Reviews Buku

Thursday, December 12, 2013

Bantuan Hukum Gratis Bagi Saksi dan Korban Kejahatan


Jakarta- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) melakukan penandatanganan nota kesepahaman pada hari (10/01) di Hotel Cempaka Jakarta Pusat. Penandatangan nota kesepahaman tersebut dimaksudkan untuk memberikan bantuan hukum gratis kepada saksi dan korban kejahatan yang sudah disebutkan di dalam Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai mengatakan,jalinan kerjasama antara LPSK dan PERADI sangat penting untuk mengoptimalkan pemenuhan saksi dan korban kejahatan."Dalam beberapa kasus,saksi dan korban kejahatan sangat memerlukan peran advokat,terutama dalam hal nasehat hukum" ungkap Ketua LPSK.

Selain itu Ketua LPSK mengatakan, saksi dan korban yang berpeluang menjadi tersangka seringkali kebingungan mencari advokat yang dapat mendampinginya dalam posisi sebagai tersangka/terdakwa."Peran LPSK jelas terbatas, hanya mendampingi saat saksi dan korban diperiksa sebagai saksi, tetapi saat diperiksa sebagai tersangka, itu sudah menjadi ranah advokat, tapi tak sedikit saksi dan korban yang tak memiliki advokat,terutama saksi dan korban miskin" ujar Ketua LPSK.

Menggandeng organisasi advokat seperti PERADI, menurut Ketua LPSK sebagai langkah yang tepat."LPSK tentu harus memiliki mitra yang kredibilitasnya baik dalam memperjuangkan hak saksi dan korban kejahatan. Untuk itulah kami memilih organisasi advokat seperti PERADI yang dinilai selama ini konsisten memberikan bantuan hukum terhadap orang miskin" ungkap Ketua LPSK.

Menrut Ketua LPSK mengatakan, misi LPSK kali ini telah berbanding lurus dengan jumlah permohonan perlindungan yang masuk ke LPSK sepanjang Januari-November 2013." Sepanjang Januari-November 2013, LPSK telah menerima 1543 permohonan.20 orang pemohon berstatus saksi, 1471 orang pemohon berstatus korban, 30 orang pemohon berstatus pelapor, 17 orang pemohon berstatus tersangka, 4 orang pemohon berstatus terdakwa dan 1 orang pemohon berstatus terpidana" ungkap Ketua LPSK.

Lebih lanjut, Ketua LPSK mengatakan, dari 1543 permohonan tersebut, selama kurun waktu Januari-September 2013, LPSK telah memberikan pelayanan kepada 1039 saksi dan korban."114 orang mendapatkan layanan fisik, 416 orang mendapatkan layanan bantuan medis, 309 orang mendapatkan layanan bantuan psikologis, 25 orang mendapatkan layanan Restitusi dan 175 orang mendapatkan layanan pemenuhan hak prosedural dan/atau perlindungan hukum" ungkap Ketua LPSK.

Masih kata Haris bantuan advokat juga sangat signifikan dalam penanganan korban kejahatan."Meski Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah diundangkan selama 7 tahun, namun masih banyak korban yang tidak tau hak nya mendapatkan restitusi atau kompensasi (ganti rugi) terhadap penderitaan atas kejahatan yang dialaminya. Dengan adanya MOU ini, diharapkan, para advokat dapat memsosialisasikannya kepada para klien yang merupakan korban kejahatan dan membuat mereka aware terhadap hak nya untuk memperoleh restitusi atau kompensasi" kata Ketua LPSK.

Kedepan, Haris berharap peran organisasi pendamping dan advokat menjadi bagian dari supervisi perlindungan saksi dan korban,terutama dalam kasus tindak pidana yang bukan kategori kejahatan terorganisir, serta penanganan saksi dan korban di daerah." PERADI memilki jaringan yang sangat luas hingga ke daerah dan jumlah anggota yang sangat signifikan, diharapkan kedepan peran advokatnya menjadi mitra LPSK dalam penanganan saksi dan korban" pungkasnya





Thursday, December 05, 2013

Menggagas Dunia tanpa Terorisme

Indonesia dalam catatan sejarah, terutama pasca reformasi tak pernah lepas dari ancaman terorisme. Berbagai macam tindak kekerasan dan aksi peledakan bom di tanah air seolah tidak pernah berhenti, sekalipun kampanye perlawanan dan operasi pemberantasan sudah gencar dilakukan. Insiden Bom Bali 1 dan 2, Istiqlal, Kuningan, Kedutaan Australia dan yang paling baru yang menimpa hotel JW Mariot dan The Ritz Carlton yang terjadi 17 Juli 2009 lalu meruapakan buktinya.

Berbagai peristiwa teror di atas menampilkan aktor seperti Noordin M Top dan Dr Azhari. Kemudian ada Abu Dujana, komandan militer Jamaah Islamiyyah (JI) dan Zarkasih sebagai salah satu pemimpin. Penangkapan Abu Dujana di Banyumas dan ‘Mbah’ Zarkasih di Yogyakarta, telah memantik kegalauan bahwa mata rantai terorisme Indonesia tak pernah putus. Bahkan, seakan semboyan mati satu tumbuh seribu menemukan relevansinya di sini. Dengan artian setelah salah satu pemimpin meningal atau tertangkap akan tumbuh ribuan kader baru untuk meneruskan jejak perjuangan sang pemimpin. Ironisnya lagi, berbagai aksi terorisme tadi itu oleh pelakunya dianggap sebagai salah satu bentuk “jihad” dalam memerangi para musuh agama Allah.

Pemahaman yang sempit terhadap jihad itu kemudian bertambah rumit ketika disusupi dengan kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi. Karena itu aksi-aksi yang dianggap jihad oleh pelaku itu justru tak menambah manfaat bagi agama, tetapi malah menambah kusam wajah agama. Dalam tataran ini teks agama tidak lagi dihayati sebagai agama yang mengajarkan kedamaian, tetapi dimaknai sebagai simbol yang memperbolehkan kekerasan dengan dalil yang terkesan dipaksakan. Dengan kata lain jaringan teroris sudah menggahi agama dengan aksi anti kemanusiaannya. Kita membuat kesalahan fatal jika memakai apalagi mengandalkan teroris anti kemanusiaan untuk membela agama. Jaringan teroris menyembah ilah kekersaan bukan memeluk Allah perdamaian. (Hal 76 )

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa tindak kekerasan, radikalisme, dan aksi-aksi teror bom di tanah air selalu terjadi? Untuk menjawab pertanyaan di atas bukanlah hal yang mudah, banyak sekali benang kusut yang harus diurai satu persatu. Ada yang mengatakan bahwa secara sosiologis-politis, radikalisme dan moderatisme, juga teror dan anti-teror, adalah hal yang lumrah dan menjadi bagian dari sunnatullah; di mana ada sebab disitu akibat menyertai; di mana ada ketidakadilan dan kemiskinan, di situ perlawanan radikal dilakukan; Ada aksi pembantaian, di situ reaksi pun dimunculkan sebagai bagian dari strategi perlawanan; dan seterusnya. Namun di luar itu, ada satu hal yang cukup memprihatinkan bahwa radikalisme dan aksi-aksi kekerasan juga diyakini (sebagian orang) sebagai salah satu strategi ”dakwah” dan ”jihad” mereka dalam memperjuangkan salah satu agama Tuhan.

