Apakah kekalahan harus ditangisi? Para jago bola yang harga transferannya miliaran, sering nampak menangis di layar kaca, kalau kesebelasannya kalah.
Berbeda sekali dengan para tokoh politik. Kalau kalah, mereka semakin lebar membuka mulut. Lalu berteriak mengeluarkan berbagai sumpah-serapah. Dan menuding dosa dan kesalahan ada di pihak musuhnya.
Apakah kekalahan itu rasa sakit yang tak tertahankan sehingga kita harus mencari keseimbangan dengan meraung seperti binatang? Atau lebih merupakan kenyataan yang menunjukkan harga sebenarnya dari nilai intrinsik mata uang kita sehingga kita jadi menangisi diri kita yang tak seperti yang kita lamun-lamunkan?
Mestikah kita memuji lawan terlalu besar, terlalu canggih, sehingga perlawanan kita yang luar biasa patah. Dengan kata lain, perlukah membuktikan bahwa kita sudah menunjukkan kejantanan kita yang tidak tercela. Kita sudah berjuang habis-habisan, tetapi memang lawan satu kelas di atas sehingga memang sudah adil kita kalah. Walhasil, semacam apologi, semacam hiburan. Tapi, diam-diam juga semacam pujian kepada diri sendiri. Bahwa kita sebenarnya cukup hebat, hanya nasib lawan lebih mujur.
Ataukah kita harus membongkar berbagai kecurangan, ketidakadilan, faktor-faktor di luar perhitungan, sehingga kekalahan kita adalah produk dari ketidakadilan. Jadi, meskipun kalah, sebenarnya kita menang. Kecurangan, rekayasa, ketidakadilanlah, yang sudah menyunat kita kalah.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, mungkin tidak akan rnenjadi persoalan bagi orang yang baru melangkah. la tidak punya beban. Kalah sudah menjadi kewajibannya sebagai pemula. la memang seharusnya keok, karena ia rawan pengalaman, rawan ilmu. Bagi orang seperti itu, kekalahan adalah janji. Justru karena sempat mengalami kalah, ia punya peluang untuk introspeksi sehingga bisa menjadi lebih jaya. Seperti kata orang pintar-pintar, kekalahan adalah peluang ke arah kemenangan.
Tetapi, celakalah kalau kekalahan itu terjadi di pertengahan jalan ke puncak. Apalagi di detik-detik terakhir, ketika kursi kemenangan sudah hampir ditelan. Itu akan menjadi tragedi yang memproduksi rasa sakit berbaur dengan frustrasi dan bukan tidak mungkin mengandaskan manusia bersangkutan, menjadi tenggelam selama-lamanya.
Walhasil, bukan kekalahan itu sendiri, tetapi momen terjadinya dan kondisinya yang membawa derita. Bayangkan lagi kekalahan yang terjadi di lapangan bola. Kekalahan itu bisa menjadi semacam pembunuhan bagi pelatihnya, bagi para pemainnya. Tetapi, sama sekali tidak berarti apa-apa bagi kita yang hanya melihat dari ribuan kilometer. Apalagi kalau sejak awal kita hanya menonton dan tidak berpihak.
Tetapi itu, tidak sepenuhnya benar. Ketika John Lennon atau Elvis Presley mati, beberapa orang fansnya bunuh diri. Padahal, mereka jauh dari tempat kejadian dan tidak ada hubungan keluarga dengan kedua superstar itu.
Bagaimana cara belajar kalah, penting buat semua orang. Khususnya dalam sebuah kompetisi. Dalam kompetisi, yang menang hanya satu, selebihnya kalah. Tetapi, siapa bilang menjaga yang kalah lebih penting dari menjaga yang menang. Sering sekali bibit kekacauan bermula dari tidak pintarnya yang rnenang menjaga yang kalah.
Diprediksi bahwa tidak perlu ada ilmu untuk menjaga yang menang, karena dia sudah senang. Dia bisa mengurus dirinya. Yang perlu adalah bagaimana membujuk agar mayoritas yang kalah itu tidak menjadi frustrasi, sakit hati, dan akhirnya
main gila.
Kekalahan itu membuat yang menang jadi mengumbar kemenangan dirinya. Sehingga, yang kalah terpancing atau lebih tenggelam lagi pada sakit hatinya. Buntutnya adalah menang dengan cara lain. Tawuran.
Contoh di atas mencoba menjelaskan bahwa kalah tetap persoalan semua orang. Yang jauh maupun yang dekat. Yang kalah maupun yang menang. Semua memerlukan ilmu pengobatan.
Tradisi Timur sebenarnya punya jurus "mengalah", jurus mandraguna yang menjadi jawaban piawai, tapi sayangnya kalau diucapkan sekarang terasa kuno. Kita selalu diberitahu oleh orang tua agar mau mengalah terhadap anak yang lebih kecil. Tetapi, kepada yang lebih kecil, juga sering dimintakan agar mengalah kepada kakaknya yang lebih besar. Jadi tidak dikhususkan kepada yang kalah.
Tradisi mengalah justru lebih ditujukan kepada yang menang. Mengalah berarti berpura-pura kalah. Sekadar menjaga perasaan yang kalah agar terobati dan merasa dirinya menang. Padahal, yang menang tetap saja yang lebih kuat.
Jadi, mengalah adalah etika orang yang menang. Agar membatasi kemenangannya dalam pengertian kemenangan batin saja. Sehingga, dalam eksekusinya, terjadilah tingkah-polah yang berbeda dan menimbulkan harmoni. Namun, tindakan sembunyi dan meredam ini menjadi bumerang, karena para pemenang akhirnya benar-benar kelihatan kalah. Minimal tak mampu menikmati kemenangannya, karena dilarang oleh harmoni. Mereka pun tertekan. Apa gunanya menang kalau tidak ada yang kalah?
Maka ramai-ramailah mereka yang menang melihat ke Barat. Menganggap bahwa di sana lebih banyak ada kejujuran. Karena, di situ menang adalah menang dan kalah adalah kalah. Mengekspresikan kemenangan adalah hak asasi. Tidak ada anjuran buat yang menang untuk berpura-pura kalah. Karena, itu namanya hipokrit. Sejenis penipuan. Yang menang harus menang dan yang kalah harus kalah, supaya terjadi prosespembelajaran.
Maka apa yang dulu disebut SARA pun, kini dipersalahkan. Timbang rasa dan basa-basi pun dianggap sebagai dosa yang sudah menimbun rasa tertekan. Setelah puluhan tahun, rasa tertekan itu diandaikan sudah menjadi padat, berubah jadi gumpalan energi yang kemudian meledak di mana-mana. Maka hancurlah persatuan.
Keroposnya persatuan dianggap sebagai ekspresi orang meloncat dari penjara tekanan pada hak asasinya. Mereka mengibarkan kemerdekaan. Individu menjadi lambang kebenaran yang harus diberikan kesempatan mengumbar kemerdekaan dan menuntut hak sepenuhnya-penuhnya.
Mengalah sekarang menjadi kejahatan dan dosa. Dari harmoni bukan lagi estetika tetapi disharmoni. Segalanya bertolak belakang. Pergulingan nilai-nilai begitu deras dan menghebat terpacu oleh krismon.
"Iman kita sudah runtuh bersama-sama sekarang," kata Amat. "Kita menjadi orang yang lebih Barat dari orang Barat. Kita menjadi lebih bule dari orang bule. Sementara orang Barat mempelajari Timur sebagai kekayaan rasa mereka untuk meluhurkan pencapaian teknologi mereka, kita mencampakkannya. Lalu berguru ilmu mengalah yang mereka beri nama demokrasi, tapi yang kita telan dengan arti: tidak boleh kalah."
Berbeda sekali dengan para tokoh politik. Kalau kalah, mereka semakin lebar membuka mulut. Lalu berteriak mengeluarkan berbagai sumpah-serapah. Dan menuding dosa dan kesalahan ada di pihak musuhnya.
Apakah kekalahan itu rasa sakit yang tak tertahankan sehingga kita harus mencari keseimbangan dengan meraung seperti binatang? Atau lebih merupakan kenyataan yang menunjukkan harga sebenarnya dari nilai intrinsik mata uang kita sehingga kita jadi menangisi diri kita yang tak seperti yang kita lamun-lamunkan?
Mestikah kita memuji lawan terlalu besar, terlalu canggih, sehingga perlawanan kita yang luar biasa patah. Dengan kata lain, perlukah membuktikan bahwa kita sudah menunjukkan kejantanan kita yang tidak tercela. Kita sudah berjuang habis-habisan, tetapi memang lawan satu kelas di atas sehingga memang sudah adil kita kalah. Walhasil, semacam apologi, semacam hiburan. Tapi, diam-diam juga semacam pujian kepada diri sendiri. Bahwa kita sebenarnya cukup hebat, hanya nasib lawan lebih mujur.
Ataukah kita harus membongkar berbagai kecurangan, ketidakadilan, faktor-faktor di luar perhitungan, sehingga kekalahan kita adalah produk dari ketidakadilan. Jadi, meskipun kalah, sebenarnya kita menang. Kecurangan, rekayasa, ketidakadilanlah, yang sudah menyunat kita kalah.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, mungkin tidak akan rnenjadi persoalan bagi orang yang baru melangkah. la tidak punya beban. Kalah sudah menjadi kewajibannya sebagai pemula. la memang seharusnya keok, karena ia rawan pengalaman, rawan ilmu. Bagi orang seperti itu, kekalahan adalah janji. Justru karena sempat mengalami kalah, ia punya peluang untuk introspeksi sehingga bisa menjadi lebih jaya. Seperti kata orang pintar-pintar, kekalahan adalah peluang ke arah kemenangan.
Tetapi, celakalah kalau kekalahan itu terjadi di pertengahan jalan ke puncak. Apalagi di detik-detik terakhir, ketika kursi kemenangan sudah hampir ditelan. Itu akan menjadi tragedi yang memproduksi rasa sakit berbaur dengan frustrasi dan bukan tidak mungkin mengandaskan manusia bersangkutan, menjadi tenggelam selama-lamanya.
Walhasil, bukan kekalahan itu sendiri, tetapi momen terjadinya dan kondisinya yang membawa derita. Bayangkan lagi kekalahan yang terjadi di lapangan bola. Kekalahan itu bisa menjadi semacam pembunuhan bagi pelatihnya, bagi para pemainnya. Tetapi, sama sekali tidak berarti apa-apa bagi kita yang hanya melihat dari ribuan kilometer. Apalagi kalau sejak awal kita hanya menonton dan tidak berpihak.
Tetapi itu, tidak sepenuhnya benar. Ketika John Lennon atau Elvis Presley mati, beberapa orang fansnya bunuh diri. Padahal, mereka jauh dari tempat kejadian dan tidak ada hubungan keluarga dengan kedua superstar itu.
Bagaimana cara belajar kalah, penting buat semua orang. Khususnya dalam sebuah kompetisi. Dalam kompetisi, yang menang hanya satu, selebihnya kalah. Tetapi, siapa bilang menjaga yang kalah lebih penting dari menjaga yang menang. Sering sekali bibit kekacauan bermula dari tidak pintarnya yang rnenang menjaga yang kalah.
Diprediksi bahwa tidak perlu ada ilmu untuk menjaga yang menang, karena dia sudah senang. Dia bisa mengurus dirinya. Yang perlu adalah bagaimana membujuk agar mayoritas yang kalah itu tidak menjadi frustrasi, sakit hati, dan akhirnya
main gila.
