Reviews Buku

Thursday, November 01, 2007

Menemukan Kembali Indonesia

Judul : Masih (Kah) Indonesia
Editor : Budi Susanto
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta.
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 296 halaman

Indonesia sudah merdeka lebih dari 62 tahun, tapi wacana seputar nasionalisme jarang dimulai dari akar kebangsaan. Padahal, untuk dapat menemukan sosok Indonesia di tengah kekhawatiran lunturnya rasa kebangsaan sangat perlu digunakan sebagai pijakan.

Selain itu, Indonesia sebagai negara bangsa (nation-state) majmuk terbesar di dunia sangat rentan akan perpecahan. Ironisnya lagi perpecahan ini tidak hanya berasal dari jumlah etnisnya yang beragam, tetapi juga agama dan ras tak kalah beragamnya. Lantas pertanyaan berikutnya adalah bagaimana menyatukan keragaman itu semua? Atau paling tidak adannya formula dalam mengobati perbedaan yang kronis itu.

Indonesianis terkemuka, Benedict Anderson menyebut Indonesia sebagai imagine communities dengan unsur-unsur pembentuk yang saling tidak mendengar dan tidak mengenal. Namun, kemudian ia disatukan oleh cita-cita, harapan, dan sentimen. Muncul rasa kebangsaan, biasanya juga disebut nasionalisme, yang berdimensi sensoris.

Dimensi sensoris itu ibarat selimut yang menaungi dan berbagai unsur atau kelompok masyarakat dikendalikan dengan kuat oleh negara. Ketika zaman berubah, selubung itu ikut melemah. Unsur seperti suku bangsa semakin mengkristalkan dan menguatkan identitasnya dalam kondisi tidak saling mengenal dan memahami kelompok lain.

Untuk mengatasi permasalahan masyarakat yang beragam tadi ialah dengan mengganti kebijakan pluralisme dengan kebijakan multikulturalisme sebagai sebuah strategi besar. Oleh karena itu integrasi tidak hanya sebatas integrasi sosial, tetapi juga integrasi kebudayaan.
Oleh sebab itu Peran negara yang semula merekayasa integrasi yang berujung kepada politik penyeragaman perlu berubah menjadi fasilitator. Masyarakat yang tadinya merupakan obyek integrasi berubah menjadi subyek yang sadar, dengan kata lain menempatkan kembali manusia sebagai subyek. Konsekuensinya adalah masyarakat diberikan perangkat hak mereka dalam mengembangkan kebudayaan dan identitasnya. Dengan catatan, pemberian hak itu disertai dengan membangun jembatan antarunsur atau multikulturalisme. Dengan demikian, tidak lagi ada primordial baru.

Substansi dari multikulturalisme ialah pengembangan wisdom. Dalam hal ini masyarakat sudah tidak lagi melihat kelompok lain dengan dipenuhi prasangka. Dalam masyarakat multikultur masyarakat dituntut untuk memahami orang lain sebagai manusia utuh dan mampu hidup bersama dalam perbedaan.
Dalam membangun jembatan antar-kelompok masyarakat atau multikulturalisme, peran negara dalam hal ini hanya sebagai fasilitator melalui strategi pembangunan kebudayaannya. Misalnya lewat kurikulum sekolah sebagai sarana, dan lain-lain.
Buku ini merupakan upaya sekumpulan anak bangsa yang ingin mengembalikan identitas bangsa yang moderat, serta toleran terhadap perbedaan. Pertanyaan Masihkan Indonesia memang cocok untuk diajukan untuk situasi bangsa saat ini. Westernisasi yang membati buta tanpa filterisasi yang memadai secara tak langsung membuat anak muda Indonesia mengalami ambiguitas dalam berpikir dan bersikap, apakah menerima atau menolak.

Dalam salah satu penelitian Erni dalam buku ini misalnya memperlihatkan betapa rapuh impian dan bayangan tentang Indonesia (Orde) Baru yang dibangun oleh rejim-rejim militer yang pernah terlibat di Pariaman. Rejim yang lebih suka memandang orang berdasar identifikasi rasial (ke-Cina-an) dari pada pekerjaannya sebagai pedagang (sengli), atau perantau (Hoa Kiauw) dari daratan Tiong Kok. Sebuah cara pandang yang dengan mudah berkait dengan ikatan (identitas) primordial lainnya berdasar perbedaan kelas Sosial dan kepercayaan Agama dan Rasial tadi. Kesetiaan penulis mencatat cara pandang (orde) baru berdasar primordialitas SARA di kalangan subyek penelitiannya, akhirnya tidak sekedar mengungkap konflik sosial yang ada, tetapi juga memberi rincian contoh betapa keji dan kejam hasil konflik tersebut ketika kalau disadari demokratisasi ala Ranah Minang telah lama mangkir. Tentu saja, kemangkiran hidup bersesama ala sebuah "nagari" semakin memberi peluang kehadiran sikap-sikap militeristik dengan segala akibatnya yang harus ditanggung oleh golongan SARA tertentu, yang dijadikan korban seperti pernah terjadi di kota kabupaten yang sekarang disebut Pariaman. (Hal 269)

Substansi dari multikulturalisme ialah pengembangan wisdom. Dalam hal ini masyarakat sudah tidak lagi melihat kelompok lain dengan dipenuhi prasangka. Dalam masyarakat multikultur masyarakat dituntut untuk memahami orang lain sebagai manusia utuh dan mampu hidup bersama dalam perbedaan.