Hal ini lah menurut peresensi sumbangan terbesar seorang Mutiara Andalas, penulis buku Politik para Teroris ini. Dengan pendekatan multidisipliner, Mutiara, satu persatu mengurai benang kusut kasus teroris yang terjadi di Indonesia. Dari pertanyaan kenapa bisa terjadi peristiwa teror, kenapa pelakunya bisa dengan mudah memposisikan diri sebagai pembunuh, alasan teologis apa yang mendasarinya, dan seterusnya.

Penulis buku ini paling tidak mengusulkan tiga tugas penting yang harus menjadi perhatian semua orang. Pertama meminta keterlibatan komunitas kebangsaan dan keagamaan pasca-teror bom. Komunitas-komunitas ini menurut penulis ini, hendaknya mengungkapkan imannya akan keesaan Allah terutama melalui bela rasa dengan korban. Kepedulian juga hendaknya terulur kepada mereka yang pernah mengalami masa tahanan karena dakwaan keterkaitan dengan jaringan teroris karena masyarakat seringkali mengucilkan mereka karena dakwaan berkomplot dengan jaringan teroris di masa lalu. Masyarakat sering kali rendah toleransinya menerima warga yang pernah berurusan dengan aparat keamanan karena dakwaan terlibat dengan teroris, untuk hidup di tengah-tengah mereka. Seringkali mereka atas nama rnernbersihkan wilayah mereka dari sebutan sarang teroris mengusir warga yang rumahnya menjadi tempat singgah mereka yang didakwa aparat keamanan sebagai teroris.

Usul Kedua adalah mendorong pembacaan penafsiran kritis terhadap teks-teks suci agama yang sepintas membenarkan teror kekerasan. Menurut penulis buku ini, Hermeneutika terhdap teks suci agama perlu untuk membongkar kedok jaringan teroris yang sering kali menyelubungi aksi anti-kemanusiannya dengan baju teks Kitab Suci. Lebih jauh penulisnya menyatakan bahwa Pernyataan pemuka agama bahwa pelaku membajak Kitab Suci perlu ditindaklanjuti dengan pembacaan dan penafsiran terhadap teks-teks yang rentan terhadap pembelokan makna. Pengkaji Kitab Suci hendaknya menafsirkan teks-teks tersebut dalam pandangan yang positif terhadap komunitas beriman lain. Mereka hendaknya juga keluar dari paradigma pertarungan agama dan peradaban sebagaimana pernah dinubuatkan Samuel P. Huntington. Kita Perlu juga memperhatikan konteks ketidakadilan global dalam membaca dan menafsirkan teks Kitab Suci.

Dan yang terakhir, kata penulis buku ini adalah mengangkat isu terorisme anti-kemanusiaan sebagai bahan wacana kebangsaaan dan dialog antaragama. Tambah penulisnya lagi, kita juga mendorong gerakan-gerakan kebangsaan untuk melihat terorisme sebagai tantangan berketuhanan yang maha esa di Indonesia sekarang ini. Kita juga mendorong mereka untuk berinteraksi langsung dengan korban atau keluarga korban. Spiritualitas mereka bersumber dari perjumpaan dengan korban dan keluarga korban yang melahirkan bela rasa. Komunitas-komunitas agama juga berhadapan dengan ilah kekerasan sebagai berhala kontemporer.

Membaca buku ini membuat pembaca seperti disodorkan pada masalah sebenarnya yang harus segera diatasi oleh pihak yang berwenang, maupun masyarakat secara umum. Dengan analisis yang renyah dan enak dibaca pembaca penulisnya membawa membaca kepada solusi yang selama ini luput dari perhatian. Buku yang tak terlalu tebal ini ingin menggugah kesadaran kita sebagai pembaca, bahwa hidup merupakan pemberian Tuhan dan oleh karena itu harus dijaga dan digunakan sebaik-baiknya.

Yudi latif di bagian belakang buku ini menyatakan bahwa tuhan teroris adalah tuhan kebiadaban yang tak kenal “kasih” kepada korban. Di tengah kepungan terorisme yang terus mengancam, buku ini menyingkap dambaan Tuhan yang lain dari sudut korban. Semoga dengan terbitnya buku ini sedikit memberikan solusi bagi terciptanya dunia tanpa teroris.


Data Publikasi Buku
Judul : Politik Para Teroris
Pengarang : Kanisius, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : 133 halaman

Monday, December 02, 2013

Indonesia dan Sistem Demokrasi Gusdurian

Oleh: Akhmad Kusairi



Tidak terasa hampir setahun Kiai Abdurrahmad Wahid atau Gusdur meninggal kita. Banyak yang merasa kehilangan dengan tokoh yang nyeleneh ini. Gebrakan-gebrakannya selalu ditunggu banyak pihak. Dalam bidang demokrasi beliau adalah pejuang demokrasi nomor satu. Menurut Dr. Munawar Ahmad, dosen filsafat politik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Gusdur adalah pemikir politik yang mampu menawarkan pemikiran alternatif bagi pembangunan demokrasi di Indonesia, ia juga menjadi "pribumisasi" ide-idenya.

Dalam disertasi Munawar yang berjudul "Kajian Kritis Terhadap Pemikiran KH Abdurrahman Wahid (Gusdur) 1970-2000", ia membagi lima pokok pemikiran politik Gusdur, yakni (1) mengembangkan khazanah lokalitas Islam klasik Indonesia. (2) humanisme sebagai perlawanan terhadap kekerasan. (3) ide perlawanan cultural. (4) ide integralisme. Dan (5) analisis ilmiah atas realitas dunia Islam. (hal 85)
Kelima pokok pemikiran politik Gusdur itu, berada dalam satu wadah, yakni demokrasi. Bagi Gusdur, Indonesia harus memiliki sistem demokrasi khas Indonesia. Sebuah sistem politik yang relevan dengan konteks kekinian dan kedisinian bangsa Indonesia.

Sebagai politisi ulung yang dibesarkan oleh tradisi pesantren pemikiran politiknya tidak bisa dilepaskan agama (Islam). Menurutnya, hubungan antara Agama dan demokkrasi harus dipahami secara substantif, bukun simbolis. Nilai-nilai moral (religius) harus terintegralisasi ke dalam sistem demokrasi. Jika tidak, demokrasi akan pincang, seperti sistem demokrasi yang sedang berlangsung saat ini. Mengaca pada teori hubungan agama-negara ia digolongkan kaum integralistik.

