Reviews Buku

Thursday, December 05, 2013

Menggagas Dunia tanpa Terorisme

Indonesia dalam catatan sejarah, terutama pasca reformasi tak pernah lepas dari ancaman terorisme. Berbagai macam tindak kekerasan dan aksi peledakan bom di tanah air seolah tidak pernah berhenti, sekalipun kampanye perlawanan dan operasi pemberantasan sudah gencar dilakukan. Insiden Bom Bali 1 dan 2, Istiqlal, Kuningan, Kedutaan Australia dan yang paling baru yang menimpa hotel JW Mariot dan The Ritz Carlton yang terjadi 17 Juli 2009 lalu meruapakan buktinya.

Berbagai peristiwa teror di atas menampilkan aktor seperti Noordin M Top dan Dr Azhari. Kemudian ada Abu Dujana, komandan militer Jamaah Islamiyyah (JI) dan Zarkasih sebagai salah satu pemimpin. Penangkapan Abu Dujana di Banyumas dan ‘Mbah’ Zarkasih di Yogyakarta, telah memantik kegalauan bahwa mata rantai terorisme Indonesia tak pernah putus. Bahkan, seakan semboyan mati satu tumbuh seribu menemukan relevansinya di sini. Dengan artian setelah salah satu pemimpin meningal atau tertangkap akan tumbuh ribuan kader baru untuk meneruskan jejak perjuangan sang pemimpin. Ironisnya lagi, berbagai aksi terorisme tadi itu oleh pelakunya dianggap sebagai salah satu bentuk “jihad” dalam memerangi para musuh agama Allah.

Pemahaman yang sempit terhadap jihad itu kemudian bertambah rumit ketika disusupi dengan kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi. Karena itu aksi-aksi yang dianggap jihad oleh pelaku itu justru tak menambah manfaat bagi agama, tetapi malah menambah kusam wajah agama. Dalam tataran ini teks agama tidak lagi dihayati sebagai agama yang mengajarkan kedamaian, tetapi dimaknai sebagai simbol yang memperbolehkan kekerasan dengan dalil yang terkesan dipaksakan. Dengan kata lain jaringan teroris sudah menggahi agama dengan aksi anti kemanusiaannya. Kita membuat kesalahan fatal jika memakai apalagi mengandalkan teroris anti kemanusiaan untuk membela agama. Jaringan teroris menyembah ilah kekersaan bukan memeluk Allah perdamaian. (Hal 76 )

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa tindak kekerasan, radikalisme, dan aksi-aksi teror bom di tanah air selalu terjadi? Untuk menjawab pertanyaan di atas bukanlah hal yang mudah, banyak sekali benang kusut yang harus diurai satu persatu. Ada yang mengatakan bahwa secara sosiologis-politis, radikalisme dan moderatisme, juga teror dan anti-teror, adalah hal yang lumrah dan menjadi bagian dari sunnatullah; di mana ada sebab disitu akibat menyertai; di mana ada ketidakadilan dan kemiskinan, di situ perlawanan radikal dilakukan; Ada aksi pembantaian, di situ reaksi pun dimunculkan sebagai bagian dari strategi perlawanan; dan seterusnya. Namun di luar itu, ada satu hal yang cukup memprihatinkan bahwa radikalisme dan aksi-aksi kekerasan juga diyakini (sebagian orang) sebagai salah satu strategi ”dakwah” dan ”jihad” mereka dalam memperjuangkan salah satu agama Tuhan.

Hal ini lah menurut peresensi sumbangan terbesar seorang Mutiara Andalas, penulis buku Politik para Teroris ini. Dengan pendekatan multidisipliner, Mutiara, satu persatu mengurai benang kusut kasus teroris yang terjadi di Indonesia. Dari pertanyaan kenapa bisa terjadi peristiwa teror, kenapa pelakunya bisa dengan mudah memposisikan diri sebagai pembunuh, alasan teologis apa yang mendasarinya, dan seterusnya.

Penulis buku ini paling tidak mengusulkan tiga tugas penting yang harus menjadi perhatian semua orang. Pertama meminta keterlibatan komunitas kebangsaan dan keagamaan pasca-teror bom. Komunitas-komunitas ini menurut penulis ini, hendaknya mengungkapkan imannya akan keesaan Allah terutama melalui bela rasa dengan korban. Kepedulian juga hendaknya terulur kepada mereka yang pernah mengalami masa tahanan karena dakwaan keterkaitan dengan jaringan teroris karena masyarakat seringkali mengucilkan mereka karena dakwaan berkomplot dengan jaringan teroris di masa lalu. Masyarakat sering kali rendah toleransinya menerima warga yang pernah berurusan dengan aparat keamanan karena dakwaan terlibat dengan teroris, untuk hidup di tengah-tengah mereka. Seringkali mereka atas nama rnernbersihkan wilayah mereka dari sebutan sarang teroris mengusir warga yang rumahnya menjadi tempat singgah mereka yang didakwa aparat keamanan sebagai teroris.

Usul Kedua adalah mendorong pembacaan penafsiran kritis terhadap teks-teks suci agama yang sepintas membenarkan teror kekerasan. Menurut penulis buku ini, Hermeneutika terhdap teks suci agama perlu untuk membongkar kedok jaringan teroris yang sering kali menyelubungi aksi anti-kemanusiannya dengan baju teks Kitab Suci. Lebih jauh penulisnya menyatakan bahwa Pernyataan pemuka agama bahwa pelaku membajak Kitab Suci perlu ditindaklanjuti dengan pembacaan dan penafsiran terhadap teks-teks yang rentan terhadap pembelokan makna. Pengkaji Kitab Suci hendaknya menafsirkan teks-teks tersebut dalam pandangan yang positif terhadap komunitas beriman lain. Mereka hendaknya juga keluar dari paradigma pertarungan agama dan peradaban sebagaimana pernah dinubuatkan Samuel P. Huntington. Kita Perlu juga memperhatikan konteks ketidakadilan global dalam membaca dan menafsirkan teks Kitab Suci.

Dan yang terakhir, kata penulis buku ini adalah mengangkat isu terorisme anti-kemanusiaan sebagai bahan wacana kebangsaaan dan dialog antaragama. Tambah penulisnya lagi, kita juga mendorong gerakan-gerakan kebangsaan untuk melihat terorisme sebagai tantangan berketuhanan yang maha esa di Indonesia sekarang ini. Kita juga mendorong mereka untuk berinteraksi langsung dengan korban atau keluarga korban. Spiritualitas mereka bersumber dari perjumpaan dengan korban dan keluarga korban yang melahirkan bela rasa. Komunitas-komunitas agama juga berhadapan dengan ilah kekerasan sebagai berhala kontemporer.

Membaca buku ini membuat pembaca seperti disodorkan pada masalah sebenarnya yang harus segera diatasi oleh pihak yang berwenang, maupun masyarakat secara umum. Dengan analisis yang renyah dan enak dibaca pembaca penulisnya membawa membaca kepada solusi yang selama ini luput dari perhatian. Buku yang tak terlalu tebal ini ingin menggugah kesadaran kita sebagai pembaca, bahwa hidup merupakan pemberian Tuhan dan oleh karena itu harus dijaga dan digunakan sebaik-baiknya.

Yudi latif di bagian belakang buku ini menyatakan bahwa tuhan teroris adalah tuhan kebiadaban yang tak kenal “kasih” kepada korban. Di tengah kepungan terorisme yang terus mengancam, buku ini menyingkap dambaan Tuhan yang lain dari sudut korban. Semoga dengan terbitnya buku ini sedikit memberikan solusi bagi terciptanya dunia tanpa teroris.


Data Publikasi Buku
Judul : Politik Para Teroris
Pengarang : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 133 halaman

No comments: