Reviews Buku

Thursday, January 25, 2007

Menelusuri Jejak Ho dalam Mite Nias

Akhmad Kusairi*

Judul : Ho Jendela Nias Kuno: Sebuah Kajian kritis Mitologis
Penulis : Victor Zebua
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : I Desember 2006
Tebal : x + 158 halaman.

Sudah banyak kajian tentang mitologi Nias, namun belum ada satu pun karya yang mampu mengungkap secara tuntas dan benar apa yang menjadi tradisi di Nias, termasuk tentang cerita Ho yang di Nias dianggap sebagai salah satu keturunan para Dewa yang diturunkan dari langit secara langsung utuk mengurus muka bumi khususnya bumi Nias.
Ada banyak kontradiksi seputar asal-usul Ho sendiri, mengingat banyaknya cerita-cerita mite yang beredar di Masyarakat Nias sebagai cerita sehari-sehari. Victor Zebua dengan analisisnya yang tajam mengupas tuntas asal-usul orang Nias yang kemudian menunjukkan bahwa Ho berasal dari mana, apakah dia berasal dari langit seperti yang dianggap oleh sebagian orang, apakah dia Cuman manusia yang berasal dari salah satu tempat di Nias. Setidaknya itulah alasan kenapa buku ini terbit.
Vivtor Zebua, Penulis buku yang berjudul Ho Jendela Nias Kuno: Sebuah Kajian Kritis Mitologis ini, dengan referensi yang dikutipnya mampu menganalisis kemungkinan yang mendekati kebenaran, tentunya kebenaran di sini sifatnya relatif, atau bahkan hanya benar menurut Victor saja.
Sebagai sebuah buku antropologi mitologi tentunya buku ini tak akan terlepas dari yang namanya cerita-cerita mite yang biasanya selalu hidup mengiringi kehidupan yang sebenarnya. Terus apa bedanya dengan dongeng atau cerita-cerita pengantar tidur untuk anak-anak yang belum akil baligh? Menurut Victor dalam buku ini, cerita-cerita mite biasanya dianggap sakral keberadaannya, sehingga orang harus berhati-hati dalam menceritakannya sehingga tak terjadi kesalahan yang nantinya, menurut mereka akan berakibat fatal bagi orang bercerita, yang diceritai atau malah suatu masyarakat yang akan mengalami nasib yang tak enak.
Dalam buku yang lumayan tebal ini, Victor juga memaparkan dengan lugas latar belakang Sawuyu (perbudakan dalam konsep Nias). Menurut Faugoli yang dikutip oleh Victor, ada tiga macam Sawuyu di jaman kuno. Pertama Sondrara Hare yaitu orang yang terlilit hutang, pada rentenir (orang kaya atau raja), berkerja pada rentenir itu, gajinya dipotong untuk melunasi hutangnya, dan bila sudah lunas dibebaskannya. Kedua, Holito, ialah orang yang dihukum mati menurut adat, namun jika ada yang membayar holi-holi (penebus jiwa). Dia menjadi Sawuyu dari sang penebus dirinya. Status sawuyu ini turun-temurun hingga ke anak cucunya. Dan yang ketiga adalah Sawuyu tawanan perang adalah tawanan yang menjadi budak raja. Status budak ini juga turun-temurun hingga ke anak cucunya. Oleh Yoshiko Yamamoto, tiga macam Sawuyu tersebut dirumuskan dengan tiga kata kunci, yaitu Utang, Kriminal, dan tawanan.
Mabel Cook Cole menulis dalam The Island of Nias at the Edge of the Word bahwa mayoritas Sawuyu adalah orang yang berutang. Ini berarti perbudakan pada jaman dulu di Nias kuno mempunyai motif ekonomi. Sehingga bila Sawuyu kurang cocok dikategorikan dalam stratifikasi sosial, tentu tidak perlu ragu-ragu bila ia dipandang sebagai kelas sosial.
Menurut ahli antropologi budaya, Koentjaraningrat, ada tiga wujud kebudayaan Pertama, adat tata-kelakuan (adat-istiadat) yang terdiri dari: sistem nilai budaya, simtem norma-norma, sistem hukum, dan aturan khusus (misalnya sopan-santun). kedua, sistern nilai budaya, yaitu suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam msyrakat. Dan yang ketiga, kebudayaan fisik, yaitu benda hasil karya manusia.