Secara teoritis, demokrasi adalah kedaulatan berada di tangan rakyat. Ketika rakyat sudah diperbudak oleh kekuasaan, maka sistem demokrasi di negara tersebut dapat dikatakan gagal. Pasalnya, ada dominasi negara terhadap rakyat akan melahirkan berbagai gesekan sosial, seperti konflik antar kelompok, agama, etnis, maupun budaya. Hal itulah yang saat ini tengah melanda Indonesia.
Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia melakukan reformasi sistem demokrasi. yakni melampaui demokrasi liberal seperti yang ditawarkan Gusdur. Demokrasi liberal yang menjadi kiblat bangsa ini telah gagal dalam menciptakan keadilan tanpa kekerasan dalam realitas pluralis masyarakat kita.

Menurut Umaruddin Masdar (1999), liberalisme yang dimaksud Gusdur adalah filosofi hidup yang mementingkan hak-hak dasar manusia, sehingga ia mampu berkembang menjadi individu yang kreatif dan produktif. Dengan begitu, liberalisme dapat mewujudkan individu yang mulia berasaskan etika dan norma (moralitas).
Memang, sepintas Gusdur apresiatif terhadap liberalisme, tetapi liberalisme yang dimaksudnya berbeda dengan liberalisme yang digagas Lock. Demokrasi liberal yang diandaikan Gusdur, hemat saya, berada di antara demokrasi liberatif Locke dengan demokrasi deliberatif Habermas. Di satu sisi, Gusdur mengandaikan adanya proses dialogis (Habermas: komunikatif) dalam demokrasi. Tetapi di lain sisi, ia yakin bahwa kebebasan individu (liberalisme) sangat penting.

Dalam buku membaca pikiran Gusdur dan Amien Rais, dijelaskan bahwa demokrasi menurut Gusdur, tidak hanya suatu sistem yang mampu menjamin kebebasan advokasi saja, namun juga memiliki nuansa etis yang mampu melahirkan keadilan tanpa kekerasan. Terjadinya kombinasi intetgralistik dari berbagai entitas, seperti politik, budaya, rasionalitas, dan kekuatan kultur adalah penting. Demokrasi seperti inilah yang oleh Gusdur dinamakan demokrasi model Indonesia atau demokrasi "kultur". Suatu sistem demokrasi yang telah mengalami "pribumisasi" dengan kultur Indonesia. Demokrasi jenis inilah yang belum dimiliki bangsa kita saat ini.

Pada hemat saya, demokrasi "kultur" ala Gusdur ini perlu diapresiasi oleh bangsa ini. Sebab, bangsa Indonesia saat ini membutuhkan kejelasan konsep filosofi hukum Negara. sistem demokrasi "gusdurian" ini, paling tidak, dapat meminimalisasi berbagai persoalan-persoalan kebangsaan. Akhirnya, semoga dengan sistem demokrasi yang jelas, Indonesia segera lepas dari jejaring krisis multidimensi yang sedang membelenggunya.

Kedekatan Gusdur dengan Pak Mahfud dipertemukan oleh kesamaan, minimal dalamdua hal. Pertama, keduanya sama-sama nekat dan tidak takut mengungkap ketidakadilan dan menabrak ketidakberesan. Kedua, Gusdur dan Pak Mahfud sangat kompak dalam pandangan mengenai paham kebangsaan serta hubungan antar negara dan agama.(Yenny Wahid)

Buku ini juga menuturkan humor politik Gusdur yang memikat banyak orang. Cerita tentang semua presiden punya penyakit gila, saat Gusdur melakukan kunjungannya ke Kuba dan bertemu Presiden Fidel Castro, membuat buku ini segar untuk dibaca. Gusdur menyebut Presiden Soekarno gila wanita, Presiden Soeharto gila harta, Presiden Habibie dia sebut benar-benar gila alias gila beneran, sementara Gusdur menyebut dirinya sebagai presiden yang membuat orang gila karena yang memilih juga orang-orang gila.

Buku Gusdur: Islam, Politik, dan Kebangsaan ini merupakan kumpulan tulisan Mahfud MD yang berserak di media massa nasional dan tulisan pengantar lainnya. Buku penghormatan untuk Sang Guru itu berjudul Gusdur: Islam, Politik, dan Kebangsaan yang menceritakan kesederhanaan sosok Gusdur sebagai presiden. Kedekatan Mahfud MD saat menjadi Menteri Pertahanan di era pemerintahan Gusdur itulah yang dapat menggambarkan bagaimana Gusdur yang sebenarnya. Sebagai contoh kesederhanaan Gusdur, Mahfud menceritakan, hal itu dapat dilihat dari cara Gusdur menyajikan menu makanan kepada tamunya yang hanya disuguhi kacang rebus, jagung rebus, dan tempe goreng.

Sayang, di buku ini, Mahfud tak memberikan kepada pembaca tulisan terbarunya tentang Gusdur. Tulisan yang terbaru tak lain hanyalah kata pengantar.


Akhmad Kusairi, pengamat masalah sosial politik, tinggal di Jakarta.

LPSK: Aksi Dokter Abaikan Hak Korban

(Jakarta, 28 November 2013) Aksi mogok dokter kemarin (27/11) menunjukan bahwa dokter tidak menghormati proses penegakan hukum. Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai menilai, tindakan para dokter untuk mendukung rekan sejawatnya, dr.Dewa Ayu justru mengabaikan penderitaan yang dialami korban Julia Fransiska Makatey yang meninggal saat operasi caesar."Putusan kasasi mahkamah agung telah memperoleh kekuatan hukum tetap,sehingga setiap orang termasuk dokter harus menghormati putusan hakim dan memperhatikan hak korban" ungkap Ketua LPSK.

Lebih lanjut, Ketua LPSK mengatakan hak korban, selain memiliki hak keadilan untuk menempuh proses hukum, juga berhak mendapatkan ganti rugi akibat suatu penderitaan dan kerugian yang dialaminya akibat suatu tindak pidana."Selama ini posisi pasien sebagai korban tidak imbang. Seringkali pasien diperlakukan tidak adil, karena setiap tindakan dokter dianggap sebagai pembenaran medis,sehingga penderitaan korban dianggap sebagai resiko medis. Hal ini justru membuat pasien terabaikan hak-hak nya sebagai korban akibat tindakan pelanggaran atau pengabaian yang dilakukan dokter" ujar Ketua LPSK.

