Reviews Buku

Saturday, October 14, 2006

Zakat dan Misi Sosial

Oleh: Akhmad Kusairi*

Zakat adalah suatu institusi keagamaan yang merupakan salah satu dari tiang-tiang tertinggi dalam agama Islam. Ia adalah salah satu syiar agama dan identitas masyararakat Islam. Di samping sebagai ibadah, zakat juga mengemban misi sosial dalam prakteknya. Allah selalu menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya menolong sesamanya ( al-Hadist). Begitu tinggi posisi zakat sehingga ia ditempatkan sebagai salah satu rukun dalam agama Islam. Penempatan zakat sejajar dengan rukun Islam itu mengindikasikan bahwa seorang manusia dalam kacamata Islam belum dianggap sempurna Islamnya sebelum bersedia mengeluarkan sebagian hartanya untuk keperluan masyarakat yang dalam keadaan sangat membutuhkan.
Sekarang yang terpenting adalah bagaimana zakat memainkan peranannya di tengah himpitan kemiskinan sosial dan ekonomi? Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian dan inteletual, telah menawarkan beberapa solusi dalam menyikapi realitas tersebut. Salah satunya konsep Zakat sebagaimana telah disinggung di atas. Zakat dalam Islam bertujuan untuk meminimalisasikan kesenjangan sosial antara si kaya dan si meiskin (kaum borjuis dan proletar seperti thesis-nya Marx dengan sosialismenya) agar tercipta bangunan keadilan dan pemerataan kesejahteraan.
Zakat dalam konsep Islam terbagi menjadi dua, yaitu zakat Mal dan zakat Fitrah. Zakat Mal adalah bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang harus diberikan kepada orang-orang tertentu, dan bisa dikeluarkan kapan saja tanpa mengenal waktu. Berbeda dengan zakat Mal, zakat Fitrah hanya bisa dikeluarkan pada bulan Ramadhan, dengan batasan-batasan dan syariat yang berbeda. secara umum tujuan dari kedua zakat itu adalah sama, yaitu demi kesejahteraan sosial. Mungkin yang jadi persoalan sekarang adalah tentang standardisasi miskin atau kayanya seseorang, karena itu akan berpengaruh pada pengeluaran zakat. Sebab orang akan berpikir apakah wajib menerima atau mengeluarkan zakat.
Kaya dan miskin merupakan dua sisi mata uang yang tak dapat berbeda tetapi saling melengkapi dan membutuhkan. Orang miskin tanpa orang kaya, tak akan bisa hidup. Sedang orang kaya tanpa orang miskin akan susah. Realitas seperti ini menimbulkan suatu problema tersendiri dalam kehidupan bermasyarakat.
Jika dipandang dari sudut teori, penyebab kemiskinan tak lain adalah adanya hierarki socio-ecomic di tengah masyarakat. Hierarki ini dapat berupa persaingan yang tak sehat dalam hal ekonomi, adanya hasrat menguasai (seperti analisis Marx), dan lain sebagainya.
Berangkat dari realitas itulah, kemudian zakat dengan misinya mencoba menekan sekecil mungkin angka kemiskinan masyarakat. Zakat yang dalam akar katanya berasal dari bahasa Arab dari kata dasar (fiil madhi) zaka yang berarti berkah, tumbuh dengan subur, sejak dari jaman klasik hingga jaman posmodernisme sekarang telah menjadi sebuah rutinitas dalam masyarakat Islam terutama di bulan Ramadhan.
Selama ini kita mungkin hanya mengenal konsep zakat di kalangan muslim, sebenarnya kalau boleh jujur konsep zakat tak hanya ada di dalam Islam, tetapi hampir semua agama besar di dunia juga menerapkan zakat. Namun simbol dan bahasa yang digunakan saja yang berbeda. Dalam hal ini perbedaan hanya sebatas pada form saja, karena dalam esensi dan eksistensi, tujuannya sama dengan Islam. Dalam Hindu konsep zakat dikenal dengan Datria Datrium. Dalam Buddha, konsep sejenis disebut sebagai Etika atau Sutta Nipata. Sedang bagi agama Kristian menjadikan Tithe sebagain konsep zakat.
Jadi dalam mengatasi pernmasalahan-permasalah sosial khusunya kemiskinan, semua agama mempunyai cara (solusi) tersendiri dengan bungkus yang berbeda-beda, sebab problema kemiskinan itu tak hanya terjadi dalam masyarakat Islam. Tetapi juga agama-agama lain juga mengalami hal yangs serupa, dengan kata lain problema kemiskinan sudah menjadi problema global.
Zakat dan berbagai macam bentuknya tadi menurut penulis merupakan solusi yang solutif guna memerangi kemiskinan seperti sekarang ini. Terus apa relasinya dengan dunia pendidikan, dalam hal ini zakat digunakan untuk biaya pendidikan? Menurut penulis relasinya sudah sangat jelas, dengan artian masalah utama pendidikan sekarang, terutama di Indoenesia adalah minimnya dana bagi orang yang mau mengenyam pendidikan. Sehingga membentuk paradigma umum bahwa “Orang Miskin dilarang sekolah” tulis Eko Prasetyo dalam bukunya.
Akhirnya dalam mengatasi masalah minimnya biaya untuk pendidikan, penulis berpendapat bahwa zakat dan berbagai bentuknya tadi merupakan solusi yang terbaik, yang sedikit sekali negatif effect-nya, dibanding dengan solusi ngutang ke luar negeri untuk mendapatkan dana sepeti yang dilakukan pemerintah Indonesia sekarang.

· Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ushuluddin jurusan Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tuesday, October 10, 2006

Gratifikasi sebagai Legalisasi Korupsi

Akhmad Kusairi*

Membicarakan korupsi di ranah internasional tentunya sangat beda jika dibicarakan di tingkat lokal, dalam hal ini Indonesia yang sudah mendapat predikat tingkat korupsi terbesar kedua di dunia. Jadi bukan suatu yang mengherankan jika sebagian besar warga negara Indonesia menjadikan korupsi sebagai guide of life (pegangan hidup) sehari-sehari. Apalagi sistem birokrasi yang tampaknya memberikan angin segar bagi para koruptor, baik itu dalam skala kecil maupun yang dalam sekala besar, dengan artian menilep uang negara tanpa rasa bersalah sedikitpun bahkan membela mati-matian jika si Koruptor dihadapkan batu sandungan berupa pangadilan, yang dalam hal ini diwakili oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK). Saat menjelang lebaran seperti sekarang ini pemberian dalam bentuk parsel, Soufenir, atau hadiah biasa diberikan oleh pejabat negara yang satu kepada yang lain yang awalnya memang tak tak bisa dipungkiri sebagai bentuk tali silaturrahim bagi sesama muslim atau mempererat tali persaudaraan bagi yang non-Islam.
Tapi gejala lain menunjukkan bahwa nilai dan bentuk pemberian tadi semakin hari semakin tak proporsional atau dengan kata lain melebihi batas kewajaran. Dari segi esensinya pun parsel atau pemberian tadi bisa berubah bentuk dari berupa uang menjadi bentuk lain dengan nilai yang lebih besar. Mungkin dengan alasan itulah menurut penulis KPK melarang pejabat publik atau pejabat negara mengirim dan menerima parsel. Persoalannya, kenapa KPK melarang pejabat negara menerima dan mengirim gartifikasi? Sebab, parsel merupakan salah satu bentuk tindakan yang jelas bernuansa korupsi. Hal itu diatur Dalam Undang-undang No 20/2001 pasal 12 B ayat 1 dan 2 bahwa setiap tindakan gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggao pemberian suap apabila berhubungan dengan jabatan dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Dengan undang-undang tadi, setiap pejabat negara yang menerima bingkisan atau parsel wajib melapor kepada KPK untuk diverifikasi, apakah pemberian itu benar-benar sebagai bemtuk pemberian yang murni, atau pemberian tadi memiliki keterkaitan dengan jabatan, dengan kata lain suap tersamar.
Dari pemaparan tadi, penulis sangat setuju dengan tesisnya Dennis F. Thompson dalam Political Ethics and Public Office ( 1993) yang menulis, bahwa pemberian gratifikasi merupakan bagian dari pelanggaran etika. Karena secara ringan saja kebiasaan tadi sangat tak bermoral atau bahkan tak manusiawi jika melihat fakta realita yang ada sekarang ini yang sebagian besar masih terjerat dengan kemiskinan serta utang yang menjerat leher ditambah dengan bencana yang bak hujan deras yang turun dari langit menimpa bangsa Indonesia ini.
Memang pada prinsipnya pemberian tadi ada benarnya menngingat kita adalah sebagai makhluk social yang tak akan luput dari yang namanya mansyarakat lain yang itu juga bias berbentuk rasaimpatik atau penghormatan kepada yang lain yang juga sesame pejabat. Intinya pemberian parsel tadi harus logis dalam artian wajar dalam tatanan bermasyarakat.
Akhirnya penulis beependapat pemberian parsel tadi sah-sah saja jika terlepas dari unsur kepentingam yang mengarah pada kepentingam plitik atau semacamnya. Terus timbul pertanyaan, bagaimana kita tahu bahwa itu ada kepentingan politiknya apa tidak? Itu menurut penulis terserah pada KPK. Tapi penulis mengutuk penberian parsel yang jumlahnya melebihi kewajaran, karena bukankH lebih baik jika parsel tadi diberikan kpeda yang lebih memerlukan, dengann kata lain pemberian parsel yang jumlahnya besar itu tak lain dari bentuk legalisasi korupsi berupa gratifikasi.

