atau kurang tepat lah.
Sekali lagi Munir Mulkhan memberikan sumbangan terhadap dunia perbukuan Indonesia yang sebelumnya menerbitkan buku Satu Tuhan Tafsir. Hampir sama dengan buku yang pertama buku Sufi Pinggiran ini tak kalah berharganya dengan buku sebelumnya. Dengan gaya intelektual yang cerdas dan sedikit nakal Munir mampu membawa pembaca kepada suatu pencerahan yang selama ini hanya diklaim bisa dirasakan kaum sufi. Melalui buku ini kita sadar bahwa pengalaman sufistik ternyata bukan monopoli orang atau kelompok tertentu saja, tapi bisa dirasakan setiap orang yang mengalami kehausan sepiritual Ketuhanan. Namun hampir menimpa setiap buku, bahwa pasti punya titik lemah. Dan itu juga yang menimpa buku karangan Munir ini. Dia kurang menjelaskan makna sufi itu seperti apa sehingga pembahsaan dalam buku ini sepertinya kurang mendasar. Dan lagi kalau ada istilah sufi Pinggiran nantinya juga istilah Sufi Tengahan atau Sufi Perkotaan, sehingga kemudian ada sekat antara Sufi Perkotaan dan sufi Pinggiran. Terlepas dari kekuranggnya buku ini tetap layak untuk dibaca sekaligus dijadikan bahan perenungan bagi umat beragama ke depan.
Dalam buku ini memang membahas tema-tema yang biasa ditemui dalam buku-buku Islam khususnya yang berkaitan dengan hari-hari besar Islam. Akan tetapi, cara mengulas dan arah pernbahasannya sangat berbeda dengan buku karangan orang non-Islam.
Buku ini tak hanya berjalan pada level historis-informatif melainkan pada level kerohanian. Reaksi semacam inilah kiranya yang sebenarnya dibutuhkan oleh orang-orang yang hidup dalam masyarakat Muslim seperti Indonesia. Reaksi semacam ini bisa mencairkan stereotip yang dibangun oleh informasi historis semata. Tulisan seperti inilah yang menjadikan buku Munir Mulkhan ini menarik untuk dibaca. Dengan bahasa sufi yang ringan Munir bisa membawa pembaca pada persoalan yang selama ini dianggap sebagai suatu yang final. Minimal dengan membaca buku ini orang akan bertanya dalam hatinya bahwa cara saya bersosialisasi serta beritual selama ini salah, atau kurang tepat lah.
Sekali lagi Munir Mulkhan memberikan sumbangan terhadap dunia perbukuan Indonesia yang sebelumnya menerbitkan buku Satu Tuhan Tafsir. Hampir sama dengan buku yang pertama buku Sufi Pinggiran ini tak kalah berharganya dengan buku sebelumnya. Dengan gaya intelektual yang cerdas dan sedikit nakal Munir mampu membawa pembaca kepada suatu pencerahan yang selama ini hanya diklaim bisa dirasakan kaum sufi. Melalui buku ini kita sadar bahwa pengalaman sufistik ternyata bukan monopoli orang atau kelompok tertentu saja, tapi bisa dirasakan setiap orang yang mengalami kehausan sepiritual Ketuhanan.
Namun hampir menimpa setiap buku, bahwa pasti punya titik lemah. Dan itu juga yang menimpa buku karangan Munir ini. Dia kurang menjelaskan makna sufi itu seperti apa sehingga pembahsaan dalam buku ini sepertinya kurang mendasar. Dan lagi kalau ada istilah sufi Pinggiran nantinya juga istilah Sufi Tengahan atau Sufi Perkotaan, sehingga kemudian ada sekat antara Sufi Perkotaan dan sufi Pinggiran. Terlepas dari kekuranggnya buku ini tetap layak untuk dibaca sekaligus dijadikan bahan perenungan bagi umat beragama ke depan.
Tulisan ini dimuat di harian Media Indonesia 1 Desember 2007

Thursday, November 01, 2007

Menemukan Kembali Indonesia

Judul : Masih (Kah) Indonesia
Editor : Budi Susanto
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta.
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 296 halaman

Indonesia sudah merdeka lebih dari 62 tahun, tapi wacana seputar nasionalisme jarang dimulai dari akar kebangsaan. Padahal, untuk dapat menemukan sosok Indonesia di tengah kekhawatiran lunturnya rasa kebangsaan sangat perlu digunakan sebagai pijakan.

Selain itu, Indonesia sebagai negara bangsa (nation-state) majmuk terbesar di dunia sangat rentan akan perpecahan. Ironisnya lagi perpecahan ini tidak hanya berasal dari jumlah etnisnya yang beragam, tetapi juga agama dan ras tak kalah beragamnya. Lantas pertanyaan berikutnya adalah bagaimana menyatukan keragaman itu semua? Atau paling tidak adannya formula dalam mengobati perbedaan yang kronis itu.

Indonesianis terkemuka, Benedict Anderson menyebut Indonesia sebagai imagine communities dengan unsur-unsur pembentuk yang saling tidak mendengar dan tidak mengenal. Namun, kemudian ia disatukan oleh cita-cita, harapan, dan sentimen. Muncul rasa kebangsaan, biasanya juga disebut nasionalisme, yang berdimensi sensoris.

Dimensi sensoris itu ibarat selimut yang menaungi dan berbagai unsur atau kelompok masyarakat dikendalikan dengan kuat oleh negara. Ketika zaman berubah, selubung itu ikut melemah. Unsur seperti suku bangsa semakin mengkristalkan dan menguatkan identitasnya dalam kondisi tidak saling mengenal dan memahami kelompok lain.

Untuk mengatasi permasalahan masyarakat yang beragam tadi ialah dengan mengganti kebijakan pluralisme dengan kebijakan multikulturalisme sebagai sebuah strategi besar. Oleh karena itu integrasi tidak hanya sebatas integrasi sosial, tetapi juga integrasi kebudayaan.
Oleh sebab itu Peran negara yang semula merekayasa integrasi yang berujung kepada politik penyeragaman perlu berubah menjadi fasilitator. Masyarakat yang tadinya merupakan obyek integrasi berubah menjadi subyek yang sadar, dengan kata lain menempatkan kembali manusia sebagai subyek. Konsekuensinya adalah masyarakat diberikan perangkat hak mereka dalam mengembangkan kebudayaan dan identitasnya. Dengan catatan, pemberian hak itu disertai dengan membangun jembatan antarunsur atau multikulturalisme. Dengan demikian, tidak lagi ada primordial baru.

Substansi dari multikulturalisme ialah pengembangan wisdom. Dalam hal ini masyarakat sudah tidak lagi melihat kelompok lain dengan dipenuhi prasangka. Dalam masyarakat multikultur masyarakat dituntut untuk memahami orang lain sebagai manusia utuh dan mampu hidup bersama dalam perbedaan.
Dalam membangun jembatan antar-kelompok masyarakat atau multikulturalisme, peran negara dalam hal ini hanya sebagai fasilitator melalui strategi pembangunan kebudayaannya. Misalnya lewat kurikulum sekolah sebagai sarana, dan lain-lain.
Buku ini merupakan upaya sekumpulan anak bangsa yang ingin mengembalikan identitas bangsa yang moderat, serta toleran terhadap perbedaan. Pertanyaan Masihkan Indonesia memang cocok untuk diajukan untuk situasi bangsa saat ini. Westernisasi yang membati buta tanpa filterisasi yang memadai secara tak langsung membuat anak muda Indonesia mengalami ambiguitas dalam berpikir dan bersikap, apakah menerima atau menolak.

Dalam salah satu penelitian Erni dalam buku ini misalnya memperlihatkan betapa rapuh impian dan bayangan tentang Indonesia (Orde) Baru yang dibangun oleh rejim-rejim militer yang pernah terlibat di Pariaman. Rejim yang lebih suka memandang orang berdasar identifikasi rasial (ke-Cina-an) dari pada pekerjaannya sebagai pedagang (sengli), atau perantau (Hoa Kiauw) dari daratan Tiong Kok. Sebuah cara pandang yang dengan mudah berkait dengan ikatan (identitas) primordial lainnya berdasar perbedaan kelas Sosial dan kepercayaan Agama dan Rasial tadi. Kesetiaan penulis mencatat cara pandang (orde) baru berdasar primordialitas SARA di kalangan subyek penelitiannya, akhirnya tidak sekedar mengungkap konflik sosial yang ada, tetapi juga memberi rincian contoh betapa keji dan kejam hasil konflik tersebut ketika kalau disadari demokratisasi ala Ranah Minang telah lama mangkir. Tentu saja, kemangkiran hidup bersesama ala sebuah "nagari" semakin memberi peluang kehadiran sikap-sikap militeristik dengan segala akibatnya yang harus ditanggung oleh golongan SARA tertentu, yang dijadikan korban seperti pernah terjadi di kota kabupaten yang sekarang disebut Pariaman. (Hal 269)