Dalam membangun jembatan antar-kelompok masyarakat atau multikulturalisme, peran negara dalam hal ini hanya sebagai fasilitator melalui strategi pembangunan kebudayaannya. Misalnya lewat kurikulum sekolah sebagai sarana, dan lain-lain.
Buku ini merupakan upaya sekumpulan anak bangsa yang ingin mengembalikan identitas bangsa yang moderat, serta toleran terhadap perbedaan. Pertanyaan Masihkan Indonesia memang cocok untuk diajukan untuk situasi bangsa saat ini. Westernisasi yang membati buta tanpa filterisasi yang memadai secara tak langsung membuat anak muda Indonesia mengalami ambiguitas dalam berpikir dan bersikap, apakah menerima atau menolak.

Dalam salah satu penelitian Erni dalam buku ini misalnya memperlihatkan betapa rapuh impian dan bayangan tentang Indonesia (Orde) Baru yang dibangun oleh rejim-rejim militer yang pernah terlibat di Pariaman. Rejim yang lebih suka memandang orang berdasar identifikasi rasial (ke-Cina-an) dari pada pekerjaannya sebagai pedagang (sengli), atau perantau (Hoa Kiauw) dari daratan Tiong Kok. Sebuah cara pandang yang dengan mudah berkait dengan ikatan (identitas) primordial lainnya berdasar perbedaan kelas Sosial dan kepercayaan Agama dan Rasial tadi. Kesetiaan penulis mencatat cara pandang (orde) baru berdasar primordialitas SARA di kalangan subyek penelitiannya, akhirnya tidak sekedar mengungkap konflik sosial yang ada, tetapi juga memberi rincian contoh betapa keji dan kejam hasil konflik tersebut ketika kalau disadari demokratisasi ala Ranah Minang telah lama mangkir. Tentu saja, kemangkiran hidup bersesama ala sebuah "nagari" semakin memberi peluang kehadiran sikap-sikap militeristik dengan segala akibatnya yang harus ditanggung oleh golongan SARA tertentu, yang dijadikan korban seperti pernah terjadi di kota kabupaten yang sekarang disebut Pariaman. (Hal 269)
Sudah begitu banyak kata-kata, gagasan dan "kenyataan" tentang ke-Indonesia-an yang telah ditampilkan termasuk oleh para penulis dan pembaca buku ini di media komunikasi massa modern, cetak, suara, maupun gambar. Enam peneliti muda dalam bunga rampai ini menangkap ada kekhawatiran orang-orang urban modern dari kelas sosial tertentu berkaitan dengan identitas dan keberlanjutan nasionalisme Indonesia masa kini. Kekhawatiran mereka, nampaknya, karena mereka memang diajar memperingati peristiwa Soempah Pemoeda ((1928), dan diingat-ingatkan bahwa nasionalisme lah yang akan menghasilkan bahasa bersama, bahasa Indonesia, padahal sejarah dari pengalaman masa rakyat Indonesia mencatat sebaliknya: bahwa bahasa bersamalah yang lebih menghasilkan nasionalisme.
Mungkin dengan alasan itulah buku ini hadir di tengah sidang pembaca. Namun karena buku ini adalah kumpulan karangan sehingga tak heran kelihatan ada ketidaksamaan tema serta misi yang diemban oleh para penulis buku ini. Terlepas dari kelemahan itu buku ini tetap layak sebagai langkah awal menemukan Kembali indentitas Indonesia yang selama ini mulai memudar oleh gempuran modernitas.

Sudah begitu banyak kata-kata, gagasan dan "kenyataan" tentang ke-Indonesia-an yang telah ditampilkan termasuk oleh para penulis dan pembaca buku ini di media komunikasi massa modern, cetak, suara, maupun gambar. Enam peneliti muda dalam bunga rampai ini menangkap ada kekhawatiran orang-orang urban modern dari kelas sosial tertentu berkaitan dengan identitas dan keberlanjutan nasionalisme Indonesia masa kini. Kekhawatiran mereka, nampaknya, karena mereka memang diajar memperingati peristiwa Soempah Pemoeda ((1928), dan diingat-ingatkan bahwa nasionalisme lah yang akan menghasilkan bahasa bersama, bahasa Indonesia, padahal sejarah dari pengalaman masa rakyat Indonesia mencatat sebaliknya: bahwa bahasa bersamalah yang lebih menghasilkan nasionalisme.

Mungkin dengan alasan itulah buku ini hadir di tengah sidang pembaca. Namun karena buku ini adalah kumpulan karangan sehingga tak heran kelihatan ada ketidaksamaan tema serta misi yang diemban oleh para penulis buku ini. Terlepas dari kelemahan itu buku ini tetap layak sebagai langkah awal menemukan Kembali indentitas Indonesia yang selama ini mulai memudar oleh gempuran modernitas.

Dimuat di Seputar Indonesia 28 Oktober 2007

Monday, August 20, 2007

Televisi dan Media Pendidikan*

Judul : Televisi sebagai Media Pendidikan
Penulis : Drs. Darwanto, S.S
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I, Januari 2007
Tebal : ix+347 halaman.

Sebagai salah satu media massa, televisi setiap waktunya terus mengalami perkembangan. Yang dulunya hanya hitam-putih kini merambah ke warna yang bervariasi, yang dulunya hanya beberapa chanel saja yang bisa diakses kini beribu chanel bisa dipelototi dan tonton setiap waktu. Sehingga tidak heran bila televisi dijadikan Dewa nomor satu sebagai media penyampai berita dan informasi, setelah koran, radio dan internet tentunya.
Di ranah Indonesia, sejarah pertelevisian pertamakali dimulai saat Pemerintah memutuskan untuk memasukkan proyek media massa televisi ke dalam proyek Asian Games, yang sebelumnya telah dilakukan penelitian yang mendalam tentang manfaat dan fungsi dari televisi. Berdasarkan surat keputusan Menteri Penerangan No.20/E/M/1961, dibentukklah Panitia Persiapam Pembangunan Televisi di Indonesia, kemudian berdasarkan surat keputusan Presiden No. 215/ 1963, didirikanlah Yayasan Televisi Repuplik Indonesia, yang berlaku sejak tanggal 20 oktober 1963.
Dengan kondisi yang terbatas lahirlah televisi siaran pertama di tanah air Indonesia. Walupun pada awalnya hanya mempunyai jangkauan siar yang terbatas serta jumlah pesawat penerima yang terbatas pula. Meskipun agak lamban, perkembangan terus berjalan seiirng dengan terus berputarnya roda waktu yang silih berganti, sekarang hampir semua daerah tingkat I da II telah mempunyai stasiun TVRI dan bahkan ada stasiun produksi keliling
Menurut Darwanto dalam buku ini, salah satu alasaan kenapa televisi bisa dijadikan sebagai pendidikan adalah karena televisi mempunyai karakteristik tersendiri yang tidak bisa dimiliki oleh media massa lainnya. Karakteristik audio visual yang lebih dirasakan perannya dalam mempengaruhi khalayak, sehingga dapat dimanfaatkan oleh negara dalam menyukseskan pembangunan negara dalam bidang pendidikan melalui program televisi sebagai sarana pendukung
Semula dinilai bahwa televisi siaran kurang bermanfaat dalam dunia pendidikan, hal ini mengingat biaya operasionalnya yang cukup mahal, tetapi kemudian muncul pendapat yang berlawanan, yang menyatakan bahwa televisi sebagai media massa sangat bermanfaat dalam memajukan pendidikan suatu bangsa. Dari pendapat itu dalam perkembangannya membuktikan bahwa dengan sifat audio visual yang dimiliki oleh televisi, menjadikan televisi sangat pragmatis, sehingga mudah mempengaruhi penonton dalam hal: sikap, tingkah laku dan pola pikirnya, maka tidak pantaslah kalau dalam waktu relatif singkat televisi telah menempati jajaran teratas dari jajaran media massa .
Menurut Dr. Jack Lyle, televisi dengan gambar audio visualnya sangat membantu dalam mengembangkan daya kreasi kita, hal ini seperti diungkapkan oleh Walter Lippman beberapa tahun lalu, bahwa dalam pikiran kita ada semacam ilustrasi gambar dan gambar-gambar ini merupakan suatu yang penting dalam hubungannya dengan proses belajar, terutama sekali yang berkenaan dengan orang, tempat dan situasi yang tidak setiap orang pernah ketemu mengunjungi atau telah mempunyai pengalaman.
Dari sedikit pendapat Lyle serta Lippman di atas, jelas sekali televisi bisa memberikan apresiasi kepada khalayak penonton. Sebagai media audio-visual penyajian acaranya lebih menekankan kepada bahasa audio visual, meskipun tidak menutup kemungkinan mengabaikan masalah yang bersifat auditif, walaupun yang bersifat auditif hanya sebagai kelengkapan penjelasan bagi hal-hal yang belum atau tidak tampak pada gambar.
Hal itu menyebabkan apabila seseorang melihat susunan gambar di layar televisi, merasakan ada nuansa yang baru, yang menyebabkan penonton tadi hampir tidak mampu membedakan mana yang pernah dilihat, atau dengan kata lain, penonton tadi hampir tak dapat membedakan pengalaman yang telah dimiliki. Hal ini berarti bahwa audio visual dapat memberikan pengalaman-pengalaman yang baru sesuai dengan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya, atau dapat memberikan pengalaman semu atau Simulated Experience.
Walaupun begitu, segala sesuatu pasti mempunyai titik lemah dan sisi negatifnya. Menurut peresensi begitu pula yang terjadi pada televisi. Telvisi tak jarang membuat orang melakukan tindakan yang abnormal yang asusila seperti yang menimpa anak SD kemarin karena gara-gara menyaksikan tayangan Smackdown yang ditayangkan oleh salah satu stasiun swasta negeri seribu banjir ini.
Kelemahan lain dari media massa televisi adalah sifat komunikasinya yang hanya satu arah, sehingga khalayak penonton menjadi pasif, artinya penonton tak bisa memberikan tanggapan-tanggapann secara langsung. Karena itu tak mengherankan kalau ada beberapa pendapat yang mengatakan, televisi sebagai media massa yang mendorong orang untuk bermalas-malasan. Bahkan cenderung berpengaruh negatif terhadap tingkah laku dan sikap seseorang.
Sebagai penulis buku yang berjudul Televisi sebagai Media Pendidikan ini, Darwanto, menurut Presensi cukup berhasil mengetengahkan hasil penelitiannya yang walaupun sudah agak lama, tapi tetap bisa untuk bisa diikuti oleh pembaca yang lebih umum lagi luas, yang asalnya hanya bisa diakses oleh rekan-rekannya sesama akademis di salah satu unversitas negeri ini.
Dari tampilan luar serta pembahasan-pembahasannya yang ditengahkan Darwanto dalam hal ini menuai sukses yang cukup berarti sehingga sudah cukup layak untuk dijadikan bahan referensi bagi akdemis komunal maupun individu sebagai bahan rujukan selanjutynya.
Namun tak ada gading yang tak retak, begitu juga yang bisa ditemui dalam buku ini, setelah membaca isi buku ini sepertinya judul buku, sebagaimana yang telah tertera di atas kurang cocok, karena dari sekian halaman buku yang lumayan tebal ini hanya berapa halaman saja yang berisi televisi sebagai media Pendidikan, yang cukup mendapat porsi dari buku adalah sepertinya ke masalah teknis dunia pertelevisian, seperti misalnya, penayangan, artis, serta produser yang kerja dalam satu tim di dalamnya.
Selain itu penulis terkesan memaksakan pendapat kepada pembaca berupa konsep yang telah penulis masukkan pada judul buku ini yakni, bahwa Televisi sebagai media Pendidikan sehingga Penulis terkesan menggurui pembaca. Walaupun begitu sebagai Buku, tetap layak untuk dijadikan bahan perenungan sekaligus bahan ajar bersama ke depan khusunya pada dunia pendidikan di Indonesia.
*Resensi ini dimuat di Suara Pembaruan, 14 Maret 2007

Thursday, January 25, 2007

Menelusuri Jejak Ho dalam Mite Nias

Akhmad Kusairi*

Judul : Ho Jendela Nias Kuno: Sebuah Kajian kritis Mitologis
Penulis : Victor Zebua
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I Desember 2006
Tebal : x + 158 halaman.

Sudah banyak kajian tentang mitologi Nias, namun belum ada satu pun karya yang mampu mengungkap secara tuntas dan benar apa yang menjadi tradisi di Nias, termasuk tentang cerita Ho yang di Nias dianggap sebagai salah satu keturunan para Dewa yang diturunkan dari langit secara langsung utuk mengurus muka bumi khususnya bumi Nias.
Ada banyak kontradiksi seputar asal-usul Ho sendiri, mengingat banyaknya cerita-cerita mite yang beredar di Masyarakat Nias sebagai cerita sehari-sehari. Victor Zebua dengan analisisnya yang tajam mengupas tuntas asal-usul orang Nias yang kemudian menunjukkan bahwa Ho berasal dari mana, apakah dia berasal dari langit seperti yang dianggap oleh sebagian orang, apakah dia Cuman manusia yang berasal dari salah satu tempat di Nias. Setidaknya itulah alasan kenapa buku ini terbit.
Vivtor Zebua, Penulis buku yang berjudul Ho Jendela Nias Kuno: Sebuah Kajian Kritis Mitologis ini, dengan referensi yang dikutipnya mampu menganalisis kemungkinan yang mendekati kebenaran, tentunya kebenaran di sini sifatnya relatif, atau bahkan hanya benar menurut Victor saja.
Sebagai sebuah buku antropologi mitologi tentunya buku ini tak akan terlepas dari yang namanya cerita-cerita mite yang biasanya selalu hidup mengiringi kehidupan yang sebenarnya. Terus apa bedanya dengan dongeng atau cerita-cerita pengantar tidur untuk anak-anak yang belum akil baligh? Menurut Victor dalam buku ini, cerita-cerita mite biasanya dianggap sakral keberadaannya, sehingga orang harus berhati-hati dalam menceritakannya sehingga tak terjadi kesalahan yang nantinya, menurut mereka akan berakibat fatal bagi orang bercerita, yang diceritai atau malah suatu masyarakat yang akan mengalami nasib yang tak enak.
Dalam buku yang lumayan tebal ini, Victor juga memaparkan dengan lugas latar belakang Sawuyu (perbudakan dalam konsep Nias). Menurut Faugoli yang dikutip oleh Victor, ada tiga macam Sawuyu di jaman kuno. Pertama Sondrara Hare yaitu orang yang terlilit hutang, pada rentenir (orang kaya atau raja), berkerja pada rentenir itu, gajinya dipotong untuk melunasi hutangnya, dan bila sudah lunas dibebaskannya. Kedua, Holito, ialah orang yang dihukum mati menurut adat, namun jika ada yang membayar holi-holi (penebus jiwa). Dia menjadi Sawuyu dari sang penebus dirinya. Status sawuyu ini turun-temurun hingga ke anak cucunya. Dan yang ketiga adalah Sawuyu tawanan perang adalah tawanan yang menjadi budak raja. Status budak ini juga turun-temurun hingga ke anak cucunya. Oleh Yoshiko Yamamoto, tiga macam Sawuyu tersebut dirumuskan dengan tiga kata kunci, yaitu Utang, Kriminal, dan tawanan.
Mabel Cook Cole menulis dalam The Island of Nias at the Edge of the Word bahwa mayoritas Sawuyu adalah orang yang berutang. Ini berarti perbudakan pada jaman dulu di Nias kuno mempunyai motif ekonomi. Sehingga bila Sawuyu kurang cocok dikategorikan dalam stratifikasi sosial, tentu tidak perlu ragu-ragu bila ia dipandang sebagai kelas sosial.
Menurut ahli antropologi budaya, Koentjaraningrat, ada tiga wujud kebudayaan Pertama, adat tata-kelakuan (adat-istiadat) yang terdiri dari: sistem nilai budaya, simtem norma-norma, sistem hukum, dan aturan khusus (misalnya sopan-santun). kedua, sistern nilai budaya, yaitu suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam msyrakat. Dan yang ketiga, kebudayaan fisik, yaitu benda hasil karya manusia.
Sawuyu merupakan wujud kedua kebudayaan, yaitu sistem sosial, entah dia disebut sebagai strata (social stratification) atau disebut kelas (social class}. Sedangkan mitos ada dalam wujud pertama kebudayaan. Sehingga argumentasii mitos penciptaan dari Laiya dalam menyanggah Danandjaja ada di kamar yang berbeda. Pandangan dua ahli anlropologi ini tentang sawuyu tidak bertemu, bagaikan dua titik embun yang bersebelahan di dinding kaca.
Dari atas angin, mitos merembes kewujud pcrtama kebudayaan dalam hentuk ide, gagasan nilai, norma, dan peraturan. Penyebab pcrbudakan (utang, kriminal, tawanan) adalah hasil dari paradigma adat-istiadat pada jaman itu. Sistem yang diharisilkan (nilai budaya, norma, hukum, bahkan ekonomi) tidak mencegah, justru memproduksi perbudakarn. Agama bahkan gagal memhendung fenomena perbudakan. Inilah rembesan mitos, sebuah mitos yang dijabarkan oleh para pemilik mitos menjadi wajah sosial yang mengerikan, yaitu sawuyu.
Pada perkembangan selanjutnya mengalami perkembangan. Yaitu ada penambahan dari tiga kata kunci yang Yoshiko Yamamoto. Pertam, Komoditas, dan selanjutnya ritual. Sebagai sebuah komoditas Sawuyu dijadikan barang komoditas, artinya Sauyu bisa ditukar, dibeli bahkan dijadikan ekspor oleh suatu negeri. Sebagai ritual Sawuyu dijadikan sebagai tumbal ritual, berupa pemenggalan kepala para laki-laki, dan ini biasanya ditimpakan pada para Sawuyu. Oleh Victor tiga kata kunci yang diusulakn oleh Yoshiko yamamoto harus ditambah menjadi Utang, Kriminal, dan tawanan, komoditas, dan ritual.
Sebagai sebuah buku antropolog sekali lagi presensi tekankan, buku ini sangat layak untuk dijadikan referensi keilmuan kita. Kritik keras Victor kepada Peter Suzuki adalah suatu yang baru pemikiaran kita. Mengingat selama ini Karya orang Jepang ini tak tersentuh oleh kritik.
Menurut Victor dalam buku ini, buku The Riligious System and Culture of Nias, Indonesia karangan Suzuki yang terbit 1959, Suzuki telah bias menilai karena Beliau telah terjebak ke dalam tiga hal. Pertama teori struktur sosial yang diterapkan Suzuki gagal menjelaskan posisi Sawuyu (budak) dalam starfikasi sosial di Nias. Kedua, model analisis dewa Hermes tidak valid sebagai instrumen untuk mengkaji eksistensi Silewe Nazarata. Dan yang ketiga, Suzuki tidal mampu dengan jernih membedakan mitos Kosmogonis dan teogonis. Kekeliruan di atas Menurut Victor lagi, selain Suzuki tak pernah datang sendiri ke Nias, juga dikarenakan suzuki terlalu percaya terhadap promotornya yang berasal dari Belanda, P.E de Jos Seling de Jong yang mengeluarkan teori struktur sosial yang diamini secara kasar oleh Suzuki. (hal 98-99)
Sebagaai sebuah buku, apalagi buku antropologi, di ranah Indonesia sangat kekurangan. Sampai sekarang hanya ada beberapa nama yang telah membuktikan bahwa mereka adalah benar-benar antropolog. Kontjaraningrat patut dimasukkan ke dalam sini. Karena menurut presensi berkat beliaulah studi Antropologi dijadikan disiplin ilmu yang tak kalah pentingnya bagi dunia pendidikan, ilmiah dan akademis. Sehingga Presesensi mengusulkan pada pemerintah bagaimana Kontjara Ningrat dijadikan sebagai Bapak pelopor Antropologi di Indonesia seperti yang telah pemerintah lakukan terhadap Driyarkara yang dijadikan Bapak Filsafat di Indonesia, karena dia lah yang telah berjasa mentransfer ilmu filsafat kedalam ranah intelektual Indonesia.
Resensi ini adalah tulisan pertama yang masuk ke koran yang pernah dimuat di harian Suara Pembaruan, 14 februari 2007

Wednesday, December 13, 2006

Praktik Kekerasan dalam Film Anak-anak

(Dalam rangka memperingati hari Siaran Anak Internasional 14 Desember)
Oleh: akhmad Kusairi*