* penulis adalah Mahasiswa Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Saturday, October 07, 2006

Keberanian sang Reporter Bawah Tanah

Judul : The underground Reporter
Penulis : Kathy Kacer
Penerjemah : Purnawijayanti
Penerbit : Kansisius
Terbit : Pertama, 2006
Tebal : 217 halaman

Pada mulanya kehidupan yang dijalani oleh John Freund beserta teman-temannya di Budejovice ( baca; bu-de-ho-vi-sai), Cekoslavakia biasa-biasa saja, tapi setelah kedatangan tentara Nazi pada Maret 1939, mereka selalu dihantui perasaan takut. Penyiksaan, perlakuan kasar, serta penerapan aturan-aturan baru untuk rakyat secara perlahan mencekam perasaan warga setempat. Dari sinilah cerita yang mengambil gaya menulis laporan reportase ini bermula. Bagaimana saat peraturan-peraturan yang dibuat oleh kaki tangan Hitler sangat tak berpihak pada mereka orang Yahudi, malahan menganggap orang Yahudi sebagai penyebab kekalahan Jerman pada perang dunia pertama, karena sejak mengalami kekakalahan pada perang dunia itu keadaan di Jerman sangat memprihatinkan. Ekonomi yang serba parah yang menyebabkan banyak orang Jerman kehilangan pekerjaan.

Hitler yang memang anti-Yahudi menuding Yahudi sebagai penyebab seluruh kesulitan yang dialami oleh bangsa Jerman. Di tengah keadaan yang seperti itu banyak orang Jerman yang merasa senang, karena telah menemukan orang yang bertanggung jawab atas peceklik yang menimpa Jerman. Propaganda anti-Yahudi dan genosida itu tidak hanya berlaku pada bangsa Yahudi Jerman, di era 1920-1944, tetapi juga beberapa negara di Eropa lainnya. Termasuk di dalamnya Negara Cekoslavakia Negara tempat John bersama Ruda hidup

Di tengah diskriminasi dan kekejaman tentara Nazi, John Freund beserta teman-temannya merasa kehidupan mereka terasa hampa tak berarti, Karena mereka harus menaati peraturan-peraturan yang tak berpihak kepada meraka. Akhirnya atas inisiatif Ruda Stadler, mereka membuat majalah Klepy ( yang dalam bahasa Cheska berarti gossip).
Setelah sukes dengan edisi pertama, Klepy yang sebelumnya hanya diisi oleh Ruda mendapat sambutan yang luar biasa dari teman-teman sesama Yahudinya, khususnya anak-anak. Edisi demi edisi majalah Klepy mengalami kemajuan, yang semula hanya 3 halaman, kini menjadi 25 halaman sampai terbit 20 edisi pimpinan Ruda, dan 2 edisi berikutnya oleh anak yang bernama Milos.

Peraturan-peraturan baru terus dibuat oleh Hitler, termasuk di antaranya pada April 1942 semua warga Yahudi di Budejovice, kotanya John dan Ruda, diharuskan mengunggsi ke ‘Theresienstadt’, kota yang diperuntukkan bagi tahanan Yahudi dari Cekoslovakia dan sebagian wilayah Eropa yang kemudian diungsikan lagi menuju kota kematian , yaitu Auschwitz.
Di tengah ketakutan terhadap kematian di Theresienstadt, John bersama teman senasib kembali membuat majalah yang bernama Bobrick, yang diambil dari bahasa Cheska yang artinya “berang-berang” untuk menunjukkan semangat pekerja yang rajin.

Ternyata harapan yang sudah diharapkan oleh orang Yahudi terkabul juga saat tentara sekutu membuat pasukan Jerman dan teman-temannya menyerah pada Sekutu.

Novel karangan Kathy Kacer ini walaupun sedikit membosankan karena gaya bercerita ala wartawan patut diacungi jempol karena berkat ketekunan, serta keberanian penulisnya buku ini dapat kita nikamati sebagai warisan perang Dunia kedua yang notabene sekaligus sejarah yang sangat berarti bagi kelangsungan sejarah kehidupan dunia. Selamat membaca…!

* Penulis adalah Mahasiswa Aqidah Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakartatersadar