Reviews Buku

Thursday, November 01, 2007

Menemukan Kembali Indonesia

Judul : Masih (Kah) Indonesia
Editor : Budi Susanto
Penerbit : Kanisius, Yogyakarta.
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : 296 halaman

Indonesia sudah merdeka lebih dari 62 tahun, tapi wacana seputar nasionalisme jarang dimulai dari akar kebangsaan. Padahal, untuk dapat menemukan sosok Indonesia di tengah kekhawatiran lunturnya rasa kebangsaan sangat perlu digunakan sebagai pijakan.

Selain itu, Indonesia sebagai negara bangsa (nation-state) majmuk terbesar di dunia sangat rentan akan perpecahan. Ironisnya lagi perpecahan ini tidak hanya berasal dari jumlah etnisnya yang beragam, tetapi juga agama dan ras tak kalah beragamnya. Lantas pertanyaan berikutnya adalah bagaimana menyatukan keragaman itu semua? Atau paling tidak adannya formula dalam mengobati perbedaan yang kronis itu.

Indonesianis terkemuka, Benedict Anderson menyebut Indonesia sebagai imagine communities dengan unsur-unsur pembentuk yang saling tidak mendengar dan tidak mengenal. Namun, kemudian ia disatukan oleh cita-cita, harapan, dan sentimen. Muncul rasa kebangsaan, biasanya juga disebut nasionalisme, yang berdimensi sensoris.

Dimensi sensoris itu ibarat selimut yang menaungi dan berbagai unsur atau kelompok masyarakat dikendalikan dengan kuat oleh negara. Ketika zaman berubah, selubung itu ikut melemah. Unsur seperti suku bangsa semakin mengkristalkan dan menguatkan identitasnya dalam kondisi tidak saling mengenal dan memahami kelompok lain.

Untuk mengatasi permasalahan masyarakat yang beragam tadi ialah dengan mengganti kebijakan pluralisme dengan kebijakan multikulturalisme sebagai sebuah strategi besar. Oleh karena itu integrasi tidak hanya sebatas integrasi sosial, tetapi juga integrasi kebudayaan.
Oleh sebab itu Peran negara yang semula merekayasa integrasi yang berujung kepada politik penyeragaman perlu berubah menjadi fasilitator. Masyarakat yang tadinya merupakan obyek integrasi berubah menjadi subyek yang sadar, dengan kata lain menempatkan kembali manusia sebagai subyek. Konsekuensinya adalah masyarakat diberikan perangkat hak mereka dalam mengembangkan kebudayaan dan identitasnya. Dengan catatan, pemberian hak itu disertai dengan membangun jembatan antarunsur atau multikulturalisme. Dengan demikian, tidak lagi ada primordial baru.

Substansi dari multikulturalisme ialah pengembangan wisdom. Dalam hal ini masyarakat sudah tidak lagi melihat kelompok lain dengan dipenuhi prasangka. Dalam masyarakat multikultur masyarakat dituntut untuk memahami orang lain sebagai manusia utuh dan mampu hidup bersama dalam perbedaan.
Dalam membangun jembatan antar-kelompok masyarakat atau multikulturalisme, peran negara dalam hal ini hanya sebagai fasilitator melalui strategi pembangunan kebudayaannya. Misalnya lewat kurikulum sekolah sebagai sarana, dan lain-lain.
Buku ini merupakan upaya sekumpulan anak bangsa yang ingin mengembalikan identitas bangsa yang moderat, serta toleran terhadap perbedaan. Pertanyaan Masihkan Indonesia memang cocok untuk diajukan untuk situasi bangsa saat ini. Westernisasi yang membati buta tanpa filterisasi yang memadai secara tak langsung membuat anak muda Indonesia mengalami ambiguitas dalam berpikir dan bersikap, apakah menerima atau menolak.

Dalam salah satu penelitian Erni dalam buku ini misalnya memperlihatkan betapa rapuh impian dan bayangan tentang Indonesia (Orde) Baru yang dibangun oleh rejim-rejim militer yang pernah terlibat di Pariaman. Rejim yang lebih suka memandang orang berdasar identifikasi rasial (ke-Cina-an) dari pada pekerjaannya sebagai pedagang (sengli), atau perantau (Hoa Kiauw) dari daratan Tiong Kok. Sebuah cara pandang yang dengan mudah berkait dengan ikatan (identitas) primordial lainnya berdasar perbedaan kelas Sosial dan kepercayaan Agama dan Rasial tadi. Kesetiaan penulis mencatat cara pandang (orde) baru berdasar primordialitas SARA di kalangan subyek penelitiannya, akhirnya tidak sekedar mengungkap konflik sosial yang ada, tetapi juga memberi rincian contoh betapa keji dan kejam hasil konflik tersebut ketika kalau disadari demokratisasi ala Ranah Minang telah lama mangkir. Tentu saja, kemangkiran hidup bersesama ala sebuah "nagari" semakin memberi peluang kehadiran sikap-sikap militeristik dengan segala akibatnya yang harus ditanggung oleh golongan SARA tertentu, yang dijadikan korban seperti pernah terjadi di kota kabupaten yang sekarang disebut Pariaman. (Hal 269)

Substansi dari multikulturalisme ialah pengembangan wisdom. Dalam hal ini masyarakat sudah tidak lagi melihat kelompok lain dengan dipenuhi prasangka. Dalam masyarakat multikultur masyarakat dituntut untuk memahami orang lain sebagai manusia utuh dan mampu hidup bersama dalam perbedaan.