Lebih lanjut, Ketua LPSK mengatatakan bahwa dokter bukan manusia istimewa yang harus diperlakukan berbeda dengan manusia lain."Setiap orang termasuk dokter harus dapat dimintai pertanggungjawaban pidana bila melakukan tindakan yang masuk kategori pidana atau kesalahan yang dilakukan" tutur Ketua LPSK

Selain itu, Ketua LPSK mengingatkan bunyi kode etik dokter pada Pasal 1 yang menyatakan setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter, Pasal 3 yang menyatakan dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi dan Pasal 4 yang menyatakan setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri." tindakan aksi solidaritas dan membenarkan tindakan pidana yang dilakukan rekan sejawat ini menunjukan dokter tidak independen dan mempertontonkan kesombongan profesi kedokteran" tegas Ketua LPSK.

Kendati demikian,Ketua LPSK mengatakan, pihaknya mendorong keluarga korban dapat mengajukan restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana." Sesuai ketentuan Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban menyatakan pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekeuatan hukum tetap, untuk itu pihak keluarga korban dapat segera mengajukan permohonan restitusi" ungkap Ketua LPSK.

Selain itu Ketua LPSK meminta agar Mahkamah Agung tetap independen dalam menyikapi pengajuan upaya hukum peninjauan kembali oleh dr.dewa ayu."Putusan peninjauan kembali nanti harus dibuat tidak boleh didasarkan adanya tekanan dari pihak manapun" ungkap Ketua LPSK.

Friday, November 22, 2013

Kriminalkan Masyarakat Karena Memungut Hasil Hutan, Bukti Kesewenang-wenangan Penegak Hukum

Nahrudin bin Sahuri (54), warga Desa Sepanjang, Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, dituntut hukuman penjara 8 bulan serta denda Rp 652.000,- oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), dalam sidang lanjutan kasus pencurian kayu milik Perhutani, di Pengadilan Negeri (PN) Sumenep, Senin (www.kompas.com, 18/11/2013). Berdasarkan pemberitaan tersebut, kasus ini bermula ketika pada 6 Agustus 2013, Nahrudin membersihkan ranting pohon jati milik Perhutani, setelah pohon jati ditebang dan ditanami bibit baru. Sisa-sisa hasil tebangan itu, kayu jati berukuran 110 x 19 cm (kurang lebih 1 m) dibawa Nahrudin untuk memperbaiki pintu rumahnya yang rusak. Namun malang, saat membawa kayu menuju rumah, terdakwa berpapasan dengan Polisi Hutan (Polhut), dan ditangkap atas tuduhan mencuri kayu milik Perhutani.

Melihat kasus di atas, menyentak rasa keadilan kita. Mengingat berdasarkan data BPS dan Kementerian Kehutanan tahun 2009 ada 9.103 desa yang berada dalam kawasan hutan, dimana masyarakat yang berada dalam kawasan hutan tersebut bergantung kepada hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Berdasarkan hal itu, dapat dibayangkan berapa banyak masyarakat yang tinggal dalam kawasan hutan itu nantinya yang akan dihukum karena dituduh membawa atau mengambil hasil hutan tanpa izin. Bahkan untuk saat ini sudah banyak masyarakat yang dikriminalisasi dengan tuduhan mencuri kayu, atau mencuri hasil perkebunan perusahaan.


ELSAM, SILVAGAMA, WALHI dan PIL-Net menyatakan bahwa penerapan pasal pidana mengambil hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan keterangan sah hasil hutan dan proses hukum terhadap Nahrudin dapat merupakan tindakan ceroboh dan cermin kesewenang-wenangan aparatur negara.

Setidaknya ada 3 (tiga) alasan kenapa proses hukum tersebut salah kaprah. Pertama, hukum merupakan ruang publik bagi masyarakat sekitar hutan, hal ini dijamin oleh UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan). Aparat penegak hukum, khususnya Penuntut Umum sebaiknya melihat Pasal 68 UU Kehutanan, negara bahkan wajib memberikan kompensasi apabila hak masyarakat untuk mengakses hasil hutan terlanggar akibat pengukuhan kawasan hutan.

Kedua, seharusnya Penuntut Umum lebih jeli lagi melihat bahwa hutan Perhutani sendiri belum tentu melalui tahapan pengukuhan yang tuntas. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 45/PUU-IX/2011 sudah menjelaskan bahwa penentuan kawasan hutan selama ini berjalan otoriter, sehingga seharusnya hal ini menjadi bahan pertimbangan bagi para penegak hukum. Ketiga, bahwa kebijakan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) merupakan kebijakan administratif dan bisa dikesampingkan oleh kebijakan administratif lainnya. Dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.47/Menhut-II/2013 telah terang bahwa masyarakat berhak atas hasil hutan kayu tidak lebih dari 20 meter kubik, untuk kebutuhan individu. Oleh karenanya, ketentuan yang lebih menguntungkan terdakwa dalam hal ini Nahrudin diberlakukan.

Kasus ini merupakan bentuk ketidakadilan yang marak dipertontonkan kepada khalayak. Dalam melihat kasus ini hakim harus jeli, jangan hanya terpatok kepada norma undang-undang belaka. Hakim justru wajib menggali nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Keterangan sah hasil hutan pada dasarnya hanyalah keterangan untuk menjelaskan status kayu yang dikuasai. Dalam konteks kasus Nahrudin, sebaiknya jika sudah mendapat izin dari mandor Perhutani sendiri, seharusnya itu sudah cukup.

Lebih jauh, sewajarnya Polhut melakukan proses hukum atas kegiatan usaha illegal yang skala besar yang jelas-jelas tidak hanya menimbulkan kerusakan hutan tetapi juga merugikan negara. Kami juga menilai banyak sekali kelemahan dari ketentuan pidana yang diatur dalam UU Kehutanan, termasuk yang telah digantikan dengan UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Oleh karenanya, dalam jangka waktu dekat, kami akan mengajukan pengujian konstitusionalitas atas kedua undang-undang yang menyengsarakan rakyat tersebut.

PSHK Desak DPR Fokus Selesaikan Prolegnas 2013


Jakarta-Masa bakti anggota DPR periode 2009-2014 tersisa kurang dari satu tahun. Banyak Anggota DPR juga semakin sibuk dengan agenda persiapan Pemilu 2014. Apalagi hampir seluruh anggota DPR sekarang kembali mencalonkan diri. Dalam bidang legislasi, target Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2013 hampir pasti tidak bisa tercapai.

Target 76 RUU dalam Prolegnas 2013 sangat jauh dari realisasi. Sampai penutupan Masa Sidang I Tahun Sidang 2013-2014, hanya ada 15 RUU yang sudah disahkan, yang terdiri dari 6 RUU non kumulatif terbuka dan 9 RUU kumulatif terbuka (APBN, pemekaran wilayah, dan pengesahan konvensi). Sedangkan masa sidang sekarang, DPR dan Pemerintah sedang membahas 33 RUU pada tahap pembicaraan tingkat I. Dua diantaranya baru masuk sebagai usul inisiatif DPR, yaitu RUU Kesehatan Jiwa dan RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (RUU MD3). Sedangkan 27 RUU lainnya masih dalam tahap persiapan.

Melihat kondisi yang ada, mustahil DPR dan Pemerintah mampu menyelesaikan target Prolegnas, apalagi dalam rentang waktu yang sangat singkat. Proyeksi ini bahkan disertai dengan kekhawatiran akan kualitas undang-undang yang dihasilkan.

Pada bidang politik dan hukum, ada sejumlah RUU dengan materi muatan yang cukup banyak dan kompleks. RUU dimaksud adalah RUU MD3, RUU KUHP, RUU KUHAP, dan RUU Pemilukada.

Khusus RUU MD3, sangat erat materi muatannya dengan kepentingan partai politik dalam kelembagaan DPR. Salah satunya adalah materi pembahasan tentang keberadaan fraksi di DPR. Ketentuan mengenai fraksi seharusnya menjadi salah satu sasaran revisi UU MD3, terutama mengenai dasar pembentukannya. Penentuan mengenai syarat atau kriteria pembentukan dan peran fraksi harus diputuskan sebelum Pemilu 2014 dilaksanakan. Hal ini penting untuk menjaga objektifitas dari para pembentuk undang-undang. Apabila ketentuan itu dibahas setelah diketahui hasil Pemilu 2014 dan juga jumlah kursi yang diperoleh, maka ada potensi subyektivitas dalam pembahasan dan mengarah kepada bagi-bagi kekuasaan berdasarkan konfigurasi kekuatan partai politik di internal DPR. Oleh karena itu, pembahasan RUU MD3 harus dilakukan dengan disiplin dan fokus, serta menggunakan skala prioritas terhadap materi muatan tertentu.

PSHK memandang bahwa langkah yang paling tepat untuk dilakukan oleh DPR sekarang adalah memprioritaskan RUU yang sudah masuk dalam tahap pembicaraan tingkat I dan menghentikan pembahasan RUU yang masih dalam tahap persiapan. Selain itu, DPR dan Pemerintah juga berkesempatan untuk menarik RUU yang diprioritaskan dalam Prolegnas. Preseden penghentian pembahasan dalam tahap persiapan pernah terjadi pada RUU Pilpres dan RUU KPK, sedangkan yang ditarik dari Prolegnas juga sudah dilakukan terhadap RUU Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.

LPSK Bantu Pulihkan Psikologis Korban Pencabulan di Palu


Jakarta-Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) beri layanan psikologis terhadap GC, korban pencabulan hari ini di Palu Sulawesi Tengah."Pelayanan psikologis terhadap korban atas nama GC ini merupakan tindak lanjut dari keputusan paripurna tanggal 4 oktober 2013 lalu" ungkap Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai.

Lebih lanjut, Ketua LPSK mengatakan bentuk perlindungan yang diberikan kepad GC selaku korban, diberikan dalam bentuk pemulihan psikologis dan pemenuhan hak prosedural."Hari ini tim LPSK bertemu korban untuk penandatanganan perjanjian dan melakukan koordinasi dengan aparat penegak hukum terkait" ungkap Ketua LPSK.

Seperti diketahui, GC merupakan korban pencabulan yang dilakukan ayah kandungnya EC, akibat tindakan tersebut GC mengalami trauma dan tekanan psikologis sebagai saksi dan korban."GC merupakan anak korban yang masih dibawah umur,sehingga perlu mendapatkan perlindungan dan bantuan untuk masa depannya kelak" ungkap ketua LPSK.

Adapun Tim LPSK yang saat ini berada di Palu mendampingi korban,di pimpin oleh wakil ketua LPSK Hasto Atmojo serta beberapa staf LPSK."Majelis Hakim telah memutuskan EC terbukti bersalah dan mendapat hukuman pidana penjara 9 tahun, lebih ringan dari tuntutan jaksa 12 tahun" ungkap Maharani Siti Shopia, Humas LPSK.

Tuesday, November 19, 2013

Dampak Globalisasi Bagi Negara Berkembang

Kenichi Omahe, dalam bukunya The End of Nation-State, membuat orang terperangah. Betapa tidak buku ini secara eksplisit mengumumkan berakhirnya "nation-state" atau "negara-bangsa". Menurut Omahe, negara adalah artefak peninggalan abad ke-18 dan ke-19, karena menurutnya tidak ada lagi tapal batas. Lenyapnya negara itu adalah sebuah keharusan ketika kegiatan ekonomi global semakin meningkat. Wakil-wakil rakyat yang dipilih lewat pemilu ingin memberikan yang diinginkan oleh rakyat, akan tetapi bagaimana kalau yang diinginkan oleh rakyat ternyata menghancurkan ekonomi negara tersebut? Rakyat, misalnya, minta pelayanan dan subsidi dari negara, yang negara tidak mampu memberikan. Kumandang matinya negara-bangsa ini disambut dengan gembira oleh para pengusaha, terutama pengusaha global. Harus diakui bahwa globalisasi memang berdampak pada eksistensi negara.

Ada satu pertanyaan yang perlu dijawab sehubungan dengan dampak globalisasi pada negara: apa dampaknya pada kebijakan domestik? Misalnya, apakah negara masih memainkan peran di dalam masyarakat? Ataukah ia telah digantikan - sebagian ataupun seluruhnya oleh pelaku-pelaku lain? Ketika peran negara telah berubah, ia berubah menjadi apa? Omahae telah secara sepintas menunjuk pada kenyataan bahwa elected officials kerap mengalami dilema, melayani konstituen mereka atau melayani aktor-aktor global. Karena ia dipilih oleh rakyat, semestinya ia mengabdi kepada kepentingan rakyat. Tapi ia juga berhadapan dengan aktor-aktor global, seperti pejabat dari IMF, World Bank, WTO, ataupun CEO dari perusahaan multinasional. Mereka ini lebih sering mempunyai tuntutan yang berbeda, bahkan bertentangan, dengan tuntutan rakyat. Kalau ia berpihak kepada rakyat, ia akan mengecewakan aktor global. Kalau ia mengikuti aktor global, ia akan merugikan rakyatnya sendiri.

Tidak mudah menghadapi dilema in. Seperti kita pelajari dari sejarah, hubungan antara negara dan saudagar lahir bagaikan saudara kembar. Negara membutuhkan kaum saudagar untuk membiayai kehidupan para pemimpin, birokrasi, dan tentu saja membiayai perang. Sebaliknya, kaum saudagar juga membutuhkan perlindungan dari negara dalam menjalankan usahanya. Sampai hari ini para saudagar tidak bisa melepaskan diri dari negara dalam soal security. Jadi, ada simbiosis mutualistis, antara negara dan saudagar.
Karena negara dalam posisi agak lemah dibandingkan dengan saudagar, maka banyak negara (Indonesia?) yang lebih memilih "mengalah" kepada para saudagar. Hipotesis yang mau diajukan sepanjang buku ini adalah bahwa negara - karena tuntutan para saudagar global — memilih untuk menjadi pelindung para saudagar daripada pelindung warganya. Negara memang tidak lenyap, negara juga telah menyesuaikan diri dengan arus globalisasi, tetapi negara telah kehilangan ciri utamanya sebagai yang memegang kedaulatan (sovereignty) dan pelindung warga negaranya. Biar bagaimana pun pengusaha masih membutuhkan keamanam (security).

Oleh karena itu sekarang ini negara telah berubah menjadi centeng, bayaran dari sekelompok kecil saudagar, nasional, maupun global. Yang dilakukan oleh negara adalah menyediakan keamanan bagi para saudagar karena mereka inilah yang membawa uang yang diperlukan untuk menyelenggarakan negara.

Ini berbeda dari "negara penjaga malam" karena negara penjaga malam masih membela dan melindungi warga negaranya, ia tidak ikut campur tangan di bidang ekonomi. Negara centeng memperlihatkan keberpihakannya kepada kaum saudagar saja, mirip dengan executive committee yang diajukan oleh Karl Marx. Tapi negara centeng bukan sebuah panitia yang bisa mempunyai otonomi. Ia sama sekali dikuasai oleh kaum saudagar, terutama saudagar global, sedemikian rupa sehingga Ia tanpa malu-malu melupakan tugasnya sebagai penjaga kedaulatan nasional.

Di sinilah letak penting hadirnya buku Negara Centeng karangan I Wibowo ini. Buku ini berisi kritikan sekaligus evaluasi terhadap globalisasi, terutama dari ranah ekonomi dan politik. Sejauh mana globalisai bermanfaat dam merugikan untuk manusia? Apakah globalisi hanya membawa manfaat bagi sejumlah kecil manusia, tetapi membawa kerugian kepada sejumlah besar manusia? Pada akhirnya, pertanyaan itu akan menggiring kepada pertanyan lain yang lebih mendasar tentang organisasi politik yang kita punyai, yaitu Negara. Apa dampak globalisasi pada eksistensi “negara”?


Data Buku
Judul : Negara Centeng: Negara dan Saudagar di Era Globalisasi
Penulis : I Wibowo
Penerbit : Kanisius
Cetakan : Pertama, 2010
Tebal : viii + 270 halaman

Panja OS BUMN: Dahlan Iskan Akhirnya Keluarkan Intruksi

Jakarta- Panja Outsourcing dan Tenaga Kerja BUMN Komisi IX DPR RI menyambut baik keputusan Menteri BUMN Dahlan Iskan membuat surat intruksi/edaran untuk seluruh Direksi BUMN paling lambat 22 November 2013.

“Pak Dahlan Iskan akhirnya sepakat keluarkan surat intruksi/edaran paling lambat 22 November 2013 sebagai dasar pelaksanaan rekomendasi Panja Outsourcing dan Tenaga Kerja BUMN Komisi IX DPR RI oleh seluruh Direksi BUMN dan akan dibentuk Tim khusus untuk memantau pelaksanannya,” kata anggota Panja OS dan Naker BUMN Poempida Hidayatulloh di Gedung DPR, Senin (18/11/2013


Poempida menegaskan, bukan berarti pengawasan panja Komisi IX DPR RI akan menjadi kendur dengan akan dikeluarkannya surat intruksi/edaran oleh Meneg BUMN ke seluruh Direksi BUMN.
“Saya ingin tetap melihat rekomendasi Panja OS dan Naker BUMN ini terimplimentasikan dengan baik,” tegasnya

Sementara itu Koordinator Geber BUMN, Ais merespon sangat antusias terhadap keputusan Meneg BUMN dengan harapan tinggi. “Tentu saja isinya bisa sesuai dengan hasil kesepakatan dalam pertemuan perwakilan Geber BUMN dengan Pak Dahlan Iskan pada 14 November lalu,” ujar Ais


Ais memaparkan, isi kesapakatan kedua belah pihak, yakni: (1) Meneg BUMN beserta seluruh Direksi BUMN bersedia melaksanakan seluruh butir yang direkomendasikan oleh Panja OS dan Naker BUMN Komisi IX DPR RI. (2) Meneg BUMN sepakat juga untuk membentuk tim khusus yang melibatkan unsur Kemeneg BUMN, Geber BUMN dan masing-masing perusahaan BUMN guna menyelesaikan secara teknis masalah ketenagakerjaan yang ada di perusahaan BUMN.

Menurut Ais pihaknya akan sangat penuh respek tinggi jika saja Pak Dahlan Iskan bisa memenuhi ucapan dan janjinya. Dan beliau bisa mendapatkan amal ibadah yang sangat besar dan bukan tidak mungkin pula keridhoan-Nya bisa mengabulkan keinginannya menjadi presiden.

“Bisa jadi, nantinya Pak Dahlan Iskan menjadi Tokoh Pembebasan bagi pekerja outsourcing karena sudah diangkat menjadi pekerja tetap di perusahaan BUMN. Pekerja outsourcing terbebas dari praktek perbudakan gaya baru di era modern ini,” tuntas Ais

Monday, November 18, 2013

Terbukti Gunakan Narkoba, Hakim PN Binjai Dipecat

Jakarta-Hakim Pengadilan Negeri Binjai Sumatra Utara Raja Mardani Gonggong Lumbun Tobing diberikan sanksi disiplin berat berupa pemberhentian tetap dengan hormat dalam sidang etik Majelis Kehormatan Hakim yang digelar terbuka di Gedung Mahkamah Agung pada hari Rabu (6/11). Hakim Raja diberhentikan lantaran terbukti melakukan pelanggaran kode etik pedoman perilaku hakim dalam Surat Keputusan Bersama Mahakamh Agung dan Komisi Yudisial tahun 2009. "Memutuskan menjatuhkan sanksi disiplin berat berupa pemberhentian tetap dengan hak pensiun," kata ketua Majelis Hakim yang juga Ketua Bidang Pengawasan Hakim KY Eman Suparman, dalam persidangan etik di Gedung MA, Jakarta Duduk selaku anggota majelis sidang MKH Ketua Bidang SDM dan Litbang Jaja Ahmad Jayus, Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim KY, Ibrahim dan Wakil Ketua KY Abbas Said serta dari unsur Mahkamah Agung, Hakim Agung Yulius dan Hakim Agung Sofyan Sitompul, dan Hakim Agung Djafni Djamal. MKH dalam pertimbangannya menyebutkan alasan pemecatan terhadap Hakim Raja, yaitu Hakim terlapor terbukti menggunakan narkoba yang dibuktikan dengan hasil tes urin dari Badan Narkotika Nasional ditambah dengan pengakuan Hakim Raja. Selain itu Hakim Raja terbukti kedapatan bertandang ke rumah keluarga terdakwa padahal mengetahui jika paman terdakwa adalah seorang makelar kasus. "Hakikm terlapor terbukti menggunakan narkoba jenis sabu dan ganja, menggunakan narkoba sebelum dan sesuadah menjadi hakim, serta ke rumah terdakwa dengan mobil terlapor," kata Ketua KY Priode 2010 2013 tersebut Masih kata Eman yang membacakan pertimbangan MKH yang memutuskan lebih ringan dari rekomendasi KY yaitu pemberhentian dengan tidak hormat, lantaran Hakim Raja mengakui perbuatannya dan menyesal dan bertobat dan berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Selain itu hal-hal yang meringankan lainnya adalah karena Hakim Raja saat ini masih menjadi tulang punggung keluarganya. "Hal-hal yang meringankan Terlapor mengaku khilaf. Menyesal dan bertobat dan berjanji tidak akan melakukan kembali perbuatannya. Hakim terlapor juga masih menjadi tulang punggu keluarga," pungkas Eman.