Dari sekian banyak orang Indonesia mungkin sebagian kecil saja yang tahu bahwa tanggal 14 Desember merupakan tanggal diperingatinya hari Siaran Anak Internasioanal. Eksistensi peringatan tersebut pastinya didasari oleh keprihatinan terhadap buruknya kualitas siaran (televisi) untuk anak-anak, yang otomatis akan mempengaruhi kualitas psikis dan tingkah laku anak-anak.
Film anak merupakan satu materi yang semua stasiun televisi, baik itu Negeri dalam hal ini TVRI maupun swasta. Terdapat begitu banyak film anak-anak, dari yang berupa kartun klasik film animasi hingga sinetron baik dengan cerita tentang anak atau yang melibatkan anak-anak sebagai artisnya. Dari berbagai variasi tadi film kartunlah yang paling menjadi menjadi perhatian.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh KIDIA (Kritis Media untuk Anak) pada Februari tahun 2005 lalu melaporkan bahwa 84 persen dari anak Indonesia menjadikan film kartun sebagai tontonan sehari-hari.
Sudah menjadi rahasia umum orang beranggapan bahwa film animasi dan kartun dengan tampilan yang lucu serta menarik, dan variasi warna yang mencolok, khas anak-anak, sudah pasti untuk anak-anak. Padahal dalam realitanya tak semua film kartun serta animasi sesuai untuk anak-anak. Semisal Sin Chan dan Spiderman (versi kartunnya), kalau dicermati secara seksama bukanlah film yang diperuntukkan bagi anak-anak, sebab sarat dengan problem orang dewasa sebagai bahan membuat cerita. Film-film tadi banyak sekali berisi adegan dialog yang terkait erat dengan seks atau hubungan romantis antara laki-laki dan perempuan yang belum waktunya dilihat oleh anak-anak.
Anggapan lain mengatakan bahwa film anak tentunya cocok yang sepi dari dari segala macam tindak negatif. Memang seharusnya film untuk anak harus relevan dengan kondisi pertumbuhan anak, khususnya dari sisi pertumbuhan psikologis serta tingkah laku anak. Ini berarti film anak sebaiknya tidak mengandung adegan yang berlawanan dengan nilai edukasi (pendidikan). Adegan kekerasan, seks, seharusnya dijsingkirkan jauh-jauh. Walaupun ada, hanya sebatas untuk pengembangan cerita, bukan daya tarik utama film tersebut.
Tapi dalam realitanya, justru adegan-adegan kekerasan banyak sekali terdapat dalam tayangan anak-anak, terutama dalam film-film kartun, entah film kartun buatan Jepang maupun Amerika. Film Tom & Jerry contohnya. Tak bisa diingkari penuh dengan imajinasi, banyak sekali ide-ide cerdas serta mengagumkan yang dimunculkan, baik oleh Jerry, yang suka usil, dan (Tom yang kerap berprilaku jahat), tapi demi mencapai tujuannya Tom dan Jerry tak jarang melakukan tindakan subversiv, seperti memukul, membanmting, membentak, mencelakakan, bahkan berupaya membunuh seperti biasanya yang ada dalam dewasa.
Begitu halnya dengan film kartun, SpongeBob yang menurut kajian KIDIA termasuk kategori film kartun berbahaya. Figur-figur di film kartun ini memang memiliki nilai-nilai pekawanan yang solid, tapi mereka juga sering melakukaan praktik kekerasan dan percakapan yang tak enak didengar telinga, teutama telinga anak-anak.
Dengan kemampuan nalarnya yang terbatas dalam menyerap serta mencerna makna yang ditayangkan oleh televisi, bukan suatu yang mustahil apa yang dilakukan Tom dan Jerry serta figur dalam SpongeBob dianggap perbuatan yang sah-sah saja oleh anak-anak.
Tak menutup kemungkinan, karena dilakukan dengan lucu maka anak justru tertawa saat figur dalam film kartun tadi mempraktikkan tindak kekerasan, baik secara fisik maupun psikis (mengejek, menghardik, dll). Ini artinya anak juga akan menganggap wajar (bahkan dianggap lucu) saat anak menendang temannya, atau bermusuhan dengan temannya sepanjang seperti yang dicontohkan Tom dan Jerry dalam Tom & Jerry. Bukankah anak-anak adalah peniru ulung, dalam hal ini sesuatu yang ditampilkan oleh film kartun tadi.
Orangtua pastinya tak menginginkan kondisi seperti di atas tadi menimpa anak-anaknya. Jika setiap waktu anak-anak menonton dengan kualitas mengerikan, dapat dibayangkan seperti apa jeleknya prilaku mereka.
Sebagai orangtua atau orang yang berperan aktif dalam pertumbuhan mental anak, sangat pantas jika merasa kuatir dengan tayangan-tayangan tadi. Terlebih setelah mengetahui laporan KIDIA pada pertengahan 2005 lalu yang menunjukkan bahwa dari 19 film kartun yang diteliti, hanya 8 yang 'aman' untuk dikonsumsi. Tentunya aman di sini juga perlu peran aktif orangtua. Sisanya termasuk dalam kategori hati-hati dan bahaya. Ini berimplikasi, orangtua harus menemani anak-anaknya dalam menyaksikan film, baik berupa film yang ditayangkan televisi maupun berupa VCD maupun DVD. Aktvitas menemani ini, mestinya tak hanya diartikan sebagai orangtua ikut duduk dan menyaksikan acara film yang disaksikan anak-anaknya, duduk dan diam. Maksud menemani di sini, tentu saja orangtua harus bertindak aktif , dalam artian orangtua harus menjelaskan sesuatu yang gamblang dalam pemikiran anak-anak.
Sebagai akhir, orangtua harus memberikan sebagian waktu untuk menemani anak-anak mengonsumsi acara di televisi. Supaya mereka memproleh makanan acara yang bergizi lagi sehat.

Menjawab Pertanyaan Fundamental

Pendahuluan

Epistemologi Yang merupakan satu diskursus filsafat berusaha menempat-kan diri dalam obyek kajian pengetahuan. Menyelidiki asal-asal pengetahuan, bagaimana cara memprolehnya, serta metode yang dipakai dalam pendekatan dis-kursus terhadap epistemologi itu sendiri.
Secara literal, epistemologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, Episteme yang berarti pengetahuan, informasi, dan logos bermakna, kata, pikiran,, percakapan, atau ilmu.[1]
Secara tradisional, yang menjadi pokok persoalan dalam epistemologi adalah sumber, asal mula, dan sifat dasar pengetahuan, bidang, batas, dan jangkuan pengetahuan, serta validitas dan reabilitas dari berbagai klaim terhadap pengetahuan. Oleh karena itu rangkaian pertanyaan yang biasa diajukan menjadi tiga kelompok problem dasar dalam bidang ini. Pertama, apakah sumber pengetahuan itu? Manakah pengetahuan yang benar itu, dan bagaimana kita mengetahuinya? kedua, apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar berada di luar pikiran kita, dan kalau ada, apakah kita bisa mengetahuinya? Ini adalah persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomenia/ apperance) versus hakikat (noumenia/ reference). Dan yang terakhir, apakah pengetahuan kita itu benar? Bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? Apakah kesalahan itu? Pertanyaan-pertanyaan Ini adalah persoalan mengkaji kebenaran atau verivikasi.[2] untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis dan radikal di atas, penulis akan menjelaskan secara ringkas persoalan-persoalan yang menjadi pertanyaan sekaligus persoalan dalam diskursus epistemologi.

Tentang pengetahuan
Apabila dikatakan bahwa seseorang mengetahui sesuatu, itu berarti ia me-miliki pengetahuan tentang sesuatu. Dengan demikian, pengetahuan adalah suatu kata yang diguanakan untuk menunjuk kepada apa yamh diketahui oleh seseorang tentang sesuatu. Apabila si Joko yang baru pulang dari Taman Mini Indonesia Indah (TMII) menceritakan bahwa Taman Mini itu tempat yang sangat indah, bersih, banyak terdapat miniatur Indonesia, berupa rumah adat seluruh Indonesia , dan sebagainya, maka semua yang diceritakannya itu adalah pengetahuan tentang Taman Mini. Kita juga mengetahui bahwa dua ditambah dua sama dengan empat, lima kali lima sama dengan dua puluh lima. Kita pun mengetahui ada bermacam-bermacam bunga, ada mawar, melati, rose, dan lain-lain. Kita juga mengatahui bahwa rusa, babi, anjing, kucing kelinci, kancil dan ayam adalah bagian dari alam. Semua yang kita ketahui tentang sesuatu itu adalah pengetahuan.
Salah satu ciri pengetahuan adalah selalu memiliki subyek, yakni yang mengetahui, karena tanpa ada yang mengetahui tak mungkin ada pengtehuan. Jika ada subyek pasti ada obyek, yakni sesuatu yang ihwalnya kita ketahui atau hendak kita ketahui. Tanpa obyek juga tidak mungkin ada pengetahuan.
Selain itu, pengetahuan juga bertautan erat dengan kebenaran. Karena demi mencapai kebenaranlah, pengetahuan itu ada.
Secara sederhana, kebenaran adalah kesesuaian pengetahuan dengan obyeknya.[3] ketidaksesuaian pengetahuan dengan obyeknya disebut dengan kekeliruan.[4]
Kalau ditelisik lebih dalam, kebenaran dalam istilah Inggrisnya adalah truth (kesetiaan) istilah Latinnya Veritas dan Yunani altheia. Istilah ini lawan dari kesalahan, kesesetan, kepalsuan, dan juga kadang opini. [5]
Suatu obyek yang ingin diketahui senantiasa memiliki banyak aspek yang amat sulit diungkapkan secara serentak. Kenyataannya, manusia hanya mengetahui sebagian kecil aspek dari suatu obyek itu, sedangkan yang lainnya tetap tersembunyi baginya. Dengan demikian, jelas bahwa amat sangat sudi untuk mencapai kebenaran yang lengkap dari iobyek tertentu, apalagi mencapai seluruh kebenaran dari segala sesuatu yang dapat dijadikan obyek pengetahuan.
Dilihat dari aspek formal, pengetahuan bisa dipetakan menjadi tiga jenis, pengetahuan biasa, pengetahuan ilmiah, dan pengetahuan filsafati. Yang dimak-sud dengan pengetahuan biasa adalah hasil pencerapan indrawi yang merupakan hasil pemikiran rasional yang bisa dijumpai dalam kehidupan sehari-har. Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang didapat melalui penggunaan metode-metode ilmiah yang lebih menjamin kepastian kebenaran yang dicapai. Sedang pengetahuan filsafati diperoleh lewat pemikiran rasioanal yang didasarkan pada understanding, interpretation, speculation, penilaian kritis yang logis dan sistematis. Pengetahuan filsafati adalah pengatahuan yang berelasi dengan esensi, prinsip, dan asas dari semua realitas yang dipermasalahkan menurut yang akan diketahui.