Sawuyu merupakan wujud kedua kebudayaan, yaitu sistem sosial, entah dia disebut sebagai strata (social stratification) atau disebut kelas (social class}. Sedangkan mitos ada dalam wujud pertama kebudayaan. Sehingga argumentasii mitos penciptaan dari Laiya dalam menyanggah Danandjaja ada di kamar yang berbeda. Pandangan dua ahli anlropologi ini tentang sawuyu tidak bertemu, bagaikan dua titik embun yang bersebelahan di dinding kaca.
Dari atas angin, mitos merembes kewujud pcrtama kebudayaan dalam hentuk ide, gagasan nilai, norma, dan peraturan. Penyebab pcrbudakan (utang, kriminal, tawanan) adalah hasil dari paradigma adat-istiadat pada jaman itu. Sistem yang diharisilkan (nilai budaya, norma, hukum, bahkan ekonomi) tidak mencegah, justru memproduksi perbudakarn. Agama bahkan gagal memhendung fenomena perbudakan. Inilah rembesan mitos, sebuah mitos yang dijabarkan oleh para pemilik mitos menjadi wajah sosial yang mengerikan, yaitu sawuyu.
Pada perkembangan selanjutnya mengalami perkembangan. Yaitu ada penambahan dari tiga kata kunci yang Yoshiko Yamamoto. Pertam, Komoditas, dan selanjutnya ritual. Sebagai sebuah komoditas Sawuyu dijadikan barang komoditas, artinya Sauyu bisa ditukar, dibeli bahkan dijadikan ekspor oleh suatu negeri. Sebagai ritual Sawuyu dijadikan sebagai tumbal ritual, berupa pemenggalan kepala para laki-laki, dan ini biasanya ditimpakan pada para Sawuyu. Oleh Victor tiga kata kunci yang diusulakn oleh Yoshiko yamamoto harus ditambah menjadi Utang, Kriminal, dan tawanan, komoditas, dan ritual.
Sebagai sebuah buku antropolog sekali lagi presensi tekankan, buku ini sangat layak untuk dijadikan referensi keilmuan kita. Kritik keras Victor kepada Peter Suzuki adalah suatu yang baru pemikiaran kita. Mengingat selama ini Karya orang Jepang ini tak tersentuh oleh kritik.
Menurut Victor dalam buku ini, buku The Riligious System and Culture of Nias, Indonesia karangan Suzuki yang terbit 1959, Suzuki telah bias menilai karena Beliau telah terjebak ke dalam tiga hal. Pertama teori struktur sosial yang diterapkan Suzuki gagal menjelaskan posisi Sawuyu (budak) dalam starfikasi sosial di Nias. Kedua, model analisis dewa Hermes tidak valid sebagai instrumen untuk mengkaji eksistensi Silewe Nazarata. Dan yang ketiga, Suzuki tidal mampu dengan jernih membedakan mitos Kosmogonis dan teogonis. Kekeliruan di atas Menurut Victor lagi, selain Suzuki tak pernah datang sendiri ke Nias, juga dikarenakan suzuki terlalu percaya terhadap promotornya yang berasal dari Belanda, P.E de Jos Seling de Jong yang mengeluarkan teori struktur sosial yang diamini secara kasar oleh Suzuki. (hal 98-99)
Sebagaai sebuah buku, apalagi buku antropologi, di ranah Indonesia sangat kekurangan. Sampai sekarang hanya ada beberapa nama yang telah membuktikan bahwa mereka adalah benar-benar antropolog. Kontjaraningrat patut dimasukkan ke dalam sini. Karena menurut presensi berkat beliaulah studi Antropologi dijadikan disiplin ilmu yang tak kalah pentingnya bagi dunia pendidikan, ilmiah dan akademis. Sehingga Presesensi mengusulkan pada pemerintah bagaimana Kontjara Ningrat dijadikan sebagai Bapak pelopor Antropologi di Indonesia seperti yang telah pemerintah lakukan terhadap Driyarkara yang dijadikan Bapak Filsafat di Indonesia, karena dia lah yang telah berjasa mentransfer ilmu filsafat kedalam ranah intelektual Indonesia.
Resensi ini adalah tulisan pertama yang masuk ke koran yang pernah dimuat di harian Suara Pembaruan, 14 februari 2007