Kekalahan itu membuat yang menang jadi mengumbar kemenangan dirinya. Sehingga, yang kalah terpancing atau lebih tenggelam lagi pada sakit hatinya. Buntutnya adalah menang dengan cara lain. Tawuran.
Contoh di atas mencoba menjelaskan bahwa kalah tetap persoalan semua orang. Yang jauh maupun yang dekat. Yang kalah maupun yang menang. Semua memerlukan ilmu pengobatan.
Tradisi Timur sebenarnya punya jurus "mengalah", jurus mandraguna yang menjadi jawaban piawai, tapi sayangnya kalau diucapkan sekarang terasa kuno. Kita selalu diberitahu oleh orang tua agar mau mengalah terhadap anak yang lebih kecil. Tetapi, kepada yang lebih kecil, juga sering dimintakan agar mengalah kepada kakaknya yang lebih besar. Jadi tidak dikhususkan kepada yang kalah.
Tradisi mengalah justru lebih ditujukan kepada yang menang. Mengalah berarti berpura-pura kalah. Sekadar menjaga perasaan yang kalah agar terobati dan merasa dirinya menang. Padahal, yang menang tetap saja yang lebih kuat.
Jadi, mengalah adalah etika orang yang menang. Agar membatasi kemenangannya dalam pengertian kemenangan batin saja. Sehingga, dalam eksekusinya, terjadilah tingkah-polah yang berbeda dan menimbulkan harmoni. Namun, tindakan sembunyi dan meredam ini menjadi bumerang, karena para pemenang akhirnya benar-benar kelihatan kalah. Minimal tak mampu menikmati kemenangannya, karena dilarang oleh harmoni. Mereka pun tertekan. Apa gunanya menang kalau tidak ada yang kalah?
Maka ramai-ramailah mereka yang menang melihat ke Barat. Menganggap bahwa di sana lebih banyak ada kejujuran. Karena, di situ menang adalah menang dan kalah adalah kalah. Mengekspresikan kemenangan adalah hak asasi. Tidak ada anjuran buat yang menang untuk berpura-pura kalah. Karena, itu namanya hipokrit. Sejenis penipuan. Yang menang harus menang dan yang kalah harus kalah, supaya terjadi prosespembelajaran.
Maka apa yang dulu disebut SARA pun, kini dipersalahkan. Timbang rasa dan basa-basi pun dianggap sebagai dosa yang sudah menimbun rasa tertekan. Setelah puluhan tahun, rasa tertekan itu diandaikan sudah menjadi padat, berubah jadi gumpalan energi yang kemudian meledak di mana-mana. Maka hancurlah persatuan.
Keroposnya persatuan dianggap sebagai ekspresi orang meloncat dari penjara tekanan pada hak asasinya. Mereka mengibarkan kemerdekaan. Individu menjadi lambang kebenaran yang harus diberikan kesempatan mengumbar kemerdekaan dan menuntut hak sepenuhnya-penuhnya.
Mengalah sekarang menjadi kejahatan dan dosa. Dari harmoni bukan lagi estetika tetapi disharmoni. Segalanya bertolak belakang. Pergulingan nilai-nilai begitu deras dan menghebat terpacu oleh krismon.
"Iman kita sudah runtuh bersama-sama sekarang," kata Amat. "Kita menjadi orang yang lebih Barat dari orang Barat. Kita menjadi lebih bule dari orang bule. Sementara orang Barat mempelajari Timur sebagai kekayaan rasa mereka untuk meluhurkan pencapaian teknologi mereka, kita mencampakkannya. Lalu berguru ilmu mengalah yang mereka beri nama demokrasi, tapi yang kita telan dengan arti: tidak boleh kalah."
SEBAGAI ORANG PALEMBANG DAN INDONESIA, SELAMAT UNTUK SRIWIJAYA FC YANG TELAH MEMENANGI KOMPETISI LIGA INDONESIA TAHUN 2007
Diadaptasi dengan sedikit perubahan dari Kalah dalam Putu Wijaya Goro-Goro, 2002