Asal pengetahuan.
Tentang asal atau sumber pengetahuan, para Filsuf sedikitnya terpetakan menjadi tiga kelompok. Kelompok rasionalisme, yang mengatakan bahwa rasio atau akal budi adalah sumber pengetahuan utama bagi pengetahuan. Kelompok atau paham ini diwakili oleh Plato, Decartes, Spinoza, dan Leibniz. Secara umum para Filsuf ini berpendapat bahwa setiap keyakinan atau pandangan yang bertentangan dengan rasio tidak mungkin benar. Paham ini juga beranggapan ada perinsip-prinsip dasar dunia tertentu, yang diakui benar oleh akal budi manusia. Dari prinsip-prnsip ni kemudian muncul metode deduksi, yaitu penalaran dari suatu kebenaran umum ke suatu hal yang khusus dari kebenaran itu.
Sedangkan beberapa Filsuf lainnya seperti Bacon, Hobes, Jon Locke, mengatakan bahwa bukan rasio, melainkan pengalaman panca indralah yang menjadi sumber utama pengetahuan. Mereka beranggapan bahwa pengetahuan bergantung pada panca indra manusia serta pengalaman-pengalaman indranya. Paham ini kemudian melahirkan metode induksi, kebalikan dari deduksinya kaum Rasionalisme.
Terlepas dari perberbedaan pendapat tadi, penulis tak akan mencap bahwa satu aliran yang paling benar, karena setiap yanmg dianggap oleh sebagian orang itu benar belum tentu benar bagi orang lain. Naum jika disuruh berpendapat, penulis lebih memilih semuanya, dalam arti perpaduan, namun terlebih dulu membuang sesuatu yang tak benar dari pendapat paham-paham tadi. Sebab selain seabgian orang Islam tentunya notabene percaya pada semua kitab yang diturunkan oleh Tuhan. Penulis juga percaya bahwa kitab-kitab juga tak akan terlepas dari pengalaman, pemikiran maupun intuisi (wahyu dan ilham).
Selain tentang pengetahuan, epistemologi juga mempertanyakan kebenaran yang absolut. Tentang masalah ini, semua Filsuf percaya bahwa ada kebnaran di dunia ini, namun tak ada kebenaran yang absolut selain dalam hal ini kebenaran bahwa Tuhan ada.

Penutup
Dari pembahan yang ada di halaman-halaman sebelumnya, dari pertanyaan apa itu epistemologi sampai kemudian, apa kebenaran? Satu jawaban besar yang mungkin penulis temukan, yaitu kebingungan. Sebab dengan kebingungan tentang apa itu epistemologi dan kebenaranlah orang akan berpikir bahwa semua persoalan epistemologi tak akan selesai hanya menjawab sembilan pertanyaan yang dikutip oleh saudara Sudin dari bukunya Louis Kattsoff.
Akhirnya pertanyaan saya kembalikan pada penanya yang mengaku ahli filsafat. Apa itu epistemologi.
Daftar bacaan
-Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
-Gazalba, Sidi. 1991. Sistematika Filsafat II . Jakarta: Bulan Bintang.
-Kattsoff, Louis. 2004. Pengantar Filsafat. Terjemahan Soejono
Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
-Pranarka, AMW & Anton Baker. Tanpa data penerbitan.
-Rapar Hendrik, Jan. tt. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
-Sunardi, St. 2004. Nietsche. Yogyakarta: LkiS.
-Titus, Harold H. 1984. Persoalan Persoalan Filsafat terjemahan H.M
Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.

[1] Untuk pengertian epistemologi, hampir semuanya sepakat bahwa epistemologi berarti, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Lihat dalam Jan Hendrik Rapar. Pengantar Filsafat (yogyakarta: Kanisius, tt) hlm, 160.Lihat juga buku lain, semisal Lorens Bagus. Kamus Filsafat (Jakatarta: Grammedia, 1996) halm, 212
[2] penulis sengaja membedakan tiga persoalan pokok epistemologi, dengan tujuan terpetak jelas mana yang obyek material, dan mana yang obyek formal sehingga terlihat jelas perbedaan antara pengetahuan, kesesetan, serta kebenaran itu sendiri.
[3] Tentang kebenaran, sebenarnya sampai sekarang belum ada kata sepakat dalam definisinya, bahkan Nietsche dengan skeptis mengatakan bahwa kebenaran adalah sejenis kesalahan yang tanpanya manusia tak dapat hidup. Lihat dalam St. Sunardi Nietsche ( yogyakarta: LkiS, tt)
[4] dalam istilah Inggris kekeliruan adalah fallacy dari bahasa latin fallacia, tpu daya, gerak tipu. Lihat dalam Lorenc Bagus. Op. Cit. hlm 437.
[5] Ibid, hlm 412-416.