Dalam membangun jembatan antar-kelompok masyarakat atau multikulturalisme, peran negara dalam hal ini hanya sebagai fasilitator melalui strategi pembangunan kebudayaannya. Misalnya lewat kurikulum sekolah sebagai sarana, dan lain-lain.
Buku ini merupakan upaya sekumpulan anak bangsa yang ingin mengembalikan identitas bangsa yang moderat, serta toleran terhadap perbedaan. Pertanyaan Masihkan Indonesia memang cocok untuk diajukan untuk situasi bangsa saat ini. Westernisasi yang membati buta tanpa filterisasi yang memadai secara tak langsung membuat anak muda Indonesia mengalami ambiguitas dalam berpikir dan bersikap, apakah menerima atau menolak.

Dalam salah satu penelitian Erni dalam buku ini misalnya memperlihatkan betapa rapuh impian dan bayangan tentang Indonesia (Orde) Baru yang dibangun oleh rejim-rejim militer yang pernah terlibat di Pariaman. Rejim yang lebih suka memandang orang berdasar identifikasi rasial (ke-Cina-an) dari pada pekerjaannya sebagai pedagang (sengli), atau perantau (Hoa Kiauw) dari daratan Tiong Kok. Sebuah cara pandang yang dengan mudah berkait dengan ikatan (identitas) primordial lainnya berdasar perbedaan kelas Sosial dan kepercayaan Agama dan Rasial tadi. Kesetiaan penulis mencatat cara pandang (orde) baru berdasar primordialitas SARA di kalangan subyek penelitiannya, akhirnya tidak sekedar mengungkap konflik sosial yang ada, tetapi juga memberi rincian contoh betapa keji dan kejam hasil konflik tersebut ketika kalau disadari demokratisasi ala Ranah Minang telah lama mangkir. Tentu saja, kemangkiran hidup bersesama ala sebuah "nagari" semakin memberi peluang kehadiran sikap-sikap militeristik dengan segala akibatnya yang harus ditanggung oleh golongan SARA tertentu, yang dijadikan korban seperti pernah terjadi di kota kabupaten yang sekarang disebut Pariaman. (Hal 269)
Sudah begitu banyak kata-kata, gagasan dan "kenyataan" tentang ke-Indonesia-an yang telah ditampilkan termasuk oleh para penulis dan pembaca buku ini di media komunikasi massa modern, cetak, suara, maupun gambar. Enam peneliti muda dalam bunga rampai ini menangkap ada kekhawatiran orang-orang urban modern dari kelas sosial tertentu berkaitan dengan identitas dan keberlanjutan nasionalisme Indonesia masa kini. Kekhawatiran mereka, nampaknya, karena mereka memang diajar memperingati peristiwa Soempah Pemoeda ((1928), dan diingat-ingatkan bahwa nasionalisme lah yang akan menghasilkan bahasa bersama, bahasa Indonesia, padahal sejarah dari pengalaman masa rakyat Indonesia mencatat sebaliknya: bahwa bahasa bersamalah yang lebih menghasilkan nasionalisme.
Mungkin dengan alasan itulah buku ini hadir di tengah sidang pembaca. Namun karena buku ini adalah kumpulan karangan sehingga tak heran kelihatan ada ketidaksamaan tema serta misi yang diemban oleh para penulis buku ini. Terlepas dari kelemahan itu buku ini tetap layak sebagai langkah awal menemukan Kembali indentitas Indonesia yang selama ini mulai memudar oleh gempuran modernitas.

Sudah begitu banyak kata-kata, gagasan dan "kenyataan" tentang ke-Indonesia-an yang telah ditampilkan termasuk oleh para penulis dan pembaca buku ini di media komunikasi massa modern, cetak, suara, maupun gambar. Enam peneliti muda dalam bunga rampai ini menangkap ada kekhawatiran orang-orang urban modern dari kelas sosial tertentu berkaitan dengan identitas dan keberlanjutan nasionalisme Indonesia masa kini. Kekhawatiran mereka, nampaknya, karena mereka memang diajar memperingati peristiwa Soempah Pemoeda ((1928), dan diingat-ingatkan bahwa nasionalisme lah yang akan menghasilkan bahasa bersama, bahasa Indonesia, padahal sejarah dari pengalaman masa rakyat Indonesia mencatat sebaliknya: bahwa bahasa bersamalah yang lebih menghasilkan nasionalisme.

Mungkin dengan alasan itulah buku ini hadir di tengah sidang pembaca. Namun karena buku ini adalah kumpulan karangan sehingga tak heran kelihatan ada ketidaksamaan tema serta misi yang diemban oleh para penulis buku ini. Terlepas dari kelemahan itu buku ini tetap layak sebagai langkah awal menemukan Kembali indentitas Indonesia yang selama ini mulai memudar oleh gempuran modernitas.

Dimuat di Seputar Indonesia 28 Oktober 2007