Asap dan Nasib Bangsa

Oleh: Akhmad Kusairi*

Kobaran api kembali melahap berjuta-juta hektar hutan dan lahan di beberapa pulau di Indoensia. Malaysia dan negara-negara ASEAN lainnya berang karena wilayahnya terserang kabut "Kiriman". Sehingga otomatis kegiatan belajar-mengajar diliburkan serta semua aktivitas tranportasi terganggu baik itu darat, laut dan udara. Kebakaran memang bukan kasus yang main-main, karena selain rusaknya hutan atau punahnya ekosistem serta habitat makhluk hidup di dalamnya, juga hasil kebakaran tersebut bisa mengeluarkan zat racun berupa karbon dioksida yang cukp membahyakan. Kebakaran memang bukan kasus yang mian-main, karena selain rusak atau punahnya ekosistem dan habitat makhluk hidup di dalamnya, juga hasil kebakakaran tersebut mengeluarkan zat racun berupa karbondioksida yang cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia.
Dari fakta di atas, kebakaran hutan tampaknya lebih memperihatinkan daripada kasus limpur panas yang terjadi di Sidoarjo Jawa Timur, karena dampak kebakarn hutan lintas area dalam artian semua negara yang dekat dengan Indonesia terkena imbasnya. Ini berbeda dengan kasus lumpur yang hanya dirasakan oleh orang Indonesia saja.

Riwayat Kebakaran Hutan
Kalau boleh menyalahkan sebenarnya yang sangat bertanggung jawab dalam hal ini adalah pemerintah Orde Baru, dengan program pembangunan jangkapanjangnya. Untuk menjalankan programnya ratusan ribu hektar hutan bergambut yang ada pulau-pulau selain pulau Jawa dibuka untuk dibuat pemukiman, ladang, dan persawahan. Tapi masalah muncul saat hutan tersebut dibuka, sebab hutan yang seharusnya selalu lembab itu kini menjadi kering dengan pembukaan menjadi lahan tersbut. Akibatnya hutan yang sensitif itu mudah sekali terbakar, bahkan dengan gesekan sekalipun.
Asap tyang menyesakkan sebagian orang Indonesia dan tetangga dekatnya, tampaknya sudah menjadi tragedi tahunan. Terus timbul pertanyaan, dimana peran serta pemerintah dalam hal ini? Apakah cuman berpangku tangan sambil sesekali menganjurkan kepada masyarakat serta instaansi terkait yang sangat berkepntingan untuk menghindari membakar hutan? Memang tak bisa dipungkiri sudah ada upaya yang dilakukan oleh pemerintah. Tapi mana bukti dan hasilnya? Semua orang merasakan imbas dari asap yang mengakibatkan kabut asap yang sangat tebal terjadi setiap hari.

ASEAN Menggugat?
Masyarakat umum banyak yang bertanya, apakah Malaysia serta negara lain yang dirugikan yang jadi korban asap Indonesia dapat menggugat secara hukum dan meminta pertanggungjawaban Indonesia? Berdasarkan kaidah hukum internasional dan hukum nasional Indonesia sendiri, negara yang dirugikan dapat menggugat pemerintah Indonesia karena menurut sejumlah konvensi internasional yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia, seperti Biodeversity Convention dan Climate Change Convention memuat ketentuan bahwa, "Negara boleh saja mengekploitasi sumber daya alam mereka, tetapi berkewajiban untuk memastikan bahwa aktivitas tersebut tak menimbulkan kerusakan di wilayah negara lain". Ketentuan ini bahkan telah menjadi hukum kebiasaan internasional, dan mengikat semua negara bearadab. Bahkan telah diterapkan sejak tahun 1941 dalam kasus Trail Smelter ( AS vs Kanada).
Ketentuan di atas juga telah diadopsi oleh ASEAN berupa, Agreement of Conservation of Nature and Natural Resources 1983, di mana Indonesia telah meratifikasinya, dan AEAN Agreement of Transbourdary Haze Polution 2002 (AATHP). Sayangnya Indonesia belm meratifikasi AAHP tersebut yang walaupun seluruh anggota ASEAN telah meratifikasinya.
Di samping ketentuan di atas juga telah diadopsi dalam penjelasan pasal 3 UU No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Oleh karena itu tidak ada alasan hukum yang bisa membebaskan Indonesia dari tanggung jawab jika negara yang dirugikan menggugat Indonesia.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Malaysia atau negara korban lainnya menggugat pemerintah Indonesia, akan dengan mufdah disimpulkan bahwa Indonesia akan dinyatakan bersalah. Masalah hukum yang ada hanya menentukan pengadilan mana yang akan mengadilinya kalau negara korban untuk menggugat Indonesia.
Oleh karena itu, sebelum negara-negara tetangga hilang kesabaran mereka, Presiden dan Wakil Presiden sudah seharusnya memerintahkan kabinetnya, khususnya Menteri Lingkungan Hidup, Kapolri, dan para Gubernur serta Bupati untuk segera menangani kasus kebekaran hutan serta menangkap dan mengadili para pelaku pembakaran hutan tersebut agar tidak dimermalukan oleh gugatan yang lebih serius dari para korban yang berasal dari negara lain.

*Penulis adalah Mahasiswa Aqidah Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

Bilangan Fu dan Kritik terhadap 3 M

Oleh: Akhmad Kusairi
Judul : Bilangan Fu
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : KPG, Jakarta
Cetakan : Pertama, Juni 2008
Tebal : x + 537 halaman.
Harga : 60.000
Setelah lama tidak muncul dalam jagad perbukuan sastra di Indonesia penulis novel fenomenal Saman dan Larung, Ayu Utami kembali mengeluarkan sebuah novel berjudul Bilangan Fu. Novel ini berksiah tentang tiga orang tokoh, Yuda, seorang pemanjat tebing yang selalu bersikap kritis terhadap nilai-nilai di masyarakat. Parang Jati, seorang pemuda berjari dua belas yang dibentuk oleh ayah angkatnya untuk ikut merasakan duka dunia, dan Marja, seorang mahasiswi yang suka petualangan-petualangan.
Novel Bilangan Fu ini barangkali akan menjadi sebuah cerita fiksi yang rumit seandainya tidak ditulis dengan cermat. Novel ini berisi kritik Ayu pada tiga M yang dianggap menjadi ancaman terhadap kelangsungan kehidupan kebebasan dan demokrasi. Namun Ayu secara apik menjalin 3 kritik serba serius itu lewat kisah dua pemuda dan satu pemudi pemanjat tebing: Yuda dan Parang Jati. Walaupun keduanya terlihat sedikit berseberangan, Yuda dan Parang Jati saling bahu-membahu menjadi protagonis melawan musuh bersama mereka di atas.
M yang Pertama adalah modernisme. Menurut Ayu, Modernisme sudah menjadi penyebab utama rusaknya lingkungan akibat eksploitasi manusia modern yang kelewat batas dan lupa menghormati alam. Tambah Ayu lagi, manusia modern tak lagi percaya pada segala bentuk keramat dan cerita-cerita takhayul, ihwal roh-roh halus penunggu pohon besar, sungai, gunung, dan samudera. Padahal kepercayaan pada takhayul dan keberadaan roh-roh halus yang dulu dipercaya oleh masyarakat terbukti mampu menyelamatkan alam dari kerusakan. Karena percaya bahwa setiap benda dan tempat ada yang punya, mereka tak berani berlaku sewenang-wenang.
Kampanye anti-perusakan lingkungan ini disampaikan Ayu lewat dialog cerdas Yuda dan Parang Jati. Keduanya mengenalkan agama baru mereka yaitu pemanjatan bersih atau yang lebih ekstrem lagi sacred climbing, yakni teknik memanjat dengan sesedikit mungkin atau sama sekali tidak melukai tebing-tebing dengan alat-alat seperti bor dan paku.

Tamabh Ayu lagi, agama-agama langit telah gagal menyelamatkan alam. Menurutnya justru agama bumi lah yang sudah terbukti mampu secara sistematis memelihara keutuhan lingkungan. Namun demikian, agama-agama bumi ini telah terlindas oleh nilai-nilai baru. Dengan munculnya modernisme yang sama sekali menghapus ketidakrasionalan dan monoteisme yang tidak menghendaki di luar ketunggalan telah berdampak negatif atas keutuhan alam. Sebut saja misalnya, banyak terjadi penebangan hutan secara liar. Di mana manusia modern sudah tidak percaya lagi dengan mistisisme sehingga manusia tidak perlu takut lagi terhadap dampak negatif yang selama ini diyakini sebagai bala dari sang penunggu.
Maka dari itu menurut Ayu, untuk menyikapi problem semacam itu diperlukan sebuah spiritualisme kritis melalui persatuan berbagai agama yang dalam hal ini disimbolkan dengan aktivitas ketiga tokoh utamanya. Dalam hal ini, agama diasosiasikan dengan pemanjatan tebing yang dilakukan oleh Yuda yang kemudian berpindah agama dari pemanjat tebing kotor berpindah menjadi pemanjat tebing yang suci, bebas dari kecurangan-kecurang an
Monoteisme adalah M kedua yang dikritik oleh Ayu dalam novel ini. Dia percaya bahwa agama-agama langit yang monoteis memiliki persoalan mendasar dalam menerima perbedaan. Ayu mengilustrasikannya melalui konflik antara Kupukupu dan Parang Jati. Kupukupu adalah simbol bagi mereka yang merasa paling benar dengan apa yang mereka peluk. Mereka dalam praktiknya sangat anti terhadap perbedaan. Padahal dalam aksinya mereka tanpa sadar diperalat oleh tangan-tangan jahat kekuasaan yang ingin berkuasa atau meraup keuntungan. Pada bagian inilah Ayu memperkenalkan filosofi bilangan fu yang lebih bermakna metaforis ketimbang matematis. Ini menyangkut pengertian akan Tuhan yang Satu yang sering diartikan secara matematis.
Dan yang terakhir yaitu militerisme. Ayu berpendapat bahwa militerisme merupakan musuh utama demokrasi yang merajalela pada masa Orde Baru. Pada masa ini peran militer sangat dominan. Dengan kekuatan dan caranya sendiri, militer menebar teror, ketakutan, dan kekerasan di masyarakat demi melanggengkan kekuasaan. Acara-acara seni dan diskusi dimata-matai, kebebasan pers dibelenggu, dan kumpul-kumpul dianggap makar, subversi dan lain-lain. Bagi yang sempat merasakan hidup di masa itu tentu mengerti benar rasanya.

Novel dengan beban gagasan seberat itu tentu akan terasa membosankan jika penulisnya tidak pandai mengemas dan menyajikannya. Bilangan Fu nyaris menjadi novel ilmiah yang kaku seandainya hanya fokus pada ide besarnya dan melupakan unsur-unsur "hiburan". Unsur-unsur itu di antaranya bumbu seks, asmara, dialog-dialog yang bernas, plot yang tidak linear, dan humor yang menarik lagi cerdas.
Buku ini dibanding dengan dwilogi Saman dan Larung mempunyai gaya tarik tersendiri. Bilangan Fu alurnya lebih jelas, tutur bahasanya pun lebih lancar. Bilangan Fu juga tak ayal menjadi novel pertama di Indonesia yang mengangkat tema keagamaan secara universal. Dengan kata lain Ayu tidak berpihak ke dalam suatu agama tertentu. Buku ini adalah karya yang membicarakan persatuan seluruh agama dalam menciptakan kesejahteraan serta menyelamatkan alam dari dari tangan-tangan jahat manusia manusia modern.
Akhirnya, buku ini merupakan upaya seorang Ayu dalam menjawab masalah sosial keagamaan di Indonesia. Dengan gaya khasnya, Ayu mampu menghadirkan sebuah kisah yang mampu menjawab problem sosial keagamaan di Indonesia yang akhir-akhir ini sering terjatuh dalam truth claim. Bukankah kebenaran itu hanya milik Tuhan? Manusia hanya berusaha menafsirkan apa yang Tuhan katakan, bukan malah menjadi tuhan bagi masyarakat lain.

Akhmad Kusairi, Mahasiswa Filsafat fakultas Ushuluddin UIN Sunan kalijaga Yogyakarta