Substansi dari multikulturalisme ialah pengembangan wisdom. Dalam hal ini masyarakat sudah tidak lagi melihat kelompok lain dengan dipenuhi prasangka. Dalam masyarakat multikultur masyarakat dituntut untuk memahami orang lain sebagai manusia utuh dan mampu hidup bersama dalam perbedaan.

Dalam membangun jembatan antar-kelompok masyarakat atau multikulturalisme, peran negara dalam hal ini hanya sebagai fasilitator melalui strategi pembangunan kebudayaannya. Misalnya lewat kurikulum sekolah sebagai sarana, dan lain-lain.
Buku ini merupakan upaya sekumpulan anak bangsa yang ingin mengembalikan identitas bangsa yang moderat, serta toleran terhadap perbedaan. Pertanyaan Masihkan Indonesia memang cocok untuk diajukan untuk situasi bangsa saat ini. Westernisasi yang membati buta tanpa filterisasi yang memadai secara tak langsung membuat anak muda Indonesia mengalami ambiguitas dalam berpikir dan bersikap, apakah menerima atau menolak.

Dalam salah satu penelitian Erni dalam buku ini misalnya memperlihatkan betapa rapuh impian dan bayangan tentang Indonesia (Orde) Baru yang dibangun oleh rejim-rejim militer yang pernah terlibat di Pariaman. Rejim yang lebih suka memandang orang berdasar identifikasi rasial (ke-Cina-an) dari pada pekerjaannya sebagai pedagang (sengli), atau perantau (Hoa Kiauw) dari daratan Tiong Kok. Sebuah cara pandang yang dengan mudah berkait dengan ikatan (identitas) primordial lainnya berdasar perbedaan kelas Sosial dan kepercayaan Agama dan Rasial tadi. Kesetiaan penulis mencatat cara pandang (orde) baru berdasar primordialitas SARA di kalangan subyek penelitiannya, akhirnya tidak sekedar mengungkap konflik sosial yang ada, tetapi juga memberi rincian contoh betapa keji dan kejam hasil konflik tersebut ketika kalau disadari demokratisasi ala Ranah Minang telah lama mangkir. Tentu saja, kemangkiran hidup bersesama ala sebuah "nagari" semakin memberi peluang kehadiran sikap-sikap militeristik dengan segala akibatnya yang harus ditanggung oleh golongan SARA tertentu, yang dijadikan korban seperti pernah terjadi di kota kabupaten yang sekarang disebut Pariaman. (Hal 269)
Sudah begitu banyak kata-kata, gagasan dan "kenyataan" tentang ke-Indonesia-an yang telah ditampilkan termasuk oleh para penulis dan pembaca buku ini di media komunikasi massa modern, cetak, suara, maupun gambar. Enam peneliti muda dalam bunga rampai ini menangkap ada kekhawatiran orang-orang urban modern dari kelas sosial tertentu berkaitan dengan identitas dan keberlanjutan nasionalisme Indonesia masa kini. Kekhawatiran mereka, nampaknya, karena mereka memang diajar memperingati peristiwa Soempah Pemoeda ((1928), dan diingat-ingatkan bahwa nasionalisme lah yang akan menghasilkan bahasa bersama, bahasa Indonesia, padahal sejarah dari pengalaman masa rakyat Indonesia mencatat sebaliknya: bahwa bahasa bersamalah yang lebih menghasilkan nasionalisme.
Mungkin dengan alasan itulah buku ini hadir di tengah sidang pembaca. Namun karena buku ini adalah kumpulan karangan sehingga tak heran kelihatan ada ketidaksamaan tema serta misi yang diemban oleh para penulis buku ini. Terlepas dari kelemahan itu buku ini tetap layak sebagai langkah awal menemukan Kembali indentitas Indonesia yang selama ini mulai memudar oleh gempuran modernitas.

Sudah begitu banyak kata-kata, gagasan dan "kenyataan" tentang ke-Indonesia-an yang telah ditampilkan termasuk oleh para penulis dan pembaca buku ini di media komunikasi massa modern, cetak, suara, maupun gambar. Enam peneliti muda dalam bunga rampai ini menangkap ada kekhawatiran orang-orang urban modern dari kelas sosial tertentu berkaitan dengan identitas dan keberlanjutan nasionalisme Indonesia masa kini. Kekhawatiran mereka, nampaknya, karena mereka memang diajar memperingati peristiwa Soempah Pemoeda ((1928), dan diingat-ingatkan bahwa nasionalisme lah yang akan menghasilkan bahasa bersama, bahasa Indonesia, padahal sejarah dari pengalaman masa rakyat Indonesia mencatat sebaliknya: bahwa bahasa bersamalah yang lebih menghasilkan nasionalisme.

Mungkin dengan alasan itulah buku ini hadir di tengah sidang pembaca. Namun karena buku ini adalah kumpulan karangan sehingga tak heran kelihatan ada ketidaksamaan tema serta misi yang diemban oleh para penulis buku ini. Terlepas dari kelemahan itu buku ini tetap layak sebagai langkah awal menemukan Kembali indentitas Indonesia yang selama ini mulai memudar oleh gempuran modernitas.

Dimuat di Seputar Indonesia 28 Oktober 2007

Monday, August 20, 2007

Televisi dan Media Pendidikan*

Judul : Televisi sebagai Media Pendidikan
Penulis : Drs. Darwanto, S.S
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal : ix+347 halaman.

Sebagai salah satu media massa, televisi setiap waktunya terus mengalami perkembangan. Yang dulunya hanya hitam-putih kini merambah ke warna yang bervariasi, yang dulunya hanya beberapa chanel saja yang bisa diakses kini beribu chanel bisa dipelototi dan tonton setiap waktu. Sehingga tidak heran bila televisi dijadikan Dewa nomor satu sebagai media penyampai berita dan informasi, setelah koran, radio dan internet tentunya.
Di ranah Indonesia, sejarah pertelevisian pertamakali dimulai saat Pemerintah memutuskan untuk memasukkan proyek media massa televisi ke dalam proyek Asian Games, yang sebelumnya telah dilakukan penelitian yang mendalam tentang manfaat dan fungsi dari televisi. Berdasarkan surat keputusan Menteri Penerangan No.20/E/M/1961, dibentukklah Panitia Persiapam Pembangunan Televisi di Indonesia, kemudian berdasarkan surat keputusan Presiden No. 215/ 1963, didirikanlah Yayasan Televisi Repuplik Indonesia, yang berlaku sejak tanggal 20 oktober 1963.
Dengan kondisi yang terbatas lahirlah televisi siaran pertama di tanah air Indonesia. Walupun pada awalnya hanya mempunyai jangkauan siar yang terbatas serta jumlah pesawat penerima yang terbatas pula. Meskipun agak lamban, perkembangan terus berjalan seiirng dengan terus berputarnya roda waktu yang silih berganti, sekarang hampir semua daerah tingkat I da II telah mempunyai stasiun TVRI dan bahkan ada stasiun produksi keliling
Menurut Darwanto dalam buku ini, salah satu alasaan kenapa televisi bisa dijadikan sebagai pendidikan adalah karena televisi mempunyai karakteristik tersendiri yang tidak bisa dimiliki oleh media massa lainnya. Karakteristik audio visual yang lebih dirasakan perannya dalam mempengaruhi khalayak, sehingga dapat dimanfaatkan oleh negara dalam menyukseskan pembangunan negara dalam bidang pendidikan melalui program televisi sebagai sarana pendukung
Semula dinilai bahwa televisi siaran kurang bermanfaat dalam dunia pendidikan, hal ini mengingat biaya operasionalnya yang cukup mahal, tetapi kemudian muncul pendapat yang berlawanan, yang menyatakan bahwa televisi sebagai media massa sangat bermanfaat dalam memajukan pendidikan suatu bangsa. Dari pendapat itu dalam perkembangannya membuktikan bahwa dengan sifat audio visual yang dimiliki oleh televisi, menjadikan televisi sangat pragmatis, sehingga mudah mempengaruhi penonton dalam hal: sikap, tingkah laku dan pola pikirnya, maka tidak pantaslah kalau dalam waktu relatif singkat televisi telah menempati jajaran teratas dari jajaran media massa .
Menurut Dr. Jack Lyle, televisi dengan gambar audio visualnya sangat membantu dalam mengembangkan daya kreasi kita, hal ini seperti diungkapkan oleh Walter Lippman beberapa tahun lalu, bahwa dalam pikiran kita ada semacam ilustrasi gambar dan gambar-gambar ini merupakan suatu yang penting dalam hubungannya dengan proses belajar, terutama sekali yang berkenaan dengan orang, tempat dan situasi yang tidak setiap orang pernah ketemu mengunjungi atau telah mempunyai pengalaman.
Dari sedikit pendapat Lyle serta Lippman di atas, jelas sekali televisi bisa memberikan apresiasi kepada khalayak penonton. Sebagai media audio-visual penyajian acaranya lebih menekankan kepada bahasa audio visual, meskipun tidak menutup kemungkinan mengabaikan masalah yang bersifat auditif, walaupun yang bersifat auditif hanya sebagai kelengkapan penjelasan bagi hal-hal yang belum atau tidak tampak pada gambar.
Hal itu menyebabkan apabila seseorang melihat susunan gambar di layar televisi, merasakan ada nuansa yang baru, yang menyebabkan penonton tadi hampir tidak mampu membedakan mana yang pernah dilihat, atau dengan kata lain, penonton tadi hampir tak dapat membedakan pengalaman yang telah dimiliki. Hal ini berarti bahwa audio visual dapat memberikan pengalaman-pengalaman yang baru sesuai dengan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya, atau dapat memberikan pengalaman semu atau Simulated Experience.
Walaupun begitu, segala sesuatu pasti mempunyai titik lemah dan sisi negatifnya. Menurut peresensi begitu pula yang terjadi pada televisi. Telvisi tak jarang membuat orang melakukan tindakan yang abnormal yang asusila seperti yang menimpa anak SD kemarin karena gara-gara menyaksikan tayangan Smackdown yang ditayangkan oleh salah satu stasiun swasta negeri seribu banjir ini.
Kelemahan lain dari media massa televisi adalah sifat komunikasinya yang hanya satu arah, sehingga khalayak penonton menjadi pasif, artinya penonton tak bisa memberikan tanggapan-tanggapann secara langsung. Karena itu tak mengherankan kalau ada beberapa pendapat yang mengatakan, televisi sebagai media massa yang mendorong orang untuk bermalas-malasan. Bahkan cenderung berpengaruh negatif terhadap tingkah laku dan sikap seseorang.
Sebagai penulis buku yang berjudul Televisi sebagai Media Pendidikan ini, Darwanto, menurut Presensi cukup berhasil mengetengahkan hasil penelitiannya yang walaupun sudah agak lama, tapi tetap bisa untuk bisa diikuti oleh pembaca yang lebih umum lagi luas, yang asalnya hanya bisa diakses oleh rekan-rekannya sesama akademis di salah satu unversitas negeri ini.
Dari tampilan luar serta pembahasan-pembahasannya yang ditengahkan Darwanto dalam hal ini menuai sukses yang cukup berarti sehingga sudah cukup layak untuk dijadikan bahan referensi bagi akdemis komunal maupun individu sebagai bahan rujukan selanjutynya.
Namun tak ada gading yang tak retak, begitu juga yang bisa ditemui dalam buku ini, setelah membaca isi buku ini sepertinya judul buku, sebagaimana yang telah tertera di atas kurang cocok, karena dari sekian halaman buku yang lumayan tebal ini hanya berapa halaman saja yang berisi televisi sebagai media Pendidikan, yang cukup mendapat porsi dari buku adalah sepertinya ke masalah teknis dunia pertelevisian, seperti misalnya, penayangan, artis, serta produser yang kerja dalam satu tim di dalamnya.
Selain itu penulis terkesan memaksakan pendapat kepada pembaca berupa konsep yang telah penulis masukkan pada judul buku ini yakni, bahwa Televisi sebagai media Pendidikan sehingga Penulis terkesan menggurui pembaca. Walaupun begitu sebagai Buku, tetap layak untuk dijadikan bahan perenungan sekaligus bahan ajar bersama ke depan khusunya pada dunia pendidikan di Indonesia.
*Resensi ini dimuat di Suara Pembaruan, 14 Maret 2007